Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini sesungguhnya
adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada
keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan
penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris
yang bersangkutan.
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan
norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immaterial
yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya. Jadi, Hukum waris
adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan
demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta
warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris
Jadi sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan
dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman Hadikusuma
mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris, dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada
waris. Dalam hal ini terlihat adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik
material maupun non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Selain itu pandangan
hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris
sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan
Sistem Pewarisan
Sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia menurut Djaren Saragih yaitu:
Sistem yang pertama pada umumnya terdapat pada masyarakat yang bilateral seperti di
Pulau Jawa, sedangkan sistem yang kedua terdapat pada masyarakat unilateral. Sistem kedua
dapat dibedakan lagi dalam bentuk sistem pewarisan kolektif dan sistem pewarisan mayorat.
Dilihat dari orang yang mendapat warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem,
yaitu sistem kewarisan mayorat, sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif. Menurut
pendapat Soerojo Wignjodipoero dijumpai tiga sistem pewarisan dalam hukum adat di Indonesia,
yaitu:
“(1) Sistem kewarisan individual, cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara
para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa, (2) Sistem kewarisan kolektif, cirinya
harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan
semacam bidang hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-
bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagikan pemakainya
saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilineal
anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo Sumatera Selatan dimana terdapat hak mayorat
2. Hukum adat waris mempunyai perbedaan principal dengan hukum waris adat (BW) yaitu :
Sistem kewarisaan dalam KUHPdt menganut pada Hukum BW, dimana Hukum BW
menganut hukum barat yang bersifat parental dan mandiri. Dimana harta
warisan jika pewaris wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian yang
waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang
menjadi haknya, baik harta warisan dan ibunya maupun harta dari ayahnya.
1. Golongan I, Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari
pewaris, yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli
golongan kedu, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada,
maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil. (Pasal 852 BW)
2. Golongan II
Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak,
ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris
jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek
baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris
golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris golongan
pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris
4. Golongan IV
(Plaatsvervulling / representatie)
dari
lingkungan hukum adat itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias,
ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu),
dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun
suku yang bergaris keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu