TINJAUAN PUSTAKA
1
a. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,
dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan.
b. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
c. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian.
d. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda
atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
e. Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian.
f. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperdelapan bagian.
g. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
h. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau
seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
2
2. Hukum Waris Perdata
Waris menurut perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan
hukum yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya di bidang hukum
harta kekayaan karena kematian seseorang yaitu pengalihan harta yang
ditinggalkan si mati beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para
penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka
dengan pihak ketiga
3
3. Hukum Waris Adat
Hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku
tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-
masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum
waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya terlepas
dari Hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun
tidak tertulis. Berdasarkan hukum waris adat dikenal beberapa macam
sistem pewaris, yaitu:
Sistem keturunan: pewaris berasal dari keturunan bapak atau ibu ataupun
keduanya.
a. Sistem individual: setiap ahli waris mendapatkan bagisannya masing-
masing.
b. Sistem kolektif: ahli waris menerima harta warisan tetapi tidak dapat
dibagi-bagikan penguasaan ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris
hanya mendapatkan hak untuk menggunakan ataupun mendapatkan hasil
dari harta tersebut.
c. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua sebagai
pengganti ayah dan ibunya.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-
waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata
atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris
mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat
waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat
menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat
dengan para waris lainnya. Pada intinya pembagian warisan berdasarkan
Hukum Waris Adat sangat beragam tergantung ketentuan suatu Adat
tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli
waris.
4
B. Dasar-Dasar Hukum Waris
Sementara itu, dasar hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam yang
didasarkan pada kultur masyarakat, agama, dan ketetapan pemerintah.
Pertama adalah hukum waris adat—berupa norma atau adat di kawasan
tertentu. Biasanya, tidak tertulis dan hanya diberlakukan untuk wilayah
khusus.
Secara umum, hukum waris adat menganut empat sistem, yaitu keturunan,
kolektif, mayorat, dan individual.Penetapan sistem tersebut dipengaruhi oleh
hubungan kekerabatan atau pola kehidupan masyarakat setempat.
5
C. Ahli Waris dan Bagiannya
Berdasarkan prinsip pewarisan dari KUHP, seorang ahli waris harus memiliki
hubungan darah dengan pewaris.Supaya lebih jelas, simak empat golongan ahli
waris menurut KUHP berikut ini.
1. Golongan I
Keluarga Kandung atau Istri/Suami yang Hidup Paling Lama dengan Pewaris
Disebutkan dalam pasal 862-866; ahli waris dari golongan anak-anak hasil
hubungan di luar perkawinan sah berhak mendapatkan :
6
1/3 apabila pewaris memiliki anak atau istri sah;
3/4 apabila ahli waris sah tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan derajat
yang lebih jauh dan;
seluruh harta waris apabila pewaris tidak meninggalkan keturunan sah atau
keluarga sedarah.
Ketentuan keempat bisa berubah jika ahli waris atau anak-anak hasil hubungan di
luar pernikahan meninggal dunia.Maka seluruh harta waris jatuh ke tangan
keturunannya yang sah.
2. Golongan II
Anggota keluarga yang termasuk ahli waris golongan II, yaitu bapak, ibu, atau
saudara kandung dari pewaris.Ahli waris ini bisa mendapatkan bagian jika
golongan I tidak ada. Ketentuan mengenai ahli waris golongan II diatur dalam
Pasal 854-856 KUHP; yang berbunyi :
Pasal 854 “Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan
suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing
mendapat sepertiga bagian dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya
meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa
yang sepertiga bagian.Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat
bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau
perempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya
yang dua perempat bagian.”
Pasal 855 “Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami
atau isteri, dan bapak atau ibunya telah meninggal lebih dahulu daripada dia,
maka bapaknya atau ibunya yang hidup terlama mendapat separuh dan harta
peninggalannya, bila yang mati itu meninggalkan saudara laki-laki atau
perempuan hanya satu orang saja; sepertiga, bila saudara laki-laki atau perempuan
7
yang ditinggalkan dua orang; seperempat bagian, bila saudara laki-laki atau
perempuan yang ditinggalkan lebih dan dua. Sisanya menjadi bagian saudara laki-
laki dan perempuan tersebut.”
3. Golongan III
Golongan ketiga terdiri dari kakek dan nenek dari keluarga bapak atau ibu
kandung pewaris.Mereka berhak memperoleh harta waris ketika golongan II
mengesampingkan atau tidak ada. Aturan pembagian waris golongan ketiga
tertulis dalam KUHP Pasal 853-858.Di situ disebutkan, bahwa ahli waris harus
memiliki hubungan darah dengan ibu atau bapak kandung ke atas. Jika
kekerabatannya punya derajat kedekatan yang sama, harta waris dibagi sama
rata.Sebaliknya, kalau ada kerabat yang derajat hubungannya lebih dekat; pewaris
harus mengutamakan ahli waris ini.Pada pasal-pasal selanjutnya, disebutkan
mengenai hak kakek atau nenek pewaris mengenai warisan.Salah satunya adalah
Pasal 854 yang berbunyi : “Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan
keturunan dan suami atau isteri, makabapaknya atau ibunya yang masih hidup
masing-masing mendapat sepertiga bagian dan hartapeninggalannya, bila yang
mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atauperempuan yang
mendapat sisa yang sepertiga bagian.Bapak dan ibunya masing-masingmewarisi
seperempat bagian, bila yang mati meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki
atauperempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya
yang duaperempat bagian.”
4. Golongan IV
Ahli waris golongan IV menerima warisan jika golongan III tidak ada atau
mengabaikan.Golongan ini terdiri dari keluarga kandung dari orang tua pewaris,
8
semisal paman dan bibi.Adapun mengenai pembagiannya diatur dalam Pasal 858,
861, dan 873 KUHP.
Berikut ini bunyi ketentuan dalam Pasal 858 yang mengacu pada Pasal 853 KUHP
:“Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga
sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka separuh harta
peninggalan itu menjadi bagian dan keluarga sedarah dalam garis ke atas yang
masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah dalam
garis ke samping dan garis ke atas lainnya, kecuali dalam hal yang tercantum
dalam pasal berikut.
Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih
hidup dalam kedua garis ke atas, maka keluarga sedarah terdekat dalam tiap-tiap
garis ke samping masingmasing mendapat warisan separuhnya. Bila dalam satu
garis ke samping terdapat beberapa keluarga sedarah dalam derajat yang sama,
maka mereka berbagi antara mereka kepala demi kepala tanpa mengurangi
ketentuan dalam Pasal 845.”
9
D. Unsur-Unsur Hukum Waris
1. Ada Pewaris
10
“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang
berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.”“Harta waris
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat.”
Lalu, apa yang disebut ahli waris? Baik dari pandangan Islam, maupun
KUHP, ahli waris dimaknai sebagai penerima harta warisan yang sah
secara hukum berdasarkan amanat pemiliknya. Syarat utama untuk
menjadi ahli waris, yaitu bersikap terbuka dan tidak ada hal apa pun yang
menghalanginya. Mengenai identitas ahli waris, diterangkan dalam Pasal
172 KUHP. Berikut ini bunyinya :“Ahli waris dipandang beragama Islam
apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.“
Istilah dalam hukum waris yang wajib anda ketahui Ada tiga syarat
terjadinya pewarisan, yaitu :
2. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan pada saat pewaris meninggal dunia ( ahli waris );
11
Menurut pasal 830 KUH Perdata ( 877 BW ), pewarisan hanya berlangsung
karena kematian. Dalam hal ini terkadang penting sekali untuk menetapkan
dengan cermat saat kematian. Saat kematian yang biasa dipakai sebagai
patokan, yaitu berhentinya detak jantung atau ungkapan tradisionalnya
disebut menghembuskan napas terakhir. Baik terhentinya detak jantung
maupun tidak berfungsinya alat-alat pernapasan merupakan tanda-tanda
iminensi. Namun dalam beberapa kasus kepastian tersebut tampaknya belum
memadai, sehingga perlu ditetapkan adanya kematian otak. Misalnya, pada
saat menghadapi pasien yang dalam keadaan koma dan sedang dibantu
dengan alat pernapasan serta alat-alat tubuhnya diperlukan untuk tujuan
transplantasi ( memindahkan alat ). [2]
Tentang kematian, ada beberapa pengecualian dalam Pasal 830 KUH Perdata,
antara lain orang yang dinyatakan meninggal dunia berdasarkan persangkaan
( de vermoedelijk overleden verklaarde ) dianggap masih hidup. Namun bagi
hukum ia merupakan orang yang sudah tiada sampai ada bukti yang dapat
ditunjukkan bahwa ia masih hidup. Dalam kasus demikian, pembuat undang-
undang menetapkan tenggang waktu 20 tahun sebelum pewarisan definitif
diselenggarakan selama sepuluh tahun pertama, ahli waris atau penerima
hibah wasiat belum dapat menikmati hak-hak lengkap yang dipunya pemilik,
dan mereka diharuskan membuat pencatatan ( boedelbeschrijving ) dan
memberikan jaminan, hanya dengan alasan-alasan mendesak dan atas seizin
hakim mereka dapat mengesampingkan barang tersebut dan apabila sudah
dua puluh tahun, maka gugurlah segala perbuatan tersebut.[4]
12
Menurut Pasal 836 KUH Perdata ( 883 BW ), untuk dapat bertindak sebagai
ahli waris ia harus ada pada saat harta peninggalan terbuka. Namun menurut
Pasal 2 KUH Perdata, menentukan anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak
menghendakinya. Jadi, apabila janin yang ada dalam kandungan ibunya lahir
hidup, maka ia akan menerima bagian harta peninggalan ayahnya, sama besar
dengan ibu dan kakak-kakaknya. Pengecualian, dari pasal ini diatur dalam
Pasal 895 KUH Perdata.
Hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan
atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan
adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang
akan menerima bagiannya.
13