Anda di halaman 1dari 3

C.

Sifat Hukum Waris

Bentuk dan sifat hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat
kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal
pada sistem menarik garis keturunan yang pada dasarnya dikenal ada tiga macam sistem
keturunan. Bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem
keturunan, yaitu:
1. Sistem patrilineal/sifat kebapaan
Yaitu sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya
yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Batak,
Alas, Timor, Bali, Ambon, dan Irian Jaya.
2. Sistem matrilineal/sifat keibuan
Yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Bentuk
kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu di
Minangkabau.
3. Sistem bilateral/parental/sifat kebapak-ibuan
Yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun garis ibu
sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada dasarnya tidak ada perbedaan antara
pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini terdapat pada banyak masyarakat di Indonesia yaitu
Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Jawa, Madura, Seluruh Sulawesi, Lombok,
Ternate, dan Riau.

D. Subjek Hukum Waris

Dalam hukum pewarisan, terdapat subjek-subjek atau pihak yang terlibat dalam urusan
waris tersebut, yaitu sebagai berkut:
a. Pewaris
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan juga meninggalkan harta
kekayaan maupun hak-hak yang didapatkan serta kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan, baik dengan menggunakan surat wasiat ataupun tidak.
b. Ahli waris
Dalam KUH Perdata ditetapkan bagian siapa saja ahli waris yang sah menurut undang-
undang, dalam hal ini sebutan untuk ahli waris tersebut adalah ab intestato. Ahli waris
digolongkan berdasarkan hubungan darah menjadi sebagai berikut:
a. Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofed) atau mewaris secara
langsung. Menurut KUH Perdata penggolongan ahli waris ini, adalah :
1) Golongan pertama, yaitu anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus kebawah.
Sedangkan, untuk hak mewaris suami atau istri yang hidup terlama sama dengan hak
waris seorang anak sah (Pasal 852 KUH Perdata).
2) Golongan kedua, orang tua dan saudara-saudara pewaris.
3) Golongan ketiga, Pasal 853 dan Pasal 854 KUH Perdata, dalam hal tidak ada
golongan pertama dan golongan kedua, maka keluarga dalam garis lurus ke atas
sesudah bapak dan ibu pewaris, sehingga harta peninggalan harus dibagi menjadi
dua, setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, dan setengah lagi untuk kakek-
nenek dari pihak ibu.
4) Golongan keempat, sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang, dalam kata
lain bibi atau paman pewaris baik itu dari bapak maupun dari ibu, keturunan mereka
sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek nenek dan
keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
b. Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), disebut juga sabagai ahli
waris tidak langsung (cucu-cucu pewaris)
1) Penggantian dalam garis lurus ke bawah, Pasal 848 KUH Perdata dimana disebutkan
bahwa hanya orang-orang yang telah mati saja yang dapat digantikan.
2) Penggantian dalam garis ke samping, tiap saudara kandung/tiri yang meninggal lebih
dulu digantikan oleh sekalian anaknya.
3) Penggantian dalam garis samping, juga melibatkan penggantian anggota-anggota
keluarga yang lebih jauh, misalnya paman/keponakan, jika meninggal lebih dulu
digantikan oleh keturunannya.
c. Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan, dalam hal ini
kemungkinan timbul karena di dalam KUH Perdata terdapat ketentuan tentang pihak
ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati harta peninggalan pewaris
berdasarkan wasiat.
Selain ahli waris dan pewaris dalam KUHPerdata, juga dikenal adanya :
1. Fidei comis, ialah suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan ketentuan
bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya waktu, warisan itu
harus diserahkan kepada orang lain. Cara pemberian warisan semacam ini oleh undang-
undang disebut sebagai pemberian warisan secara melangkah.
2. Executeur testamentair, pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh pewaris, yang bertugas
mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara matang sesuai dengan kehendak pewaris.
3. Bewindvoerder/pengelola, seseorang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus
kekayaan, sehingga para ahli waris hanya menerima penghasilan dari harta peninggalan
tersebut. Hal ini dimaksudkan agar hasil kekayaan tersebut tidak disalah gunakan atau
dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris.

E. Objek Hukum Waris

Pada dasarnya, yang menjadi objek waris adalah seluruh harta kekayaan yang dipindahkan
dari pewaris kepada ahli waris yang dapat berupa:
1. Aktiva, yaitu sejumlah benda yang nyata dan ada atau berupa tagihan/piutang kepada pihak
ketiga. Selain itu aktiva dapat berupa hak immaterial seperti hak cipta, hak paten, dan
sebagainya.
2. Pasiva, yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun
kewajiban lainnya (menyimpan benda orang lain). Dengan demikian, bukan hanya harta
yang diwariskan kepada ahli waris, melainkan termasuk hutang yang dimiliki oleh pewaris.

REFERENSI
1. R. Santoso Pudjosubroto, 1976, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta
2. P.N.H. Simanjuntak, 2015, Hukum Perdata Indonesia, edisi Pertama, Kencana, Jakarta
3. A Pitlo, 1994, Hukum Waris Menurut KUHPerdata Belanda (terjemahan : M.Isa Arief),
Intermasa, Jakarta
4. Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung

Anda mungkin juga menyukai