A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, sehingga
membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah
dewasa manusia mempunyai keinginan untuk dapat membentuk keluarga guna
meneruskan keturunan yaitu dengan melakukan perkawinan.
b) Golongan kedua
Orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya kedua
orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris tetapi ada
jaminan dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat
harta peninggalan (Pasal 854 KUH Perdata).
c) Golongan ketiga
Dari Pasal 853 dan Pasal 855 KUH Perdata menentukan dalam hal
tidak terdapat golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan
harus dibagi dua lebih dahulu (kloving), setengah bagian untuk kakek-
nenek pihak ayah, setengah lagi untuk kakek-nenek pihak ibu.
d) Golongan keempat
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai
derajad keenam (Pasal 858 jo. 861 KUH Perdata).
Namun hak anak angkat dalam hal warisan tidak sama dengan hak anak
kandung. Karena hak anak angkat dalam perolehan harta warisan hanya pada
barang gono gini, sedangkan terhadap harta pusaka tidak mempunyai hak
waris. Sedangkan bagi anak kandung kecuali mempunyai hak harta warisan
dari harta gono-gini juga mempunyai hak harta warisan dari barang gini.
Hal ini dibuktikan adanya beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang
berlaku di beberapa daerah, seperti Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 24-
5-1958 No. 82/K/Sip/1957 di daerah Bandung Yurisprudensi Mahkamah
Agung tgl.4-7-1961 di daerah Surakarta, Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl.
25-9-1969 No. 679/K/Sip/1968 di daerah Temanggung, Yurisprudensi
Mahkamah Agung tgl. 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972 di daerah Klaten. (Djaja
S. Meliala, 1982:21-22).
Dari uraian tersebut di atas maka ternyata ada hubungan erat antara anak
angkat dan masalah harta warisan .
Berdasarkan Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH Perdata, bahwa:
“Ahli waris yang termasuk golongan pertama yaitu suami atau istri yang
hidup terlama, anak-anak beserta keturunanya dalam garis lencang ke bawah
baik sah maupun atau tidak sah, dengan tidak membedakan laki-laki atau
perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran, mereka itu
menyingkirkan lain-lain anggota keluarga dalam garis lencang ke atas dalam
garis ke samping meskipun mungkin di antara anggota-anggota keluarga yang
belakangan ini, ada yang derajadnya lebih dekat dengan si meninggal” (R.
Subekti, 1984:99).
B. Perumusan Masalah
Dalam suatu penelitian perumusan masalah merupakan bagian yang
sangat penting, agar suatu penelitian dapat mencapai tujuan yang dikehendaki,
maka rumusan masalah yang penyusun kemukakan adalah mengingat
pentingnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk syahnya anak angkat antar
Warga Negara Indonesia baik berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di
Indonesia, agar dapat disahkan oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pentingnya
pengaturan hak harta warisan pada anak angkat agar dapat menjamin dan
mencipkan serta keadilan dalam masyarakat.
5. Kuasa dari raad van justitie itu harus disebut dalam akta adopsi
(Pasal 9 ayat (5) Staatsblad 1917 No. 129).
d) Adopsi hanya dapat terjadi dengan akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)
Staatsblad 1917 No. 129).
Dalam hal pewarisan, ada beberapa prinsip umum ialah: (Surini Ahlan
dan Nurul Elmiyah,2005:15)
a) Pada asasnya, yang dapat beralih kepada ahli waris ialah hak dan
kewajiban dalam hukum harta kekayaan saja.
(d) Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang
di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir
dengan meninggalnya si anak, diatur dalamPasal 314 KUH Perdata.
(e) Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki
hak tersebut, diatur dalam Pasal 807 KUH Perdata. (Surini Ahlan
dan Nurul Elmiyah,2005:8)
ii) Untuk dapat memperoleh harta peninggalan, seorang ahli waris harus
hidup saat pewaris meninggal dunia.
iii) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
b) Golongan kedua
Orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya
kedua orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris
tetapi ada jaminan dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari
seperempat harta peninggalan (Pasal 854 KUH Perdata).
c) Golongan Ketiga
Dalam hal tidak terdapat golongan pertama dan kedua, maka
harta peninggalan harus dibagi dua lebih dahulu (kloving),
setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, setengah lagi
untuk kakek-nenek pihak ibu (Pasal 853 dan Pasal 855 KUH
Perdata).
d) Golongan Keempat
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai
derajad ke enam (Pasal 858 jo. 861 KUH Perdata).
2. Mewaris berdasarkan Penggantian (representatie atau bij
plaatsvervulling) dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung.
Mewaris berdasarkan penggantian, yakni pewarisan di mana ahli
waris yang mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima
warisan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari Pewaris.
Misalnya A meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C,
tetapi B telah meninggal terlebih dahulu dari A (Pewaris). B punya
anak D dan E, maka D dan E inilah yang tampil sebagai ahli waris A
yang menggantikan B (cucu mewaris dari kakek/nenek).
(b) Usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan sesudah
perkawinan
(c) Harta yang merupakan hadiah kepada suami istri pada waktu
perkawinan
(d) Harta yang merupakan usaha suami istri dalam masa perkawinan
Apabila anak itu berasal dari keluarga dekat, maka hubungan anak
angkat dengan orang tua kandungnya tetap tidak putus malahan bila
telah dewasa terkadang kembali lagi kepada orang tua kandungnya itu
(B. Bastian Tafal,1989:64).
Dalam Hukum Adat, yang berhak menjadi ahli waris ada 2 (dua)
macam garis pokok keutamaan yang diatur dalam Kelompok Keutamaan I,
II, III dan IVdan garis pokok penggantian.
A. Kesimpulan
Dalam bab penutup ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
terhadap hasil penelitian. Setelah penyusun menganalisa data-data yang ada,
maka hasilnya merupakan jawaban atau pemecahan dari rumusan masalah
yang penyusun kemukakan sebagai berikut:
1. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya bagi Anak Angkat
berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di Indonesia
a) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk Sahnya Anak Angkat
berdasarkan KUH Perdata
(1) Dalam KUH Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga
Pengangkatan Anak sehingga Pemerintah Hindia Belanda
membuat aturan tersendiri mengenai pengangkatan anak (adopsi)
dalam Staatsblad 1917 No. 129.
(2) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya anak angkat diatur
dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Staatsblad 1917 No. 129.
(3) Anak angkat hanya berhak mewaris atas harta gono-gini orang tua
angkatnya saja. Sehingga anak angkat tidak berhak atas barang pusaka
dari orang tua angkatnya.
Hal tersebut berdasarkan pada beberapa Yurisprudensi antara lain:
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl 24-5-1958 No. 82K/Sip/1957,
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 4-7-1961 No. 384K/Sip/1961,
Yurisprudensi Mahkamah Agung, tgl. tgl. 25-9-1969 No.
679K/Sip/1968,
Yurisprudensi Mahkamah Agung, tgl., 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972.
B. Saran-saran
1. Pengangkatan anak (adopsi) hendaknya dibuat Regulasi, agar mempunyai
kekuatan hukum tetap, wajib disahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
2. Agar pembagian warisan dari orang tua angkatnya selalu mengingat nilai-
nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta.
Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
B. Bastian Tafal. 1989. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-
Akibat Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali
Press.
Djaja S. Meliala.1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia. Bandung:
Tarsito.
Eman Suparman. 1991. Inti Sari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Haar B. Ter diIndonesiakan oleh Soebakti Poesponoto. 1999. Asas-Asas Dan
Susunan Hukum Adat. Beginselen en stelsel van het
adatrecht Jakarta: Pradnya Paramita.
Hadari Nawawi dan Mimi Martini. 1995. Penelitian Terapan.Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Irma Setyowati. 1990. Aspek Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
J.Satrio.1992. Hukum. Waris. Bandung: Alumni.
Mohd. Idris Ramulyo. 1993. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika.
Muderis Zaini. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika.
Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris,
Bandung: Sumur.
R. Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermasa.
dan R. Tjitrosudibyo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Padnya Paramita.
Soedharyo Soimin.1992. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW. Hukum Islam dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar
Grafika.
. 2000. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta:
UI. Press.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
. dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soerojo Wignjodipoero. 1967. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:
PT. Gunung Agung.
Suhrini Ahlan Sjarif. 1983. Inti Sari Hukum Waris Perdata Barat.Jakarta: Ghalia
Indonesia.
. dan Nurul Elmiyah. 2005. Hukum Warisan Perdata Barat
Jakarta: Kencana.
Peraturan Perundang-undangan
Staatsblad 1917 No. 129 Tentang Pengangkatan Anak (Adopsi)
Yurisprudensi
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 24-5-1958 No. 82/K/Sip/1957
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4-7-1961 No.384 /K/Sip/1961
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 25-9-1969 No.679/K/Sip/1968
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2-1-1973 No.441/K/Sip/1972