Anda di halaman 1dari 44

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK WARIS ANAK ANGKAT

ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA BERDASARKAN KUH


PERDATA DAN HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, sehingga
membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah
dewasa manusia mempunyai keinginan untuk dapat membentuk keluarga guna
meneruskan keturunan yaitu dengan melakukan perkawinan.

Namun, dalam kenyataannya tidak semua orang dapat mempunyai


keturunan sehingga timbul suatu usaha untuk dapat memenuhi keinginan
tersebut, salah satunya dengan melakukan pengangkatan anak (adopsi) melalui
Lembaga Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi) yang ada.

Lembaga Pengangkatan Anak (Lemabaga Adopsi) mempunyai peranan yang


sangat penting, karena dapat menjamin pelaksanaan pengangkatan anak
(adopsi) sehingga dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan
memperkuat status anak angkat dalam hukum.

Dalam perkembangan masyarakat, tujuan dari Lembaga Pengangkatan


Anak (Lembaga Adopsi) tidak untuk meneruskan keturunan saja, namun lebih
beragam, antara lain menjamin kesejahteraan anak, dapat menciptakan
pendidikan kesehatan, ,sehingga hari depan anak akan lebih baik.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga


Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi), kecuali diatur dalam dalam
Staatsblad. 1917 No. 129. khususnya pada pasal 5 sampai dengan Pasal 15,
yang pada pokoknya hanya mengatur pengangkatan anak khusus bagi anak
laki-laki golongan Tionghoa. Akan tetapi sekarang ini, berdasarkan
Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tgl. 29 Mei 1963 No.
907/1963 P. yo. Pengadilan Negeri Jakarta tgl. 17 Oktober 1963 No. 588/63G)
memperbolehkan pengangkatan terhadap anak perempuan. anak. Hubungan
hukum antara orang tua asal setelah anak diangkat oleh orang lain

menjadi putus, anak tersebut mewaris kepada bapak yang mengangkatnya.


(Soedharyo Soeimin, 1992:35).

Golongan Pribumi Indonesia atau sekarang disebut dengan istilah Warga


Negara Indonesia Asli mengenal Lembaga Pengangkatan Anak yang diatur
dalam Hukum Adat masing-masing yang bercorak pluralistik. Mengangkat
anak dengan berbagai akibat hukum banyak dilakukan di negara kita oleh
orang Indonesia asli, dan/atau oleh Warga Negara Asing terhadap anak-anak
Indonesia dan sebaliknya juga oleh mereka yang memeluk Agama Islam
padahal Hukum Islam tidak mengenal Lembaga Pengangkatan Anak. Hal ini
menunjukkan bahwa di kalangan Indonesia asli dirasakan kebutuhan akan
Lembaga Pengangkatan Anak tersebut. Karena itu kami berpendapat bahwa
Lembaga Pengangkatan Anak perlu diatur dalam Hukum Perdata Nasional
yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum pada yang dirasakan
kebutuhannya, sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah mengenai
anak-anak terlantar dan anak yatim piatu.
(Djaja S. Meliala, 1982:2).

Bahwa menurut Hukum Perdata, untuk menentukan mengenai siapa yang


menurut hukum berhak mendapatkan harta warisan maka secara limitatif
diatur dalam KUH Perdata yaitu: (Mohd Idris Ramulyo, 1993:21-22)
1. Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen
hoofed) atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meninggal
dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris.
Mengenai ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ini, KUH
Perdata menggolongkannya sebagai berikut:
a) Golongan pertama
Berdasarkan Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH Perdata,
bahwa:
“Ahli waris yang termasuk golongan pertama yaitu suami atau istri
yang hidup terlama, anak-anak beserta keturunanya dalam garis
lencang ke bawah baik sah maupun atau tidak sah, dengan tidak
membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak membedakan
urutan kelahiran, mereka itu menyingkirkan lain-lain anggota keluarga
dalam garis lencang ke atas dalam garis ke samping meskipun
mungkin di antara anggota-anggota keluarga yang belakangan ini, ada
yang derajadnya lebih dekat dengan si meninggal” (R. Subekti,
1984:99).

b) Golongan kedua
Orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya kedua
orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris tetapi ada
jaminan dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat
harta peninggalan (Pasal 854 KUH Perdata).

c) Golongan ketiga
Dari Pasal 853 dan Pasal 855 KUH Perdata menentukan dalam hal
tidak terdapat golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan
harus dibagi dua lebih dahulu (kloving), setengah bagian untuk kakek-
nenek pihak ayah, setengah lagi untuk kakek-nenek pihak ibu.

d) Golongan keempat
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai
derajad keenam (Pasal 858 jo. 861 KUH Perdata).

2. Mewaris berdasarkan Penggantian (representatie atau bij plaatsvervulling)


dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung, misalnya A meninggal
dunia dengan meninggalkan anak B dan C, tetapi B telah meninggal
terlebih dahulu dari A (Pewaris). B punya anak D dan E, maka D dan E
inilah yang tampil sebagai ahli waris A yang menggantikan B (cucu
mewaris dari kakek/nenek). KUH Perdata memperinci ahli waris
berdasarkan penggantian sebagai berikut:
a) Penggantian dalam garis lencang ke bawah.
Setiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh sekalian
cucu atau anak-anaknya Pewaris. Dalam hal semua anak ahli waris
yang dalam kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed) ternyata
onwaardig onterfd, maka sekalian cucu-pewaris tampil dalam
kedudukannya sendiri, karena dalam penggantian berlaku ketentuan
Pasal 848 KUH Perdata yang berbunyi hanya orang-orang yang telah
mati saja yang dapat digantikan.

b) Penggantian dalam garis ke samping (zijlinie)


Setiap saudara kandung atau saudara tiri yang meninggal
terlebih dahulu digantikan oleh sekalian anaknya.

c) Penggantian dalam garis samping juga melibatkan penggantian


anggota-anggota keluarga yang lebih jauh. Misal: paman/keponakan,
jika meninggal terlebih dahulu digantikan oleh keturunannya.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka anak angkat termasuk


ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri pada golongan
Pertama dalam memperoleh hak harta warisan dari orang tua angkatnya,
sehingga menutup hak ahli waris yang lain.

Adapun hubungan keluarga anak angkat dengan orang tua kandungnya


menjadi terputus, sehingga tidak ada hubungan sebagai ahli waris . Anak
angkat tidak berhak mewaris atas harta peninggalan dari orang tua
kandungnya.

Menurut Hukum Adat untuk menentukan mengenai siapa yang


menurut hukum berhak memperoleh harta warisan maka digunakan 2 (dua)
macam garis pokok yaitu: (Soerjono Soekanto, 2002:261)
1. Garis Pokok Keutamaan
Garis pokok keutamaan yaitu garis hukum yang menentukan urutan-
urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris.
Dari garis pokok keutamaan tersebut, maka orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut:
a) Kelompok Keutamaan I : keturunan pewaris
b) Kelompok Keutamaan II : orang tua pewaris
c) Kelompok Keutamaan III : saudara-saudara pewaris
d) Kelompok Keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris
e) dan seterusnya

2. Garis Pokok Penggantian


Garis pokok penggantian yaitu garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan
tertentu sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris
yaitu:
a) Orang-orang yang tidak mempunyai penghubung dengan
pewaris
b) Orang-orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
Di dalam pelaksanaan penentuan para ahli waris dengan mempergunakan
garis pokok keutamaan dan penggantian, maka harus diperhatikan dengan
seksama prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat
tertentu.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka anak angkat termasuk.


ahli waris yang mewaris dalam garis pokok keutamaan yaitu pada kelompok
Keutamaan I. Sehingga bila dalam suatu keluarga ada anak angkat, maka
meniadakan hak waris dari golongan yang lain.

Adapun hubungan keluarga anak angkat dengan orang tua kandungnya


tidak terputus, sehingga tetap ada hubungan sebagai ahli waris . Anak angkat
tetapberhak mewaris atas harta peninggalan rari orang tua kandungnya.

Namun hak anak angkat dalam hal warisan tidak sama dengan hak anak
kandung. Karena hak anak angkat dalam perolehan harta warisan hanya pada
barang gono gini, sedangkan terhadap harta pusaka tidak mempunyai hak
waris. Sedangkan bagi anak kandung kecuali mempunyai hak harta warisan
dari harta gono-gini juga mempunyai hak harta warisan dari barang gini.
Hal ini dibuktikan adanya beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang
berlaku di beberapa daerah, seperti Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 24-
5-1958 No. 82/K/Sip/1957 di daerah Bandung Yurisprudensi Mahkamah
Agung tgl.4-7-1961 di daerah Surakarta, Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl.
25-9-1969 No. 679/K/Sip/1968 di daerah Temanggung, Yurisprudensi
Mahkamah Agung tgl. 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972 di daerah Klaten. (Djaja
S. Meliala, 1982:21-22).
Dari uraian tersebut di atas maka ternyata ada hubungan erat antara anak
angkat dan masalah harta warisan .

Menurut para sarjana, Hukum Waris Perdata pada pokoknya merupakan


peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal
dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Dalam Hukum Waris mengatur
mengenai akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta
kekayaan si Pewaris dan akibat hukum atas kematian seseorang
(J.Satrio,1992:8).

Dalam Sistem Hukum Kewarisan Perdata Barat (Eropa) yang tertuang


dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang
disingkat KUH Pdt yang berdasarkan Ketentuan Pasal 131 I.S jo. Staatsbalad
1917 No. 129 jo. Staasblad 1924 No. 12 tentang penundukan diri terhadap
Hukum Eropa, maka BW berlaku bagi: (Surini Ahlan, 1983:10)
1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa
2. Orang Timur Asing Tionghoa;
3. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukan
diri pada Hukum Eropa.

Berdasarkan Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH Perdata, bahwa:
“Ahli waris yang termasuk golongan pertama yaitu suami atau istri yang
hidup terlama, anak-anak beserta keturunanya dalam garis lencang ke bawah
baik sah maupun atau tidak sah, dengan tidak membedakan laki-laki atau
perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran, mereka itu
menyingkirkan lain-lain anggota keluarga dalam garis lencang ke atas dalam
garis ke samping meskipun mungkin di antara anggota-anggota keluarga yang
belakangan ini, ada yang derajadnya lebih dekat dengan si meninggal” (R.
Subekti, 1984:99).

Jadi berdasarkan pasal tersebut diatas maka kedudukan anak angkat


dipersamakan dengan anak kandung sehingga anak angkat juga berhak atas
harta peningggalan orang tua angkatnya.

Dalam perkembangannya, ada beberapa Peraturan Perundangan yang


memberikan hak bagi anak pada umumnya yang juga berlaku bagi anak
angkat antara lain: Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1978
Tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang
Asing, Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983
Perihal Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1979
Perihal Penyempurnaan Pemeriksaan Permohonan Pengesahan/Pengangkatan
Anak, Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia No.12 tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Hukum Waris Adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan


proses dari abad ke abad, yang menarik perhatian ialah proses penerusan dan
peralihan kekayaan materiil dan immaterial dari turunan ke turunan (Haar B.
Ter diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, 1999:202)

Dalam Sistem Kewarisan Hukum Adat yang beranekaragam pula


sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etis di berbagai daerah lingkungan
hukum adat, misalnya sistem unilateral matrilineal di Minangkabau,
patrilineal di Batak, bilateral atau (parental) di Jawa, alternerend unilateral
atau (sistem unilateral yang beralih-alih), seperti di Rejang Lebong atau
Lampung Papadon, yang diperlakukan kepada orang-orang Indonesia yang
masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan
(Mohd Idris Ramulyo, 1993:2).
Dalam Hukum Adat, pengangkatan anak (adopsi) yang dilakukan
berdasarkan aturan-aturan yang berlaku di daerah masing-masing.
Pada umumnya dalam Hukum Adat, dengan diangkatnya seorang anak
hubungan hukum anak angkat dengan keluarga yang lama tidak terputus,
kecuali antara lain menurut Hukum Adat Bali (Pengangkatan Anak
“sentana”). Berdasarkan Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri
Bandung tgl. 21 Oktober 1986 No.1991/1968 yo. Pengadilan Tinggi Bandung
tgl. 21 Oktober 1986 No.1991/1968 yo. Pengadilan Tinggi Bandung tgl.14
Mei 1970 No. 215/1969/Perd/PTB yo. Mahkamah Agung RI tgl. 24 Maret
1971 No. 611/K/Sip/1970), maka seorang dapat dinyatakan sebagai anak
angkat dari kedua orang tua angkatnya bila mana ia telah dibesarkan,
dikhitankan, dikawinkan, bertempat tinggal bersama dan telah mendapat hibah
dari orang tuanya (orang tua angkatnya) (Soedharyo Soimin, 1992:37).

Dalam Hukum Waris Adat yang berlaku di Jawa khususnya yang


menganut sifat susunan kekeluargaan Parental seperti di Jawa Tengah dan
Jawa Barat, kedudukan anak angkat dalam hal mewaris dari harta peninggalan
dari orang tua angkatnya ditentukan berdasarkan beberapa Yurisprudensi
Mahkamah Agung yang diberlakukan di daerah masing-masing, antara lain:
(Djaja S. Meliala, 1982:21-22)
1) Hukum Adat di Bandung
Menurut Adat di daerah Priangan, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung tgl. 24-5-1958 No. 82K/Sip/1957 maka seorang anak
angkat tidak dapat mewarisi barang-barang pusaka (asli) itu hanya dapat
diwaris oleh ahli waris keturunan darah (dalam perkara ini saudara-saudara
dari yang meninggal).

2) Hukum Adat di daerah Surakarta


Menurut Hukum Adat di Jawa tengah, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung tgl. 4-7-1961 No. 384K/Sip/1961 maka, seorang anak
angkat tidak berhak atas barang tinggalan orang tua angkatnya yang bukan
gono-gini. Yurisprudensi Mahkamah Agung di atas diterapkan pula antara
lain dalam Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-7-1959, No. 182K/Sip/ 1959
mengenai perkara di daerah Bojonegoro; Putusan tgl. 18-3-1959 No.
37K/Sip/1959 mengenai perkara dari daerah Bojonegoro.

3) Hukum Adat di Temanggung


Menurut Adat di daerah Temanggung, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung, tgl. 25-9-1969 No. 679K/Sip/1968, maka seorang anak
angkat berhak mewarisi barang asal orang tua angkatnya yang diperoleh
karena usahanya sendiri, dengan tidak perlu dibagi dengan
(mengikutsertakan) ahli-ahli waris ke samping.

4) Hukum Adat di Klaten


Menurut Hukum Adat yang berlaku di daerah Klaten, berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 2-1-1973 No. 441K/Sip/1972, maka
seorang anak angkat berhak mewaris harta gono-gini orang tua angkatnya
sedemikian rupa sehinga ia menutuphak waris pada saudara orang tua
angkatnya.

Manusia pada suatu saat akan meninggal dunia, tanpa diketahui


terlebih dahulu kapan kematian akan menimpa diri seseorang. Setelah itu
maka timbul permasalahan mengenai segala sesuatu yang ditinggalkannya.
Karena setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang berhubungan
orang lain, sehingga diperlukan adanya peraturan mengenai segala akibat
meninggalnya seseorang yang mengatur mengenai segala akibat
meninggalnya seseorang yang meninggalkan harta benda dan
meninggalkan ahli waris, kemudian barulah akan menimbulkan persoalan
mengenai warisan pada umumnya dan bagi anak angkat pada khususnya.
Hal-hal tersebut di atas sebagai latarbelakang menyusun penulisan hukum
ini dengan Judul: Tinjauan Yuridis Tentang Hak Waris Anak Angkat
Antar Warga Negara Indonesia Berdasarkan KUH Perdata Dan
Hukum Adat Menurut Hukum Indonesia khususnya Di Jawa Yang
Menganut Sifat Kekeluargaan Parental
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka alasan
pemilihan judul dari penyusun adalah untuk mengetahui persyaratan
sahnya anak angkat dan untuk mengetahui pengaturan mengenai hak harta
warisan bagi anak angkat antar Warga Negara Indonesia berdasakan KUH
Perdata dan Hukum Adat di Indonesia khususnya yang menganut sifat
kekeluargaan Parental.
Karena dalam masyarakat tidak setiap keluarga mempunyai keturunan
sendiri sehingga tidak dapat meneruskan keturunan, maka sebagai salah
satu alternatifnya dengan mengangkat anak (adopsi). Dan apabila
seseorang itu meninggal dunia, maka anak angkat berhak mewaris atas
harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya. Pengaturan
tersebut sebagai pedoman seseorang dalam memberikan bagian pada
setiap ahli waris, sehingga menciptakan ketertiban dalam pelaksanaannya

Dalam uraian tersebut di atas,membahas mengenai pengaturan hak


harta warisan bagi anak angkat antar Warga Negara Indonesia saja, yang
berarti bahwa orang tua angkat dan anak angkat adalah Warga Negara
Indonesia.
Karena apabila membahas mengenai pengaturan hak harta warisan
bagi anak angkat dimana orang tua angkat adalah Warga Negara Indonesia
adalah Warga Negara Asing atau orang tua angkat adalah Warga Negara
Asng dan anak angkat adalah Warga Negara Indonesia, maka
pembahasannya terlalu luas, sehingga mempersulit penyusun dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini

Dari judul tersebut judul atas, khusus meninjau berdasarkan KUH


Perdata dan Hukum Adat di Indonesia, karena keduanya juga mengatur
mengenai warisan
Berdasarkan KUH Perdata menunjuk pada Hukum Perdata yang
tertulis, sebab hanya merupakan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
daerah tertentu saja.
Pengaturan hak harta warisan bagi anak angkat antar Warga Negara
Indonesia menurut Hukum Adat di Indonesia, khususnya di Jawa tang
menganut sifat kekeluargaan Parental, karena sifat tersebut dirasakan
lebih obyektif dan adil sebab memperhatikan sifat kekeluargaan baik dari
garis ayah maupun garis ibu. Kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan adalah sama dan sejajar dalam memperoleh hak harta warisan
dari orang tua angkatnya.

Mengingat banyaknya masalah dan sempitnya waktu yang ada serta


terbatasnya kemampuan penyusun, maka penyusun membatasi masalah
mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk syahnya anak angkat
serta pengaturan hak harta warisan bagi anak angkat antar Warga Negara
Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di Indonesia
khususnya di Jawa yang menganut sifat kekeluargaan Parental?

B. Perumusan Masalah
Dalam suatu penelitian perumusan masalah merupakan bagian yang
sangat penting, agar suatu penelitian dapat mencapai tujuan yang dikehendaki,
maka rumusan masalah yang penyusun kemukakan adalah mengingat
pentingnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk syahnya anak angkat antar
Warga Negara Indonesia baik berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di
Indonesia, agar dapat disahkan oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pentingnya
pengaturan hak harta warisan pada anak angkat agar dapat menjamin dan
mencipkan serta keadilan dalam masyarakat.

Setelah memperoleh data-data untuk penyusun analisa, maka hasilnya


dipergunakan untuk menjawab perumusan masalah yang penyusun
kemukakan. Berdasarkan atas latar belakang masalah tersebut di atas, maka
1. Bagaimana persyaratan yang harus dipenuhi untuk syahnya anak angkat
antar Warga Negara Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat
di Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan hak harta warisan bagi Anak Angkat Antar warga
Negara Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di
Indonesia khususnya di Jawa yang menganut sifat kekeluargaan Parental?

A. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat


berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di Indonesia
1. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk Sahnya Anak Angkat berdasarkan
KUH Perdata
Lembaga Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi) sebagai Lembaga
Hukum, yang mempunyai tugas untuk melaksanakan terciptanya hak dan
kewajiban sebagai akibat pengangkatan anak (adopsi) sebagai suatu
perbuatan hukum. Artinya perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban
baik oleh orang yang mengangkat dan anak yang diangkat.

Dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban secara baik, dapat


menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu dari pihak
orang tua yang mengangkat maupun anak yang diangkat harus memenuhi
persyaratan tertentu, yang hal ini akan dapat mendukung pelaksanaan
fungsi yang dilakukan oleh Lembaga Pengangkatan Anak (Lembaga
Adopsi).

Dalam KUH Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga


Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi) sehingga Pemerintah Hindia
Belanda membuat aturan tersendiri mengenai pengangkatan anak (adopsi)
dalam Staatsblad 1917 No. 129.
Bahwa persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya anak angkat
diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Staatsblad 1917 No. 129,
yang isinya sebagai berikut:
a) Persetujuan dari orang atau orang-orang yang mengadopsi (Pasal 8
ayat (1) Staatsblad 1917 No. 129).
b) 1. Dalam hal yang diadopsi adalah seorang anak sah, maka
diperlukan izin orang tua itu (Pasal 8 ayat (2) huruf (a) Staatsblad
1917 No. 129).

2. Dalam hal orang yang diadopsi adalah seorang anak diluar


perkawinan, diperlukan persetujuan dari orang tuanya (Pasal 8 ayat
(2) huruf (b) Staatsblad 1917 No. 129).

3. Persetujuan dari orang yang diadopsi, jika ia telah mencapai usia


sudah berusia 15 (lima belas) tahun (Pasal 8 ayat (3) Staatsblad
1917 No. 129).

4. Dalam hal adopsi oleh seorang janda, seperti dimaksud


dalamPasal 5 ayat (3), persetujuan dari kakak-kakak yang telah
dewasa dan dari ayah (suami) yang telah meninggal dunia. (Pasal 8
ayat (4) Staatsblad 1917 No. 129).
Persetujuan yang termaktub dalam syarat ke empat di atas, dapat
diganti dengan surat izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman
janda yang ingin mengangkat anak (mengadposi) tadi.

c) 1. Persetujuan dari orang-orang tersebut pada nomer 4 pasal dimuka,


asal bukan ayah atau wali dari orang yang diadopsi, dapat diganti
dengan suatu kuasa dari raad van justitie, dalam daerah hukum
mana si janda yang ingin mengadopsi bertempat tinggal (Pasal 9
ayat (1) Staatsblad 1917 No. 129).

2. Atas permohonan dari janda itu, raad van justitie akan


memutuskan tanpa suatu bentuk acara tertentu tanpa sarana hukum
untuk naik lebih tinggi sesudah mendengar atau memanggil dengan
cukup orang-orang yang persetujuannya diharuskan dan orang-
orang lain yang menurut raad van justitie dipandang perlu (Pasal 9
ayat (2) Staatsblad 1917 No. 129).
3. Bila orang-orang yang akan didengar bertempat tinggal di luar
daerah, dimana raad van justitie bersidang, maka raad van justitie
dapat melimpahkan pendengaran terhadap orang-orang itu kepada
kepala daerah setempat, pejabat mana akan mengirim berita acara
yang ia buat tentang hal itu kepada raad van justitie (Pasal 9 ayat
(3) Staatsblad 1917 No. 129).

4. Ketentuan dalam pasal 334 Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda, berlaku
dalam hubungan dengan orang-orang yang di sini akan didengar
(Pasal 9 ayat (4) Staatsblad 1917 No. 129).

5. Kuasa dari raad van justitie itu harus disebut dalam akta adopsi
(Pasal 9 ayat (5) Staatsblad 1917 No. 129).

d) Adopsi hanya dapat terjadi dengan akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)
Staatsblad 1917 No. 129).

e) Para pihak menghadap di depan Notaris secara pribadi atau diwakili


oleh kuasanya dengan suatu akta Notaris khusus (Pasal 10 ayat (2)
Staatsblad 1917 No. 129).

f) Orang-orang tersebut pada nomor 4 Pasal 8 kecuaali mereka yang


memberikan adopsi sebagai ayah atau wali dari orang yang akan
diadopsi, dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri memberikan
persetujuannya dengan suatu akta Notaris, keadaan mana harus disebut
dalam akta adopsi dapat memberikan persetujuannya juga dengan akta
(Pasal 10 ayat (3) Staatsblad 1917 No. 129).

g) Setiap orang yang berkepentingan dapat menuntut agar adopsi itu


dicatat pada bagian pinggir (margin) dari akta kelahiran orang yang
diadopsi (Pasal 10 ayat (4) Staatsblad 1917 No. 129).
h) Akan tetapi tidak adanya catatan dari suatu adopsi pada bagian
pinggir akta kelahiran tidak dapat dipergunakan terhadap anak yang
diadopsi untuk membantah kedudukan yang telah diperolehnya (Pasal
10 ayat (5) Staatsblad 1917 No. 129).

Untuk sahnya anak angkat yang mendasarkan pada Penetapan


Pengadilan Negeri setempat, orang tua angkat mengajukan Permohonan
Pengesahan anak angkat (adopsi) kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat dengan memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
(1) akte kelahiran dari anak yang diangkat
(2) akte perkawinan/surat nikah dari orang tua kandung
(3) akte perkawinan/surat nikah orang tua angkat
(4) surat keterangan pekerjaan/penghasilan orang tua angkat
(5) surat perjanjian penyerahan anak dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat disaksikan oleh dua orang saksi dan diketahui oleh Kepala
Desa/Kepala Lingkungan (Djaja S. Meliala,1982:18).

Pembatalan suatu pengangkatan anak (adopsi) diatur dalam Pasal 15


Staatsblad 1917 No. 129 yang menentukan bahwa suatu pengangkatan
anak (adopsi) tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri.
Kemudian pengangkatan anak (adopsi) anak perempuan atau
pengangkatan anak (adopsi) secara lain daripada akte Notaris, adalah batal
dengan sendirinya (Muderis Zaini,1995:37).

2. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat berdasarkan


Hukum Adat di Indonesia
Menurut Hukum Adat, pengangkatan anak merupakan suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sedemikian
rupa sehingga antara orang yang memungut dan anak yang dipungut itu
timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara
orang tua dengan anak kandungnya sendiri (Soerojo Wignjodipoero,
1967:117-118).
Anak angkat adalah seseorang yang diambil anak atau dijadikan anak
oleh orang lain sebagai anaknya (B. Bastian Tafal, 1989:5).

Dalam hukum adat, tidak tercantum secara tegas aturan mengenai


pengangkatan anak, mengingat Hukum Adat adalah Hukum yang tidak
tertulis. Namun dalam kenyataannya, menunjukkan bahwa dalam
pengangkatan anak yang diangkat anak adalah seorang yang masih
berstatus sebagai anak dengan tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan.

Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat cukup dilakukan secara


terang/tunai, dilihat oleh masyarakat apakah anak itu diperlakukan seperti
anak kandung atau tidak. Kemudian diadakan upacara adat sehingga anak
tersebut sah menjadi anak angkat. Walaupun dalam praktek kadang-
kadang dimintakan Penetapan ke Pengadilan Negeri. Pengangkatan Anak
ini pada umumnya, terjadi di Nias, Gayo. Lampung, Bali, Jawa serta
Sulawesi (Djaja S. Melialia,1982:9).

Namun demikian, untuk sahnya anak angkat yang ada kepentingan


lebih luas yang mendasarkan pada Penetapan Pengadilan Negeri setempat,
setelah orang tua angkat mengajukan Permohonan Pengesahan anak
angkat kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut: (Djaja S. Meliala,1982:18)
a) akte kelahiran anak yang diangkat
b) akte perkawinan/surat nikah dari orang tua kandung
c) akte perkawinan/surat nikah orang tua angkat
d) surat keterangan pekerjaan/penghasilan orang tua angkat
e) surat perjanjian penyerahan anak dari orang tua kandung kepada orang
tua angkat disaksikan oleh dua orang saksi dan diketahui oleh Kepala
Desa/Kepala Lingkungan

Di Jawa, sulawesi dan beberapa daerah lainnya, sering mengangkat


keponakan menjadi anak kandung. Pengangkatan anak dari kalangan
keponakan itu sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan
kekeluargaan (dalam pengertian yang luas) dalam lingkungan keluarga.
Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran-
pembayaran uang ataupun penyerahan-penyerahan suatu barang kepada
orang tua anak yang bersangkutan pada hakikatnya masih saudara sendiri
dari orang yang memungut anak. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai
tanda kelihatan, bahwa hubungan antara anak dengan orang tuanya telah
diputuskan (pedot), kepada orang tua anak yang bersangkutan diserahkan
sebagai syarat (magis) uang sejumlah rongwang segobang (=17½ sen)
(Soerojo Wignjodipoero, 1967:119).

Di Jawa tengah, Hukum Adat sendiri tidak memberikan ketentuan


tentang tata cara mengangkat anak. Pada umumnya, kebiasaan yang
dilakukan ialah adanya persetujuan kedua belah pihak antara orang tua
kandung dengan orang tua yang akan mengangkat anak, kemudian mereka
pergi ke balai desa untuk memberitahukan maksud mereka dan Kepala
Desa membuatkan surat pernyataan penyerahan anak yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak (yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan
cukup dengan membubuhkan cap jempol).
Surat pernyataan itu ikut ditandatangani oleh para saksi dan diketahui
oleh Kepala Desa dan Camat. Di hadapan Kepala desa dan stafnya terjadi
serah terima anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. Setelah
serah terima, diadakan selamatan (Jawa: Kenduren, Temanggung:
Brokohan) dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dari
orang tua angkat. Selamatan diadakan di rumah orang tua angkat dengan
dibacakan doa selamat terlebih dahulu atas pengangkatan anak tersebut.
Dengan terjadinya pengangkatan anak, maka terjalinlah hubungan
antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti hubungan orang tua
kandung dengan anak kandung. Orang tua memelihara dan mendidik si
anak dengan kasih sayang seperti anak kandung sendiri dan si anak
mentaati dan menghormati si orang tua angkat selaku orang tua
kandungnya sendiri pula. Ada yang mengatakan, bahwa dengan demikian
hubungan anak angkat dengan orang tua kandung menjadi terputus.
Di Jawa Barat tidak ada suatu upacara tertentu yang harus dilakukan
untuk pengangkatan anak. Yang pokok ialah harus ada persetujuan orang
tua angkat satu sama lain dengan orang tua kandung. Pelaksanaannya
biasanya dihadiri oleh keluarga dekat (B. Bastian Tafal, 1989:72-73).

Dari beberapa data dan pengertian tersebut diatas maka mengenai


persyaratan untuk pengangkatan anak dapat dikatakan sah dan diakui
dalam masyarakat, maka pada hemat penyusun adalah sebagai berikut:

Persyaratan pengangkatan anak angkat, sangat penting dipenuhi untuk


menentukan keabsahan pengangkatan anak (adopsi).Yang berarti sah
menurut hukum yang akan dipertanggungjawabkan mengenai hak dan
kewajiban baik bagi orang tua kandung, orang tua angkat maupun anak
angkat.

Menurut ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, tidak mengatur


mengenai pengangkatan anak (adopsi) persyaratan yang harus dipenuhi
untuk sahnya anak angkat berdasarkan KUH Perdata ternyata tidak ada,
namun karena diakui arti pentingnya pengangkatan anak (adopsi) maka
diatur dalam Staastsblad 1917 No.129, yaitu dalam Pasal 8 sampai dengan
Pasal 10 yang berlaku bagi anak laki-laki golongan Tionghoa sedang
dalam perkembangannya, pengangkatan terhadap anak perempuan dapat
diperlakukan dengan bersumber dari Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Pengadilan Negeri Jakarta tgl. 26 Mei 1963 No. 907/1963
P. yo.Pengadilan Negeri Jakarta tgl. 17 Oktober 1963 No.588/63G).

Pengaturan persyaratan untuk sahnya anak angkat menurut Hukum


Adat berlaku ketentuan tidak tertulis, yang sifatnya hanya sebagai
kebiasaan yang tidak tertulis. Misalnya ada serah terima dari orang tua
kandung kepada orang tua angkatnya kemudian diadakan upacara adat
(selamatan) dengan dihadiri keluarga terdekat.
Namun keberadaan Hukum Adat tetap diakui dan dipertahankan dalam
masyarakat sehingga berlaku di daerah adatnya masing-masing.

Dalam Hukum Adat, pengangkatan anak tidak membedakan antara


anak laki-laki dan perempuan

Baik berdasarkan KUH Perdata maupun Hukum Adat persyaratan


yang harus dipenuhi agar supaya pengangkatan anak itu disahkan oleh
Pengadilan antara lain akte kelahiran anak yang diangkat, akte
perkawinan/surat nikah dari orang tua kandung dan orang tua angkat, surat
perjanjian penyerahan anak dari orang tua kandung kepada orang tua
angkat dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan diketahui oleh Kepala
Desa/Kepala Lingkungan.

Dalam pemeriksaan Pengadilan memerlukan 2 (dua) orang saksi untuk


memberikan kesaksian atas kebenaran surat-surat yang diajukan tersebut
diatas. Bila keterangan-keterangan ini sudah benar, akhirnya ditetapkan
oleh Pengadilan Negeri bahwa anak itu telah diangkat secara sah menurut
hukum.

B. Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat berdasarkan KUH


Perdata dan Hukum Adat di Indonesia khususnya di Jawa yang
Menganut Sifat Kekeluargaan Parental
1. Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat Antar Warga Negara
Indonesia berdasarkan KUH Perdata
Hukum Waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diatur
dalam Buku II tentang Benda, karena hak mewaris diidentikkan dengan
hak kebendaan seperti yang diatur dalam Pasal 528 KUH Perdata, dan hak
mewaris adalah salah satu cara untuk memperoleh hak harta kebendaan
yang dirumuskan dalam Pasal 584 KUH Perdata. Surini Ahlan dan Nurul
Elmiyah,2005:9)
Hukum Waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang
mengatur tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup (Mohd Idris Ramulyo,
1993:43).

Dalam hal pewarisan, ada beberapa prinsip umum ialah: (Surini Ahlan
dan Nurul Elmiyah,2005:15)
a) Pada asasnya, yang dapat beralih kepada ahli waris ialah hak dan
kewajiban dalam hukum harta kekayaan saja.

b) Bahwa dengan meninggalnya seseorang, seketika itu segala hak dan


kewajiban Pewaris beralih kepada ahli warisnya

c) Pada asasnya, harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan


tidak terbagi.

d) Yang berhak mewaris, pada dasarnya adalah keluarga sedarah dengan


pewaris.

e) Pada asasnya, seorang bayi yang baru lahirpun cakap mewaris.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku suatu asas,


bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
Dengan demikian, dalam Hukum Waris, hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja yang dapat
diwariskan. (Subekti, 1984:95-96).

Hak dan kewajiban yang dapat diwariskan di beidang harta kekayaan


misalnya:
(1) Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak, ternyata dapat
dilanjutkan oleh para ahli warisnya, sebagaimana diantur dalam
Pasal 277 jo. Pasal 259 KUH Perdata
(2) Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dialnjutkan oleh
para ahli warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak
yang menuntut keabsahan yang sementara perkaranya berlangsung
telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur dalam Pasal 269, 270,
dan Pasal 271 KUH Perdata, secara garis besar menetapkan bahwa
seorang anak dapat mewujudkan tuntutan agar ia oleh Pengadilan
Negeri dnyatakan sebagai anak sah.
Terhadap ketentuan tersebut di atas,ternyata ada juga hak dan
kewajiban di bidang hukum kekayaan yang tidak beralih, misalnya:
(a) Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum
kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang
kaitannya sangat erat dengan Pewaris,
Contoh: hubungan kerja pelukis, pematung, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1601 dan Pasal 1318 KUH Perdata.

(b) Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam Pasal


1646 ayat (4) KUH Perdata.

(c) Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya orang yang


memberi kuasa, diatur dalam Pasal 1813 KUH Peradata.

(d) Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang
di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir
dengan meninggalnya si anak, diatur dalamPasal 314 KUH Perdata.

(e) Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki
hak tersebut, diatur dalam Pasal 807 KUH Perdata. (Surini Ahlan
dan Nurul Elmiyah,2005:8)

Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh


orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari
yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua utangnya (Ali
Afandi,1997:7)
Suatu proses pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi 3 (tiga)
persyaratan, yaitu : (Surini Ahlan Nurul Elmiyah, 2005:14):
i) Ada orang yang meninggal dunia

ii) Untuk dapat memperoleh harta peninggalan, seorang ahli waris harus
hidup saat pewaris meninggal dunia.
iii) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi


kelonggaran oleh Undang-Undang untuk selanjutnya menentukan sikap
terhadap suatu warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir selama 4
(empat) bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerima
atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan secara
beneficiar yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan
menolak warisan (Eman Suparman,1991:27-29).

Dalam hal mewaris yang kedudukannya diatur dalam KUH Perdata,


yaitu dengan meninggalnya seseorang yang meningalkan harta dan
meninggalkan ahli waris, maka ada ahli waris yang mewaris berdasarkan
kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed) dan mewaris berdasarkan
penggantian (representatie atau bij plaatsvervulling) yaitu: (Mohd Idris
Ramulyo, 1993:21-22)
1. Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen
hoofed) atau mewaris secara langsung.
Ahli warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris
berdasarkan haknya/kedudukannya sendiri.
Misalnya: jika ayah meninggal dunia, maka sekalian anak-anaknya
tampil sebagai ahli waris.

Mengenai ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ini,


KUH Perdata menggolongkannya sebagai berikut:
a) Golongan pertama
Berdasarkan Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH Perdata,
bahwa:
“Ahli waris yang termasuk golongan pertama yaitu suami atau
istri yang hidup terlama, anak-anak beserta keturunanya dalam
garis lencang ke bawah baik sah maupun atau tidak sah, dengan
tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan dengan tidak
membedakan urutan kelahiran, mereka itu menyingkirkan lain-lain
anggota keluarga dalam garis lencang ke atas dalam garis ke
samping meskipun mungkin di antara anggota-anggota keluarga
yang belakangan ini, ada yang derajadnya lebih dekat dengan si
meninggal” (R. Subekti, 1984:99).

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-


Undang tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan
perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, namun ada
ketentuan bahwa apabila ahli waris golongan pertama masih ada
maka akan menutup hak waris anggota keluarga yang lain dalam
garis lurus ke atas maupun ke samping.

b) Golongan kedua
Orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya
kedua orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris
tetapi ada jaminan dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari
seperempat harta peninggalan (Pasal 854 KUH Perdata).

c) Golongan Ketiga
Dalam hal tidak terdapat golongan pertama dan kedua, maka
harta peninggalan harus dibagi dua lebih dahulu (kloving),
setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, setengah lagi
untuk kakek-nenek pihak ibu (Pasal 853 dan Pasal 855 KUH
Perdata).

d) Golongan Keempat
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai
derajad ke enam (Pasal 858 jo. 861 KUH Perdata).
2. Mewaris berdasarkan Penggantian (representatie atau bij
plaatsvervulling) dalam hal ini disebut ahli waris tidak langsung.
Mewaris berdasarkan penggantian, yakni pewarisan di mana ahli
waris yang mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima
warisan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari Pewaris.
Misalnya A meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C,
tetapi B telah meninggal terlebih dahulu dari A (Pewaris). B punya
anak D dan E, maka D dan E inilah yang tampil sebagai ahli waris A
yang menggantikan B (cucu mewaris dari kakek/nenek).

KUH Perdata memperinci ahli waris berdasarkan penggantian


sebagai berikut:
(1) Penggantian dalam garis lencang ke bawah.
Setiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh
sekalian cucu atau anak-anaknya Pewaris. Dalam hal semua anak
ahli waris yang dalam kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed)
ternyata onwaardig onterfd, maka sekalian cucu-pewaris tampil
dalam kedudukannya sendiri, karena dalam penggantian berlaku
ketentuan Pasal 848 KUH Perdata yang berbunyi hanya orang-
orang yang telah mati saja yang dapat digantikan.

(2) Penggantian dalam garis ke samping (zijlinie)


Setiap saudara kandung atau saudara tiri yang meninggal
terlebih dahulu digantikan oleh sekalian anaknya.

(3) Penggantian dalam garis samping juga melibatkan penggantian


anggota-anggota keluarga yang lebih jauh.
Misal: paman/keponakan, jika meninggal terlebih dahulu
digantikan oleh keturunannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa anak angkat termasuk dalam ahli waris yang mewaris
berdasarkan kedudukannya sendiri pada golongan pertama, yang diatur
dalam Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH perdata, dimana
kedudukan anak angkat diipersamakan dengan anak kandung.
Sehingga anak angkat juga berhak mewaris atas harta peninggalan
orang tua angkatnya serta menutup hak ahli waris lainnya.

Dalam penulisan hukum ini penyusun membatasi dalam pengaturan


hak harta warisan bagi anak angkat antar warga negara Indonesia saja
dimana antara orang tua angkat dan anak yang diangkat adalah Warga
Negara Indonesia

b) Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat berdasarkan Hukum


Adat di Indonesia khususnya di Jawa yang menganut sifat kekeluargaan
Parental
Hukum Adat Waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang
bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan
selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan
immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya (Soerojo
Wignjodipoero, 1967:161).

Hukum Waris berkaitan dengan proses pengalihan harta peninggalan


dari seseorang (pewaris) kepada ahli warisnya, berkaitan dengan hal
tersebut Soepomo menyatakan bahwa:
“Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak berwujud benda (immateriele goderen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai
dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut
oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau
ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi
sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”(Soerjono
Soekanto, 2005:259).

Dalam Hukum Adat, Harta warisan adalah harta keluarga yang


meliputi (Soerjono Soekanto, 2002:277):
(a) Harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat
yang dibawa dalam keluarga

(b) Usaha suami atau istri yang diperoleh sebelum dan sesudah
perkawinan

(c) Harta yang merupakan hadiah kepada suami istri pada waktu
perkawinan

(d) Harta yang merupakan usaha suami istri dalam masa perkawinan

Proses meneruskan dan mengalihkan barang-barang harta keluarga


kepada anak-anak, mungkin dimulai selagi orang tua masih hidup. Untuk
memperjelas pendapatnya tersebut, Soepomo mengambil contoh suatu
keluarga di Jawa, keluarga mana terdiri dari dua anak laki-laki dan dua
anak perempuan. Oleh karena anak laki-laki tertua telah dewasa dan cakap
bekerja atau kuwat gawe, maka ayahnya memberikan sebidang sawah,
pemberian mana dilakukan di hadapan Kepala Desa. Anak kedua yang
adalah anak perempuan, pada saat dinikahkan diberi sebuah rumah.
Menurut Soepomo, maka pemberian tersebut bersifat mutlak dan
merupakan pewarisan (toescheiding) sehingga terjadi pengalihan harta
benda di dalam lingkungan keluarga sendiri.
Saat terjadinya pengalihan harta waris terjadi, mungkin pada saat
pewaris masih hidup. Akan tetapi proses semacam itu sangat cenderung
terjadi pada masyarakat-masyarakat yang menganut sistem kewarisan
individual yaitu terjadi di Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain. (Soerjono
Soekanto, 2002:270).

Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap


penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.
Hukum Adat Waris mengenal adanya 3 (tiga) sistem kewarisan yaitu:
(Soerjono Soekanto, 2002:260)
(1) Sistem Kewarisan Individual
Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan
dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya Batak,
Jawa, Sulawesi dan lain-lain.

(2) Sistem Kewarisan Kolektif


Sistem kewarisan kolektif, merupakan sistem pewarisan dimana
para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta
peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya pada masing-
masing ahli waris, hal ini terjadi di Minangkabau.

(3) Sistem Kewarisan Mayorat


Dalam sistem kewarisan mayorat dibedakan menjadi 2 (dua)
sistem yaitu:
(a) Mayorat Laki-laki
Mayorat laki-laki yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat
pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-
laki) yang merupakan ahli waris tunggal, seperti di Lampung.

(b) Mayorat Perempuan


Mayorat perempuan yaitu apabila anak perempuan tertua pada
saat pewaris meninggal adalah ahli waris tunggal, misalnya pada
masyarakat di Tanah Semendo.

Menurut Hukum Adat untuk menentukan mengenai siapa yang


menurut hukum berhak mendapatkan hak harta warisan maka digunakan 2
(dua) macam garis pokok yaitu: (Soerjono Soekanto, 2002:261)
1. Garis Pokok Keutamaan
Garis pokok keutamaan yaitu garis hukum yang menentukan urutan-
urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris.
Dari garis pokok keutamaan tersebut, maka orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut:
a) Kelompok Keutamaan I : keturunan pewaris
b) Kelompok Keutamaan II : orang tua pewaris
c) Kelompok Keutamaan III : saudara-saudara pewaris
d) Kelompok Keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris

2. Garis Pokok Penggantian


Garis pokok penggantian yaitu garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan
tertentu sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris
yaitu:
a) Orang-orang yang tidak mempunyai penghubung dengan
pewaris

b) Orang-orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris

Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka anak angkat termasuk


ahli waris yang mewaris dalam garis pokok keutamaan yaitu pada
kelompok Keutamaan I. Sehingga bila dalam suatu keluarga ada anak
angkat, maka meniadakan hak waris dari golongan yang lain.

Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis


keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, yang
mungkin merupakan prinsip patrilineal murni, patrilineal beralih-alih atau
(alternerend), matrilineal ataupun (bilateral) walaupun sukar ditegaskan
dimana berlakunya di Indonesia, adapula prinsip unilateral berganda atau
(dubbel-unilateral). Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh
terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang
diwariskan baik yang materiel dan immaterial (Soerjono Soekanto,
2002:259-260).

Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan


yang terdapat di Indonesia, oleh karena itu pokok pangkal uraian tentang
Hukum Waris Adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat susunan
kekeluargaan yang terdapat di Indonesia, yaitu:
(1) Sifat Susunan Kekeluargaan Patrilineal
Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal mengikuti pada
garis ke-bapakan, kedudukan anak laki-laki lebih tinggi daripada
anak perempuan. (Niken Candrawati Asih Widiati, 2000:27).

Dalam sifat susunaan kekeluargaan ini kedudukan dan pengaruh


pihak laki-laki dalam Hukum Waris sangat menonjol. (Eman
Suparman, 1991:35).

(2) Sifat Susunan Kekeluargaan Matrilineal


Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal mengikuti pada
garis ke-ibuan yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-
laki dan saudara perempuan nenek beserta saudara-saudaranya baik
laki-laki maupun perempuan. Hal ini terutama terjadi di
Minangkabau.
Dalam sistem ini semua anak-anaknya, hanya dapat menjadi ahli
waris dari ibunya sendiri.

Harta Warisan menurut Hukum Waris Adat yang menganut


sifat susunan kekeluargaan Matrilineal terdiri dari: (Eman
Suparman, 1991: 45-47)
(a) Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi yaitu harta turun temurun dari beberapa
generasi, yakni harta tua yang diwarisi turun temurun dari
mamak kepada kemenakan, maupun, yakni harta yang diperoleh
dari hasil harta tua, kedua jenis harta ini akan jatuh kepada
kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada anak.

(b) Harta Pusaka Rendah


Harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu
generasi.
(c) Harta Pencaharian
Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan melalui
pembelian atau taruko.

(d) Harta Suarang


Harta suarang yaitu seluruh harta benda yang diperoleh
secara bersama-sama oleh suami-istri selama masa perkawinan,
kecuali harta bawaan suami atau harta tepatan istri yang telah ada
sebelum perkawinan berlangsung.

(1) Sifat Susunan Kekeluargaan Parental


Dalam sifat susunan kekeluargaan parental mengikuti pada
garis ke-ibu-bapakan, hal ini terjadi di Jawa, Madura, Sumatera
timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh
sulawesi, Ternate dan Lombok.

Dari sekian banyak daerah yang menganut sifat susunan


kekeluargaan Parental, dalam penulisan hukum ini penyusun hanya
membatasi pada sifat kekeluargaan Parental di Jawa Tengah dan
Jawa Barat.

Di dalam sifat susunan kekeluargaan parental ini kedudukan


anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak yang sama atas
harta peninggalan orang tuanya sehingga dalam proses
pengalihan/pengoperan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada
ahli waris, baik anak laki-laki maupun anak perempuan diperlakukan
sama.

Harta warisan menurut Hukum Waris Adat yang menganut sifat


susunan kekeluargaan Parental terdiri dari: (Eman Suparman, 1991:
53-54)
i) Harta Asal
Harta asal adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh
seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan
dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.

ii) Harta Bersama


Harta bersama atau gono-gini adalah harta kekayaan yang
dimiliki oleh suami istri yang diperoleh selama perkawinan.

Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat dalam Hukum


Adat, ditentukan berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang
diberlakukan di daerah masing-masing. antara lain: (Djaja S. Meliala,
1982:21-22)
(1) Hukum Adat di Bandung
Menurut Adat di daerah Priangan, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung, tgl. 24-5-1958 No. 82K/Sip/1957 maka seorang
anak angkat tidak dapat mewarisi barang-barang pusaka (asli) itu
hanya dapat diwaris oleh ahli waris keturunan darah (dalam perkara ini
saudara-saudara dari yang meninggal).

(2) Hukum Adat di daerah Surakarta


Menurut Hukum Adat di Jawa tengah, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung tgl. 4-7-1961 No. 384K/Sip/1961 maka, seorang
anak angkat tidak berhak atas barang tinggalan orang tua angkatnya
yang bukan gono-gini. Yurisprudensi Mahkamah Agung di atas
diterapkan pula antara lain dalam Putusan Mahkamah Agung tgl. 15-7-
1959, No. 182K/Sip/ 1959 mengenai perkara di daerah Bojonegoro;
Putusan tgl. 18-3-1959 No. 37K/Sip/1959 mengenai perkara dari
daerah Bojonegoro.

(3) Hukum Adat di Temanggung


Menurut Adat di daerah Temanggung, berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung, tgl. 25-9-1969 No. 679K/Sip/1968, maka seorang
anak angkat berhak mewarisi barang asal orang tua angkatnya yang
diperoleh karena usahanya sendiri, dengan tidak perlu dibagi dengan
(mengikutsertakan) ahli-ahli waris ke samping.

(4) Hukum Adat di Klaten


Menurut Hukum Adat yang berlaku di daerah Klaten, berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972
maka seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua
angkatnya sedemikian rupa, sehingga ia menutup hak waris pada
saudara orang tua angkatnya.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pengaturan


mengenai Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat khususnya di Jawa
yang menganut sifat kekeluargaan Parental yaitu di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Barat, anak angkat hanya berhak mewaris atas harta
gono-gini dari orang tua angkatnya dan tidak berhak atas barang
pusaka (asli) orang tua angkatnya.

Kedudukan anak angkat di Jawa Barat, dipandang sebagai anak


kandung. Berdasarkan penemuannya, Soepomo mengemukakan bahwa
di seluruh wilayah hukum orang tua angkat menganggap dirinya wajib
mengusahakan supaya setelah ia meninggal dunia anak angkatnya
tidak terlantar.
Hal itulah yang melatarbelakangi masyarakat Jawa Barat
memandang apakah anak angkat patut menerima bagian dari harta
peninggalan orang tua angkatnya atau tidak patut menerima bagian
dari harta peninggalan orang tua angkatnya.
Menurut Ter Haar, mengenai Hukum Waris anak angkat tetap
berhak atas harta warisan orang tua kandungnya (Otje Salman,
1993:53).

Apabila anak itu berasal dari keluarga dekat, maka hubungan anak
angkat dengan orang tua kandungnya tetap tidak putus malahan bila
telah dewasa terkadang kembali lagi kepada orang tua kandungnya itu
(B. Bastian Tafal,1989:64).

Hubungan anak dengan orang tuanya pada masyarakat di Jawa


Barat mempunyai hubungan yang sangat dekat baik dalam hak dan
kewajban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk
mengawinkan, maupun perhubungan dalam Hukum Waris.
(Otje Salman, 1993:50).

Menurut DjojodigoenoTirtowinata, di Jawa Tengah anak angkat


menerima harta dari dua sumber yang mana anak angkat menerima
harta peninggalan dari orang tua angkatnya dan menerima harta
peninggalan orang tua kandungnya (Otje Salman, 1993:30).

Justru berhubung dengan disamakan atau hampir disamakan anak


angkat dengan anak kandung ini, maka para Hakim harus lebih
bijaksana dalam menentukan apakah betul-betul ada terjadi suatu
pengangkatan anak atau hanya pemeliharaan belaka dari seorang anak
orang lain.
Jadi pada hakekatnya, seorang baru dapat dianggap anak angkat
apabila yang mengangkat itu memandang anak itu sebagai
keturunannya sendiri (Wirdjono Prodjodikoro, 1983:38).

Dengan mengambil anak sebagai anak angkat dan memelihara


anak itu hingga menjadi orang dewasa yang baik, maka sudah barang
tentu akan timbul dan berkembanglah hubungan rumah tangga antara
bapak dan ibu angkat di satu pihak, dan anak angkat di lain pihak.
Hubungan rumah tangga ini menimbulkan hak dan kewajiban
antara kedua belah pihak yang mempunyai konsekuensi terhadap harta
benda rumah tangga tersebut yakni anak angkat hanya berhak mewaris
atas harta gono-gini dari orang tua angkatnya dan tidak berhak atas
harta asal orang tua angkatnya (Muderis Zaini, 1995:48).
Dalam Penulisan Hukum ini penyusun hanya membatasi mengenai
Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat khususnya yang
menganut sifat susunaan kekeluargaan Parental. Susunaan
kekeluargaan yang bersifat Parental dirasakan lebih obyektif, sebab
sifatnya memperhatikan sifat kekeluargaan dari garis ibu maupun dari
garis ayah. Jadi tidak hanya menurut keturunan garis ayah saja atau
dari garis keturunan ibu saja.

Sebagai hasil analisa dari beberapa pengertian, pendapat para ahli


serta peraturan perundang-undangan, maka pengaturan mengenai hak harta
wariasan bagi anak angkat berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat
ada pada hemat penyusun adalah sebagai berikut:

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, harta warisan


adalah sejumlah kekayaan baik yang berupa aktiva maupun passiva yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia yang diteruskan kepada ahli
waris yang berhak menerimanya.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, ahli waris


dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu ahli waris yang mewaris berdasarkan
kedudukannya sendiri dan ahli waris yang mewaris berdasarkan
penggantian.

Berdasarkan KUH Perdata, anak angkat termasuk ahli waris yang


mewaris berdasarkan berdasarkan kedudukannya sendiri dalam golongan
Pertama yang diatur dalam Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH
Perdata, dimana kedudukan anak dipersamakan dengan anak kandung.
Sehingga dengan adanya anak angkat, maka meniadakan hak waris
dari golongan yang lain.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, Hukum


Waris diatur dalam Buku II tentang Benda, sedangkan Ahli waris diatur
dalam Buku I tentang Orang.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Hukum Adat, harta warisan
adalah harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian
kerabat yang dibawa ke dalam keluarga, harta yang merupakan usaha
suami atau istri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan, harta
yang merupakan hadiah kepada suami istri pada waktu perkawinan, serta
harta yang merupakan usaha suami istri dalam masa perkawinan.

Dalam Hukum Adat, yang berhak menjadi ahli waris ada 2 (dua)
macam garis pokok keutamaan yang diatur dalam Kelompok Keutamaan I,
II, III dan IVdan garis pokok penggantian.

Anak angkat termasuk dalam ahli waris yang mewaris berdasarkan


garis pokok keutamaan pada golongan Kelompok Keutamaan I dalam
memperoleh hak harta warisan dari orang tua angkatnya sehingga menutup
hak waris ahli waris lainnya.
Namun hak anak angkat dalam hal warisan tidak sama dengan hak
anak kandung. Karena hak anak angkat dalam perolehan hak harta warisan
hanya pada barang gono gini, sedangkan terhadap harta pusaka tidak
mempunyai hak waris. Sedangkan bagi anak kandung kecuali mempunyai
hak harta warisan dari harta gono-gini juga mempunyai hak harta pusaka.
Hal ini dibuktikan adanya beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung
24-5-1958 No. 82K/Sip/1957 yaitu di daerah Bandung, berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 4-7-1961 No. 384K/Sip/1961 yaitu
di daerah Surakarta, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung, tgl.
25-9-1969 No. 679K/Sip/1968 di daerah Temanggung. berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972.

Dalam Hukum Adat ada 3 (tiga) sistem Kewarisan, ialah sistem


kewarisan Individual, Kolektif dan Mayorat.
Dalam hal ini anak angkat termasuk dalam sistem kewarisan
Individual.
Dalam Hukum Adat yang bertitik tolak dari bentuk masyarakat sistem
kekeluargaan antara lain sifat susunan kekeluargaan Patrilineal,
Matrilineal dan Parental.

Dalam penulisan hukum ini penyusun memilih sifat susunan


kekeluargaan yang bersifat Parental yang dirasakan lebih obyektif, sebab
sifatnya memperhatikan sifat kekeluargaan dari garis ibu maupun dari
garis ayah. Jadi tidak hanya menurut keturunan garis ayah saja atau dari
garis keturunan ibu saja.

Sedang dalam hal pewarisan, dalam suatu masyarakat yang menganut


sifat kekeluaargaan Parental seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat, anak
angkat hanya berhak mewarisi harta gono-gini yaitu harta kekayaan yang
dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh selama perkawinan dari orang
tua angkatnya dan ia tidak berhak mewarisi barang pusaka (asli) dari orang
tua angkatnya. Hal ini berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl.
24-5-1958 No. 82K/Sip/1957 yaitu di daerah Bandung, berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 4-7-1961 No. 384K/Sip/1961 yaitu
di daerah Surakarta, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung, tgl.
25-9-1969 No. 679K/Sip/1968 di daerah Temanggung. berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972.

Dalam Hukum Adat di Jawa Tengah, pada umumnya anak angkat


masih mempunyai orang tua kandung. Meskipun dengan pelaksanaan
pengangkatan anak menimbulkan akibat hukum mengenai warisan, namun
kebanyakan hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya masih
tetap berlangsung dan dalam Hukum Adat sering diistilahkan dengan
“nimbo sumur loro” yang berarti bahwa anak angkat menerima harta
peninggalan dari 2 (dua) sumber yaitu dari orang tua kandung dan orang
tua angkatnya.

Dalam Hukum Adat di Jawa Barat, hubungan anak angkat dengan


orang tua kandung sangat dekat baik hak dan kewajiban memelihara, hak
untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan maupun dalam hal
pewarisan. Anak angkat tetap berhak memperoleh harta peninggalan dari
orang tua kandungnya.
Hal tersebut dimaksudkan agar setelah orang tua angkat meninggal
dunia maka anak angkat tidak akan terlantar.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam bab penutup ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
terhadap hasil penelitian. Setelah penyusun menganalisa data-data yang ada,
maka hasilnya merupakan jawaban atau pemecahan dari rumusan masalah
yang penyusun kemukakan sebagai berikut:
1. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya bagi Anak Angkat
berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di Indonesia
a) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk Sahnya Anak Angkat
berdasarkan KUH Perdata
(1) Dalam KUH Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga
Pengangkatan Anak sehingga Pemerintah Hindia Belanda
membuat aturan tersendiri mengenai pengangkatan anak (adopsi)
dalam Staatsblad 1917 No. 129.
(2) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya anak angkat diatur
dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Staatsblad 1917 No. 129.

b) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat


berdasarkan Hukum Adat di Indonesia
(1) Dalam Hukum Adat pengangkatan anak dilakukan dalam
masyarakat tertentu dan hanya merupakan kebiasaan yang tidak
tertulis.

(2) Pengangkatan anak dalam Hukum Adat dilakukan secara


terang/tunai, terlihat oleh anak yang diangkat diperlakukan seperti
anak kandung, dengan didahului upacara adat setempat.

(3) Dalam hal mengajukan Permohonan Pengesahan Pengangkatan


anak ke Pengadilan Negeri setempat perlu dilampirkan surat-surat
antara lain akte kelahiran anak yang diangkat, akte
perkawinan/surat nikah dari orang tua kandung dan orang tua
angkat, surat perjanjian penyerahan anak dari orang tua kandung
kepada orang tua angkat dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
dan diketahui oleh Kepala Desa/Kepala Lingkungan.

2. Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat Antar Warga


Negara Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di
Indonesia khususnya di Jawa yang Menganut Sifat Kekeluargaan
Parental
a) Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat Antar Warga
Negara Indonesia berdasarkan KUH Perdata
Anak angkat termasuk dalam ahli waris pada golongan Pertama,
yang diatur dalam Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH Perdata,
kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung, sehingga
anak angkat juga berhak mewaris atas harta peninggalan orang tua
angkatnya maka menutup ahli waris lainnya.

b) Pengaturan Hak Harta Warisan bagi Anak Angkat berdasarkan Hukum


Adat di Indonesia khususnya di Jawa yang menganut sifat kekeluargaan
Parental
(1) Pengaturan hak harta warisan bagi anak angkat yang menganut sifat
kekeluargaan Parental, kedudukan anak angkat laki-laki dan anak
angkat perempuan sama dan sejajar dalam memperoleh harta
warisan

(2) Bagi anak angkat khususnya di Jawa yang menganut sifat


kekeluargaan Parental (di Jawa Tengah dan Jawa Barat) diatur
berdasarkan Yurisprudensi.

(3) Anak angkat hanya berhak mewaris atas harta gono-gini orang tua
angkatnya saja. Sehingga anak angkat tidak berhak atas barang pusaka
dari orang tua angkatnya.
Hal tersebut berdasarkan pada beberapa Yurisprudensi antara lain:
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl 24-5-1958 No. 82K/Sip/1957,
Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl. 4-7-1961 No. 384K/Sip/1961,
Yurisprudensi Mahkamah Agung, tgl. tgl. 25-9-1969 No.
679K/Sip/1968,
Yurisprudensi Mahkamah Agung, tgl., 2-1-1973 No. 441/K/Sip/1972.

B. Saran-saran
1. Pengangkatan anak (adopsi) hendaknya dibuat Regulasi, agar mempunyai
kekuatan hukum tetap, wajib disahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
setempat.

2. Agar pembagian warisan dari orang tua angkatnya selalu mengingat nilai-
nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Saran-saran tersebut disampaikan dengan harapan dapat menjadi masukan


untuk perbaikan sehingga dapat bermanfaat bagi para pihak dalam tugas-tugas
pelaksanaan pengangkatan anak menuju terciptanya kepastian hukum dalam
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta.
Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
B. Bastian Tafal. 1989. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-
Akibat Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali
Press.
Djaja S. Meliala.1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia. Bandung:
Tarsito.
Eman Suparman. 1991. Inti Sari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Haar B. Ter diIndonesiakan oleh Soebakti Poesponoto. 1999. Asas-Asas Dan
Susunan Hukum Adat. Beginselen en stelsel van het
adatrecht Jakarta: Pradnya Paramita.
Hadari Nawawi dan Mimi Martini. 1995. Penelitian Terapan.Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Irma Setyowati. 1990. Aspek Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.
J.Satrio.1992. Hukum. Waris. Bandung: Alumni.
Mohd. Idris Ramulyo. 1993. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika.
Muderis Zaini. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika.
Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris,
Bandung: Sumur.
R. Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermasa.
dan R. Tjitrosudibyo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Padnya Paramita.
Soedharyo Soimin.1992. Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW. Hukum Islam dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar
Grafika.
. 2000. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta:
UI. Press.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
. dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soerojo Wignjodipoero. 1967. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:
PT. Gunung Agung.
Suhrini Ahlan Sjarif. 1983. Inti Sari Hukum Waris Perdata Barat.Jakarta: Ghalia
Indonesia.
. dan Nurul Elmiyah. 2005. Hukum Warisan Perdata Barat
Jakarta: Kencana.

Penulisan Hukum (Skripsi) Terdahulu


Destri Merryana Atmayanti. 2005. Sinkronisasi Kedudukan Hukum Wanita Dalam
Hukum Waris Islam Menurut Kompilasi Hukum Islam
dan Al-Qur’an dan Hadist. Surakarta: Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Niken Candrawati Asih Widiati. 2000. Studi tentang Pelaksanaan Pengangkatan


Anak di Yayasan Pemeliharaan Anak dan Bayi
Surakarta. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.

Peraturan Perundang-undangan
Staatsblad 1917 No. 129 Tentang Pengangkatan Anak (Adopsi)

Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan


Anak
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006. Tentang
Kewarganegaraan Indonesia

Yurisprudensi
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 24-5-1958 No. 82/K/Sip/1957
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4-7-1961 No.384 /K/Sip/1961
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 25-9-1969 No.679/K/Sip/1968
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2-1-1973 No.441/K/Sip/1972

Surat Edaran Mahkamah Agung


Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1978 Tentang Prosedur
Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh
Orang Asing

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang


Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.
2 Tahun 1979 Perihal Penyempurnaan Pemeriksaan
Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak

Anda mungkin juga menyukai