Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK WARIS ANAK ANGKAT ANTAR

WARGA NEGARA INDONESIA


BERDASARKAN KUH PERDATA DAN HUKUM ADAT DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Desy Nurkristia Tejawati,S.H.,M.Kn

Di susun oleh :
(Kelompok E)
Nopitasari (22300056)
Shafira Marshanda (22300070)
Mario Andreti (22300075)
Rizqi Taqwa Kurniawan (22300057)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat waktu. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Waris, yang pembahasannya mengenai Hukum Waris Perdata.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena
itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang membangun untuk
penyempurnaan makalah kedepannya

Penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Atas
perhatian dan waktunya, kami sampaikan terima kasih.

21 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................I
DAFTAR ISI........................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN....................................................................III
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................
A. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat berdasarkan KUH Perdata dan
Hukum Adat di Indonesia
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSAKA
LAMPIRAN KASUS
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, sehingga


membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah
dewasa manusia mempunyai keinginan untuk dapat membentuk keluarga guna
meneruskan keturunan yaitu dengan melakukan perkawinan.
Namun, dalam kenyataannya tidak semua orang dapat mempunyai keturunan
sehingga timbul suatu usaha untuk dapat memenuhi keinginan tersebut, salah
satunya dengan melakukan pengangkatan anak (adopsi) melalui Lembaga
Pengangkatan Anak
Atau (Lembaga adopsi) yang ada .
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga
Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi), kecuali diatur dalam dalam Staatsblad. 1917
No. 129. khususnya pada pasal 5 sampai dengan Pasal 15, yang pada pokoknya hanya
mengatur pengangkatan anak khusus bagi anak laki-laki golongan Tionghoa. Akan
tetapi sekarang ini, berdasarkan Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tgl.
29 Mei 1963 No. 907/1963 P. yo. Pengadilan Negeri Jakarta tgl. 17 Oktober 1963 No.
588/63G) memperbolehkan pengangkatan terhadap anak perempuan. anak.
Hubungan hukum antara orang tua asal setelah anak diangkat oleh orang
lain menjadi putus, anak tersebut mewaris kepada bapak yang mengangkatnya.
(Soedharyo Soeimin, 1992 (Lembaga Adopsi) yang ada.

:35).

Bahwa menurut Hukum Perdata, untuk menentukan mengenai siapa yang


menurut hukum berhak mendapatkan harta warisan maka secara limitatif diatur
dalam KUH Perdata yaitu: (Mohd Idris Ramulyo, 1993:21-22)

1. Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed)
atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka
sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris.
Mengenai ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri ini, KUH Perdata
menggolongkannya sebagai berikut:

a) Golongan pertama
Berdasarkan Pasal 832 jo.842 jo. Pasal 852 (a) KUH Perdata, bahwa:

“Ahli waris yang termasuk golongan pertama yaitu suami atau istri yang hidup
terlama, anak-anak beserta keturunanya dalam garis lencang ke bawah baik sah
maupun atau tidak sah, dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan dan
dengan tidak membedakan urutan kelahiran, mereka itu menyingkirkan lain-lain
anggota keluarga dalam garis lencang ke atas dalam garis ke samping meskipun
mungkin di antara anggota-anggota keluarga yang belakangan ini, ada yang
derajadnya lebih dekat dengan si meninggal” (R. Subekti, 1984:99).

b) Golongan kedua

Orang tua dan saudara-saudara pewaris; pada asasnya kedua orang tua
disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris tetapi ada jaminan dimana
bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan (Pasal
854 KUH Perdata).

c) Golongan ketiga
Dari Pasal 853 dan Pasal 855 KUH Perdata menentukan dalam hal tidak
terdapat golongan pertama dan kedua, maka harta peninggalan harus dibagi dua
lebih dahulu (kloving), setengah bagian untuk kakek-nenek pihak ayah, setengah
lagi untuk kakek-nenek pihak ibu.

d) Golongan keempat
Sanak keluarga si pewaris dalam garis menyimpang sampai derajad keenam
(Pasal 858 jo. 861 KUH Perdata).

KUH Perdata memperinci ahli waris berdasarkan penggantian sebagai berikut:

a) Penggantian dalam garis lencang ke bawah.


Setiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh sekalian cucu atau
anak-anaknya Pewaris. Dalam hal semua anak ahli waris yang dalam
kedudukannya sendiri (uit eigen hoofed) ternyata
onwaardig onterfd, maka sekalian cucu-pewaris tampil dalam kedudukannya
sendiri, karena dalam penggantian berlaku ketentuan Pasal 848 KUH Perdata yang
berbunyi hanya orang-orang yang telah mati saja yang dapat digantikan.

b) Penggantian dalam garis ke samping (zijlinie)


Setiap saudara kandung atau saudara tiri yang meninggal terlebih dahulu
digantikan oleh sekalian anaknya.

c) Penggantian dalam garis samping juga melibatkan penggantian anggota-anggota


keluarga yang lebih jauh. Misal: paman/keponakan, jika meninggal terlebih dahulu
digantikan oleh keturunannya.

Adapun hubungan keluarga anak angkat dengan orang tua kandungnya menjadi
terputus, sehingga tidak ada hubungan sebagai ahli waris . Anak angkat tidak berhak
mewaris atas harta peninggalan dari orang tua kandungnya.

Menurut Hukum Adat untuk menentukan mengenai siapa yang menurut hukum
berhak memperoleh harta warisan maka digunakan 2 (dua) macam garis pokok yaitu:
(Soerjono Soekanto, 2002:261)

1. Garis Pokok Keutamaan

Garis pokok keutamaan yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan


keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris.

Dari garis pokok keutamaan tersebut, maka orang-orang yang mempunyai hubungan
darah dibagi dalam golongan-golongan sebagai berikut:

a) Kelompok Keutamaan I : keturunan pewaris

b) Kelompok Keutamaan II : orang tua pewaris

c) Kelompok Keutamaan III : saudara-saudara pewaris

d) Kelompok Keutamaan IV : kakek dan nenek pewaris


2. Garis Pokok Penggantian
Garis pokok penggantian yaitu garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapa di
antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu sebagai ahli waris. Yang sungguh-
sungguh menjadi ahli waris yaitu:

a) Orang-orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris


b) Orang-orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris Di dalam pelaksanaan
penentuan para ahli waris dengan mempergunakan garis pokok keutamaan dan
penggantian, maka harus diperhatikan dengan seksama prinsip garis keturunan yang
dianut oleh suatu masyarakat tertentu.

Namun hak anak angkat dalam hal warisan tidak sama dengan hak anak kandung. Karena
hak anak angkat dalam perolehan harta warisan hanya pada barang gono gini, sedangkan
terhadap harta pusaka tidak mempunyai hak waris. Sedangkan bagi anak kandung kecuali
mempunyai hak harta warisan dari harta gono-gini juga mempunyai hak harta warisan dari
barang gini.

Menurut para sarjana, Hukum Waris Perdata pada pokoknya merupakan peraturan yang
mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang
lain. Dalam Hukum Waris mengatur mengenai akibat-akibat hukum dari kematian seseorang
terhadap harta kekayaan si Pewaris dan akibat hukum atas kematian seseorang (J.Satrio,1992:8).

Dalam Sistem Hukum Kewarisan Perdata Barat (Eropa) yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang disingkat KUH Pdt yang berdasarkan Ketentuan Pasal
131 I.S jo. Staatsbalad 1917 No. 129 jo. Staasblad 1924 No. 12 tentang penundukan diri terhadap
Hukum Eropa, maka BW berlaku bagi: (Surini Ahlan, 1983:10)

1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa


2. Orang Timur Asing Tionghoa;
3. Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukan diri pada Hukum
Eropa.

Dalam Hukum Adat, pengangkatan anak (adopsi) yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan
yang berlaku di daerah masing-masing. Pada umumnya dalam Hukum Adat, dengan diangkatnya
seorang anak hubungan hukum anak angkat dengan keluarga yang lama tidak terputus, kecuali
antara lain menurut Hukum Adat Bali (Pengangkatan Anak “sentana”). Berdasarkan Yurisprudensi
(Putusan Pengadilan Negeri Bandung tgl. 21 Oktober 1986 No.1991/1968 yo. Pengadilan Tinggi
Bandung tgl. 21 Oktober 1986 No.1991/1968 yo. Pengadilan Tinggi Bandung tgl.14 Mei 1970 No.
215/1969/Perd/PTB yo. Mahkamah Agung RI tgl. 24 Maret 1971 No. 611/K/Sip/1970), maka
seorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua orang tua angkatnya bila mana ia telah
dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan, bertempat tinggal bersama dan telah mendapat hibah dari
orang tuanya (orang tua angkatnya) (Soedharyo Soimin, 1992:37).

Dalam Hukum Waris Adat yang berlaku di Jawa khususnya yang menganut sifat susunan
kekeluargaan Parental seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat, kedudukan anak angkat dalam hal
mewaris dari harta peninggalan dari orang tua angkatnya ditentukan berdasarkan beberapa
Yurisprudensi Mahkamah Agung yang diberlakukan di daerah masing-masing. (Djaja S. Meliala,
1982:21-22)

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana persyaratan yang harus dipenuhi untuk syahnya anak angkat antar Warga Negara
Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Hukum Adat di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat berdasarkan KUH Perdata
dan Hukum Adat di Indonesia
1. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk Sahnya Anak Angkat berdasarkan KUH Perdata

Lembaga Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi) sebagai Lembaga Hukum, yang mempunyai
tugas untuk melaksanakan terciptanya hak dan kewajiban sebagai akibat pengangkatan anak (adopsi)
sebagai suatu perbuatan hukum. Artinya perbuatan yang melahirkan hak dan kewajiban baik oleh
orang yang mengangkat dan anak yang diangkat. orang tua yang mengangkat maupun anak yang
diangkat harus memenuhi persyaratan tertentu, yang hal ini akan dapat mendukung pelaksanaan
fungsi yang dilakukan oleh Lembaga Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi).

Dalam KUH Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga Pengangkatan Anak (Lembaga Adopsi)
sehingga Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan tersendiri mengenai pengangkatan anak
(adopsi) dalam Staatsblad 1917 No. 129. Bahwa persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya anak
angkat diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Staatsblad 1917 No. 129, yang isinya sebagai
berikut:

a) Persetujuan dari orang atau orang-orang yang mengadopsi (Pasal 8 ayat (1) Staatsblad
1917 No. 129).
b) 1. Dalam hal yang diadopsi adalah seorang anak sah, maka diperlukan izin orang tua itu
(Pasal 8 ayat (2) huruf (a) Staatsblad 1917 No. 129).

1. Dalam hal orang yang diadopsi adalah seorang anak diluar perkawinan, diperlukan
persetujuan dari orang tuanya (Pasal 8 ayat (2) huruf (b) Staatsblad 1917 No. 129).

2. Persetujuan dari orang yang diadopsi, jika ia telah mencapai usia sudah berusia 15
(lima belas) tahun (Pasal 8 ayat (3) Staatsblad 1917 No. 129).

3. Dalam hal adopsi oleh seorang janda, seperti dimaksud dalamPasal 5 ayat (3),
persetujuan dari kakak-kakak yang telah dewasa dan dari ayah (suami) yang telah
meninggal dunia. (Pasal 8 ayat (4) Staatsblad 1917 No. 129).
Persetujuan yang termaktub dalam syarat ke empat di atas, dapat diganti dengan surat
izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat anak
(mengadposi) tadi.
c) 1. Persetujuan dari orang-orang tersebut pada nomer 4 pasal dimuka, asal bukan ayah
atau wali dari orang yang diadopsi, dapat diganti dengan suatu kuasa dari raad van
justitie, dalam daerah hukum mana si janda yang ingin mengadopsi bertempat tinggal
(Pasal 9 ayat (1) Staatsblad 1917 No. 129).

2. Atas permohonan dari janda itu, raad van justitie akan memutuskan tanpa suatu
bentuk acara tertentu tanpa sarana hukum untuk naik lebih tinggi sesudah
mendengar atau memanggil dengan cukup orang-orang yang persetujuannya
diharuskan dan orang-orang lain yang menurut raad van justitie dipandang perlu
(Pasal 9 ayat (2) Staatsblad 1917 No. 129).

3. Bila orang-orang yang akan didengar bertempat tinggal di luar daerah, dimana raad
van justitie bersidang, maka raad van justitie dapat melimpahkan pendengaran
terhadap orang-orang itu kepada kepala daerah setempat, pejabat mana akan
mengirim berita acara yang ia buat tentang hal itu kepada raad van justitie (Pasal 9
ayat (3) Staatsblad 1917 No. 129).

4. Ketentuan dalam pasal 334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keluarga
sedarah atau keluarga semenda, berlaku dalam hubungan dengan orang-orang yang
di sini akan didengar (Pasal 9 ayat (4) Staatsblad 1917 No. 129).

5. Kuasa dari raad van justitie itu harus disebut dalam akta adopsi (Pasal 9 ayat (5)
Staatsblad 1917 No. 129).

d) Adopsi hanya dapat terjadi dengan akta Notaris (Pasal 10 ayat (1) Staatsblad 1917 No.
129).

e) Para pihak menghadap di depan Notaris secara pribadi atau diwakili oleh kuasanya dengan
suatu akta Notaris khusus (Pasal 10 ayat (2) Staatsblad 1917 No. 129).

f) Orang-orang tersebut pada nomor 4 Pasal 8 kecuaali mereka yang memberikan adopsi
sebagai ayah atau wali dari orang yang akan diadopsi, dapat secara bersama-sama atau
sendiri-sendiri memberikan persetujuannya dengan suatu akta Notaris, keadaan mana
harus disebut dalam akta adopsi dapat memberikan persetujuannya juga dengan akta
(Pasal 10 ayat (3) Staatsblad 1917 No. 129).
g) Setiap orang yang berkepentingan dapat menuntut agar adopsi itu dicatat pada bagian
pinggir (margin) dari akta kelahiran orang yang diadopsi (Pasal 10 ayat (4) Staatsblad 1917
No. 129).

h) Akan tetapi tidak adanya catatan dari suatu adopsi pada bagian pinggir akta kelahiran tidak
dapat dipergunakan terhadap anak yang diadopsi untuk membantah kedudukan yang
telah diperolehnya (Pasal 10 ayat (5) Staatsblad 1917 No. 129).

Untuk sahnya anak angkat yang mendasarkan pada Penetapan Pengadilan Negeri
setempat, orang tua angkat mengajukan Permohonan Pengesahan anak angkat (adopsi)
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan memenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut:

(1) akte kelahiran dari anak yang diangkat


(2) akte perkawinan/surat nikah dari orang tua kandung
(3) akte perkawinan/surat nikah orang tua angkat
(4) surat keterangan pekerjaan/penghasilan orang tua angkat

Pembatalan suatu pengangkatan anak (adopsi) diatur dalam Pasal 15 Staatsblad 1917 No.
129 yang menentukan bahwa suatu pengangkatan anak (adopsi) tidak dapat dibatalkan oleh yang
bersangkutan sendiri. Kemudian pengangkatan anak (adopsi) anak perempuan atau pengangkatan
anak (adopsi) secara lain daripada akte Notaris, adalah batal dengan sendirinya (Muderis
Zaini,1995:37).

2. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat berdasarkan Hukum Adat di
Indonesia

Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat cukup dilakukan secara terang/tunai, dilihat oleh
masyarakat apakah anak itu diperlakukan seperti anak kandung atau tidak. Kemudian diadakan
upacara adat sehingga anak tersebut sah menjadi anak angkat. Walaupun dalam praktek kadang-
kadang dimintakan Penetapan ke Pengadilan Negeri. Pengangkatan Anak ini pada umumnya, terjadi
di Nias, Gayo. Lampung, Bali, Jawa serta Sulawesi (Djaja S. Melialia,1982:9).
Di Jawa, sulawesi dan beberapa daerah lainnya, sering mengangkat keponakan menjadi
anak kandung. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda kelihatan, bahwa hubungan antara anak
dengan orang tuanya telah diputuskan (pedot), kepada orang tua anak yang bersangkutan diserahkan
sebagai syarat (magis) uang sejumlah rongwang segobang (=17½ sen) (Soerojo Wignjodipoero,
1967:119). Di Jawa tengah, Hukum Adat sendiri tidak memberikan ketentuan tentang tata cara
mengangkat anak.

Pada umumnya, kebiasaan yang dilakukan ialah adanya persetujuan kedua belah pihak antara
orang tua kandung dengan orang tua yang akan mengangkat anak, kemudian mereka pergi ke balai
desa untuk memberitahukan maksud mereka dan Kepala Desa membuatkan surat pernyataan
penyerahan anak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangan cukup dengan membubuhkan cap jempol).

Surat pernyataan itu ikut di tanda tangani oleh para saksi dan diketahui oleh Kepala Desa dan
Camat. Di hadapan Kepala desa dan stafnya terjadi serah terima anak dari orang tua kandung kepada
orang tua angkat. Setelah serah terima, diadakan selamatan (Jawa: Kenduren, Temanggung:
Brokohan) dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dari orang tua angkat. Selamatan
diadakan di rumah orang tua angkat dengan dibacakan doa selamat terlebih dahulu atas
pengangkatan anak tersebut. Dalam Hukum Adat, pengangkatan anak tidak membedakan antara anak
laki-laki dan perempuan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam bab penutup ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran terhadap hasil penelitian.
Setelah penyusun menganalisa data-data yang ada, maka hasilnya merupakan jawaban atau
Dalam bab penutup ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran terhadap hasil penelitian.
Setelah penyusun menganalisa data-data yang ada, maka hasilnya merupakan jawaban atau
pemecahan dari rumusan masalah yang penyusun kemukakan sebagai berikut:

a) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk Sahnya Anak Angkat berdasarkan KUH Perdata
(1) Dalam KUH Perdata tidak mengatur mengenai Lembaga Pengangkatan Anak sehingga
Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan tersendiri mengenai pengangkatan anak
(adopsi) dalam Staatsblad 1917 No. 129.

b) Persyaratan yang harus dipenuhi untuk sahnya Anak Angkat berdasarkan Hukum Adat di
Indonesia
(1) Dalam Hukum Adat pengangkatan anak dilakukan dalam masyarakat tertentu dan
hanya merupakan kebiasaan yang tidak tertulis.

(2) Pengangkatan anak dalam Hukum Adat dilakukan secara terang/tunai, terlihat oleh
anak yang diangkat diperlakukan seperti anak kandung, dengan didahului upacara
adat setempat.

B. Saran-saran
1. Pengangkatan anak (adopsi) hendaknya dibuat Regulasi, agar mempunyai kekuatan
hukum tetap, wajib disahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat.

2. Agar pembagian warisan dari orang tua angkatnya selalu mengingat nilai-nilai hukum
yang berlaku dalam masyarakat.

Saran-saran tersebut disampaikan dengan harapan dapat menjadi masukan untuk perbaikan
sehingga dapat bermanfaat bagi para pihak dalam tugas-tugas pelaksanaan pengangkatan anak
menuju terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta.

Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

B. Bastian Tafal. 1989. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya di
Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali Press.

Djaja S. Meliala.1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Indonesia. Bandung: Tarsito.

Eman Suparman. 1991. Inti Sari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Haar B. Ter diIndonesiakan oleh Soebakti Poesponoto. 1999. Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat.
Beginselen en stelsel van het adatrecht Jakarta: Pradnya Paramita.

Hadari Nawawi dan Mimi Martini. 1995. Penelitian Terapan.Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Irma Setyowati. 1990. Aspek Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.

J.Satrio.1992. Hukum. Waris. Bandung: Alumni.

Mohd. Idris Ramulyo. 1993. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat
(Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika.

Muderis Zaini. 1995. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.

Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Bandung: Sumur.

R. Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermasa.

dan R. Tjitrosudibyo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Padnya


Paramita.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006. Tentang Kewarganegaraan Indonesia

Yurisprudensi

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 24-5-1958 No. 82/K/Sip/1957

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4-7-1961 No.384 /K/Sip/1961

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 25-9-1969 No.679/K/Sip/1968

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2-1-1973 No.441/K/Sip/1972

Surat Edaran Mahkamah Agung

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1978 Tentang Prosedur Pengangkatan
Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang Asing

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1979 Perihal Penyempurnaan
Pemeriksaan Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak
LAMPIRAN KASUS

Putusan PA purwokerto perkara No. 108/Pdt.G/2019/PA.Pwr tanggal 2 september 2019 - Rochanah


dan anak angkat vs warsinah, warsidah, wargiyati

Bahwa pernah hidup bapak Cipto warsono, yang menikah dengan Rochanah ( Tergugat I ). Karena
tidak di karunia keturunan maka mengangkat anak ( tergugat II)

Bahwa pewaris meninggalkan adik kandung, yaitu Warsinah ( penggugat I ), Warsinem ( penggugat II ),
Warsidah ( penggugat III ), Wargiyati ( penggugat IV ). Yang disebut ahli waris

Bahwa selain meninggalkan ahli waris, anak angkat. Pewaris juga meninggalkan harta warisan yang
berasal dari orang tua pewaris yang bernama Pawiro sumarto

Peninggalan berupa tanah2, belum di balik namakan ke Cipto Warsono, masih atas nama orang tua
pewaris Pawiro sumerto

Telah mendengar keterangan dan pengakuan berperkara. Telah melakukan sidang setempat terhadap
objek sengketa yang telah dilakukan descente ( pemeriksaan setempat ) yang hasilnya sama dengan isi
gugatan Penggugat dan objek yang disengketakan. Mengingat ketentuan Pasal 130 HIR dan PERMA
nomor 01 tahun 2016 tentang prosedur mediasi Peradilan

Menyatakan sengketa Penyelesaian Harta Warisan dalam perkara No.108/Pdt.G/2019/PA.Pwrt telah


berakhir dengan kesepakatan perdamaian

Anda mungkin juga menyukai