Anda di halaman 1dari 85

PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DAN AKIBAT HUKUM NYA DI

INDONESIA MENURUT HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA


DAN HUKUM WARIS ADAT
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Rika Rosdiana Effendi S.H.,M.H

Oleh :
Hanifah Rahmi Nadiyaningsih 1203050060
Hervina Eka Angelina 1203050061
Indriani Agustina 1203050064
Intan Puspita Ayu 1203050065
Isnainy Nurzalfa 1203050067
Karin Kintani 1203050068
Kayla Zevira Alfasha D. 1203050069
Khairudin Muchtar Nur Awwali 1203050070
Kinta Octafieny 1203050071
Lintang Bundayanti 1203050073
Luckman Alamsyah 1203050074

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
Hukum Waris menurut Hukum Perdata.....................................................................................3
A. Pengertian Hukum waris menurut hukum perdata...........................................................3
B. Pembagian Waris dan Dasar Hukumnya dalam Hukum Perdata.....................................4
C. Penyelesaian Sengketa Warisan dan Akibat Hukummnya Menurut Hukum Perdata......8
D. Contoh Kasus Sengketa Tanah.........................................................................................9
Hukum Waris menurut Syari’ah Islam....................................................................................21
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam..............................................................................21
B. Dasar Hukum Waris Islam.............................................................................................22
C. Golongan Bagian Waris.................................................................................................24
D. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Waris........................................................................27
E. Proses Penyelesaian Sengketa Waris Melalui Jalur Litigasi (Gugatan Waris................29
F. Proses Penyelesaian Sengketa Waris Melalui Jalur Non Litigasi (Mediasi)..................30
G. Contoh Kasus Sengketa dan Penyelesaiannya Menurut Agama....................................33
Hukum Waris menurut Adat....................................................................................................37
A. Pengertian Hukum Waris Adat.......................................................................................37
B. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat.......................................................................39
C. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa..................................................................................42
D. Contoh kasus penyelesaian sengketa waris tanah adat Karo dan penyelesaiannya........50
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................61

ii
3

Hukum Waris menurut Hukum Perdata

A. Pengertian Hukum waris menurut hukum perdata


Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta
warisan dari pewaris kepada ahli waris karena suatu kematian atau karena ditunjuk.
Vollmar berpendapat bahwa hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta
kekayaan seutuhnya. Jadi keseluruhan hak hak dan kewajiban dari orang yang mewariskan
kepada warisnya.
Menurut Pitlo, hukum waris adalah suatu rangkaian ketentua ketentuan yang
berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat akibatnya didalam kebendaan diatur,
yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalnya dari seseorang yang meninggal kepada ahli
waris, baik didalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.1
Hukum waris (Soepomo, 1966 : 72) Hukum Waris itu memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
R. Santoso Pudjosubroto, bahwa yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum
yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta
benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup (1964 : 8).2

Dalam waris perdata terdapat unsur unsur waris, sebagai berikut :


1. Adanya Subyek Hukum Waris
a. Pewaris : orang yang meninggal dan meninggalkan harta benda/kekayaan.
Inilah adalah merupakan syarat sebagai pewaris yaitu adanya hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat dinilai dengan
uang
b. Ahli waris :
 Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofed) atau mewaris
secara langsung,misalnya jika ayah meninggal, maka sekalian anak-
anaknya tampil sebagai ahli waris.

1
Bambang Daru Nugroho, HUKUM PERDATA INDONESIA, ed. Dinah Sumayah, 1st ed. (BANDUNG: PT
Refika Aditama, 2017).
2
I Ketut, “HUKUM PERDATA ( P0KOK BAHASAN : HUKUM WARIS )” (2016): 1–16.
4

 Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), disebut juga


sabagai ahli waris tidak langsung (cucu-cucu pewaris)
 Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan,
dalam hal ini kemungkinan timbul karena KUHPerdata terdapat ketentuan
tentang pihak ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati harta
peninggalan pewaris berdasarkan suatu testament/wasiat.3
2. Peristiwa hukum yaitu meninggalnya pewaris
3. Hubungan hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris
4. Objek hukum waris yaitu harta warisan atau peninggalan dari pewaris.4
Selain unsur unsur waris, terdapat azas azas hukum waris yaitu azas materialis dan
azas le mort saisit levif. Dalam azas materialis yang dapat diwariskan hanyalah hak
dan kewajiban dalam lapang kekayaan (hak dan kewaiban yang dapat dinilai dengan
uang). Sedangkan azas le mort saisit levif dijelaskan apabila seseorang meninggal
maka seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. Pasal
864 BW, ahli waris berhak menuntut haknya. 5

B. Pembagian Waris dan Dasar Hukumnya dalam Hukum Perdata


Dalam hukum waris terdapat unsur-unsur dalam hukum waris, yaitu adanya subjek
hukum waris (pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk berdasarkan wasiat), lalu adanya
peristiwa hukum (meninggalnya pewaris), hubungan hukum waris, dan objek hukum waris. 6
Terdapat dua azaz dalam perwarisan menurut BW yang pertama ialah azaz materialis, dalam
azaz ini yang dapat diwariskan hanyalah hak dan kewajiban dalam lapangan kekayaan, yang
kedua ialah azaz le mort saisit levif yaitu apabila seseorang meninggal maka seketika itu juga
hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. Pasal 864 BW, ahli waris berhak
menuntut haknya. Azas ini merupakan pepatah yang berasal dari bahasa Prancis. Pengaturan
hukum waris dalam hukum perdata ini diatur dalam buku II tentang Kebendaan pada Bab
XII-XVI ketentuan ini dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan pasal 1130 KUH
Perdata. Warisan dapat diperoleh dengan dua acara, yaitu:7
1) Sebagai ahli waris menurut undang-undang (abintestato).
3
Ibid.
4
Nugroho, HUKUM PERDATA INDONESIA.
5
Ibid.
6
Bambang Daru Nugroho, Hukum Perdata Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2017, Hlm. 84.
7
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pembimbing CV, Jakarta, 1968, Hlm. 66.
5

2) Sebagai ahli waris karena ditunjuk dalam wasiat (testamentair).


Mewaris menurut Undang-Undang atau abintestato ada 2 macam, yaitu:8
a) Uiteigen hoofde
Uiteigen hoofde yaitu mewaris berdasarkan kekuatan sendiri. Seseorang dikatakan
mewaris uit eigen hoofde, jika ia mendapatkan warisan itu berdasarkan kedudukannya
sendiri terhadap orang yang meninggal dunia.
b) Bij plaatsvervulling
Bij plaatsvervulling yaitu mewaris karena penggantian tempat karena ahli waris yang
berhak telah meninggal lebih dahulu sebelum pewaris sehingga tempatnya digantikan
oleh yang lain. Bij Staken terjadi apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan
seseorang yang telah meninggal dunia lebih dahulu.
Ahli Waris menurut BW dalam KUH Perdata pada pasal dapat digolongkan kedalam empat
golongan, yaitu:9
1) Golongan I: Anak-anak beserta turunan dalam garis kebawah dan Isteri sejak 1935.
2) Golongan II: Orang tua dan saudara
3) Golongan III: Nenek, kakek/leluhur dalam garis keatas.
4) Golongan IV: Sanak saudara dalam garis ke samping sampai tingkat ke enam.
Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), disebut juga sabagai ahli
waris tidak langsung (cucu-cucu pewaris):10
1) Penggantian dalam garis lurus ke bawah, Pasal 848 KUHPerdata: hanya orang-orang
yang telah mati saja yang dapat digantikan
2) Penggantian dalam garis ke samping, tiap saudara kandung/tiri yang meninggal lebih
dulu digantikan oleh sekalian anaknya
3) Penggantian dalam garis samping, juga melibatkan penggantian anggota-anggota
keluarga yang lebih jauh, misalnya paman/keponakan, jika meninggal lebih dulu
digantikan oleh turunannya
Sedangkan untuk anak luar kawin yang diakui mendapat bagian, yaitu 1/3 (bagian
anak sah) apabila mewaris Bersama dengan golongan I, dan 1/2 (bagian anak sah) apabila
mewaris Bersama dengan golongan II.
8
Ibid., Hlm. 68.
9
Ibid., Hlm. 68.
10
I Ketut Markeling, HUKUM PERDATA (P0KOK BAHASAN: HUKUM WARIS), diakses melalui
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/5170f01bee90b449fd8ca8596da30711.pdf, pada tanggal
24 November 2021, Hlm. 9
6

Terdapat juga ahli waris yang tidak patut mendapatkan warisan menurut 838 BW, yaitu:11
a) Ahli waris yang dihukum karena membunuh/mencoba membunuh pewaris.
b) Ahli waris yang telah menggelapkan harta pewaris.
c) Ahli waris yang memusnahkan/memalsukan surat wasiat.
d) Ahli waris yang dengan kekerasan/ancaman kekerasan menghalang- halangi pewaris
untuk membuat surat wasiat.
e) Oleh karena jabatan/pekerjaan/hubungan dengan pewaris tidak boleh menerima
keuntungan dari surat wasiat yaitu: notaris, saksi, pendeta, tabib/dokter yang merawat
pewaris.
Cara Menghitung Pembagian Ahli Waris Menurut KUH Perdata:12
1. Suami/istri serta anak-anak yang ditinggal mati oleh pemilik harta atau pewaris
mendapatkan seperempat bagian.
2. Jka pemilik harta atau pewaris belum mempunyai suami/istri dan anak, hasil warisan
dapat diberikan ke orang tua, saudara, dan keturunan dari saudara pemilik harta atau
pewaris seperempat bagian.
3. Jika pemilik harta atau pewaris tidak memiliki orang tua yang masih hidup dan
saudara kandung, pembagian harta warisan dapat dibagikan untuk keluarga garis ayah
dan keluarga garis ibu masing-masing mendapatkan setengah bagian
4. Keluarga sedarah garis atas yang masih hidup memiliki hak untuk mendapatkan
warisan sesuai dari ketentuan yang sebesar setengah bagian.
Urutan ahli waris ini dibuat berdasarkan asas prioritas. Selama Golongan I masih
hidup, maka Golongan II tidak sah untuk menerima warisan di mata hukum. Begitu juga
selanjutnya, baru setelah Golongan I dan II gak ada, maka Golongan III yang berhak
menerima warisan.
Selain itu menimbulkan hak yang dimiliki ahli waris setelah ahli waris ini dapat
dinyatakan sah. Hak-hak tersebut antara lain seperti dapat mengusulkan pemisahan harta
warisan yang telah dibagikan (pada pasal 1066 KUHPerdata, hal ini dapat direalisasikan lima
tahun setelah harta waris dibagikan, namun tidak wajib); Lalu suatu pihak dinyatakan secara
alami sebagai ahli waris yang sah yang mana berhak menerima semua hak warisan berupa
harta benda dan piutang dari pewaris. (sesuai Pasal 833 KUHPerdata, ahli waris tersebut
memiliki hak saisine, yaitu hak untuk mempertimbangkan atau menolak menerima warisan);
11
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pembimbing CV, Jakarta, 1968, Hlm. 67.
12
Tim Konten Justika, Cara Menghitung Pembagian Ahli Waris Menurut Hukum Perdata,diakses melalui
https://blog.justika.com/keluarga/menghitung-pembagian-ahli-waris/, pada tanggal 24 November 2021.
7

Ahli waris berhak meminta penjelasan atau rincian terkait warisan yang diterimanya.
Bentuknya bisa dalam pembukuan yang berisi jenis-jenis hak, kewajiban, utang, dan/atau
piutang dari pewaris. Permintaan ini adalah bagian dari hak beneficiary sesuai Pasal 1023
KUHPerdata; Ahli waris pertama berhak untuk menggugat ahli waris kedua atau pihak terkait
lainnya yang menguasai harta warisan yang menjadi bagian dari hak ahli waris pertama. Hal
ini disebut dengan hak hereditas petitio yang diperkuat oleh Pasal 834 KUHPerdata.13
Dalam hukum waris ini, apabila ahli waris telah meninggal mendahului pewaris, menurut
undang-undang terdapat juga 3 macam penggantian tempat (bij plaatsvervulling), yaitu
penggantian tempat dalam garis kebawah,penggantian tempat dalam garis kesamping, dan
penggantian tempat dalam garis ke samping yang lebih jauh. Lalu diatur juga sikap ahli waris
terhadap harta warisan, yaitu menerima secara penuh, menolak dengan suatu pernyataan di
muka panitera pengadilan, menerima secara beneficiare aanvaarding kepada panitera
pengadilan negeri.14
Dalam hukum waris terdapat wasiat atau testament, yang memiliki arti yaitu suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki terhadap harta kekayaan dan ahli
waris yang dilaksanakan setelah ia meninggal. Macam-macam testament ini terdiri dari,
openbaar testament, olographis testament, testament rahasia. Biasanya isi testament atau isi
surat wasiat ialah:15
1. Efrstelling yaitu penunjukkan seseorang/beberapa orang menjadi ahli waris.
2. Legaat, pemberian sesuatu kepada seseorang:
a) Satu atau benda tertentu
b) Seluruh benda
c) Hak Vruchtgebruik
d) Hak lain terhadap budel.
C. Penyelesaian Sengketa Warisan dan Akibat Hukummnya Menurut Hukum
Perdata
Sengketa dapat terjadi antara masyarakat dan antar lembaga. Sengketa merupakan
perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama yang
dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan diantara mereka. Menganalisis siapa dan
13
Helmi Shemi, Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata, Begini Ketentuannya, diakses melalui
https://www.idntimes.com/business/finance/helmi/pembagian-harta-waris-untuk-anggota-keluarga-menurut-
hukum-perdata/2/full/3, pada tanggal 24 November 2021.
14
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pembimbing CV, Jakarta, 1968, Hlm 70-71.
15
Ibid., Hlm. 74.
8

mengapa mereka terlibat. Untuk itu perlu dipahami dengan baik siapa subjek yang terlibat
dalam sengketa tersebut. Subjek didefinisikan sebagai para pelaku yang terlibat dalam
sengketa, baik pelaku yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi. Hal ini dapat bersifat
individu, masyarakat, kelompok sosial atau institusi.16
Salah satu sumber obyek sengketa dalam kehidupan sehari-hari antar manusia satu
dengan manusia yang lain, terutama dalam suatu keluarga yang dulunya bersatu kemudian
bercerai-berai adalah persoalan pembagian warisan yang tidak proporsional sesuai dengan
hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa warisan merupakan bentuk harta yang
dapat saja membuat orang menjadi kaya raya karena hal tersebut. Sebaliknya juga orang atau
setiap manusia dapat menjadi miskin karena tidak mendapatkan harta warisan tersebut,
bahkan dapat saja membuat setiap orang menjadi gila sampai meninggal dunia akibat tidak
mendapatkan harta warisan. Dalam hukum waris, pembagian harta warisan yang diberikan
kepada ahli waris dalam prosesnya dapat berlangsung tanpa sengketa atau dengan sengketa.
Pada prinsipnya pelaksanaan pembagian harta warisan berlangsung secara musyawarah.
Musyawarah dilakukan oleh keluarga secara internal untuk menentukan bagian
masingmasing ahli waris. Apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan sengketa, maka
persengketaan diselesaikan melalui pengadilan.17
Sedangkan akibat hukum dapat dikatakan ialah sebagai akibat suatu tindakan yang
dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
hukum. Tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan kata lain, akibat hukum adalah
akibat dari suatu tindakan hukum. Contoh: membuat wasiat, pernyataan berhenti menyewa.18
Lalu wujud dari akibat hukum diantaranya, yaitu:19
a) Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum,

16
Gamal Pasya dan Martua T Sirait. Analasis Gaya Bersengketa AGATA. Samandha Institute, diakses melalui,
https://elearning.menlhk.go.id/pluginfile.php/900/mod_resource/content/1/a_pengertian_sengketa.html, pada
tanggal 30 November 2021
17
Ibrahim Ahmad, Menyelesaikan Sengketa Pembagian Harta Warisan Melalui Peran Kepala Desa, diakses
melalui https://media.neliti.com/media/publications/12530-ID-menyelesaikan-sengketa-pembagian-harta-
warisan-melalui-peran-kepala-desa.pdf, pada tanggal 30 November 2021
18
R. Soeroso. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 295
19
Sovia Hasanah, Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum dan Akibat Hukum, diakses melalui
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-
hukum-dan-akibat-hukum/, pada tanggal 30 November 2021.
9

b) Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih
subjek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak
dan kewajiban pihak lain
c) Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum

D. Contoh Kasus Sengketa Tanah

Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
karena semua orang memerlukan tanah semasa hidup sampai dengan meninggal dunia.
Tanah adalah permukaan bumi yang merupakan satu bidang yang memiliki batas tertentu.
Di atas bidang tanah tersebut, terdapat hak atas tanah baik yang dimiliki secara
perseorangan maupun badan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 20
Tanah merupakan salah satu komponen ekosistem yang sangat strategis bagi
kelangsungan hidup umat manusia, dan juga sebagai faktor utama dalam setiap kegiatan
pembanguna.21 Pengadaan tanah untuk pembangunan sering memunculkan gejolak
dimasyarakat, bahkan dalam sejumlah kasus, pengadaan tanah yang diikuti pembebasan
lahan milik rakyat selalu menimbulkan perselisihan yang berujung kekerasan atau
setidaknya bermuara ke pengadilan.22
Di Negara Indonesia menggunakan hukum tanah yang berasal dari hukum adat yang
dimiliki dalam rangka pembangunan nasional yang berkesinambungan, peranan tanah
akan menjadi bertambah penting sehubungan dengan terus bertambahnya jumlah
penduduk yang semuanya memerlukan tanah untuk pemukiman. 23 Dengan demikian,
tanah merupakan salah satu objek yang sangat vital, yang sering diperdebatkan dan
diperebutkan. Selain itu, masyarakat Maluku mengenal tanah juga sebagai tanah adat
yang tunduk kepada dan dikuasai oleh hak petuanan (beschikkingsrecht) dari desa atau
negeri yang bersangkutan. Tanah-tanah adat ini dapat disebut juga tanah ulayat dan
digolongkan kepada tanah negara yang tidak bebas (niet vrijlandsdomein).24

20
Santoso U. Hukum Agraria. Jakarta: Kharisma Puta Utama; 2012.
21
Hetharie Y. Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing
(WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. SASI 2019;25:27–38.
https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147.
22
Kotalewala F, Laturette AI, Uktolseja N. Penyelesaian Sengketa dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Jalan untuk Kepentingan Umum. SASI 2020;26:415–33. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.397.
23
Soetiknyo I. Proses Terjadinya UUPA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1987.
24
Effendi Z. Hukum Adat Ambon Lease. Jakarta: Pradnya Paramita; 1987.
10

Pada umumnya, masyarakat Maluku mengenal tiga bentuk hak milik atas tanah, yakni
tanah negeri, tanah milik klen (fam) atau milik mata rumah (tanah dati), dan tanah milik
pribadi kepala keluarga (tanah pusaka).25
Tanah negeri adalah tanah yang terdiri dari berbagai jenis atau golongan yang
semuanya berada dibawah pengawasan pemerintahan negeri, kemudian tanah dati adalah
tanah yang dikuasai oleh klen atau sub klen, sementara tanah pusaka adalah tanah yang
diwariskan kepada semua anak keluarga yang bersangkutan.26
Berbicara tentang tanah dati merupakan tanah yang pada mulanya diberikan oleh Raja
sebagai imbalan kepada orang yang wajib melakukan tugas-tugas negeri. dusun dati
beserta tanaman dati yang terdapat di setiap negeri, pada umumnya dimiliki oleh
keturunan dari mata rumah secara turun temurun dan dikelola secara bersama. Bagi mata
rumah yang tidak lagi mempunyai keturunan sebagai ahli waris, maka dati itu menjadi
dati lenyap dan diambil alih oleh pemerintah negeri. Jika terdapat anak perempuan baik
yang belum atau sudah menikah tetap tidak bisa memiliki tanah dati, sebab tanah dati
hanya diperuntukan bagi laki-laki dikarenakan tugas dati yang dinilai berat bagi
perempuan.
Berbicara mengenai tanah dati tidak terlepas dari tanaman-tanaman yang ada
diatasnya, yaitu disebut dusun dati. Jadi, yang dimaksud dengan dusun dati bukan hanya
tanahnya saja, tetapi termasuk juga tanaman yang ada diatas tanah. Tanaman diatas tanah
dati bukanlah tanaman-tanaman umur pendek, tetapi tanaman umur panjang seperti sagu,
kelapa, cengkeh dan sebagainya.27
Hal tentang hak-hak atas tanah, peraturan-peraturan tentang hak milik dan warisan
tentang tanah sering terjadi pertikaian dan sengketa. Sengketa tanah adalah sengketa yang
timbul karena adanya konflik kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat
dihindari di zaman sekarang ini disebabkan karena berbagai kebutuhan yang sangat tinggi
sementara jumlah tanah terbatap, dalam peyelesaian sengketa28, seperti halnya yang
terjadi antara pihak Tisera melawan pihak Alfons. Pihak Tisera mengajukan gugatan pada
tanggal 10 November 1980 yakni menggugat pihak Alfons dengan mendalilkan bahwa
kedua dusun dati, yakni dati Batubulan dan Telagaraja yang menjadi sengketa adalah

25
Cooley F. Mimbar Dan Takhta Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan Dan Pemerintahan Di Maluku
Tengah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1987.
26
Ibid.
27
Matuankotta JK. Pengaturan Pemanfaatan Tanah Berbasis Kearifan Lokal. Universitas Hasanuddin, 2016.
28
Kusmayanti H, Hawari SY. Praktik Eksekusi Riil Tanah Milik Masyarakat Adat Sunda Wiwitan. SASI
2020;26:341–55. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.285.
11

miliknya berdasarkan Surat Penyerahan Badan Saniri Negeri Urimessing tertanggal 1 Juli
1976. Berdasarkan Surat Keterangan dan Historis dari Badan Saniri Negeri tertanggal 10
Juli 1977, kedua dati itu merupakan dati lenyap dari Kepala Dati Estefanus Wattimena
sejak tahun 1850. Kedua dati lenyap itu kemudian diberikan oleh Pemerintah Negeri
Urimessing, yakni Leonard Lodewyk Rehatta kepada kakek Tergugat, yakni Josias
Alfons sebagai bentuk balas jasa atas pembangunan Negeri Urimessing pada tahun 1915,
selanjutnya pada tahun 1923 setelah kakek Tergugat diangkat menjadi Kepala Soa, maka
Register Dati atas nama Estefanus Wattimena diberikan kepada kakek Tergugat.
Sengketa kepemilikan kedua dusun dati ini kemudian dilimpahkan ke Pengadilan
untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum atas kepemilikan kedua dusun dati
tersebut. Kasus ini kemudian diselesaikan sampai pada tingkat Mahkamah Agung dengan
Putusan MA Nomor 2025 K/Pdt/1983. Namun demikian walaupun kasus ini telah
memperoleh keputusan dari Mahkamah Agung, namun masih tetap dipersoalkan
kepemilikan kedua dusun dati tersebut.

1. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah Dati


Secara umum, hak atas tanah khususnya tanah adat yang yang ada di Indonesia
terbagi menjadi dua, yaitu hak ulayat dan hak pakai. Hak ulayat merupakan hak yang ada
bersama-sama dengan masyarakat hukum adat. Pada hak ulayat ini, seseorang dapat
menguasai dan menikmati hasil dari hak ulayat tersebut, tapi bukan berarti hak ulayat
tersebut hapus begitu saja. Sedangkan untuk hak pakai membolehkan seseorang untuk
menggunakan sebidang tanah untuk kepentingannya, biasanya terhadap sawah dan ladang
yang dibuka dan diusahakan.29
Salah satu cara terjadinya hak atas tanah menurut peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan, yaitu hak atas tanah terjadi menurut hukum adat, 30 sebagian
masyarakat kota Ambon melakukan peralihan hak atas tanah masih dengan cara adat
tetapi harus disahkan atau didaftarkan sebagaimana yang telah cantumkan pada UUPA
dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Peralihan Hak atas Tanah
untuk memperoleh hak baru dalam bentuk sertipikat hak milik. 31 Hak milik yang terjadi
menurut hukum adat dimana hak tersebut melalui pembukaan lidah (aanslibbing).
29
Harsono B. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan; 2007.
30
Santoso U. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta: Kencana; 2010.
31
Hallauw DK, Matuankotta JK, Uktolseja N. Analisis Hukum Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat (Dati) Di
Kota Ambon. SASI 2020;26:111–8. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i1.256.
12

Pembukaan lidah disini adalah pembukaan hutan yang dipimpin kepala adat atau desa
bersama-sama dengan masyarakat. Kemudian tanah yang telah dibuka tersebut, dibagikan
oleh kepala adat kepada masyarakat untuk digunakan sebagai lahan pertanian bagi
masyarakat hukum adat.
Hak atas tanah adat di Maluku dikategorikan antara lain:32
1. Tanah Negeri yakni tanah yang dikuasai negeri atau persekutuan yang
pemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan bersama.
2. Tanah Dati yakni tanah yang dimiliki oleh kerabat atau persekutuan yang diberikan
oleh negeri karena turut berjasa terhadap negeri.
3. Tanah Pusaka yakni sebidang tanah negeri atau petuanan yang diberikan kepada
anak negeri untuk dijadikan lahan “perusah”, yang apabila terus menerus
diusahakan maka seiring berjalannya waktu dapat berubah menjadi hak individual
dan dapat diwariskan.
4. Tanah Perusah yakni tanah kosong yang biasanya bekas kebun (aong) atau
membuka hutan (ewang) dengan seijin Pemerintah Negeri untuk diperusah atau
digarap.
5. Tanah Pekarangan atau tanah Kintal yakni tanah yang diperuntukan untuk tempat
tinggal anggota masyarakat.
Tanah Ewang yakni tanah yang dikuasai seseorang dengan jalan membuka hutan dan
dibiarkan terlantar seketika dengan maksud untuk menyuburkan kembali. Sengketa tanah
dati dapat terjadi karena beberapa faktor, yakni :
1. Batas-batas tanah dati tidak jelas
2. Kepala dati yang menjual tanah dati tanpa persetujuan dari anak-anak dati
3. Saling klaim atas tanah dati, entah itu dari para ahli waris atau keluarga sendiri
4. Beberapa anak dati yang menanam tanaman umur panjang diatas tanah dati,
sehingga tanah yang ditanam diakui menjadi hak milik anak-anak dati itu sendiri
5. Anak perempuan yang mempunyai anak laki-laki kemudian menganggap bahwa
anaknya juga merupakan ahli waris sehingga bermasalah dengan keturunan lain
6. Pemberian dati lenyap oleh pemerintah negeri kepada anak negeri yang baru,
sehingga terdapat ketidaksetujuan oleh pihak yang merasa berhak untuk
memilikinya.

32
Sitorus O. Kondisi Aktual Penguasaan Tanah Ulayat di Maluku: Telaah Terhadap Gagasan Pendaftaran
Tanahnya. Bhumi: Jurnal Agraria Dan Pertanahan 2019;5:222–9. https://doi.org/10.31292/jb.v5i2.373.
13

7. Keturunan dari kepala dati yang mana datinya sudah lenyap dan merasa masih
memiliki hak, sehingga memberikan hak atas dati lenyap itu kepada salah satu
pihak, yang mana bertentangan dengan pihak lain yang telah menerima dati lenyap
itu dari pemerintah negeri.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, maka yang melatarbelakangi sengketa antara pihak
Tisera dengan Pihak Alfons adalah karena saling klaim atas kedua dusun dati lenyap
berdasarkan bukti kepemilikan dari kedua belah pihak yang saling bertentangan.
2. Penyelesaian Sengketa Tanah Dati
Bahwa penggugat atas nama Hein Johanis Tisera selaku Pemerintah Negeri
Urimessing mengajukan gugatannya kepada Tergugat yakni Jacobus Alfons, melalui surat
gugatannya tertanggal 10 November 1980 di Pengadilan Negeri Ambon dengan register
perkara nomor 656/1980/Perd.G/PN.AB. Tisera mendalilkan bahwa kedua dusun dati,
yakni dati Batubulan dan Telagaraja yang menjadi sengketa adalah miliknya berdasarkan
Surat Penyerahan Badan Saniri Negeri Urimessing tertanggal 1 Juli 1976. Berdasarkan
Surat Keterangan dan Historis dari Badan Saniri Negeri tertanggal 10 Juli 1977, kedua
dati itu merupakan dati lenyap dari Kepala Dati Estefanus Wattimena sejak tahun 1850.
Kedua dati lenyap itu kemudian diberikan oleh Pemerintah Negeri Urimessing, yakni
Leonard Lodewyk Rehatta kepada kakek Tergugat, yakni Josias Alfons sebagai bentuk
balas jasa atas pembangunan Negeri Urimessing pada tahun 1915, selanjutnya pada tahun
1923 setelah kakek Tergugat diangkat menjadi Kepala Soa, maka Register Dati atas nama
Estefanus Wattimena diberikan kepada kakek Tergugat.
Dalam gugatan rekonventie, Alfons menggugat ke-7 Staf Saniri Negeri Urimessing
yang diduga telah melakukan kerja sama dengan Tisera sebagai atasan mereka dengan
menandatangani Surat Penyerahan kedua dati, hal mana dinilai telah menghianati hak
Tergugat. Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan oleh kedua belah
pihak, maka hakim mempertimbangkan bahwa kedua dati lenyap merupakan pemberian
Pemerintah Negeri kepada kakek Tergugat sebagai bentuk balas jasa dan bahwa Tergugat
dengan itikad baik telah mengusahakan tanah itu selama puluhan tahun, sehingga
berdasarkan hal itulah maka bukti yang diajukan Penggugat tidak dapat melemahkan
bukti yang diajukan Tergugat. Hakim PN memutuskan untuk menolak gugatan Penggugat
dan menetapkan hak Tergugat atas dusun Batubulan dan Telagaraja.
Tidak terima dengan Putusan PN, Tisera kemudian mengajukan banding dengan
register perkara nomor 100/1982/Perd/PT.Mal, dengan alasan bahwa Hakim Pertama
14

dalam meneliti dan menilai serta mempertimbangkan alat-alat bukti dan saksi-saksi dari
Penggugat kurang obyektif karena keliru. Setelah hakim mempelajari keseluruhan berkas
perkara, maka pertimbangan dan kesimpulan yang diambil oleh Hakim Pertama diambil
alih oleh Pengadilan Tinggi sebagai dasar memutus perkara dalam tingkat banding,
sehingga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, oleh Pengadilan Tinggi maka
Putusan PN haruslah dikuatkan, sehingga Pembanding berada pada pihak yang kalah.
Selanjutnya Pembanding membawa kasus ini hingga tingkat Kasasi dengan register
perkara nomor 2025 K/Pdt/1983. Bahwa atas keberatan yang diajukan Pembanding,
Hakim menilai bahwa Judex Facti tidak pernah salah dalam menerapkan hukum. Terlepas
dari alasan-alasan kasasi tersebut, maka oleh MA bahwa Putusan PT harus diperbaiki,
sebab Tergugat sebelumnya dalam gugatan rekonventie menggugat ke-7 Staf Saniri
Negeri yang mana mereka bukan merupakan bagian dari gugatan konventie. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan itulah, maka permohonan kasasi dari pemohon kasasi
ditolak.
Analisis Putusan MA No. 2025 K/Pdt/1983:
a. Menurut J. Gerard Fried Riedel, bahwa tanah dati merupakan petak-petak tanah
yang dibagikan kepada orang yang kuat kerja dengan syarat harus ikut hongi. Itu
berarti bahwa tanah dati merupakan imbalan bagi mereka yang berjasa terhadap
negeri. Sama halnya dengan pihak Alfons yang memperoleh kedua dati lenyap
dari Pemerintah Negeri Urimessing pada tahun 1923, dimana kakek Tergugat
turut dalam pembangunan Negeri.
b. Pada tahun 1850, Kepala Dati Estefanus Wattimena memutuskan keluar dari
negeri dan menjadi orang biasa atau Borgor, yang mana berarti bahwa hak makan
datinya menjadi terhapus, sehingga keturunannya pun tidak lagi memiliki hak
untuk makan dati. Bahwa berdasarkan Surat Keterangan dan Historis, kedua dati
itu merupakan dati lenyap dari Kepala Dati Estefanus Wattimena, maka J. J.
Wattimena selaku Kepala Dati dari Estefanus Wattimena tidak memiliki hak
untuk menyerahkan kedua dusun dati itu kepada Tisera.
c. Sesuai dengan pengertian gugatan rekonventie yang merupakan gugatan balik dari
Tergugat untuk menantang Penggugat, maka subjek yang ditarik sebagai tergugat
rekonventie adalah penggugat konventie. Jacobus Alfons dalam gugatan
rekonventienya menggugat ke-7 Staf Saniri Negeri Urimessing, yang mana
mereka bukan merupakan bagian dari gugatan konventie. Harusnya yang menjadi
15

tergugat rekonventie adalah Tisera, oleh karenanya Putusan MA menyatakan


bahwa Putusan PT harus diperbaiki.
d. Bahwa Hein Johanis Tisera dalam jabatan sebagai Pemerintah Negeri Urimessing
telah melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya. Hal ini dikarenakan
pada tanggal 1 Juli 1976, Tisera beserta ke-7 Staf Saniri Negeri mengadakan
musyawarah dengan J.J.Wattimena agar menyerahkan kedua dusun dati
kepadanya. Dapat dikatakan bahwa Tisera menggunakan jabatannya untuk
memperoleh kedua dusun dati tersebut dengan bantuan ke-7 Staf Saniri Negeri.

Kesimpulan
Tanah dati dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni batas tanah dati yang
tidak jelas, kepala dati yang menjual tanah dati tanpa sepengetahuan anak dati, saling
klaim atas tanah dati dan sebagainya. Berdasarkan kasus yang terjadi antara Hein
Johanis Tisera melawan Jacobus Alfons, faktor yang menjadi sengketa keduanya
adalah karena saling klaim atas kedua dusun dati lenyap berdasarkan bukti
kepemilikan dari kedua belah pihak yang saling bertentangan.
Penyelesaian perkara antara Hein Johanis Tisera melawan Jacobus Alfons
berawal dari gugatan Tisera tertanggal 10 November 1980 dengan register perkara
No. 656/1980/Perd.G/PN.AB. Dimana oleh Pengadilan Negeri, gugatan penggugat
dinyatakan ditolak dan menetapkan hak tergugat atas dusun Batubulan dan
Telagaraja. Penggugat kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dengan
register perkara No. 100/1982/Perd/PT.Mal, dengan alasan bahwa Hakim Pertama
dalam meneliti dan mempertimbangkan alat-alat bukti dan saksi-saksi dari penggugat
kurang obyektif karena keliru, akan tetapi setelah mempelajari keseluruhan berkas
perkara, putusan Pengadilan Tinggi justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
Selanjutnya, Tisera kemudian mengajukan permohonan kasasi dengan register
perkara No. 2025 K/Pdt/1983, yang mana permohonan kasasi oleh pemohon kasasi
tidak dapat diterima dikarenakan harus ada perbaikan pada putusan Pengadilan
Tinggi.

Sengketa Tanah yang terjadi di Sragen.


Permasalahan sengketa tanah yang terjadi di sragen disebabkan karena pihak ahli
waris yang terdiri 2 (dua) orang, tetapi salah satunya tidak terima apabila tanah warisan
16

diberikan kepada cucu yang bukanlah ahli waris, hanya merupakan keturunan ahli waris saja.
Ahli waris yang sebenarnya ialah ayah yang sudah meninggal, tetapi dari pihak ahli waris
yang merupakan cucu tersebut merasa bahwa karena tanah tersebut sudah diwariskan berarti
tanah tersebut adalah sudah menjadi bagian dari keluarga.
Oleh karena permasalahan di atas, Pengadilan Negeri Sragen sebagai penengah
dituntut untuk menyelesaikan perkara perebutan warisan tersebut berdasarkan hukum perdata,
yaitu ditinjau dari bagaimana sistem hasil pembagian waris yang benar apabila salah satu ahli
waris telah meninggal.
Ahli waris dalam hukum perdata dikarenakan perkawinan atau hubungan darah, baik
secara sah maupun tidak, yang mempunyai hubungan darah terdekatlah yang berhal untuk
mewarisi. Pasal 852 Ayat (2) KUHPerdata menyatakan: “Mereka mewaris kepala demi
kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri.”
Orang yang mewaris karena kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris
mempunyai posisi yang memberikan kepadanya hak untuk mewaris. Haknya tersebut adalah
haknya sendiri, bukan menggantikan hak orang lain. Mewaris kepala demi kepala artinya
tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya.
Selanjutnya, mewaris berdasarkan penggantian, yakni pewarisan dimana ahli waris
berhak mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan pengantian tempat
ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris pacang
demi pacang (Pasal 848 KUHPerdata).
Adapun hak dari masing-masing ahli waris di antaranya adalah hak untuk menuntut
pemecahan harta peninggalan, seperti yang dilakukan oleh para penggungat terhadap
terguggat. Para Penggugat menginginkan harta peninggalan almarhum Pak Kartoijoyo dan
almarhumah Mbok Kartoijoyo alias Marinah dibagi rata antara para Penggugat dan para
Tergugat. Tetapi, pihak terguggat menghalangi dan tidak menginginkan harta warisan
tersebut dibagikan secara merata.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 834 KUHPerdata ”Bahwa Tiap-tiap waris
berhak memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka,
yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hak pun menguasai seluruh atau
sebagian harta peninggalan, seperti pun terhadap mereka, yang secara licik telah
menghentikan penguasaannya”.
17

Anak-anak dan cucu-cucu tanpa dibedakan pria dan wanita yang tua atau yang muda,
masing-masing berhak sebagai ahli waris dengan menyisihkan golongan kedua (orang tua
dari anak-anak tersebut dan saudara-saudara (paman-bibi) dalam garis lenceng ke atas dan ke
samping, walaupun diantara anggota keluarga tersebuat ada yang mungkin derajatnya lebih
dekat dengan pewaris.
Apabila seorang pewaris wafat meninggalkan seorang anak, maka para cucunya tidak
mewaris, tetapi apabila para cucu mewaris untuk diri mereka masing-masing, maka mereka
mewaris untuk bagian yang sama. Andaikata seorang pewaris meninggal dunia dengan
meninggalkan suami atau istri, dua anak dan tiga cucu maka anak dari anak yang telah wafat
lebih dulu, dibagi dalam empat bagian yang sama banyaknya. Suami, istri, tiap anak dan
ketiga cucu bersama-sama menerima seperempat33.
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat dijelaskan bahwa Kedudukan ahli
waris para Penggugat I, II, III (Ngadinem, Partorejo alias Senin, Darmorejo alias Sadiman)
adalah ahli waris sendiri/langsung yang kedududukanya sebagai ahli waris anak kandung dari
almarhum Pak Kartoijoyo dan almarhumah Mbok Kartoijoyo alias Marinah. Kedudukan ahli
waris para Tergugat I, II, III (Tukiyem, Tukinem, Tukimin) adalah ahli waris pengganti dari
orang tua para Tergugat yang telah meninggal terlebih dahulu, sehingga terguggat adalah
cucu dari almarhum Pak Kartoijoyo dan Mbok Kartoijoyo. Ahli waris pengganti dalam
hukum perdata itu berhak untuk mewaris34.
Selanjutnya, dalam kasus ini para Penggugat juga mempunyai hak atas tanah sawah,
tegal, pekarangan pada posita 4.1,2,3,4 untuk diserahkan dan dibagi waris antara para
Penggugat dan para Tergugat I, II dan turut para Tergugat (Tukimin, Tukiyem, Tukinem) ahli
waris cucu almarhum Pak Kartoijoyo dengan mbok Kartoijoyo alias Marinah sebagai
pengganti ahli waris tukiman almarhum mendapat bagian sama rata dari tanah sengketa pada
posita 4.1,2,3,4. Sementara itu, dalam kasus ini antara pengugat I, II, III seharusnya
mendapatkan bagian 1/2, sedangkan para Tergugat I, II, III masing-masing seharusnya
mendapatkan bagian 1/6 dari tanah sengketa tersebut. Tetapi dalam kasus ini para Penggugat
menginginkan objek sengketa atas tanah sawah, tegal dan pekarangan dibagi rata sehingga
para Penggugat maupun terguggat masing-masing mendapatkan ¼ bagian.
1. Bukti-bukti Perkara Sengketa Waris di Sragen

33
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991). Hal. 56.
34
Wiwin Supriyani, “Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Antar Ahli Waris: Perspektif Hukum Perdata
(Studi Kasus Pengadilan Negeri Sragen)” (Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016).
18

Setelah dari keterangan bukti tulis dan keterangan saksi saling mendukung
akhirnya menjadi fakta hukum, yang dimana fakta itu akan dijadikan acuan oleh
hakim untuk mempertimbangakan pokok masalahnya dalam perkara tersebut. Perkara
sengketa pembagian warisan, kedua belah pihak mengajukan alat bukti antara lain
sebagai berikut35:
Pertama, bukti para Penggugat yaitu alat bukti surat dan saksi: (1) Bukti surat,
yakni foto copy surat nikah atas nama Senin bin Kartoijoyo dengan Djijem binti
soparwiro no 950931 tanggal 14 Juni 1959, diberi tanda, foto copy surat C desa No
634 atas nama Kartoijoyo Tukiman diberi tanda p-2, foto copy surat C desa no 384
atas nama Kartoijoyo, diberi tanda p-3, foto copy surat kematian atas nama tukiman
yang dikeluarkan oleh kepala desa Juwok, tertanggal 23 Juni 2010
no.474.44/3/7/2010, diberi tanda p-4, foto copy surat kematian atas nama Marikem
yang dikeluarkan oleh kepada desa Juwok tertanggal 27 Mei 1992 No.674.44.7.2010
diberi tanda p-5, foto copy kutipan akta nikah atas nama Darmosumarto alias Sadiman
bin Kartoijoyo dengan Waginem binti Karsodikromo no 237,229,1971 tertanggal 19
Oktober 2010, yang dikeluarkan oleh KUA kecamatan Mondokan, diberi tanda P-6.
Selanjutnya, (2) Bukti saksi, yakni (a) Bambang Margono (53 tahun), saksi
bekerja pada kantor badan pertanahan nasional sragen sebagai kepala saksi
penyelesaian sengketa tanah. Dalam persidangan saksi menunjukkan buku tanah atas
tanah pekarngan yang telah diterbitkan sertifikatnya seluas 1395 m2 yakni sertifikat
hak milik Nomor 683 Desa Juwok, atas nama Tukimen istri Sumardi yang berasal dari
peralihan hak dasar jual beli dari Kartoijoyo dengn akta jual beli nomor;
323/SKDN/1997, tertanggal 6 Oktober 1997 di hadapan Sarwadi PPAT/ Camat
Sukodono, (b) Sasmo Riyanto, Kartowijoyo dan Purwanto.
Persidangan dalam mengajukan kesaksianya yaitu yang disengketakan antara
kedua belah pihak yakni sawah 2 (dua) bidang tanah tegal dan tanah pekarangan yang
merupakan harta peninggalan dari Pak Kartoijoyo almarhum dan Mbok Kartoijoyo
(almarhumah). Tanah sawah yang seluas 1 ha dikerjakan oleh 5 orang yaitu Tukiyem,
Ngadinem, Senin, Darmorejo dan Tukinem sedangkan tanah yang luasnya lebih kecil
dikuasai oleh Suwarno anak dari Ngadinem. Tanah tegal yag mengerjakan Tukiyem,
Ndadiyem, Parto Senin dan Tukinem sedang tanah pekarangan ditempati oleh
Partorejo Senin, Darmorejo, Suwarno dan Tukinem.

35
Ibid.
19

Kedua, bukti-bukti yang dijukan oleh Tergugat dalam jawaban gugatan para
Penggugat, berupa: (1) Alat bukti surat, yaitu: (a) Alat bukti surat oleh tenggugat I,
antara lain: foto Copy surat C Desa No 634 atas nama Kartoijoyo Tukiman, diberi
tanda T.I-I, foto Copy Surat pemberitahuan pajak tentang Pajak Bumi dan Bangunan
tahun 2009 desa Juwok persil 00111 atas nama Wajib Pajak Kartoijoyo Tukiman No
33.14.170.004.000-0524.7, tertanggal 5 Januari 2009, diberi tanda T.1.2, foto Copy
Surat pemberitahuan pajak tentang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2009 Desa
Juwok persil 113 atas nama Wajib Pajak Kartoijoyo Tukiman, No 33.14.170.004.000-
0524.7, tertanggal 5 Januari 2009, diberi tanda T.1.3, foto copy surat pemberitahuan
pajak terntang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2009 Desa Juwok nama Wajib Pajak
Kartoijoyo Tukiman, tertanggal 5 Januari 2009, diberi tanda T.1.4, foto Cppy surat C
Desa No 634 atas nama Kartoijoyo Tukiman diberi tanda T,1.5.36
Sementara itu, alat bukti surat oleh para Tergugat II, berupa foto copy hak
milik No 683, Desa Juwok diterbitkan tanggal 09 November 1998 nama pemegang
hak Tukinem isteri Sumardi diberi tanda T.II-1, foto copy Akta Jual Beli no
323/SKDN/1997, tertanggal 06 Oktober 1997 dari Kartoijoyo dijual kepada Tukinem
isteri Sumardi, dibuat oleh PPAT Kecamatan Sukodono, diberi tanggal T.II-2, foto
copy Surat diberi tanda T II-3, foto copy surat Ugeran No 5931/41/IX/1997 tertanggal
23 Septermber 1997, diberi tanda T II-4, foto copy kwintansi untuk pembayaran
sebidang tanah pekarangan C.384 ps 94 P kias I luas ± 1750 m2 dari Tukinem isteri
Sumardi pada Kartoijoyo, tertanggal 23 September 1997 diberi tanda T II-5, foto copy
surat kematian atas nama Kartoijoyo Tukiman yang dikeluarkan oleh Kepada Desa
Juwok tertanggal 6 januari 2000 No 474.3/02/2001 diberi tanda T II-6, foto copy surat
pembertahuan Pajak tentang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2009 desa juwok persil
00091 atas nama wajib pajak Kartoijoyo No 33.14.170.004.000-0287.7 tertanggal 05
januari 2009, diberi tanda T II.7, (b) Alat bukti saksi, yaitu (1) Wagiman adalah saksi
yang menjabat Kepala Desa Juwok sejak tahun 1980-1989 dan kemudian pada tahun
1998-2007 dan mengetahui tanah sawah yang dimiliki Pak Kartoijoyo Tukiman
tersebut diperoleh dari Kas Sampir yakni tanah kas desa yang dimohonkan oleh warga
desa yang belum mempunyai tanah. Tanah pekarangan C desa No.384 seluas 1750 m2
atas nama Kartoijoyo Tukiman berasal dari kas sampir desa. Selanjutnya tanah
pekarangan tersebut dibeli oleh Tukinem yang sekarang ditempati oleh Mbok

36
Ibid.
20

Tukinem, (2) Mukimin adalah saksi mantan Kepala Dusun (Bayan) Desa Juwok sejak
tahun 1975 sampai tahun 2009.
Saksi mengetahui adanya sengketa antara para para Penggugat dengan para
para Tergugat masalah tanah sawah, tegal dan pekarangan. Para para Penggugat dan
terguggat adalah keturunan dari Mbah Kertoijoyo. Setahu saksi tanah sawah, tegal
dan pekarangan adalah miliknya Pak Kartoijoyo yang diketahui dari Surat Pajak dan
setelah meninggalnya mbah Kertoijoyo tanah, sawah, tegal dan pekarangan
diatasnamakan Kartoijoyo Tukiman. Tanah-tanah sawah tersebut digarap bersama
adik-adiknya pak Karto Tukiman. Tanah sawah tersebut dijual oleh Karto Tukiman
kepada Ngadinem37.
Selanjutnya untuk menguatkan dalil-dalilnya para Penggugat mengajukan
bukti surat dan saksi. Dalam bukti surat P-3 Letter C Desa No.384 Persil 99 Klas I
seluas 1750m2 atas nama Kartoijoyo, yang dinyatakan tanah perkarangan dalam bukti
P-3 adalah peninggalan Pak Kartoijoyo (almarhum) dan Mbok Kartoijoyo
(almarhumah). Selain bukti surat para Penggugat juga mengajukan bukti saksi untuk
memperkuat bukti P-3nya. Keseluruhan saksi tersebut menerangkan tanah pekarangan
yang sekarang ada rumah yang ditempati oleh Partorejo Senin, Darmorejo, Suwarno
dan Tukinem adalah benar peninggalan Pak Kartoijoyo (almarhum). Memperhatikan
bukti P-3 yang dihubungkan dengan keterangan saksi yang menerangkan tentang
pengetahuannya atas tanah pekarangan sehingga berdasarkan fakta tersebut tanah
pekarangan Letter C Desa No.384 Persil 99 Klas I seluas 1750 m2 atas nama
Kartoijoyo (bukti P-3) adalah benar peninggalan Pak Kartoijoyo dan Mbok
Kartoijoyo almarhum. Salah satu saksi mukimin menerangkan bahwa tanah sawah,
tegal dan pekarangan yang merupakan peninggalan dari Pak Kartoijoyo dan Mbok
Kartoijoyo diatasnamakan oleh Kartoijoyo Tukiman.
2. Pertimbangan Hukum Perkara di Sragen
Berdasarkan apa yang telah ada dalam kesimpulan pembuktian, pertimbangan
hakim sampai putusan hakim tersebut maka dapat ditarik kesimpulan memang benar
bahwa objek sengketa tanah dan pekarangan belum pernah dibagi waris. Dengan
pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian warisan harta
peninggalan Pak Kartoijoyo (almarhum) dan Mbok Kartoijoyo alias Marinah
(almarhumah) yang belum dibagi waris antara para Penggugat dan para Terguggat
tersebut. Mengenai pertimbangannya hakim harus lebih kritis lagi sebelum akhirnya
37
Ibid.
21

memberikan putusan, karena objek sengketa warisan tersebut memang belum dibagi
waris agar tidak merugikan pihak lain. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa warisan
antara para Penggugat dan para Terguggat oleh Majelis Hakim dikabulkan untuk
sebagian dan menolak untuk selain dan selebihnya38.

Hukum Waris menurut Syari’ah Islam

A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam


Hukum waris Islam bagi seorang muslim mempunyai kedudukan yang utama
dibandingkan dengan hukum waris lainnya, sebab sudah jelas hukum waris isla, tersebut telah
disyari’atkan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. (bahkan merupakan hal yang wajib
dilaksanakan).39
Syariat Islam menetapkan ketentuan tentang waris dengan sangat sistematis, dan
penuh dengan nilai-nilai keadilan. Didalamnya ditetapkan hak-hak kepemilikan bagi setiap
manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum syariat
Islam juga menetapkan hak-hak kepemilikan seseorang sesudah ia meninggal dunia yang
harus diterima oleh seluruh kerabat dan nasabnya. Al-Mirats dalam bahasa arab adalah
bentuk mashadar (infinitif) dari kata warista-yatitsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut
bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seorang kepada orang lain atau dari suatu kaum
kepada kaum yang lain. Dalam Al-Quran surat Al-Naml ayat 16 “wawarisa sulaiman Dauda”
(dan sulaiman telah mewarisi Daud) dan hadist ‘al-Ulama Warasatul Anbiya i’ (Ulama adalah
ahli waris para nabi). Sedangkan makna al- mirats menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang ditinggal itu berupa harta, uang, tanah
atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.40
Berikut beberapa pengertian Hukum Waris menurut pendapat para ahli:
1) Menurut Soepomo
Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie)
kepada turunannya.
38
Ibid.
39
Suhardi K.Lubis & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika Mei
2004), h. 14.
40
H.Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h. 205
22

2) Menurut R. Santoso Pudjosubroto


Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah
dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralig kepada orang yang masih hidup
3) Wirjono Prodjodikoro
Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang yang masih hidup
B. Dasar Hukum Waris Islam
Sumber-sumber hukum ilmu faraidh (Waris) adalah Al-Qur’an, As-Sunnah Nabi
SAW, dan ijma para ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraidh tidak mempunyai ruang
gerak, kecuali jika ia sudah menjadi ijma para ulama. 41 Berikut uraian mengenai sumber-
sumber Hukum Waris Islam :
1. Al-Quran
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah kewarisan terdapat dalam
Surat dan Ayat sebagai berikut :
a. Menyangkut tentang tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam surat
2 ayat 233 (Qur’an Surat Al-Baqarah ayat (233)
b. Menyangkut harta pusaka dan pewarisannya ditemui dalam surat 4 ayat 33,
surat 8 ayat 75, surat 33 ayat 6. Qs. An-Nisa (4) ayat : 33
c. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui dalam surat 4 ayat
7,8,9,11,12,13,14, dan ayat 176 Qs. An-Nisa’ (4) ayat : 7
d. Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi
pengertian pembantu). 26 Seperti pada Qs. 4 ayat 22, 23, dan 24 sebagai
berikut : Qs. An-Nisa’ (4) ayat : 22
2. Hadist/Sunnah Rasul
Berikut ini merupakan beberapa hadis yang dapat penulis kemukakan yang
berkaitan dengan masalah kewarisan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tentang Cara Untuk Mengadakan Pembagian Warisan.
Berdasarkan hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, ia berkata “Bersabda

41
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar (Mesir), Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing,
2004)., h.14
23

Rassulullah SAW, serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila


ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”. 42
b. Mengenai Orang Yang Berbeda Agama Tidak Saling Waris-Mewarisi
Dalam hukum Waris Islam secara tegas diatur dan ditetapkan bahwa
bagi orang yang berbeda agama tidalkah dapat saling waris-mewarisi
sebagaimana juga berdasarkan hadis dari Usman Putra Zaid ia berkata,
bahwasannya Rasulullah SAW bersabda “orang Islam tidak punya hak waris
atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya hak waris atas orang Islam”(hadis
ini disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim)
c. Bayi sama haknya dengan orang dewasa
Dalam hukum waris Islam tidak membedakan pembagian warisan
antara seseorang yang belum dewasa dengan seseorang yang telah dewasa,
ketentuan ini dikemukakan dari hadis Jabir ra , ia berkata “bayi yang sudah
dapat menangis itu pun termasuk ahli waris” (hadis diriwayatkan oleh Imam
Abu Dawud)
d. Pembunuh pewaris tidak menjadi ahli waris
Seperti telah penulis kemukakan juga diatas bahwa salah satu
penghalang atau larangan mendapatkan warisan adalah pembunuhan hal ini
juga diperkuat dalam hadis dari Amr Putra Syu’aib , dari ayahnya, dari
kakeknya ra. Ia berkata “sabda Rasulullah SAW bagi pembunuh tidak punya
hak warisan sedikit pun “ (hadis diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Imam
Darul Quthny).
e. Hadis Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil
Hadis Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh
Bukhari Abu Dawud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang
pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan, dari anak
laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata “untuk Anak perempuan
seperdua dan untuk sudara perempuan seperdua,. Datanglah kepada Ibnu
Mas’ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan
kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab “saya menetapkan atas dasar apa yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk
melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara
perempuan ”
42
Ibid., hlm. 31
24

f. Hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim.
Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda “ Aku lebih
dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya .
oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan meninggalkan hutang yang
tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggalannya) maka
kewajibankulah untuk membayarnya, dan jika dia meninggalkan harta (saldo
yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.
g. Hadis Rasulullah dari Wasilah bin Al-Aska yang diriwayatkan oleh at-Tirmizi,
abu Dawud dan Ibnu Majah.
Wasilah bin Al-Asqa menceritakan bahwa Rasulullah bersabda “
perempuan menghimpun tiga macam hak mewaris, yaitu : Mewaris budak
lepasannya, Anak zinanya, Mewarisi anak li’annya.
3. Ijtihad
Meskipun Al-Qur-an dan Hadist Rasul telah memberikan ketentuan terperinci
mengenai pembagian warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad
terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur’an atau Hadist Rasul.43
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan bentuk dari Ijtihad bagi ketentuan dan
peraturan mengenai kewarisan Islam di Indonesia.
4. Ijma
Ijma adalah kesepakatan para sahabat atau ulama setelah wafatnya Rasulullah
saw. Tentang aturan kewarisan yang terdapat dalam ketentuan Al-Quran dan Hadist.
Dan tidak ada seorang pun yang dapat menyalahi Ijma tersebut.
C. Golongan Bagian Waris
a. Golongan Ahli Waris
Adapun ahli waris lingkaran ada sepuluh yaitu:
1) Anak Laki-laki
2) Cucu laki-laki yang berasal dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dan terus keatas
5) saudara kandung laki-laki
6) Saudara laki-laki dari ayah

43
Neng Djubaedah & Yati Soelistijono, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm.12
25

7) Paman
8) Anak laki-laki
9) suami
10) Majikan laki-laki yang membebaskan budak
Ada tujuh ahli waris dari kalangan perempuan
1) Anak perempuan
2) Anak perempuan yang dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek
5) Saudara perempuan
6) Istri
7) Majikan perempuan yang membebaskan budak
Ada lima ahli waris yang tidak pernah gugur dalam mendapat hak ahli waris
1) Suami
2) Istri
3) Ibu
4) Ayah
5) Anak dari ahli waris langsung
Ashabah yang paling dekat :
1) Anak Laki-laki
2) Cucu dari anak laki laki
3) Ayah
4) Kakek dari pihak ayah
5) Saudara laki-laki seayah dan ibu
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki dari saudara laki laki se ayah dan ibu
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9) Paman
10) Anak laki-laki dari paman
11) Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budak yang
mendapatkannya
b. Bagian Penerima
26

Masing-masing ahli waris memiliki bagian yang berbeda. Hal ini dipengaruhi
oleh jumlah ahli warisk yang ada dan keintiman hubungan. Bagian masing-masing
ahli waris dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Catatan :
 Harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus
diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman
serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan
27

istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih
dahulu antara harta bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta
bersama (harta yang diperoleh setelah pernikahan atau harta gono-gini). Sesuai
dengan hukum adat bahwa harta bersama/gono-gini dibagi menjadi dua bagian,
separuhnya adalah milik suami dan separuhnya milik istri.
 Jadi yang menjadi Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah(tajhis), pembayaran hutang dan pemberian
kerabat (Pasal 171 butir e KHI ).
 Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris, ANAK ANGKAT atau ORANG TUA
ANGKAT dapat memperoleh bagian sebagai HIBAH (ketika pewaris masih hidup)
atau sebagai WASIAT WAJIBAH, atau diberi bagian yang tidak boleh lebih dari 1/3
harta warisan sesuai ketentuan pasal 194 s/d 214 KHI.
 Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. (pasal 183)
 Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.
Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan
pembagian warisan. (pasal 188)
E. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Waris

Penyelesaian sengketa termasuk sengketa waris terdiri melalui dua macam cara yaitu
melalui litigasi (Pengadilan) dan non litigasi (diluar pengadilan). Biasanya proses
penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan ultimum remidium (sarana terakhir) yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa dikarenakan gagalnya proses penyelesaian melalui
non litigasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif, cara-
cara penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (luar pengadilan) adalah berikut:
1. Konsultasi: suatu tindakan yang dilakukan antara satu pihak dengan pihak yang lain
yang merupakan pihak konsultan
2. Negosiasi: penyelesaian di luar pengadilan dengan tujuan untuk mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis
28

3. Mediasi: penyelesaian melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan di antara


para pihak dengan dibantu oleh mediator
4. Konsiliasi: penyelesaian sengketa dibantu oleh konsiliator yang berfungsi menengahi
para pihak untuk mencari solusi dan mencapai kesepakatan di antara para pihak.
5. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai
dengan bidang keahliannya.
6. Arbitrase : Penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang di dasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.44
Dalam perkembangannya bentuk penyelesaian non litigasi juga ada yang
dilakukan/diselesaikan di dalam pengadilan. Contohnya yaitu mediasi.
Sedangkan menurut Nader dan Todd Jr, ada 7 cara penyelesaian sengketa dalam
masyarakat, yaitu:45
1. Lumpingit (membiarkan saja), penyelesaian ini salah satu pihak yang merasa
dirugikan gagak dalam mengupayakan tuntutannya. Dan pihak yang merasa dirugikan
ini mengabaikan saja masalahnya dan meneruskan hubungannya dengan pihak yang
lain.
2. Avoidance (mengelak), Pada penyelesaian ini pihak yang merasa dirugikan ini
memilih mengelak dengan mengurangi atau tidak sama sekali berhubungan dengan
pihak yang merugikannya.
3. Coercion (paksaan), pihak yang satu memaksakan pemecahan kepada pihak lain, ini
bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan atau ancaman untuk
menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian
secara damai.
4. Negotiation (perundingan), kedua belah pihak yang berhadapan merupakan para
pengambil keputusan. Pemecahan masalah yang dihadapi dilakukan oleh mereka
berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak yang ketiga yang mencampurinya. Kedua
belah pihak berupaya untuk saling menyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka
sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.
5. Mediation (mediasi), pihak ketiga yang membantu kedua belah pihak yang berselisih
pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh
44
Pramesti, Tri Jata Ayu (28 November 2013). "Ulasan lengkap: Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan". Hukum Online.com. Diakses tanggal 30 November 2021
45
Nader, Laura & Todd Jr, Harry F. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies. New York: Columbia
University Press.
29

kedua belah pihak yang bersengketa, atau ditunjukkan oleh pihak yang berwenang
untuk itu.
6. Arbitration (Arbitrase), yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk
meminta perantara kepada pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula telah setuju
bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator tersebut.
7. Adjudication (peradilan), yaitu pihak ketiga yang mempunyai wewenang untuk
mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu
artinya pihak ketiga berupaya bahwa keputusan itu dilaksanakan.
E. Proses Penyelesaian Sengketa Waris Melalui Jalur Litigasi (Gugatan Waris)
Pertama, gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama oleh penggugat selaku ahli
waris dan dapat pula menggunakan jasa pengacara atau kuasa insidentil. 46 Kuasa Insidentil
adalah pemberian kuasa secara individu, syaratnya antara pemberi kuasa dan penerima kuasa
harus ada hubungan keluarga yakni suami dan isteri (bukan bekas suami atau bekas isteri),
anak-anak yang belum berkeluarga dan orang tua suami atau isteri.47 Jika menggunakan kuasa
insidentil, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama
untuk menjadi kuasa insidentil, kemudian Ketua Pengadilan mengeluarkan surat izinnya.
Kedua, pengajuan gugatan waris harus disertai dengan alat bukti kematian pewaris
dan silsilah ahli warisnya dan dipersiapkan pula dokumen bukti-bukti kepemilikan objek
sengketa seperti sertifikat, akta jual beli, dan bukti kepemilikan lainnya. 48 Termasuk
didalamnya, surat gugatan harus memuat secara lengkap objek-objek sengketa yang sedang
diperkaran atau digugat. Jika salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka mengakibatkan
gugatan tidak dapat diterima. Dan dengan sendirinya hakim menolak gugatan tersebut.49
Ketiga, Untuk pengajuan gugatan waris diajukan ke Pengadilan Agama yang terletak
di daerah kediaman si Tergugat. Akan tetapi Jika kediaman tergugat tidak diketahui, gugatan
diajukan sesuai dengan daerah tempat tinggal penggugat. Jika objek gugatannya mengenai
tanah atau barang tak bergerak maka penggugat mengajukan gugatan sesuai letak wilayah
tanah tersebut.50

46
Uchuf, “Gugatan Waris” /http://www.pa-pelaihari.go.id, Diakses Tanggal 30 November 2021.
47
Associate, Law “Dasar Hukum Surat Kuasa”http://pengacaramuslim.com/dasar-hukum-surat-kuasa/, Diakses
Tanggal 30 November 2021
48
Uchuf, “Gugatan Waris” /http://www.pa-pelaihari.go.id, Diakses Tanggal 30 November 2021.
49
Asadullah Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), 16.
50
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung:Binacipta, 1989), 25.
30

Keempat, Penggugat membayar panjar biaya perkara jumlahnya sesuai dengan


taksiran meja 1 (SKUM) yang didasarkan pada PP 53 tahun 2008. Biaya tersebut
diperuntukkan sebagai biaya saksi, biaya penyitaan, biaya pemanggilan para pihak
berperkara, biaya pemeriksaan di tempat dan lainnya.51 Bagi yang tidak mampu dapat
mengajukan gugatan waris secara cuma-cuma atau prodeo, dengan melampirkan surat
keterangan tidak mampu dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang diketahui oleh Camat.
Kelima, setelah gugatan didaftarkan di Pengadilan Agama, Penggugat atau kuasanya
tinggal menunggu panggilan sidang yang disampaikan oleh Juru sita berdasarkan perintah
hakim/Ketua Majelis di dalam PHS pada hari, tanggal dan jam sebagaimana tersebut dalam
PHS di ruang persidangan yang telah ditetapkan. 52 Panggilan disampaikan minimal 3 hari
kerja sebelum sidang dilaksanakan.
Keenam, proses sidang dimulai dari upaya perdamaian kedua belah pihak.perdamaian
dalam perkara perdata pada umumnya diatur dalam pasal 130 HIR/pasal 154 Rbg dan pasal
14 ayat (2) UU.No. 14/1970 jo. Perma No. 1 Tahun 2008. 53 Dalam mediasi, para pihak bebas
memilih mediator apakah berasal dari hakim atau pihak lain yang sudah memiliki sertifikat
mediasi, dan segala biaya pengeluaran mediasi ditanggung oleh Penggugat atau kedua belah
pihak jika terdapat kesepakatan dengan Tergugat.
Ketujuh, setelah proses mediasi dilaksanakan, dan ternyata para pihak berperkara
memilih untuk damai, maka dibuatkan akte perdamaian yang isinya menghukum kedua belah
pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. 54 Namun jika tidak
terjadi perdamaian, pemeriksaan gugatan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan, jawaban
Tergugat, replik Penggugat, duplik Tergugat, pembuktian yang dilanjutkan dengan
pemeriksaan setempat, kesimpulan, musyawarah majelis dan putusan.
F. Proses Penyelesaian Sengketa Waris Melalui Jalur Non Litigasi (Mediasi)

Dewasa ini orang-orang dibanding menyelesaikan sengketanya menggunakan jalur


litigasi, mereka lebih memilih menyelesaikan menggunakan jalur non litigasi yaitu mediasi.
Hal ini dikarenakan mediasi bisa menghemat waktu, mengurangi biaya, dan menghindari
perselisihan antara para pihak apalagi pihak yang bersengketa merupakan satu keluarga,
sebab tidak sedikit para pihak yang menempuh jalan litigasi dan tidak menerima putusan

51
Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 72.
52
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 63.
53
Mukti Arto, Praktek Perkara, 95.
54
Mukti Arto, Praktek Perkara, 95.
31

hakim, dan masalah tersebut akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda halnya
dengan jalur mediasi, peran mediator disini hanyak akan menjadi penengah, pemberi nasehat
dan tidak mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan. Hasil dari mediasi adalah
merupakan hal yang terbaik karena hasil mediasi dibuat dengan dirundingkan oleh para pihak
yang bersengketa, dan hasilnya pasti adil menurut kedua belah pihak dan tidak akan
menimbulkan lagi masalah dikemudian hari.Mediasi adalah salah satu jalan penyelesaian
sengketa yang menempatkan kedua belah pihak dalam posisi yang sama, tidak ada pihak
yang dimenangkan ataupun dikalahkan (win-win solution).55
Prosedur mediasi dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu tahapan pra mediasi, tahapan
pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir mediasi yang biasanya menghasilkan 2 keputusan.56
1. Tahap Pra Mediasi
Dalam pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2008, hakim mewajibkan para
pihak yang bersengketa untuk menempuh jalur mediasi terlebih dahulu dan juga hakim
berkewajiban menunda persidangan untuk memberi kesempatan proses mediasi. Kuasa
hukum para pihak yang bersengketa juga mempunyai kewajiban untuk mendorong para pihak
itu untuk berperang langsung dan aktif dalam proses mediasi.
Hakim aktif bersetifikat sebagai mediator di Pengadilan Agama, akan menyatakan
bahwa setelah para pihak dipanggil pada sidang pertama, majelis hakim berkewajiban
mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara. Apabila tidak berhasil maka ditunjuklah
mediator yang telah disetujui oleh para pihak, lalu dilanjutkan ke ruang mediasi yang telah
disediakan oleh pihak pengadilan. Dengan kata lain proses mediasi baru dapat dilaksanakan
apabila para pihak yang berpekara menghadiri sidang pertama secara prinsipal atau dapat
diwakilkan dengan menggunakan surat kuasa khusus berdasarkan alasan yang sah.
2. Tahap Proses Mediasi
Pada sidang pertama yang dihadiri para pihak, Majelis Hakim Pemeriksa Perkara
mendorong para pihak untuk berdamai. Apabila tidak ditemukan kata sepakat dan diserahkan
kepada Majelis Hakim untuk menunjuk mediator, maka pada hari itu juga Majelis Hakim
mengeluarkan surat penetapan penunjukan mediator. Setelah itu para pihak mendatangi ruang
mediasi dalam catatan mediator tidak boleh mengadakan mediasi di luar pengadilan.

55
Abbas, S. (2010). Mediasi. Jakarta: Kencana.
56
Komandanu, A. (2015). Penyelesaian Sengketa Kewarisan Dengan Cara Mediasi Oleh Pengadilan Agama Kelas
I A Padang . Diakses 30 November 2021.
32

Setelah mediator mempelajari isi gugatan secara mendalam dan mempersiapkan


solusi untuk mendamaikan para pihak, maka diadakanlah mediasi sesuai jadwal yang telah
disepakati, mediator melakukan pendekatan secara psikologis dan rohani kepada para pihak.
Dan apabila diperlukan mediator dapat melakukan pertemuan sendiri-sendiri dengan salah
satu pihak untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap. Seandainya tergugat tidak datang
maka mediasi tidak dapat dilaksanakan kecuali diwakilkan dengan surat kuasa khusus
berdasarkan alasan yang sah. Apabila mediator merasa para pihak tidak dapat didamaikan
lagi karena tergugat tidak mau menghadiri proses mediasi atau para pihak menunjukan itikad
yang tidak baik, maka mediator berwenang menyatakan proses mediasi gagal tanpa harus
menunggu berakhirnya jangka waktu yang diberikan.
Hasil dari proses mediasi dapat berupa laporan, laporan proses mediasi gagal karena
tidak tercapainya perdamaian. Dan juga dapat berupa laporan proses mediasi berhasil dengan
kesepakatan perdamaian dan surat pernyataan pencabutan perkara. Selanjutnya hasil mediasi
tersebut diberitahukan kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara untuk ditindaklanjuti.
3. Tahap Implementasi Hasil Mediasi
Hasil dari proses mediasi dapat berupa laporan proses mediasi gagal dan laporan
mediasi berhasil.
a. Laporan Mediasi Gagal
Apabila dalam proses mediasi tidak mendapatkan kata sepakat dari para pihak, maka
mediator berwenang menyatakan proses mediasi telah gagal dengan membuat laporan kepada
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara. Dalam permasalan warisan, mediator berwenang untuk
memberikan solusi tentang pembagian harta warisan sesuai hukum islam atau adat sesuai
dengan pembagian masing-masing pihak dan kedua belah pihak membicarakannya, lalu
mempertimbangkan solusi tersebut dan sama-sama sepakat. Bila para pihak tidak
menemukan kata sepakat dan damai dalam proses mediasi, maka mediator akan menyatakan
proses mediasi gagal yang selanjutnya dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara.
Sehingga perkara waris ini dilanjutkan pada tahap pemeriksaan pokok perkara oleh Majelis
Hakim pada hari sidang selanjutnya.
b. Laporan Proses Mediasi Berhasil
Proses mediasi berhasil apabila tercapainya perdamaian atau kata sepakat diantara
para pihak. Apabila proses mediasi berhasil, maka mediator akan menyampaikan laporan
tersebut kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara. Setelah itu, para pihak akan
menandatangani surat pernyataan pencabutan perkara dan majelis hakim akan menghentikan
33

prosess persidangan karena para pihak telah berdamai. Mengenai akta perdamaian diserahkan
kepada keinginan para pihak, apakah mereka ingin membuat akta perdamaian atau tidak.
Maka para pihak telah dapat membagi harta warisan sesuai yang disepakati dan kembali
hidup damai sebagai saudara atau kerabat dengan rukun.
G. Contoh Kasus Sengketa dan Penyelesaiannya Menurut Agama

PUTUSAN
Nomor 7/Pdt.G/2016/PTA. Mdn
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Tinggi Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada
tingkat banding dalam sidang majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara gugatan
sengketa waris, antara:
1 Warsinah Binti Wariyan, umur 73 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat
Jl. Tuba nomor I Nomor 18, Kelurahan Tegalsari Mandala III, Kecamatan Medan Denai,
Kota Medan,sebagai Penggugat I/Pembanding I;
2 Muliyono Bin Sudiono, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, alamat Kp.
Baru, KB.Koja, Kelurahan Penjaringan, Kec. Panjaringan, Jakarta Utara,sebagai Penggugat
II/Pembanding II;
3 Amir Suriono Bin Sudiono, umur 49 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Kp.
Pisangan, Kelurahan Kayu Agung, Kecamatan Sepatan, Tangerang, sebagai Penggugat
III/Pembanding III;
4 Hariono Bin Sudiono, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Balai desa Gang Flamboyan No. 17, Kelurahan Lalang, Kecamatan Medan Sunggal, Kota
Medan, sebagai Penggugat IV/Pembanding IV;
5 Rudi Hartono Bin Sudiono, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl.
Keramat Indah Gang Harapan No.3 Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai,
Kota Medan,sebagai Penggugat V/Pembanding V;
6 Samsul Wijaya Bin Sudiono, umur 42 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl.
Tuba I Nomor 18, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Penggugat VI/Pembanding VI;
7 Muliyadi bin Sudiono, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl. Tuba
I nomor 18, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota
Medan,sebagai Penggugat VII/Pembanding VII;
34

8 Lia Kurniati Binti Sudiono, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl.
Tuba I no. 18, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Penggugat VIII/Pembanding VIII; Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 19
Januari 2015 memberi kuasa kepada Zulpahmi Harahap,SH., Jerman Pohan, SH., dan Ahmad
Iskandarsyah Siregar,SH. Pada kantor hukum “Zulpahmi Harahap,SH & Rekan” beralamat di
Jalan Nusa Indah IV No. 23, Medan, Sebagai para Penggugat/para Pembanding ;
Melawan
1 Aminah Lubis, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat Jalan
Tuba I No. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota
Medan,sebagai Tergugat I/Terbanding I;
2 Surya Darma bin Sutrisno, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat II/Terbanding II;
3 Suhendri bin Sutrisno, umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota
Medan,sebagai Tergugat III/Terbanding III;
4 Sri Widia Dara binti Sutrisno, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat
jalan Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat IV/Terbanding IV;
5 Dinda Yohana binti Sutrisno, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat
jalan Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat V/Terbanding V;
6 Rahmadani bin Sutrisno, umur 21 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat VI/Terbanding VI;
7 Ali Sukri bin Sutrisno, umur 17 tahun, agama Islam, alamat jalan Tuba I no. 3, Kelurahan
Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, sebagai Tergugat
VII/Terbanding VII;
Dalam hal ini kecuali Tergugat VII/Terbanding VII berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 11 Februari 2015 telah memberi kuasa kepada Irwansyah Gultom, SH. Advokat pada
kantor hukum Irwansyah Gultom, SH.dan Rekan, beralamat di Jalan Mayjen Sutoyo
Siswomiharjo No. 135, Medan, Sebagai para Tergugat/para Terbanding ;
Pengadilan Tinggi Agama tersebut :
35

Telah mempelajari berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara
yang dimohonkan banding;
DUDUK PERKARA
Mengutip uraian sebagaimana termuat dalam putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama Medan, Nomor 178/Pdt.G/2015/PA.Mdn, tanggal 28 Oktober 2015
Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Muharram 1437 Hijriyah, yang amarnya berbunyi
sebagai berikut :
1 Menolak gugatan para Penggugat;
2 Membebankan kepada para Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.791.000,- ( dua juta tujuh ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah). Telah membaca Akta
Permohonan Banding yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Medan, yang menyatakan
bahwa pada hari Senin tanggal 9 Nopember 2015, pihak Penggugat telah mengajukan upaya
hukum banding terhadap putusan Pengadilan Agama tersebut, permohonan banding mana
telah pula diberitahukan kepada pihak lawannya pada tanggal 12 Nopember 2015 secara
seksama; Telah membaca dan memperhatikan memori banding tertanggal 2 Desember 2015
yang diajukan Penggugat/Pembanding tentang keberatan-keberatan terhadap putusan
Pengadilan Agama Medan tersebut, dan memori banding mana telah pula disampaikan secara
seksama kepada pihak lawannya tanggal 11 Desember 2015. Sedangkan
Tergugat/Terbanding berdasarkan surat keterangan tertanggal 30 Desember 2015 Nomor
178/Pdt.G/2015/PA Mdn yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Medan menerangkan
tidak mengajukan kontra memori bandingnya;
Telah pula membaca dan memperhatikan relaas pemberitahuan inzage yang telah
disampaikan kepada masing-masing Penggugat/Pembanding dan Tergugat/Terbanding, dan
kedua belah pihak tidak menggunakan haknya untuk melakukan inzage dimaksud
berdasarkan surat keterangan Panitera Pengadilan Agama Medan Nomor 178/Pdt.G
/2015/PA.Mdn., tanggal 30 Desember 2015;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding dalam perkara a quo
telahdiajukan oleh para Penggugat/para Pembanding dalam tenggang waktu dan menurut
tatacara yang ditentukan dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1)
dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan, maka secara
formil permohonan banding a quo harus dinyatakan dapat diterima; Menimbang, bahwa atas
dasar apa yang dipertimbangkan dalam putusan Pengadilan Agama Medan dalam perkara a
36

quo khususnya yang berkaitan dengan masalah eksepsi yang diajukan oleh para
Tergugat/para Terbanding, dapat disetujui oleh Pengadilan Tinggi Agama, dengan
menambahkan pertimbangan berkaitan dengan eksepsi tersebut sebagai berikut;
Menimbang,bahwa eksepsi para Tergugat/para Terbanding yang menyatakan bahwa
terhadap perkara a quo harus terlebih dahulu diputus oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum karena menyangkut sengketa milik, tidak dapat dibenarkan, karena pihak-
pihak yang bersengketa terhadap harta peninggalan pewaris alm. Sudiono tersebut merupakan
ahli waris yang masih ada hubungan darah dan hubungan keluarga antara satu dengan yang
lain, sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 111K/AG/1998, tanggal 13
September 1999 yang menyatakan bahwa di dalam hukum waris mal waris, dimana mengenai
sengketa tentang harta peninggalan diantara para ahli waris yang masih ada hubungan
keluarga, tidak dapat dimasukkan sengketa milik; Menimbang, bahwa terhadap eksepsi yang
menyatakan bahwa gugatan para Penggugat/para Pembanding adalah obscuur libel karena
dalam posita tidak dijelaskan asal usul tanah, juga tidak dapat dibenarkan, karena masalah
asal-usul tanah telah menyangkut pokok perkara yang kebenarannya akan dibuktikan pada
tahap pembuktian;
Menimbang, bahwa tentang eksepsi yang menyatakan terdapat kontradiksi antara
posita dan petitum dimana dalam posita hanya menyebutkan masalah waris mal waris,
sementara pada petitum meminta agar ditetapkan obyek sengketa menjadi harta bersama, juga
tidak dapat dibenarkan, oleh karena para Penggugat/para Pembanding dalam posita
gugatannya telah mendalilkan bahwa alm Sudiono semasa hidupnya dan Penggugat I/
Pembanding I telah memperoleh obyek terperkara sebagai hasil usaha bersama dalam
perkawinan;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka cukup beralasan
bagi Majelis Hakim Tingkat Banding untuk menyatakan bahwa eksepsi para Tergugat/para
Terbanding harus ditolak;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama Medan tidak sependapat
dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama a quo, dimana Pengadilan Agama Medan
menyatakan menolak gugatan para Penggugat/para Pembanding dengan alasan gugatan
mengandung cacat formil karena kurang pihak (plurium litis consortium) karena tidak
mengikut-sertakan Sajum yakni ayah dari Pewaris alm. Sudiono sebagai pihak dalam perkara
a quo.
37

Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim tingkat banding


akanmempertimbangkan sendiri terhadap dalil-dalil gugatan dalam pokok perkara sebagai
berikut:
Menimbang, bahwa tentang keberadaan Sajum (ayah pewaris) pertimbangan hukum
Pengadilan Agama Medan tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun berdasarkan keterangan
saksi-saksi para Penggugat bahwa pewaris Sudiono lebih dahulu meninggal dunia dari pada
Sajum, namun ketika gugatan sengketa warisan a quo diajukan ke pengadilan keberadaan
sajum telah almarhum/meninggal dunia, maka secara yuridis orang yang sudah meninggal
dunia tidak dapat ditarik dan dijadikan sebagai pihak dalam suatu perkara di pengadilan;
Menimbang, bahwa namun demikian, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang
diajukan para Penggugat/para Pembanding di persidangan telah terdapat fakta-fakta bahwa
Sudiono lebih dahulu meninggal dunia dari pada Sajum (ayah dari alm Sudiono), artinya
ketika Sudiono meninggal dunia, Sajum masih hidup;
Menimbang, bahwa oleh karena pada saat Sudiono meninggal dunia Sajum masih
hidup, maka berdasarkan sistem faraidh Islam, Sajum berhak mendapat 1/6 (seper-enam)
bagian dari harta warisan pewaris Sudiono berdasarkan ketentuan Al-Qur’an Surat 4: 11, dan
ketika Sajum meninggal dunia harta warisannya tersebut akan diwarisi oleh para ahli
warisnya yakni istri (jika masih hidup) dan anak-anaknya yakni saudara dari pewaris Sudiono
(jika ada) termasuk juga anak-anak dari pewaris alm Sudiono sebagai ahli waris pengganti;
Menimbang, bahwa oleh sebab itu seharusnya para Penggugat/para pembanding
mencantumkan keberadaan para ahli waris dari Sajum dalam gugatannya yang nyatanya pada
saat perkara warisan alm Sudiono a quo diajukan ke Pengadilan Agama Sajum telah
meninggal dunia;
Menimbang, bahwa oleh karena para Penggugat/para Pembanding tidak menyinggung
sedikitpun tentang keberadaan ahli waris dari alm. Sajum yakni apakah Sajum ketika
meninggal dunia ada atau tidak mempunyai ahli waris, yang notabene ahli warisnya tersebut
akan mendapat bagian dari harta warisan Sajum, maka gugatan para Penggugat/para
Pembanding harus dikualifikasikan sebagai gugatan yang mengandung cacat formil karena
kabur (obscuur libel) karena tidak menyebutkan ada atau tidak ahli waris Sajum ketika ia
meninggal dunia, yang selanjutnya jika ahli warisnya ada/masih hidup maka jika tidak
didudukkan sebagai pihak dalam perkara a quo gugatan mengandung cacat formil karena
orang yang ditarik sebagai pihak dalam perkara a quo tidak lengkap (plurium litis
consertium);
38

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka


Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa putusan Pengadilan Agama tersebut
tidak tepat dan tidak dapat dipertahankan dan karenanya harus dibatalkan dan dengan
mengadili sendiri menyatakan bahwa gugatan para Penggugat/para Pembanding tidak dapat
diterima (niet ont vankelijk verklaard);
Menimbang, bahwa tentang biaya yang timbul dalam perkara ini, oleh karena para
Penggugat/para Pembanding dalam beracara pada Tingkat Pertama dan pada Tingkat
Banding dinyatakan dikalahkan, maka sesuai ketentuan pasal 192 ayat (1) RBg, maka para
Penggugat/para Pembanding dihukum untuk membayar biaya perkara pada Tingkat Pertama
dan pada Tingkat Banding yang jumlahnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;
Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perkara ini;
MENGADILI
• Menyatakan, bahwa permohonan banding yang diajukan para Penggugat/para Pembanding
dapat diterima;
• Membatalkan putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 178/Pdt.G/2014/PA.Mdn tanggal
28 Oktober 2015 Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Muharram 1437 Hijriyah, yang
dimohonkan banding; Dengan mengadili sendiri Dalam Eksepsi
• Menolak eksepsi para Tergugat/para Terbanding; Dalam pokok perkara
• Menyatakan gugatan para Penggugat/para Pembanding tidak dapat diterima (niet ont
vankelijk verklaard);
• Menghukum para Penggugat/para Pembanding untuk membayar biaya perkara pada tingkat
pertama sebesar Rp.2.791.000,- (dua juta tujuh ratus sembilan puluh satu ribu rupiah) dan
pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah);
Demikian diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Medan pada hari Selasa tanggal 26 Januari 2016 Masehi bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul
akhir 1437 Hijriyah, oleh kami: Drs. H. Syamsuddin Harahap, SH.,Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Medan sebagai Ketua Majelis, Drs. H. M. Anshary MK, SH.,MH., dan Drs.
Jasiruddin, SH., M.SI Hakim-hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan, masing-masing
sebagai Hakim Anggota. Putusan mana diucapkan dalam siding yang dinyatakan terbuka
untuk umum pada hari Rabu tanggal 2 Maret 2016 Masehi bertepatan dengan tanggal 22
Jumadil Awal 1437 Hijriyah, dengan dihadiri oleh Hakimhakim Anggota tersebut serta Drs.
39

Ali Mukti Daulay sebagai Panitera Pengganti, dan tanpa dihadiri oleh para Penggugat/para
Pembanding dan para Tergugat/para Terbanding.57
Hakim Anggota, Ketua Majelis,
Drs. H.M. Anshary MK, SH.,MH
Drs. H. Syamsuddin Harahap, S.H.
Hakim Anggota,
Drs. Jasiruddin, SH.,M.SI.
Panitera Pengganti
Drs. Ali Mukti Daulay
Rincian Biaya Perkara
1 Biaya Proses Rp. 139.000,-
2 Biaya Redaksi Rp. 5.000,-
3 Biaya Materai Rp. 6.000.-
Jumlah Rp. 150.000.-

Hukum Waris menurut Adat

A. Pengertian Hukum Waris Adat


Hukum Waris Adat ialah salah satu dari sekian banyak aspek yang terdapat dalam
lingkup Hukum Adat yang terdiri dari norma-norma atau kaidah yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil ataupun imateriil, yang mana dari seorang tertentu dapat
diserahkan kepada keturunannya atau ahli warisnya serta yang sekaligus juga mengatur saat,
cara dan proses peralihannya dari harta yang dimaksud.58
Menurut Bushar Muhammad, Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan hukum adat
yang mengatur bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi
dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi berikutnya.59
Menurut Soepomo, Hukum Waris Adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak

57
putusan.mahkamahagung.go.id

58
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung: Alfabeta, 2008 hlm.
281
59
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006 hlm. 39
40

berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya.60
Menurut Soerojo Wignjodipoero dalam bukunya Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adat, mengatakan bahwa dalam warisan terdapat 3 (tiga) unsur mutlak yang masing masing
unsur merupakan unsur esensial (mutlak), yaitu:61
1. Seseorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan;
2. Seseorang atau beberapa ahli waris yang berhak menerima kekayan yang ditinggalkan
itu;
3. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan
dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.
Sistem pewarisan adat ini erat kaitannya dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Secara teoritis sistem kekerabatan atau sistem keturuan itu terdiri atas :
1. Masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal;
Pada masyarakat patrilineal yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam
pewarisan. Apabila terjadi putus perkawinan karena suami wafat maka istri berkewajiban
tetap mengurus semua harta perkawinan yang ditinggalkan beserta anak-anaknya. 62
Contohnya terdapat di daerah Gayo, Alas, Batak, Nias, Irian.
2. Masyarakat dengan sistem kekerabatan matrinileal;
Pada masyarakat matrilineal, dikenal dengan perkawinan semendo (semenda), yaitu
berupa bentuk perkawinan yang bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan dari
pihak ibu, apabila seorang suami meninggal maka harta pencaharian seorang suami tidak
akan diwariskan oleh anak-anaknya melainkan oleh saudara-saudaranya sekandung
beserta keturunan saudara-saudara perempuan sekandung.63 Contohnya Minangkabau,
Enggano, Timor.
3. Masyarakat dengan sistem kekerabatan parental atau bilateral.
Pada masyarakat parentalatau bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), di mana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Jika terjadi putus perkawinan karena suami
atau istri wafat atau meninggal dunia maka suami atau istri yang hidup meneruskan

60
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hlm. 67
61
Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Haji Masagung, 1990, hal. 162.
62
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990 hlm. 188
63
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung: Penerbit Alfabeta,
2008, hlm. 289
41

tangung jawabnya sebagai kepala rumah tangga yang mengurus harta perkawinan dan
anak-anak dengan memperhatikan adanya pesan atau wasiat dari yang wafat ketika
hidupnya.64 Contohnya Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan
Sistem parental pada dasarnya tidak membedakan antara kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam sistem pewarisannya, sistem parental dianggap lebih adil dan dapat
mengakomodir nilai kebersamaan dalam keluarga.
B. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat
Dalam sistem kewarisan secara garis besar, di Indonesia dapat dijumpai tiga macam
sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut :
1. Sistem Kewarisan Individual
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara para ahli waris
seperti halnya pada masyarakat bilateral (di Jawa, Aceh, Kalimantan).
2. Sistem Kewarisan Kolektif
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang
bersama-sama merupakan semacam badan hukum, di mana harta tersebut sebagai harta
pusaka tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya di antara para ahli waris dimaksud dan
hanya boleh dibagi-bagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak
pakai saja) seperti di dalam masyarakat matrilineal (Minangkabau).
3. Sistem Kewarisan Mayorat
Ciri lain dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta peninggalan diwariskan
keseluruhanya atau sebagaian besar (sejumlah harta pokok dari suatu keluarga) oleh
seorang anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak mayorat anak laki-laki
yang tertua dan di tanah Samendo terdapat hak mayorat anak perempuan tertua.
Keanekaragaman suku bangsa yang tersebar dan mendiami bumi pertiwi Indonesia
menjadi salah satu penyebab sulitnya melakukan unifikasi hukum pewarisan di Indonesia.
Keanekaragaman suku bangsa ini tidak hanya memberikan corak yang menambah khasanah
kebudayaan kita, tetapi juga memberikan nuansa berbeda dalam sistem pewarisan kita bila
diperbandingkan dengan negara lain.
Keberadaan hukum waris adat akan tetap ada selama masyarakat tetap menjaga dan
melestarikan sebagai nilai luhur dalam kehidupan manusia. Proses pewarisan yang
mengedepankan musyawarah sebagai landasannya merupakan hal terpenting, agar
keselarasan dan kerukunan dalam keluarga tetap terjaga. Pewarisan merupakan salah satu

64
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 188-189
42

proses yang dilalui dalam kehidupan keluarga. Pewarisan mempunyai arti dan pemahaman
sebagai salah satu proses beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya.
Keberadaan ahli waris mempunyai kedudukan penting dalam proses pewarisan.
Keberadaan harta warisan dalam hukum adat dapat materiil benda seperti tanah, dan
perhiasan, sedangkan bentuk harta kekayaan imateriil dapat berupa suatu nilai atau prestise,
misalnya dalam hal ini adalah status jabatan, seperti status raja maupun kepala adat. Di dalam
hukum adat, antara masyarakat hukum adat dengan tanah yang didudukinya merupakan satu
kesatuan dan mempunyai hubungan yang erat sekali. Betapa pentingnya hal ini sampai bisa
dikatakan bahwa tanah adalah raison d` etre (alasan utama) bukan saja bagi kehidupan sosial,
budaya, spiritual, ekonomi, dan politik mereka. 65 Hubungan ini menyebabkan masyarakat
mempunyai hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil
dari tumbuhan-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, serta berburu terhadap binatang-
binatang yang hidup disitu. Tanah adat ini disebut sebagai hak pertuanan atau hak ulayat. Di
atas tanah tersebut terdapat hak persekutuan yang apabila orang tersebut meninggal dunia,
proses pewarisannya tersebut juga harus sesuai dengan aturan hukum adat.
Di Sumatera Utara terdapat suatu suku yang dikenal dengan suku Karo. Masyarakat
adat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo merupakan masyarakat hukum yang memiliki
sistem hukum adatnya sendiri yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Republik Indonesia. Berbicara mengenai masalah tanah di Kabupaten Karo berarti berbicara
mengenai hukum adat Karo, hal ini disebabkan hubungan yang begitu erat antara masyarakat
adat Karo dengan tanahnya. Begitu eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat adat
Karo sehingga tanah dalam suku Karo mempunyai aturan mengenai hukum tanah adat dan
menjadi salah satu objek waris oleh masyarakat adat Karo. Dalam masyarakat adat Karo,
terdapat pengkategorian terhadap tanah, yakni:
1. Taneh kuta (village land);
Taneh kuta adalah tanah yang dimiliki oleh desa tertentu sebagai pembeda dari
kampung lain, termasuk di dalamnya tanah terbuka, kuburan, dan tanah kosong.66
2. Taneh kesain (ward land);
Konsep tanah kesain merujuk kepada kawasan perkampungan, sebagai contoh: taneh
rumah berneh menunjukkan bahwa tanah tersebut milik Kesain Rumah Beneh.
3. Taneh nini (grandfather`s land);
65
Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2006,
Jakarta: Elsam, hal. 67.
66
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992, hal. 99.
43

Konsep taneh nini digunakan untuk tanah yang telah ditanami pertama kali oleh bapa
(bapak/ayah), nini (kakek), nini nai (leluhur). Tanah ini dipunyai oleh anggota dari garis
kekerabatan patrilineal. Kelompok patrilineal dan anggotanya memiliki ikatan yang
sakral kepada tanah leluhurnya yang harus dipertahankan dengan tidak melepaskannya
kepada orang lain. Tanah seperti ini pada umumnya diwariskan dari ayah kepada anak
laki-lakinya, dan untuk kemudian akan selalu berada dalam keluarga atau kelompok
kekrabatan patrilineal.67
4. Taneh kalimbubu (land of the kalimbubu)68
Konsep taneh kalimbubu digunakan untuk tanah yang diberikan oleh kalimbubu
kepada anak beru. Pada taneh kalimbubu, kalimbubu harus dilibatkan dalam setiap
keputusan yang berkaitan dengan taneh kalimbubu.
Sistem pewarisan dalam masyarakat adat Karo didasarkan pada garis keturunan ayah
(patriarchaat). Tanah sebagai salah satu objek dalam waris, sangat mungkin terjadi
perselisihan menyangkut tanah adat yang apabila tidak ditindaklanjuti akan menimbulkan
sengketa. Perselisihan atas pewarisan tanah adat inilah yang menimbulkan sengketa waris
tanah adat. Jadi sengketa waris tanah adat merupakan sengketa yang terjadi dalam lingkup
hukum adat yang berkaitan dengan proses pewarisan tanah adat. Timbulnya sengketa
pertanahan secara umum disebabkan:
1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal, domestik maupun internasional;
2. Watak otoriternya negara dalam penyelesaian kasus agraria;
3. Berubahnya strategi dan orientasi pembangunan sumber-sumber daya agrarian yang
dimulai dari strategi agrarian yang populis (membangun masyarakat sosialis) menjadi
strategi agrarian yang kapitalistik dan diintegrasikannya masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari sebuah perkembangan kapitalisme internasional69
Arus modernisasi dan individualisasi menjadi penyebab hukum adat dianggap tidak
dapat lagi mengakomodasi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Keberadaan runggun
atau dapat didefenisikan sebagai suatu proses institusional dari musyawarah formal dan
pembuatan keputusan melalui mufakat oleh sekelompok orang yang terikat karena
kekerabatan sebagai senina, anakberu, dan kalimbubu, yang membentuk kesatuan (sangkep

67
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992, hal. 106.
68
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992, hal. 27.
69
Rosnidar Sembiring, Disertasi : Pandangan Kritis Tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat
Dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (Studi di Kabupaten Simalungun), Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2013, hal. 278-280.
44

si telu)70 sebagai lembaga adat untuk penyelesaian sengketa di masyarakat Karo semakin
terkikis keberadaannya, masyarakat adat Karo mulai mengalihkan penyelesaian sengketanya
kepada Pengadilan Negeri.
Dengan dikenalnya konsep penyelesaian masalah dalam bentuk runggun pada
masyarakat adat Karo, penyelesaian suatu sengketa adat terdapat dalam lembaga adat yang
menyelesaikan melalui musyawarah adat. Lembaga adat dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat di Indonesia bersifat lokal karena masing-masing etnis atau daerah mempunyai
lembaga adat dan nilai-nilai yang berbeda antara satu sama lain, seperti pada masyarakat
Karo dikenal runggun yang mengutamakan musyawarah mufakat yang dipimpin oleh
simaba ranan atau hakim perdamaian desa. Hakim perdamaian desa tidak berhak
menjatuhkan hukuman, walaupun ada rumusan yang demikian, akan tetapi dalam banyak
kasus yang terjadi pada masyarakat utamanya di pedesaan, penyelesaian sengketa yang di
akhiri dengan memberikan hukuman bagi pelanggar, terutama karena peraturan itu
jangkauannya sangat terbatas.
C. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
a. Penyelesaian Sengketa Melalui Runggun.
Pada masa sekarang ini peradilan adat berangsur-angsur hilang, runggun kuta/ kesain,
runggun urung, runggun sibayak, dan runggun sibayak berempat sudah tidak dipakai lagi
dalam menyelesaikan masalah. Runggun yang masih dipakai saat ini hanyalah runggun
keluarga dan umumnya runggun ini sering dipakai dalam nerehempo71, penguburan, pindah
rumah, perce raian, penggantian nama, dan juga dalam menyelesaikan masalah. Runggun
dalam masyarakat Karo mempunyai makna yang luas tidak hanya digunakan untuk
menyelesaikan masalah saja, oleh karena itu tidaklah etis untuk mendefinisikan runggun
sebagai lembaga penyelesaian sengketa antar masyarakat adat Karo. Runggun baik dalam
kegunaannya sebagai lembaga penyelesaian masalah maupun dalam kegunaannya yang lain
tetap memiliki susunan yang sama yaitu adanya kalimbubu, anak beru, dan senina yang
diwujudkan dalam konsep sangkep si telu.
Menurut Runtung, dibandingkan dengan forum masyarakat mufakat lainnya maka
runggun mempunyai beberapa ciri khas yang penting yaitu:72 (1) Runggun itu adalah

70
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992, hal. 46.
71
Nereh adalah mengawinkan anak perempuan, Empo adalah mengawinkan anak laki-laki.
72
Runtung, 2002, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi Mengenai Masyarakat
Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Medan, hlm. 182.
45

merupakan musyawarah sangkep si telu secara lengkap, yang berarti para peserta runggun
harus dapat mencerminkan wakil-wakil dari masing-masing kelompok kekeluargaan senina,
anak beru, dan kalimbubu. Suatu runggun tidak akan dimulai apabila salah satu dari
kelompok tersebut belum terwakili. (2) Dalam forum runggun hanya orang-orang yang telah
menikah (kawin) saja yang dimintakan pendapatnya.
Proses diadakannya runggun pada umumnya sama adalah dimulai dengan adanya
niat/keinginan para pihak untuk membawa permasalahan ke runggun, niat ini kemudian
didiskusikan dengan anak beru73 terdekat untuk menentukan waktu dan tempat diadakannya
runggun serta permasalahan apa yang akan disampaikan di runggun nanti. Setelah diskusi
dengan anak beru selesai, maka anak beru kemudian memanggil anak beru lain untuk
menginformasikan rencana diadakannya runggun dan berbagi tugas mempersiapkan hal-hal
yang diperlukan untuk diadakannya runggun. Setelah per- siapan selesai maka anak beru
akan mengundang kalimbubu dan senina agar datang untuk runggun.
Sebelum memulai runggun biasanya akan diadakan acara makan terlebih dahulu. Setelah
acara makan selesai, kalimbubu akan membuka percakapan dengan bertanya tujuan mereka
diundang dalam runggun yang kemudian akan dijawab oleh anak beru yang diwakili oleh
anak beru cekoh baka. Baik kalimbubu, anak beru, dan senina akan mempunyai
pembicaranya masing-masing. Acara runggun pada umumnya akan dipandu oleh anak beru
cekoh baka.
Herman Slaats dan Karen Portier mendeskripsikan tugas anak beru, senina, dan
kalimbubu dalam runggun yaitu: (1) Kelompok senina menjelaskan permasalahan yang akan
didiskusikan dan menilai masukan yang diajukan untuk menyelesaikan masalah. (2)
Kelompok anak beru berkewajiban memberikan cara-cara penyelesaian masalah. (3)
Kelompok kalimbubu menyetujui masukan yang diajukan kepada mereka.74 Kebanyakan
runggun untuk menyelesaikan permasalahan akan diadakan pada sore hari. Runggun
berdasarkan jenis masalah yang didiskusikan terbagi atas 2 yaitu: Pertama, Runggun yang
membicarakan masalah bukan sengketa dapat berupa runggun untuk membicarakan berbagai
persiapan pelaksanaan pesta adat perkawinan (erdemu bayu), masuk rumah baru (mengket
rumah), menabalkan nama anak yang baru lahir (erbahan gelar), memutuskan tanggal
pelaksanaan pesta tahunan (kerja tahun), membicarakan berbagai pembangunan dan
73
Masyarakat Karo mempunyai tingkatan anak beru yaitu: anak beru tua kuta/kesain, anak beru tua jabu, anak
beru cekoh baka, anak beru jabu, anak beru cekoh baka tutup, anak beru jabu, anak beru niampu, dan anak
beru singukuri.

74
Herman Slaats and Karen Portier, 1992, Traditional Decisioin-Making and Law. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, hlm. 52
46

pemeliharaan sarana dan prasarana desa dan lain-lain. Kedua, Runggun yang membicarakan
penyelesaian sengketa adalah runggun yang membicarakan penyelesaian sengketa yang
terjadi dalam masyarakat baik sengketa keluarga, sengketa antar sesame warga desa, sengketa
antar warga desa yang satu dengan warga desa yang lain.75

b. Penyelesaian Sengketa Melalui Perumah Begu.


Perumah Begu adalah upaya penyelesaian sengketa dimana begu76 akan dipanggil melalui
ritual tertentu guna menyelesaikan sengketa yang terjadi. Umumnya roh orang yang telah
meninggal dunia ini diang- gap sebagai orang yang bijaksana serta mempunyai hubungan
yang dekat dengan pihak yang bersengketa sehingga mengetahui letak permasalahan para
pihak. Perumah begu bagi orang yang telah meninggal dunia dilakukan pada malam pertama
setelah mayat dikebumikan. Medium perantara antara roh orang mati dengan pihak yang
bersengketa adalah Guru Sibaso.77 Guru Sibaso pada umumnya terdiri dari seorang wanita
atau beberapa wanita yang memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan roh orang yang
telah meninggal.
Dalam hal mengundang Guru Sibaso untuk datang ke rumah terlebih dahulu dipersiapkan
Belo Penahanen yang berisi:
a. Belo Sempedi (satu ikat daun sirih);
b. Timbako sepangpang (satu gulungan tembakau kering); (3) Gambir (gambir); (4)
Pinang (buah pinang); (5) Kapur78 (kapur) Para pihak yang bersengketa akan
berkumpul di rumah dimana akan dilaksanakan ritual perumah begu, disertai dengan
sembuyak79, anak beru, senina, dan kalimbubu. Dalam ritual perumah begu, kesenian
dan tari berperan untuk mengundang roh tersebut datang.
Pada saat melakukan ritual perumah begu, maka roh orang mati tadi akan memasuki
tubuh Guru Sibaso (bagi orang karo, keadaan ini disebut dengan selok (possessed)), pada
tahap ini Guru Sibaso akan meminjamkan tubuhnya untuk dimasuki roh orang mati, dalam
hal ini Guru Sibaso akan menjadi spirit medium/shaman antara roh dengan orang yang hidup.
Berikutnya roh orang mati tadi akan berbicara kepada pihak yang bersengketa melalui Guru
Sibaso guna menyelesaikan sengketa mereka. Selama prosesi ritual, Guru Sibaso akan

75
Runtung, Op. cit.,, hlm. 184.
76
Begu adalah roh mahluk hidup yang telah mati, dapat berupa hewan peliharaan, manusia, maupun hewan liar.
77
Guru Sibaso adalah guru atau orang pintar atau dengan kata lain dukun yang mengetahui hal-hal magis.
78
Sarjani Tarigan, 2011, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, Si B N B Press, Medan, hlm. 44.
79
Sembuyak adalah orang yang masih satu marga dan masih satu cabang dengan kita tapi sudah lain kesain atau
kampung.
47

memainkan dua peran penting, yaitu sebagai ‘master of ceremony’ atau pemimpin utama
ritual dan juga berperan sebagai ‘story teller in dramatical ritual’ Guru Sibaso sebagai
penceritera kembali kisah hidup dari orang yang baru meninggal.80 Dilihat dari fungsinya
Guru Sibaso dalam masyarakat adat dipandang sebagai konsultan (biak penungkunen) dimana
warga akan meminta penjelasan mengenai nasehat-nasehat atas permasalahan mereka.
Nasehat terutama sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antar warga atau antar kerabat. Jika
kasus terjadi dalam lingkup kerabat dekat, Guru Sibaso akan menyarankan diadakannya
perumah dibata dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya
melibatkan kerabat dekat yang bersengketa.81 Dengan selesainya ritual perumah begu, maka
Guru Sibaso tersebut harus diantarkan sampai ke rumahnya.
Sifat masyarakat adat Karo yang religio-magis ditunjukkan dalam ritual perumah begu.
Beberapa ritual yang melibatkan Guru Sibaso yang cenderung dilakukan oleh masyarakat
Karo antara lain perumah begu82, raleng tendi83, erpangir ku lau84, ataupun perumah dibata
(perumah jenujung)85.

c. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri.


Pengadilan Negeri merupakan lembaga formal yang paling dekat dengan masyarakat
dalam struktur hukum formal untuk menegakkan keadilan. Keadaan ini menempatkan
Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam posisi yang harus tanggap atas nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat Karo. Keadilan yang dijanjikan oleh lembaga pengadilan ini
terbuka untuk segala golongan masyarakat (equality of justice). Masyarakat Karo umumnya
memperlakukan pengadilan sebagai lembaga terakhir untuk menyelesaikan sengketa mereka,
terutama dalam hal waris. Menurut masyarakat Karo adalah hal yang sangat memalukan
apabila permasalahan harta warisan dibawa ke pengadilan. Hal ini dikarenakan dengan
mengajukan sengketanya ke pengadilan maka mereka akan menyerahkan penyelesaiannya
kepada pihak ketiga yang menurut mereka tidak akan mengetahui akar permasalahan dari
sengketa mereka, namun dikarenakan runggun dianggap tidak lagi dapat memberikan jalan
keluar permasalahan, maka diajukanlah sengketa tadi ke pengadilan.

80
Sri Alem Sembiring, “Guru Si Baso Dalam Ritual Orang Karo : Bertahannya Sisi Tradisonal dari Arus
Modernisasi”, Jurnal Etnovisi, Vol. 1, No. 3, Desember 2005, hlm. 127.
81
Ibid., hlm. 129.
82
Ritual pemanggilan roh orang mati ke dalam rumah.
83
Ritual pemanggilan jiwa bagi seseorang sakit agar sembuh dari sakitnya.
84
Ritual mandi di sungai dengan tujuan mendapat rejeki, sembuh dari penyakit, untuk menaikkan martabat anak
beru, kalimbubu, dan seninanya, serta agar orang lain menghormatinya.
85
Ritual pemanggilan roh penjaga badan seseorang.
48

Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) bentuk yaitu: (a)
Putusan suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak.86 (b) Penetapan atau putusan declaratoir yaitu suatu putusan yang
bersifat menetapkan, menerangkan saja.87 (c) Akta Perdamaian adalah surat penyelesaian
perselisihan yang bersifat final and binding.88 Dari ketiga produk hakim di atas, hanya
penetapan yang berasal dari permohonan. Penetapan merupakan pernyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Oleh karena ruang
lingkup permasalahan dibatasi hanya mengenai sengketa, maka penetapan tidak akan diulas
lebih lanjut.
Dengan masuknya perkara ke pengadilan maka baik senina, kalimbubu, anak beru,
maupun penetua adat tidak dapat lagi campur tangan dalam menyelesaikan masalah. Menurut
Perma No. 1 Tahun 2008 yang telah diubah dengan Perma No. 1 Tahun 2016 Pasal 1 butir (2)
dan (3), yang bisa menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah hakim
karir dan hakim non karir. Hakim non karir ini harus memenuhi persyaratan mempunyai
sertifikat mediator yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, oleh karena itu, baik senina,
kalimbubu, anak beru, maupun penetua adat tidak dapat lagi camur tangan dalam
menyelesaikan masalah. Namun dengan dimasukkannya mediasi ke pengadilan, kesempatan
berdamai bagi para pihak sengketa terbuka lagi walaupun bentuk perdamaian yang
ditawarkan oleh pihak pengadilan tidak mengikutsertakan runggun di dalamnya.

d. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Berbentuk Putusan


Dalam menyelesaikan sengketa waris tanah adat di PN Kabanjahe bentuk penyelesaian
sengketa yang sering dijumpai adalah putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan
hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak.89 Sesuai dengan ketentuan Pasal 189 Rbg dan Pasal 178 HIR
yaitu: (1) Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencukupkan

86
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 174.
87
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 10.
88
H.P Panggabean, Op. cit., hlm. 209.
89
Sudikno Mertokusumo, Loc. cit.
49

alasan-alasan Hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak; (2) Ia wajib
mengadili segala bagian gugatan. (3) Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang
tidak digugat, atau meluluskan lebih dari apa yang digugat.
Berdasarkan Pasal 189 Rbg dan Pasal 178 HIR, apabila pemeriksaan perkara selesai,
Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang
akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh tahap jawaban
dari tergugat sesuai dari Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari
penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan
proses tahap pembuktian dan konklusi. Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan,
Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau
pengucapan putusan.
Ada berbagai jenis putusan hakim dalam pengadilan, antara lain:90 Pertama, Putusan
akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua
tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.
Macam-macam putusan akhir adalah sebagai berikut: (1) Putusan Declaratoir, putusan yang
sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya
menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C. (2) Putusan Constitutif, putusan yang
sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang
baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit. (3) Putusan Condemnatoir,
putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan
sebidang tanah berikut bangunan yang ada di atasnya untuk membayar hutangnya. Kedua,
Putusan Sela (Putusan interlokutoir) adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara. Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri
sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir, hakim tidak terikat pada
putusan sela, bahkan hakim dapat mengubahnya sesuai dengan keyakinannya. 91 Putusan sela
tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Dalam hukum
acara dikenal macam putusan sela yaitu: (1) Putusan Preparatuir, putusan persiapan
mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan
akhir;

90
R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hlm. 129.
91
Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, pnnunukan.go.id, diakses tanggal 7 Maret 2016.
50

(2) Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan
ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir; (3) Putusan
Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan
prosedur peradilan biasa. (3) Putusan Provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi
yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan
salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
e. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Berbentuk Mediasi
Mediasi sengketa waris tanah adat pada PN Kabanjahe adalah mediasi yang melibatkan
mediator dalam pelaksanaannya. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana
para pihak yang bersengketa memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independen untuk
bertindak sebagai mediator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan
ketrampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka melalui
perundingan.
Proses mediasi dipimpin oleh mediator dan dilaksanakan di ruangan mediasi dengan
mempertemukan para pihak yang bersengketa. Mediator menurut Pasal 1 angka (5) Perma
No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah pihak yang bersifat netral
dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan dalam penyelesaian sengketa. Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak
memihak, mediator harus melaksanakan fungsinya berdasarkan kehendak para pihak.
Mediator dalam mediasi di PN Kabanjahe terbagi 2 yaitu: (1) Hakim Mediator
Bersertifikat, Mediator Hakim adalah hakim pada pengadilan yang ditunjuk untuk menjadi
hakim mediator dan hakim yang telah mendapat pelatihan mediator bersertifikat. Jumlah
hakim mediator di PN Kabanjahe ada 3 (tiga) orang. Hakim yang menjadi mediator bukanlah
hakim yang menagani perkara yang sedang dimediasikan, tetapi hakim-hakim lainnya di PN
Kabanjahe. (2) Mediator Bersertifikat NonHakim, Mediator bersertifikat nonhakim adalah
mediator bukan hakim yang telah mendapat pelatihan mediator bersertifikat oleh lembaga
yang mendapat akreditasi oleh Mahkamah Agung RI.
Mediasi sebagai proses beracara di pengadilan mengikat hakim untuk mewajibkan para
pihak melaksanakan mediasi sesuai dengan waktu yang ditentukan. Mengingat pentingnya
mediasi dalam proses beracara, maka ketidak hadiran tergugat tidak meng- halangi
pelaksanaan mediasi. Hakim atau kuasa hukum berkewajiban mendorong para pihak untuk
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Adanya kewajiban menjalankan mediasi,
membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi,
51

para pihak bebas memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar
pengadilan. Mediator tidak hanya berperan sebagai fasilitator saja melainkan harus berperan
secara langsung dan aktif dalam menyelesaikan sengketa para pihak dan menemukan
berbagai kemungkinan untuk penyelesaian sengketanya.
Menurut Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2008, ruang lingkup objek penanganan lembaga
mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama kecuali
kasus dalam bidang hukum perselisihan hubungan industrial, hukum perlindungan konsumen,
serta hukum per- saingan usaha. Putusan perdamaian mem- punyai kekuatan eksekutorial
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1858 KUHPerdata, Pasal 130 HIR/154 RBg yaitu: (a)
Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata: segala perdamaian mempunyai di antara pihak suatu
kekuatan seperti suatu putusan Hakim dalam tingkat penghabisan. (b) Pasal 130 ayat (2) HIR:
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu sidang diperbuat sebuah
akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukumkan akan menepati perjanjian yang
diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
(b) Pasal 130 ayat (3) HIR: Putusan yang sedemikian tidak diizinkan banding.92
Proses mediasi dapat berlangsung 40 (empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para
pihak atau setelah ditunjuk oleh ketua majelis hakim dan dapat diperpanjang 14 (empat belas)
hari lagi sesuai dengan kesepakatan para pihak. Selama proses mediasi berlangsung, mediator
berkewajiban menyiapkan jadwal mediasi, mendorong para pihak secara langsung berperan
dalam proses mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus. Kaukus adalah
pertemuan secara terpisah yang dilakukan Mediator dengan salah satu pihak yang berperkara
tanpa diketahui lawan. Tujuan kaukus ini untuk membicarakan hal-hal yang bersifat rahasia
kepada mediator sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi mediator untuk
memahami permasalahan dan menemukan penyelesaian sengketa yang dapat diterima para
pihak.
Dalam proses mediasi, mediator dapat melibatkan ahli seorang atau lebih untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan per- bedaan
pendapat para pihak. Pelibatan ahli atas dasar persetujuan para pihak dan biaya untuk jasa
ahli juga ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan mereka. Akibat hukum dari
tidak dipatuhinya keha- rusan proses mediasi tersebut ditentukan dalam ketentuan Pasal 2
ayat (3) dan ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang menyatakan sebagai berikut: Pertama,
Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran

92
Nurnaningsih Amriani, Op. cit., hlm. 103.
52

terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal
demi hukum. Kedua, Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa
perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menye-
butkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.93
Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh) hari sejak para
pihak memilih mediator, maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis bahwa proses
mediasi telah gagal, dan memberitahukan kegagalan mediasi kepada hakim. Segera setelah
menerima pemberitahuan tersebut, maka hakim melan- jutkan pemeriksaan perkara sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Apabila mediasi dinyatakan gagal maka
menurut Pasal 19 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 segala pernyataan dan pengakuan para
pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Hal ini bertujuan agar proses
mediasi tidak disalahgunakan oleh pihak yang beritikad tidak baik untuk menjebak lawan
dengan berpura-pura ingin berdamai, padahal mereka memiliki niat yang tidak baik, sehingga
dengan demikian proses mediasi ini dapat digunakan untuk melindungi pihak yang beritikad
tidak baik.94

D. Contoh kasus penyelesaian sengketa waris tanah adat Karo dan penyelesaiannya
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan yang terkait dengan sengketa waris
tanah adat di Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam kurun waktu 5 (lima) tahun dimulai dari
tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 maka diperoleh 1 putusan yang dianggap dapat
mewakili penyelesaian sengketa waris tanah adat di Pengadilan Negeri Kabanjahe.
Putusan No. 18/Pdt.G/2010/Pn.Kb. Sengketa harta warisan antara Sr. S (Penggugat)
vs. S.J. S (Tergugat 1), R.P (Tergugat II), Kepala Desa Nageri (Turut Tergugat 1), dan
Kepala Kantor BPN Kabupaten Karo (Turut Tergugat 2).
Kasus Posisi : Alm. K. S semasa hidupya menikah dua kali. Dalam perkawinannya
yang pertama dengan istrinya yang pertama Almh. N. br. K lahir 5 (lima) orang anak yaitu :
Sr.S, Almh L. br. S, S.J.S, St. S, dan B.M. br. sS. Sedangkan dalam perkawinannya yang
kedua dengan istrinya yang kedua Nd. I. br. B lahir 1 (satu) orang anak yaitu I. br. S. Alm
K.S ada meninggalkan harta warisan yang telah dibagi-bagikan kepada para ahli waris secara

93
Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 74.
94
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Raja
Grafindo Press, Jakarta, hlm. 102.
53

adat Karo (lisan) pada tahun 1997 kepada seluruh ahli warisnya dan sejak pembagian tersebut
seluruh ahli waris telah menguasai dan mengusahai bagiannya masing-masing.

Skema 3
Silsilah Keluarga Alm. K.S

N. br. K (+) K.S (+) Nd. I.br. B

L. br. S S.J.S BM. br. St. S I. br. S


Sr. S
Tergugat
Penggugat (+)
Sumber: Hasil Analisis Putusan
Menurut Sr. S pada gugatannya mengungkapkan bahwa bagian warisan yang
diterimanya adalah sebidang tanah yang setempat dikenal dengan sawah/tanah darat Pancur
Teba terletak di Desa Nageri, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo dengan luas ± 6.930 m2 ,
yang batas-batasnya:
Sebelah Timur : berbatasan dengan sawah/kolam M.K;
Sebelah Barat : berbatasan dengan ladang A.P
Sebelah Utara : berbatasan dengan S.J.S
Sebelah Selatan : berbatasan dengan kolam A.P
Sedangkan sisanya seluas ± 4.231 m2 merupakan bagian S.J.S.
Sedangkan menurut S.J.Sd dalam eksepsinya mengungkapkan bahwa ia mendapat
seluruh sawah/tanah darat Pancur Teba yang luasnya ± 11.161 m2 . Perbedaan pendapat
inilah yang telah menimbulkan sengketa di antara Sr.S dan S.J.S yang mereka bawa ke
pengadilan agar diselesaikan secara hukum.
Dalam surat gugatannya, Sr.S mengajukan tuntutan kepada Pengadilan Negeri
Kabanjahe berupa:
1) Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
2) Menyatakan sah dan berharga Sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah diletakan
dalam perkara ini
3) Menyatakan penggugat adalah salah seorang anak/ahli waris dari Alm. K.S
54

4) Menyatakan dalam hukum bahwa tanah terperkara yaitu sebidang tanah yang
setempat dikenal dengan sawah/tanah darat Pancur Teba yang luasnya ± 6.930 m 2
terletak di Desa Nageri, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo yang batas-batasnya:
Sebelah Timur : berbatasan dengan sawah/kolam M.K;
Sebelah Barat : berbatasan dengan ladang A.P Sebelah Utara : berbatasan
dengan S.J.S
Sebelah Selatan: berbatasan dengan kolam A.P
Adalah merupakan hak milik penggugat yang diperoleh penggugat dari hasil
pembagian tanah warisan orangtua Penggugat Alm K.S secara adat istiadat Karo (lisan) dan
juga sesuai akta hibah No. X tanggal 15 Nopember 2005.
5) Menyatakan dalam hukum segala surat-surat peralihan hak yang diperbuat oleh
Tergugat I dan Tergugat II ataupun segala surat-surat yang diterbitkan oleh Turut
Tergugat I dan II kepada pihak ketiga tanpa seijin dan tanpa sepengetahuan Penggugat
atas tanah terperkara yaitu sebidang tanah terperkara yaitu sertipikat hak milik No. X
tanggal 1 Maret 2005 atas nama S.J.S seluas ± 6930 m2 dapatlah dinyatakan tidak sah
dan tidak berkekuatan hukum.
6) Menghukum Turut Tergugat II untuk membalikanamakan Sertipikat Hak Milik nomor
X tanggal 7 Maret 2005 atas nama S.J.S/Tergugat I seluas ± 6.930 m2 ke atas nama
Sr.S/Penggugat secara spontan.
7) Menyatakan demi hukum penguasaan Tergugat II ataupun penguasaan orang lain atas
tanah terperkara adalah merupakan Perbuatan Melawan Hukum
8) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II ataupun orang lain yang memperoleh hak
dari Tergugat I dan II untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat yaitu
sebidang tanah yang setempat dikenal dengan sawah/tanah darat Pancur Teba yang
luasnya ± 6.930 m2 terletak di Desa Nageri, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo yang
batas-batasnya:
Sebelah Timur : berbatasan dengan sawah/kolam M.K;
Sebelah Barat : berbatasan dengan ladang A.P
Sebelah Utara : berbatasan dengan S.J.S
Sebelah Selatan: berbatasan dengan kolam A.P
Dalam keadaan baik dan kosong tanpa ada hambatan, alasan dan syarat
apapun.
55

9) Menghukum para Tergugat untuk membayar kerugian moril kepada Penggugat


sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
10) Menghukum para Tergugat untuk membayar kerugian materil sebesar Rp.
30.500.0000 (tiga puluh juta llima ratus ribu rupiah) kepada Penggugat secara tunai
dan sekaligus;
11) Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) perhari atas kelalaian para
Tergugat untuk mematuhi dan memenuhi isi Putusan Hukum yang menurut Hukum
dapat dieksekusi sampai dengan Putusan Hukum tersebut terpenuhi secara sempurna
oleh para Tergugat
12) Menyatakan dalam hukum bahwa putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta
walaupun ada Verzet, Banding, atau Kasasi
13) Menghukum para Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara
ini
Menurut Penggugat (Sr.S) dalam surat gugatannya, sejak pembagian warisan, Penggugat
(Sr.S) menyewakan tanahnya kepada orang lain tanpa ada ganggu gugat dari pihak manapun
dan sewa tanah juga diterima penggugat sesuai dengan kesepakatan Penggugat dengan pihak
penyewa.
Pada kelanjutannya untuk memeperkuat bahwa tanah terperkara adalah bagian warisnya,
oleh Sr.S dikuatkan dengan adanya akta hibah yang diperbuat pada tanggal 15 Nopember
2005 oleh Camat Kecamatan Juhar selaku PPAT dimana seluruh ahli waris Alm. K.S ikut
menandatangani akta hibah tersebut termasuk di dalamnya S.J.S sebagai ahli waris.
Sedangkan menurut S.J.S, tanah darat Pancur Teba adalah hak warisnya dan telah diperbuat
sertipikat hak milik nomor 7 tertanggal 1 Maret 2005 atas nama S.J.S terhadap tanah Pancur
Teba seluas ± 11.161 m2 . Oleh karena perbuatan Tergugat (S.J.S), Penggugat (Sr.S) merasa
keberatan dan dirugikan secar materil dan moril dan karena itu perbuatan tergugat dan turut
tergugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Penggugat (Sr.S) juga meminta kepada majelis hakim apabila terbukti bahwa tanah
terperkara seluas ± 6.930 m2 adalah milik Penggugat (Sr.S) agar pengadilan memerintahkan
kepada BPN untuk memecah sertipikat hak milik nomor 7 tanggal 1 Maret 2005 seluas ±
6.930 m 2 ke atas nama Penggugat (Sr.S).
Kemudian S.J.S dalam eksepsinya juga tidak mengakui bahwa tanda tangan pada akta
hibah tertanggal 15 Nopember 2005 tersebut adalah tanda tangannya. Menurut S.J.S
56

berdasarkan pembagian warisan secara adat yang dilakukan kedua orangtua mereka, tanah
adat Pancur Teba adalah bagian waris S.J.S sedangkan bagian waris Sr.S adalah tanah di
Desa Kuta Buluh Berteng seluas ± 20.000 m2 dan telah dijual, berikut juga ¾ hasil penjualan
sawah di Desa Buluh Pancur yang luasnya ±25.000 m2 telah diterima Sr.S, oleh karena itu
Sr.S tidak berhak atas tanah darat Pancur Teba.
Pada kelanjutannya Tergugat (S.J.S) mengajukan gugatan rekonpensi yang menjadikan
Tergugat (S.J.S) menjadi Penggugat dr dan Penggugat (Sr.S) menjadi Tergugat dr. Dalam
gugatan rekonpensi, Penggugat dr (S.J.S) menyatakan bahwa sertipikat hak milik Nomor 7
tanggal 1 Maret 2005 atas nama S.J.S telah terbit pada tanggal 1 Maret 2005 dan penerbitan
tersebut telah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku dan karenanya sah menurut
hukum. Karena objek di dalam sertipikat hak milik adalah hak milik penggugat dr (S.J.S)
maka tidak mungkin lagi dihibahkan kepada Penggugat dr (S.J.S) kepada orang lain.
Penggugat dr (S.J.S) dalam gugatan rekonpensi juga menyatakan bahwa tandatangan
dalam akta hibah No. 594/34/JHR/XI/2005 tanggal 15 Nopember 2005 adalah tidak benar
dan akan membuat laporan pada pihak kepolisian. Penggugat dr (S.J.S) dalam gugatan
rekonpensinya juga memohon kepada pengadilan untuk memebatalkan akta hibah no.
594/34JHR/XI/2005, tanggal 15 Nopember 2005.
Turut Tergugat 2 (Kepala BPN Kabupaten Karo) juga mengajukan eksepsi yang
membantah seluruh dalil-dalil penggugat dan mempertanyakan kompetensi Pengadilan negeri
Kabanjahe dalam mengadili perkara dikarenakan menurutnya sengketa ini merupakan
kewenangan peradilan tata usaha negara. Selain itu turut tergugat 2 juga menyatakan
penggugat tidak memiliki kapasitas sebagai ahli waris karena tidak mempunyai surat
keterangan ahli waris sehingga gugatannya tidak dapat diterima, serta perbuatan hukum turut
tergugat 2 dalam menerbitkan setipikat hak milik telah menempuh prosedur berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana telah dilakukan pemeriksaan data fisik
dan data yuridis dan ternyata tidak ada kaitan hukumnya dengan penggugat, sehingga
penerbitan sertifikat aquo tidak ada merugikan kepentingan penggugat. Oleh karena itu turut
tergugat 2 meminta agar pengadilan menolak gugatan penggugat.
Pada pengajuan bukti, baik penggugat (Sr.S) maupun tergugat (S.J.S) mengajukan bukti-
bukti masing-masing. Penggugat (Sr.S) mengajukan 16 (enam belas) alat bukti berupa foto
copy surat akta hibah No. 594/34/JHR/XI/2005 dan surat keterangan dan pernyataan dari
banyak pihak sebanyak 15 (lima belas) surat. Selain surat, Penggugat (Sr.S) mengajukan 3
(tiga) orang saksi yaitu: R.G, J.M.P, dan A.P.
57

R.G menyatakan bahwa ia mengenali Pengguggat (Sr.S) dan Tergugat (S.J.S) beserta K.S
sebagai bapak dari para ahhli waris dan mengetahui luas tanah Sr.S kira-kira ± 7.000 m2 ,
sementara luas tanah S.J.S kurang dari ± 7.000 m2 . R.G juga mengaku bahwa ia yang
membagi tanah tersebut setelah Alm. K.S meninggal dunia. Menurut R.G batas tanah Sr.S
adalah :
a. Sebelah Timur berbatasan dengan tanah S br G
b. Sebelah Utara berbatasan dengan tanah S.J.S
c. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah A.P
d. Sebelah selatan berbatasan dengan tanah Rt.G
R.G mengakui bahwa ia telah mengerjakan Sr.S selama ± 20 (dua puluh) tahun atas dasar
suruhan K.S (orangtua Sr.S) dan membayar sewa kepada Sr.S. Saksi R.G juga mengetahui
harta K.S di Nageri ada sawah dan tanah kering di dekat gereja. J.M.P memberikan
keterangan bahwa ia mengetahui anak-anak dari K.S dari istri yang pertama ada 5 (lima)
orang yaitu: Sr.S, L. br. S, S.J.S, St. S, dan B.M br. S. Sedangkan dari isteri ke dua ada 1
orang yaitu : I.A br. S. Saksi J.M.P juga mengetahui permasalahan antara penggugat dan
tergugat serta mengetahui batasbatas tanah perkara yaitu:
a. Sebelah Timur berbatasan dengan ladang S br G
b. Sebelah Utara berbatasan dengan jalan/tali air
c. Sebelah Barat berbatasan dengan jalan besar/tali air
d. Sebelah selatan berbatasan dengan tanah Sr.S
Saksi J.M.P merupakan Kepala Desa Nageri pada tahun 1986 sampai dengan tahun 2003
pernah mengeluarkan surat tanh tersebut yang luasnya ± 13.000 (tiga belas ribu) meter,
dimana bagian S.J.S : 7.000 (tujuh ribu) meter2 sementara J.M.P tidak ingat berapa bagian
Sr.S. Saksi J.M.P juga mengetahui pengukuran yang dilakukan BPN, batas-batasnya pas
tetapi luasnya berbeda dengan yang diukur oleh J.M.P.
A.P menyatakan bahwa ia mengetahui objek perkara berupa Sawah di Desa Nageri
Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo yang bernama Pancur Teba yang merupakan tanah
warisan dari K.S yang dikerjakan oleh R.G dengan waktu ± 15 (lima belas) tahun dengan
cara menyewa. A.P mengetahu batas-batas tanah perkara yaitu:
Timur : S. br. G
Utara : jalan/tali air
Barat : jalan besar/tali air
Selatan : tanah Sr. S
58

Tergugat (S.J.S) mengajukan 4 (empat) alat bukti berupa sertipikat hak milik, surat
perjanjian, surat kepada Kepala BPN Kab. Karo yang ditandatangani S.J.S tertanggal 3
Oktober 2010, dan surat pernyataan dan pengakuan yang ditandatangani oleh S.J.S. beserta 3
(tiga) orang saksi yaitu : R. br. G, M.G, T.M.T.
R br G menyatakan bahwa ia mengetahui objek perkara dan mengetahui anakanak dari
K.S ada 5 (lima) orang yaitu: Sr.S, L. br. S, S.J.S, St. S, dan B.M br. S. Sedangkan dari isteri
ke dua ada 1 orang yaitu : I.A br. S. Saksi R br. G juga mengetahui bahwa harta warisan K.S
di Desa Nageri yaitu sawah yang luasnya ± 1 (satu) Ha dan ada tanah kering dekat gereja dan
ada ladang yang disebut mbancang. Selain di Desa Nageri masih ada harta warisan K.S yaitu
di Mardinding ada 2 (dua) rumah dan sawah, di Buluh Pancur ada sawah yang luasnya 2,5
(dua setengah) Ha, di Kuta Buluh ada tanah darat yang luasnya ± 1 (satu) Ha. Menurut R br
G, batas tanah Pancur Teba yaitu:
Timur : sawah M.K
Utara : sawah S.J.S
Barat : ladang A.P
Selatan : kolam A.P
R. br. G mengetahui tanah yang di Pancur Teba diberikan kepada S.J.S olehbapak ibunya
karena tanah yang di Buluh Pancur dijual oleh Sr.S. Saksi R. br. G adalah orang yang
membagikan warisan setelah K.S meninggal dunia atas dasar anak beru, yang mana tanah di
Pancur Teba tidak ikut dibagi, sawah di Mardinding milik St. S dan B.M br S, sementara
untuk I.A br S mendapat emas dari Sr.S dan S.J.S. Saksi juga mengetahui tanah Pancur Teba
telah disertifikatkan oleh S.J.S ± 5 (lima) tahun yang lalu.
M.G menyatakan bahwa ia mengetahui maslah penggugat dan tergugat tentang tanah
sawah Pancur Teba, ia juga mengetahui penggugat dan tergugat adalah anak K.S. Saksi M.G
mengerjakan tanah terperkara sejak tahun 2009 dan membayar sewa kepada S.J.S. Menurut
M.G, tanah terperkara adalah milik S.J.S.
T.M.T menyatakan bahwa ia mengenal bapak S.J.S yaitu K.S dan mengetahui K.S
mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu Sr.S, S.J.S, St. S, dan B.M br. S, I.A br. S. Saksi T.M.T
mengetahui selain di Desa Nageri masih ada K.S yaitu di Desa Mardinding ada 2 (dua) pintu,
pertapakan, tanah kemiri di Desa Buluh Pancur, di Desa Buluh Pancur ada sawah seluas 2,5
(dua koma lima) Ha. Menurut T.M.T anak dari K.S telah berbagi warisan setelah K.S
meninggal dunia dan ia ikut mambagi warisan. Menurut T.M.T sawah di desa Buluh Pancur
seluas 2,5 (dua koma lima) Ha telah dijual oleh Sr. S.. Saksi tidak ingat kapan K.S meninggal
59

dunia tetapi di bawah tahun 2000. Menurut T.M.T tanah Pancur Teba disertifikatkan oleh
S.J.S pada tahun 2002 dan S.J.S mengukur tanah Pancur Teba bersama orang pertanahan,
saksi tidak kenal dengan orang yang mengukur tanah tetapi sudah pernah melihat sertifikat
tanah. Menurut T.M.T atanah Pancur Teba dibeli K setelah disertifikat oleh S.J.S namun
tidak ingat tahun berapa K membeli tanah Pancur Teba. Bahwa saat tanah Pancur Teba
disertifikatkan tidak ada yang keberatan dan sewaktu sawah di Buluh Pancur dijual, K.S
masih hidup. Bahwa dasar S.J.S menguasai tanah Pancur Teba karena sawah di Desa Buluh
Pancur telah dikuasai oleh Sr.S. Menurut T.M.T sewaktu tanah Pancur Teba diusahai oleh
saksi, ia memebayar sewanya kepada S.J.S dan Pancur Teba sekarang dimiliki oleh S.J.S,
sedangkan tanah di Mardinding dimiliki oleh St.S dan B.M. br S. Saksi tidak mengetahui luas
tanah Pancur Teba karena ia tidak mengukurnya. Batas-batas Pancur Teba adalah
Timur : Sawah M.K
Barat : ladang A.P
Utara : S.J.S
Selatan : kolam A.P
Menurut T.M.T yang mengerjakan tanah Pancur Teba adalah R.G dengan menanam padi
dan saksi tidak mengetahui berapa lama R.G mengerjakan tanah Pancur Teba. Menurut saksi,
ia pernah mengerjakan tanah Pancur Teba selama puluhan tahun dan yang mengerjakan tanah
sekarang adalah A.P sedangkan K tidak pernah mengerjakan tanah Pancur Teba. Kader
membeli tanah Pancur Teba pada S.J.S dan sewaktu saksi mengerjakan tanah Pancur Teba, ia
membayar uang sewa pada K.S. Bahwa sewaktu R.G mengerjakan tanah Pancur Teba ia tidak
tahu kepada siapa R.G membayar uang sewa.
Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan:
Dalam eksepsi : - Menolak eksepsi Tergugat –Tergugat untuk seluruhnya Dalam Pokok
Perkara :
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian
2. Menyatakan Penggugat adalah salah seorang anak/ahli waris dari Alm. K.S
3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.766.000,- (satu
juta tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Analisis : Dalam hal ini bukti kepemilikan berupa sertifikat hak milik yang dipunyai
Tergugat (S.J.S) lebih kuat dan lebih dahulu terbit dibanding bukti kepemilikan pengguggat
(Sr.S). Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 1960
60

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) jo. Pasal 1 angka 20 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) bahwa bukti
kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah. Surat
keterangan dan pernyataan dari banyak pihak yang diajukan Penggugat tersebut tidak
memiliki kaitan atas objek perkara, oleh karena itu surat keterangan ini ditolak oleh
Pengadilan Negeri Kabanjahe.
Oleh karena S.J.S dalam eksepsinya tidak mengakui bahwa tanda tangan pada akta hibah
tersebut adalah tandatangannya maka beban pembuktian dibebankan kepada Sr.S untuk
membuktikan apakah tanda tangan tersebut asli atau palsu. Namun hingga pada saat
pembuktian, pihak penggugat (Sr.S) tidak membuktikan tandatangan tersebut palsu atau
tidak.
Camat sebagai PPAT sementara Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP 37/1998):
1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar
bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Oleh karena itu akta hibah tersebut kemudian dapat menjadi dasar pensertipikatan
tanah. Maka dari itu, akta hibah yang dikeluarkan oleh camat sebagai PPAT sementara tidak
cukup menjadi bukti hak kepemilikan atas tanah melainkan masih menjadi alas hak atas
tanah. Dari uraian ini dapat diketahui bahwa sertipikat hak milik mempunyai kedudukan yang
lebih kuat dalam hukum dibanding dengan akta hibah.95
95
Novira Sembiring BR, “UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WARIS TANAH ADAT PADA
MASYARAKAT KARO (STUDI DI PN KABANJAHE),” 2016.
61

Mengenai apakah akta tersebut memiliki kekuatan hukum, jika akta tersebut adalah akta
jual beli tanah, memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi jual beli tanah. Akan
tetapi, untuk pembuktian yang kuat mengenai kepemilikan atas tanah hanya dapat dibuktikan
oleh adanya sertipikat tanah sebagai surat tanda bukti hak atas tanah.96
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 PP 24/1997 yang berbunyi:
1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan
buku tanah hak yang bersangkutan.
2. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah
itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau
penerbitan sertipikat tersebut.
Bahwa dengan demikian tindakan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Karo dalam
penerbitan dan peralihan sertifikat-sertifikat aquo telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu pasal 19 ayat 1 dan 2 Undangundang No. 5 tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria jo. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 jo
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena telah dilakukan
pemeriksaan data fisik dan data yuridis dan tidak ditemukan ada kaitannya dengan Penggugat
sehingga tidak ada alasan Penggugat untuk menyatakan Sertifikat aquo cacat hukum dan
tidak mempunyai kekuatan hukum, akan tetapi demi hukum juga harus dinyatakan sah dan
berkekuatan hukum sebagai tanda bukti hak atas tanah.
Pembagian warisan secara adat oleh masyarakat Karo pada umumnya dilakukan secara
lisan melalui runggun yang disaksikan oleh anggota runggun. Namun kelemahan yang terjadi
dengan pembagian warisan secara adat ini adalah tidak dituangkannya hasil kesepakatan
pembagian warisan secara tertulis yang mengakibatkan apabila timbul permasalahan
dikemudian hari maka akan sulit untuk membuktikan bahwa pembagian warisan telah

96
Ilman Hadi, Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt501e404f15f5b/akta-ppat-dan-bukti-kepemilikan-tanah, dipost 8
Agustus 2012, diakses tanggal 26 November 2020 pukul 15.44 WIB.
62

dilakukan. Memang salah satu ciri hukum adat adalah tidak tertulis juga diakui oleh Undang-
undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.97
1. Memahami rumusan pasal 18 d UUD 1945 tersebut maka:
2. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya;
3. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
4. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
5. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Diatur dalam undang-undang
Namun untuk mempermudah dalam hal pembuktian adalah lebih baik untuk menuliskan
poin-poin kesepakatan atas pembagian warisan agar tidak timbul permasalahan.

97
Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 yang diatur dalam amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus
2000
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Daru Nugroho, Hukum Perdata Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2017, Hlm.
84.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pembimbing CV, Jakarta, 1968, Hlm. 66.
Bambang Daru Nugroho, HUKUM PERDATA INDONESIA, ed. Dinah Sumayah, 1st ed.
(BANDUNG: PT Refika Aditama, 2017).
I Ketut Markeling, HUKUM PERDATA (P0KOK BAHASAN: HUKUM WARIS), diakses
melalui
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/5170f01bee90b449fd8ca8596d
a30711.pdf, pada tanggal 24 November 2021, Hlm. 9
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pembimbing CV, Jakarta, 1968, Hlm. 67.
Tim Konten Justika, Cara Menghitung Pembagian Ahli Waris Menurut Hukum
Perdata,diakses melalui https://blog.justika.com/keluarga/menghitung-pembagian-
ahli-waris/, pada tanggal 24 November 2021.
Helmi Shemi, Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata, Begini Ketentuannya,
diakses melalui https://www.idntimes.com/business/finance/helmi/pembagian-harta-
waris-untuk-anggota-keluarga-menurut-hukum-perdata/2/full/3, pada tanggal 24
November 2021.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pembimbing CV, Jakarta, 1968, Hlm 70-71.
Gamal Pasya dan Martua T Sirait. Analasis Gaya Bersengketa AGATA. Samandha Institute,
diakses melalui,
https://elearning.menlhk.go.id/pluginfile.php/900/mod_resource/content/1/
a_pengertian_sengketa.html, pada tanggal 30 November 2021
Ibrahim Ahmad, Menyelesaikan Sengketa Pembagian Harta Warisan Melalui Peran Kepala
Desa, diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/12530-ID-
menyelesaikan-sengketa-pembagian-harta-warisan-melalui-peran-kepala-desa.pdf,
pada tanggal 30 November 2021
R. Soeroso. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 295
Sovia Hasanah, Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum dan Akibat Hukum, diakses
melalui https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-
perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum/, pada tanggal 30
November 2021.
Santoso U. Hukum Agraria. Jakarta: Kharisma Puta Utama; 2012.
Hetharie Y. Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh
Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. SASI
2019;25:27–38. https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147.
Kotalewala F, Laturette AI, Uktolseja N. Penyelesaian Sengketa dalam Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Jalan untuk Kepentingan Umum. SASI 2020;26:415–33.
https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.397.
Soetiknyo I. Proses Terjadinya UUPA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1987.
Effendi Z. Hukum Adat Ambon Lease. Jakarta: Pradnya Paramita; 1987.
Cooley F. Mimbar Dan Takhta Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan Dan Pemerintahan
Di Maluku Tengah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1987.
Matuankotta JK. Pengaturan Pemanfaatan Tanah Berbasis Kearifan Lokal. Universitas
Hasanuddin, 2016.
Kusmayanti H, Hawari SY. Praktik Eksekusi Riil Tanah Milik Masyarakat Adat Sunda
Wiwitan. SASI 2020;26:341–55. https://doi.org/10.47268/sasi.v26i3.285.
Harsono B. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan; 2007.
Santoso U. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta: Kencana; 2010.
Hallauw DK, Matuankotta JK, Uktolseja N. Analisis Hukum Surat Pelepasan Hak Atas
Tanah Adat (Dati) Di Kota Ambon. SASI 2020;26:111–8.
https://doi.org/10.47268/sasi.v26i1.256.
Sitorus O. Kondisi Aktual Penguasaan Tanah Ulayat di Maluku: Telaah Terhadap Gagasan
Pendaftaran Tanahnya. Bhumi: Jurnal Agraria Dan Pertanahan 2019;5:222–9.
https://doi.org/10.31292/jb.v5i2.373.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991). Hal.
56.
Wiwin Supriyani, “Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Antar Ahli Waris: Perspektif
Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Sragen)” (Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2016).
Chomzah, Ali Achmad. 2003. Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Amriani, Nurnaningsih. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari‟atil Islamiyah „ala Dhauil Kitab
Was-Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2007),Cet. Ke-10
Nader, Laura & Todd Jr, Harry F. 1978. The Disputing Process Law in Ten Societies. New
York: Columbia University Press.
Asadullah Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009).
Abbas, S. (2010). Mediasi. Jakarta: Kencana.
Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung:Binacipta, 1989).
Soeroso, Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 
2007).
Pramesti, Tri Jata Ayu (28 November 2013). "Ulasan lengkap: Litigasi dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan". Hukum Online.com. Diakses tanggal 28
September 2019.
Uchuf, “Gugatan Waris” /http://www.pa-pelaihari.go.id, Diakses Tanggal 30 November
2021.
Associate, Law “Dasar Hukum Surat Kuasa”http://pengacaramuslim.com/dasar-hukum-surat-
kuasa/, Diakses Tanggal 30 November 2021
Komandanu, A. (2015). Penyelesaian Sengketa Kewarisan Dengan Cara Mediasi Oleh
Pengadilan Agama Kelas I A Padang . Diakses 30 November
2021, http://scholar.unand.ac.id/12900/1/201510201011th_arya%20komandanu.pdf
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:
Alfabeta, 2008 hlm. 281
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006 hlm. 39
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hlm. 67
Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Haji Masagung,
1990, hal. 162.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990 hlm. 188
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hlm.
188-189
Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya
Alam, 2006, Jakarta: Elsam, hal. 67.
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 99.
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 106.
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 27.
Rosnidar Sembiring, Disertasi : Pandangan Kritis Tentang Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional (Studi di Kabupaten
Simalungun), Medan: Universitas Sumatera Utara, 2013, hal. 278-280.
Herman Slaats and Karen Portier, Traditional Decisioin-Making and Law, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1992, hal. 46.
Nereh adalah mengawinkan anak perempuan, Empo adalah mengawinkan anak laki-laki.
Runtung, 2002, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Studi
Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm.
182.
Masyarakat Karo mempunyai tingkatan anak beru yaitu: anak beru tua kuta/kesain, anak
beru tua jabu, anak beru cekoh baka, anak beru jabu, anak beru cekoh baka
tutup, anak beru jabu, anak beru niampu, dan anak beru singukuri.
Herman Slaats and Karen Portier, 1992, Traditional Decisioin-Making and Law. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 52
Runtung, Op. cit.,, hlm. 184.
Begu adalah roh mahluk hidup yang telah mati, dapat berupa hewan peliharaan, manusia,
maupun hewan liar.
Guru Sibaso adalah guru atau orang pintar atau dengan kata lain dukun yang mengetahui hal-
hal magis.
Sarjani Tarigan, 2011, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, Si B N B Press, Medan,
hlm. 44.
Sembuyak adalah orang yang masih satu marga dan masih satu cabang dengan kita tapi sudah
lain kesain atau kampung.
Sri Alem Sembiring, “Guru Si Baso Dalam Ritual Orang Karo : Bertahannya Sisi
Tradisonal dari Arus Modernisasi”, Jurnal Etnovisi, Vol. 1, No. 3, Desember
2005, hlm. 127.
Ibid., hlm. 129.
Ritual pemanggilan roh orang mati ke dalam rumah.
Ritual pemanggilan jiwa bagi seseorang sakit agar sembuh dari sakitnya.
Ritual mandi di sungai dengan tujuan mendapat rejeki, sembuh dari penyakit, untuk
menaikkan martabat anak beru, kalimbubu, dan seninanya, serta agar orang
lain menghormatinya.
Ritual pemanggilan roh penjaga badan seseorang.
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.
174.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2002, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hlm. 10.
H.P Panggabean, Op. cit., hlm. 209.
Sudikno Mertokusumo, Loc. cit.
R. Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hlm. 129.
Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, pnnunukan.go.id, diakses tanggal 7 Maret
2016.
Nurnaningsih Amriani, Op. cit., hlm. 103.
Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 74.
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, Raja Grafindo Press, Jakarta, hlm. 102.
Novira Sembiring BR, “UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WARIS TANAH ADAT
PADA MASYARAKAT KARO (STUDI DI PN KABANJAHE),” 2016.
Ilman Hadi, Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt501e404f15f5b/akta-ppat-dan-
bukti-kepemilikan-tanah, dipost 8 Agustus 2012, diakses tanggal 26
November 2020 pukul 15.44 WIB.
Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 yang diatur dalam amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus
2000
putusan.mahkamahagung.go.id
PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DAN AKIBAT HUKUM NYA DI
INDONESIA MENURUT HUKUM WARIS ISLAM, HUKUM WARIS PERDATA
DAN HUKUM WARIS ADAT
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perdata
Dosen Pengampu : Rika Rosdiana Effendi S.H.,M.H

oleh :
Indriani Agustina 1203050064

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
71

HUKUM WARIS
Hukum waris merupakan bagian dari hukum keluarga dan erat hubungannya dengan
kehidupan masyarakat karena pada kenyataannya manusia yang hidup pasti akan meninggal
sehingga masalah waris merupakan hal yang paling mungkin muncul dalam kehidupan
masyarakat karena yang dimaksud dengan wasiat adalah proses pemindahan harta benda dari
orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli waris. Proses peralihan hak adalah peristiwa
pewarisan dari yang meninggal kepada yang masih hidup (keturunannya) secara otomatis.
Pengaturan hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistik karena Indonesia
merupakan negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat serta masyarakat yang terdiri dari
berbagai suku, adat istiadat dan perbedaan keyakinan atau agama yang dianut oleh
masyarakat indonesia. Sehingga Indonesia masih belum memiliki hukum waris yang
seragam, terdapat 3 (tiga) jenis hukum waris di Indonesia yang berlaku di masyarakat
Indonesia, yaitu: hukum adat, hukum waris Islam dan hukum waris barat. Tiga hukum waris
yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, hukum waris Islam, dan hukum waris barat
yang masing-masing memiliki aturan dan hukum yang berbeda.
Hukum waris barat termasuk dalam hukum perdata yang diatur dalam KUHPerdata,
Semua cabang hukum perdata mempunyai sifat dasar yang sama, antara lain bersifat
mengatur dan tidak mengandung unsur paksaan. Namun bagi hukum waris perdata, meskipun
berada dalam ranah hukum perdata, tampaknya ada unsur paksaan di dalamnya. selanjutnya
Hukum waris islam, sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar atau mayoritas warga
negara Indonesia menganut agama islam, maka dapat dikatakan bahwa yang mengatur segala
sesuatu tentang peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang yang menganut
agama islam setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya terdapat pada hukum waris
islam yang bersumber atau terdapat pada Al- Quran, Hadist Nabi dan juga ijtihad para ahli
hukum islam.
Lalu yang terakhir Hukum waris adat, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri
dari beragam macam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda-beda satu. Hal itu
mempengaruhi hukum yang berlaku di didalam masyarakat yang dikenal dengan sebutan
hukum adat. Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi hanya berupa norma-
norma yang berkembang sejak lama dan dijadikan pedoman yang harus dipatuhi masyarakat
tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi
tertentu bagi yang melanggarnya.98
98
Muhammad Hadlisina Hawari, “PERBUATAN MELAWAN HUKUM PENGUASAAN HARTA WARISAN SECARA
SEPIHAK” 4 (2021): 1245–67.
72

1. HUKUM WARIS PERDATA

Terdapat unsur unsur dalam hukum waris perdata yaitu adanya Subyek Hukum Waris
(terdiri dari pewaris dan ahli waris), Peristiwa hukum yaitu meninggalnya pewaris, Hubungan
hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris, Objek hukum waris yaitu harta warisan atau
peninggalan dari pewaris. Dalam hukum waris terdapat wasiat yang memiliki arti yaitu suatu
pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki terhadap harta kekayaan dan ahli
waris yang dilaksanakan setelah ia meninggal.
Dalam pembagian warisan oleh pewaris kepada ahli waris tidak hanya harta berbentuk
uang atau rumah saja, warisan dapat berbentuk lain seperti tanah salah satu contohnya.
Kelompok 3 membahas mengenai Penyelesaian Sengketa Warisan dan Akibat Hukummnya
Menurut Hukum Perdata di bidang Tanah. Tanah adalah permukaan bumi yang merupakan
satu bidang yang memiliki batas tertentu. Di atas bidang tanah tersebut, terdapat hak atas
tanah baik yang dimiliki secara perseorangan maupun badan hukum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA).99 Tanah merupakan salah satu komponen ekosistem yang
sangat strategis bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan juga sebagai faktor utama dalam
setiap kegiatan pembangunan.100 Pada umumnya, masyarakat Maluku mengenal tiga bentuk
hak milik atas tanah, yakni tanah negeri, tanah milik klen (fam) atau milik mata rumah (tanah
dati), dan tanah milik pribadi kepala keluarga (tanah pusaka).101
Permasalahaan mulai terjadi antara pihak Tisera melawan pihak Alfons. Pihak Tisera
mengajukan gugatan pada tanggal 10 November 1980 yakni menggugat pihak Alfons dengan
mendalilkan bahwa kedua dusun dati, yakni dati Batubulan dan Telagaraja yang menjadi
sengketa adalah miliknya berdasarkan Surat Penyerahan Badan Saniri Negeri Urimessing
tertanggal 1 Juli 1976. Sedangkan berdasarkan Surat Keterangan dan Historis dari Badan
Saniri Negeri tertanggal 10 Juli 1977, kedua dati itu merupakan dati lenyap dari Kepala Dati
Estefanus Wattimena sejak tahun 1850. Kedua dati lenyap itu kemudian diberikan oleh
Pemerintah Negeri Urimessing, yakni Leonard Lodewyk Rehatta kepada kakek Tergugat,

99
Santoso U. Hukum Agraria. Jakarta: Kharisma Puta Utama; 2012.
100
Hetharie Y. Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing
(WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. SASI 2019;25:27–38.
https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147.
101
Cooley F. Mimbar Dan Takhta Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan Dan Pemerintahan Di Maluku
Tengah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1987.
73

yakni Josias Alfons sebagai bentuk balas jasa atas pembangunan Negeri Urimessing pada
tahun 1915, selanjutnya pada tahun 1923 setelah kakek Tergugat diangkat menjadi Kepala
Soa, maka Register Dati atas nama Estefanus Wattimena diberikan kepada kakek Tergugat.
Tanah Dati adalah tanah yang dimiliki oleh kerabat atau persekutuan yang diberikan oleh
negeri karena turut berjasa terhadap negeri. Hal yang melatarbelakangi sengketa antara pihak
Tisera dengan Pihak Alfons adalah karena saling klaim atas kedua dusun dati lenyap
berdasarkan bukti kepemilikan dari kedua belah pihak yang saling bertentangan. Akhirnya
dalam sidang Pengadilan Negeri, gugatan penggugat dinyatakan ditolak dan menetapkan hak
tergugat atas dusun Batubulan dan Telagaraja. Penggugat kemudian mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi dengan register perkara No. 100/1982/Perd/PT.Mal, dengan alasan bahwa
Hakim Pertama dalam meneliti dan mempertimbangkan alat-alat bukti dan saksi-saksi dari
penggugat kurang obyektif karena keliru, akan tetapi setelah mempelajari keseluruhan berkas
perkara, putusan Pengadilan Tinggi justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
Selanjutnya, Tisera kemudian mengajukan permohonan kasasi dengan register perkara No.
2025 K/Pdt/1983, yang mana permohonan kasasi oleh pemohon kasasi tidak dapat diterima
dikarenakan harus ada perbaikan pada putusan Pengadilan Tinggi.
Akhirnya pihak alfons yang memenangkan gugatan, karena dari pihak tisera sendiri tidak
dapat menunjukan bukti bukti yang kuat dalam permasalahan tanah dati. Pihak tisera hanya
memiliki satu bukti saja sedangkan pihak alfons memiliki bukti lain dari pihak pemerintahan
di daerah tersebut. Oleh sebab itu gugatan dari pihak tisera di tolak walaupun mengajukan
kasasi hingga pengadilan tinggi.
Kasus selanjutnya yaitu Sengketa Tanah yang terjadi di Sragen yang permasalahannya di
mulai oleh pihak ahli waris yang terdiri 2 (dua) orang, tetapi salah satunya tidak terima
apabila tanah warisan diberikan kepada cucu yang bukanlah ahli waris, hanya merupakan
keturunan ahli waris saja. Ahli waris yang sebenarnya ialah ayah yang sudah meninggal,
tetapi dari pihak ahli waris yang merupakan cucu tersebut merasa bahwa karena tanah
tersebut sudah diwariskan berarti tanah tersebut adalah sudah menjadi bagian dari keluarga.
Permasalahan ini di giring ke Pengadilan Negeri Sragen sebagai penengah dituntut untuk
menyelesaikan perkara perebutan warisan tersebut berdasarkan hukum perdata, yaitu ditinjau
dari bagaimana sistem hasil pembagian waris yang benar apabila salah satu ahli waris telah
meninggal.
Dalam kasus tersebut anak anak dari Pak Kartoijoyo (almarhum) dan Mbok Kartoijoyo
alias Marinah (almarhumah) merupakan ahli waris, para ahli waris ini menganggap bahwa
74

cucu dari pewaris tidak termasuk dalam ahli waris namun apabila di lihat lebih dalam lagi
cucu tersebut merupakan anak dari ahli waris yang sudah meninggal sebelum pewaris
meninggal jadi cucu atau anak dari ahli waris yang meninggal itu termasuk ke dalam ahli
waris.
Dengan segala pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian warisan harta
peninggalan Pak Kartoijoyo (almarhum) dan Mbok Kartoijoyo alias Marinah (almarhumah)
sebagai pewaris yang belum dibagi waris antara para Penggugat dan para Terguggat tersebut.
Mengenai pertimbangannya hakim harus lebih kritis lagi sebelum akhirnya memberikan
putusan, karena objek sengketa warisan tersebut memang belum dibagi waris, maka
pembagian waris ini harus dilakukan sesuai ketentuan hukum waris perdata yang berlaku agar
tidak merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa warisan antara
para Penggugat dan para Terguggat oleh Majelis Hakim dikabulkan untuk sebagian dan
menolak untuk selain dan selebihnya.

2. HUKUM WARIS ISLAM

Sumber hukum dalam waris yaitu : Al-Quran adalah kitab suci yang diwahyukan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia yang beriman
dan bertakwa, Ayat-ayat al-Qur’an yang menyangkut aturan pembagian harta warisan,
ditemui dalam surat 4 ayat 7,8,9,11,12,13,14, dan ayat 176 Qs. An-Nisa’ (4) ayat : 7 ;
Hadist/Sunnah Rasul adalah dimaknai sebagai ucapan dan segala perbuatan yang dilakukan
Nabi Muhammad SAW;Ijtihad adalah secara terminologi adalah penelitian dan pemikiran
untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah. Meskipun Al-Qur-an dan Hadist
Rasul telah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian warisan, dalam beberapa
hal masih diperlukan adanya ijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur’an
atau Hadist Rasul.102 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan bentuk dari Ijtihad bagi
ketentuan dan peraturan mengenai kewarisan Islam di Indonesia; Ijma adalah kesepakatan
para sahabat atau ulama setelah wafatnya Rasulullah saw. Tentang aturan kewarisan yang
terdapat dalam ketentuan Al-Quran dan Hadist. Dan tidak ada seorang pun yang dapat
menyalahi Ijma tersebut.
PUTUSAN
Nomor 7/Pdt.G/2016/PTA. Mdn
102
Neng Djubaedah & Yati Soelistijono, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm.12
75

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


Pengadilan Tinggi Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada
tingkat banding dalam sidang majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara gugatan
sengketa waris, antara:
1 Warsinah Binti Wariyan, umur 73 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat
Jl. Tuba nomor I Nomor 18, Kelurahan Tegalsari Mandala III, Kecamatan Medan Denai,
Kota Medan,sebagai Penggugat I/Pembanding I;
2 Muliyono Bin Sudiono, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, alamat Kp.
Baru, KB.Koja, Kelurahan Penjaringan, Kec. Panjaringan, Jakarta Utara,sebagai Penggugat
II/Pembanding II;
3 Amir Suriono Bin Sudiono, umur 49 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Kp.
Pisangan, Kelurahan Kayu Agung, Kecamatan Sepatan, Tangerang, sebagai Penggugat
III/Pembanding III;
4 Hariono Bin Sudiono, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Balai desa Gang Flamboyan No. 17, Kelurahan Lalang, Kecamatan Medan Sunggal, Kota
Medan, sebagai Penggugat IV/Pembanding IV;
5 Rudi Hartono Bin Sudiono, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl.
Keramat Indah Gang Harapan No.3 Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai,
Kota Medan,sebagai Penggugat V/Pembanding V;
6 Samsul Wijaya Bin Sudiono, umur 42 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl.
Tuba I Nomor 18, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Penggugat VI/Pembanding VI;
7 Muliyadi bin Sudiono, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl. Tuba
I nomor 18, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota
Medan,sebagai Penggugat VII/Pembanding VII;
8 Lia Kurniati Binti Sudiono, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat Jl.
Tuba I no. 18, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Penggugat VIII/Pembanding VIII; Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 19
Januari 2015 memberi kuasa kepada Zulpahmi Harahap,SH., Jerman Pohan, SH., dan Ahmad
Iskandarsyah Siregar,SH. Pada kantor hukum “Zulpahmi Harahap,SH & Rekan” beralamat di
Jalan Nusa Indah IV No. 23, Medan, Sebagai para Penggugat/para Pembanding ;
Melawan
76

1 Aminah Lubis, umur 57 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat Jalan
Tuba I No. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota
Medan,sebagai Tergugat I/Terbanding I;
2 Surya Darma bin Sutrisno, umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat II/Terbanding II;
3 Suhendri bin Sutrisno, umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota
Medan,sebagai Tergugat III/Terbanding III;
4 Sri Widia Dara binti Sutrisno, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat
jalan Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat IV/Terbanding IV;
5 Dinda Yohana binti Sutrisno, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat
jalan Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat V/Terbanding V;
6 Rahmadani bin Sutrisno, umur 21 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, alamat jalan
Tuba I no. 3, Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sebagai Tergugat VI/Terbanding VI;
7 Ali Sukri bin Sutrisno, umur 17 tahun, agama Islam, alamat jalan Tuba I no. 3, Kelurahan
Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, sebagai Tergugat
VII/Terbanding VII;
Dalam hal ini kecuali Tergugat VII/Terbanding VII berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 11 Februari 2015 telah memberi kuasa kepada Irwansyah Gultom, SH. Advokat pada
kantor hukum Irwansyah Gultom, SH.dan Rekan, beralamat di Jalan Mayjen Sutoyo
Siswomiharjo No. 135, Medan, Sebagai para Tergugat/para Terbanding ;
Pengadilan Tinggi Agama tersebut :
Telah mempelajari berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara
yang dimohonkan banding;
DUDUK PERKARA
Mengutip uraian sebagaimana termuat dalam putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama Medan, Nomor 178/Pdt.G/2015/PA.Mdn, tanggal 28 Oktober 2015
Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Muharram 1437 Hijriyah, yang amarnya berbunyi
sebagai berikut :
77

1 Menolak gugatan para Penggugat;


2 Membebankan kepada para Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.791.000,- ( dua juta tujuh ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah). Telah membaca Akta
Permohonan Banding yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Medan, yang menyatakan
bahwa pada hari Senin tanggal 9 Nopember 2015, pihak Penggugat telah mengajukan upaya
hukum banding terhadap putusan Pengadilan Agama tersebut, permohonan banding mana
telah pula diberitahukan kepada pihak lawannya pada tanggal 12 Nopember 2015 secara
seksama; Telah membaca dan memperhatikan memori banding tertanggal 2 Desember 2015
yang diajukan Penggugat/Pembanding tentang keberatan-keberatan terhadap putusan
Pengadilan Agama Medan tersebut, dan memori banding mana telah pula disampaikan secara
seksama kepada pihak lawannya tanggal 11 Desember 2015. Sedangkan
Tergugat/Terbanding berdasarkan surat keterangan tertanggal 30 Desember 2015 Nomor
178/Pdt.G/2015/PA Mdn yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Medan menerangkan
tidak mengajukan kontra memori bandingnya;
Telah pula membaca dan memperhatikan relaas pemberitahuan inzage yang telah
disampaikan kepada masing-masing Penggugat/Pembanding dan Tergugat/Terbanding, dan
kedua belah pihak tidak menggunakan haknya untuk melakukan inzage dimaksud
berdasarkan surat keterangan Panitera Pengadilan Agama Medan Nomor 178/Pdt.G
/2015/PA.Mdn., tanggal 30 Desember 2015;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding dalam perkara a quo
telahdiajukan oleh para Penggugat/para Pembanding dalam tenggang waktu dan menurut
tatacara yang ditentukan dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1)
dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan, maka secara
formil permohonan banding a quo harus dinyatakan dapat diterima; Menimbang, bahwa atas
dasar apa yang dipertimbangkan dalam putusan Pengadilan Agama Medan dalam perkara a
quo khususnya yang berkaitan dengan masalah eksepsi yang diajukan oleh para
Tergugat/para Terbanding, dapat disetujui oleh Pengadilan Tinggi Agama, dengan
menambahkan pertimbangan berkaitan dengan eksepsi tersebut sebagai berikut;
Menimbang,bahwa eksepsi para Tergugat/para Terbanding yang menyatakan bahwa
terhadap perkara a quo harus terlebih dahulu diputus oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum karena menyangkut sengketa milik, tidak dapat dibenarkan, karena pihak-
pihak yang bersengketa terhadap harta peninggalan pewaris alm. Sudiono tersebut merupakan
78

ahli waris yang masih ada hubungan darah dan hubungan keluarga antara satu dengan yang
lain, sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 111K/AG/1998, tanggal 13
September 1999 yang menyatakan bahwa di dalam hukum waris mal waris, dimana mengenai
sengketa tentang harta peninggalan diantara para ahli waris yang masih ada hubungan
keluarga, tidak dapat dimasukkan sengketa milik; Menimbang, bahwa terhadap eksepsi yang
menyatakan bahwa gugatan para Penggugat/para Pembanding adalah obscuur libel karena
dalam posita tidak dijelaskan asal usul tanah, juga tidak dapat dibenarkan, karena masalah
asal-usul tanah telah menyangkut pokok perkara yang kebenarannya akan dibuktikan pada
tahap pembuktian;
Menimbang, bahwa tentang eksepsi yang menyatakan terdapat kontradiksi antara
posita dan petitum dimana dalam posita hanya menyebutkan masalah waris mal waris,
sementara pada petitum meminta agar ditetapkan obyek sengketa menjadi harta bersama, juga
tidak dapat dibenarkan, oleh karena para Penggugat/para Pembanding dalam posita
gugatannya telah mendalilkan bahwa alm Sudiono semasa hidupnya dan Penggugat I/
Pembanding I telah memperoleh obyek terperkara sebagai hasil usaha bersama dalam
perkawinan;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka cukup beralasan
bagi Majelis Hakim Tingkat Banding untuk menyatakan bahwa eksepsi para Tergugat/para
Terbanding harus ditolak;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama Medan tidak sependapat
dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama a quo, dimana Pengadilan Agama Medan
menyatakan menolak gugatan para Penggugat/para Pembanding dengan alasan gugatan
mengandung cacat formil karena kurang pihak (plurium litis consortium) karena tidak
mengikut-sertakan Sajum yakni ayah dari Pewaris alm. Sudiono sebagai pihak dalam perkara
a quo.
Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim tingkat banding
akanmempertimbangkan sendiri terhadap dalil-dalil gugatan dalam pokok perkara sebagai
berikut:
Menimbang, bahwa tentang keberadaan Sajum (ayah pewaris) pertimbangan hukum
Pengadilan Agama Medan tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun berdasarkan keterangan
saksi-saksi para Penggugat bahwa pewaris Sudiono lebih dahulu meninggal dunia dari pada
Sajum, namun ketika gugatan sengketa warisan a quo diajukan ke pengadilan keberadaan
79

sajum telah almarhum/meninggal dunia, maka secara yuridis orang yang sudah meninggal
dunia tidak dapat ditarik dan dijadikan sebagai pihak dalam suatu perkara di pengadilan;
Menimbang, bahwa namun demikian, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang
diajukan para Penggugat/para Pembanding di persidangan telah terdapat fakta-fakta bahwa
Sudiono lebih dahulu meninggal dunia dari pada Sajum (ayah dari alm Sudiono), artinya
ketika Sudiono meninggal dunia, Sajum masih hidup;
Menimbang, bahwa oleh karena pada saat Sudiono meninggal dunia Sajum masih
hidup, maka berdasarkan sistem faraidh Islam, Sajum berhak mendapat 1/6 (seper-enam)
bagian dari harta warisan pewaris Sudiono berdasarkan ketentuan Al-Qur’an Surat 4: 11, dan
ketika Sajum meninggal dunia harta warisannya tersebut akan diwarisi oleh para ahli
warisnya yakni istri (jika masih hidup) dan anak-anaknya yakni saudara dari pewaris Sudiono
(jika ada) termasuk juga anak-anak dari pewaris alm Sudiono sebagai ahli waris pengganti;
Menimbang, bahwa oleh sebab itu seharusnya para Penggugat/para pembanding
mencantumkan keberadaan para ahli waris dari Sajum dalam gugatannya yang nyatanya pada
saat perkara warisan alm Sudiono a quo diajukan ke Pengadilan Agama Sajum telah
meninggal dunia;
Menimbang, bahwa oleh karena para Penggugat/para Pembanding tidak menyinggung
sedikitpun tentang keberadaan ahli waris dari alm. Sajum yakni apakah Sajum ketika
meninggal dunia ada atau tidak mempunyai ahli waris, yang notabene ahli warisnya tersebut
akan mendapat bagian dari harta warisan Sajum, maka gugatan para Penggugat/para
Pembanding harus dikualifikasikan sebagai gugatan yang mengandung cacat formil karena
kabur (obscuur libel) karena tidak menyebutkan ada atau tidak ahli waris Sajum ketika ia
meninggal dunia, yang selanjutnya jika ahli warisnya ada/masih hidup maka jika tidak
didudukkan sebagai pihak dalam perkara a quo gugatan mengandung cacat formil karena
orang yang ditarik sebagai pihak dalam perkara a quo tidak lengkap (plurium litis
consertium);
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka
Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa putusan Pengadilan Agama tersebut
tidak tepat dan tidak dapat dipertahankan dan karenanya harus dibatalkan dan dengan
mengadili sendiri menyatakan bahwa gugatan para Penggugat/para Pembanding tidak dapat
diterima (niet ont vankelijk verklaard);
Menimbang, bahwa tentang biaya yang timbul dalam perkara ini, oleh karena para
Penggugat/para Pembanding dalam beracara pada Tingkat Pertama dan pada Tingkat
80

Banding dinyatakan dikalahkan, maka sesuai ketentuan pasal 192 ayat (1) RBg, maka para
Penggugat/para Pembanding dihukum untuk membayar biaya perkara pada Tingkat Pertama
dan pada Tingkat Banding yang jumlahnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;
Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perkara ini;
MENGADILI
• Menyatakan, bahwa permohonan banding yang diajukan para Penggugat/para Pembanding
dapat diterima;
• Membatalkan putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 178/Pdt.G/2014/PA.Mdn tanggal
28 Oktober 2015 Masehi bertepatan dengan tanggal 15 Muharram 1437 Hijriyah, yang
dimohonkan banding; Dengan mengadili sendiri Dalam Eksepsi
• Menolak eksepsi para Tergugat/para Terbanding; Dalam pokok perkara
• Menyatakan gugatan para Penggugat/para Pembanding tidak dapat diterima (niet ont
vankelijk verklaard);
• Menghukum para Penggugat/para Pembanding untuk membayar biaya perkara pada tingkat
pertama sebesar Rp.2.791.000,- (dua juta tujuh ratus sembilan puluh satu ribu rupiah) dan
pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah);
Demikian diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Medan pada hari Selasa tanggal 26 Januari 2016 Masehi bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul
akhir 1437 Hijriyah, oleh kami: Drs. H. Syamsuddin Harahap, SH.,Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Medan sebagai Ketua Majelis, Drs. H. M. Anshary MK, SH.,MH., dan Drs.
Jasiruddin, SH., M.SI Hakim-hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan, masing-masing
sebagai Hakim Anggota. Putusan mana diucapkan dalam siding yang dinyatakan terbuka
untuk umum pada hari Rabu tanggal 2 Maret 2016 Masehi bertepatan dengan tanggal 22
Jumadil Awal 1437 Hijriyah, dengan dihadiri oleh Hakimhakim Anggota tersebut serta Drs.
Ali Mukti Daulay sebagai Panitera Pengganti, dan tanpa dihadiri oleh para Penggugat/para
Pembanding dan para Tergugat/para Terbanding.103
Hakim Anggota, Ketua Majelis,
Drs. H.M. Anshary MK, SH.,MH
Drs. H. Syamsuddin Harahap, S.H.

103
putusan.mahkamahagung.go.id
81

Hakim Anggota,
Drs. Jasiruddin, SH.,M.SI.
Panitera Pengganti
Drs. Ali Mukti Daulay
Rincian Biaya Perkara
1 Biaya Proses Rp. 139.000,-
2 Biaya Redaksi Rp. 5.000,-
3 Biaya Materai Rp. 6.000.-
Jumlah Rp. 150.000.-

3. HUKUM WARIS ADAT


Menurut Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa dalam warisan terdapat 3 (tiga)
unsur mutlak yang masing masing unsur merupakan unsur esensial (mutlak), yaitu:104
Pertama,Seseorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan;
Kedua,Seseorang atau beberapa ahli waris yang berhak menerima kekayan yang ditinggalkan
itu; Ketiga, Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.
Sistem pewarisan adat ini erat kaitannya dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Secara teoritis sistem kekerabatan atau sistem keturuan itu terdiri atas
Pertama, Masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal yaitu pada masyarakat patrilineal
yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak dimana kedudukan pria lebih
menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Contohnya terdapat di
daerah Gayo, Alas, Batak, Nias, Irian.; Kedua, Masyarakat dengan sistem kekerabatan
matrinileal; Pada masyarakat matrilineal, dikenal dengan perkawinan semendo (semenda),
yaitu berupa bentuk perkawinan yang bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan dari
pihak ibu. Contohnya Minangkabau, Enggano, Timor; Ketiga, Masyarakat dengan sistem
kekerabatan parental atau bilateral. Pada masyarakat parental atau bilateral yaitu sistem
keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), di
mana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Contohnya Aceh,
Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan
Dalam sistem kewarisan secara garis besar, di Indonesia dapat dijumpai tiga macam
sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai berikut :
104
Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Haji Masagung, 1990, hal. 162.
82

4. Sistem Kewarisan Individual, Cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-
bagikan diantara para ahli waris seperti halnya pada masyarakat bilateral (di Jawa, Aceh,
Kalimantan).
5. Sistem Kewarisan Kolektif, Cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh
sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum, di mana
harta tersebut sebagai harta pusaka tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya di antara para
ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakainya saja kepada mereka itu
(hanya mempunyai hak pakai saja) seperti di dalam masyarakat matrilineal
(Minangkabau).
6. Sistem Kewarisan Mayorat, Ciri lain dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta
peninggalan diwariskan keseluruhanya atau sebagaian besar (sejumlah harta pokok dari
suatu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak
mayorat anak laki-laki yang tertua dan di tanah Samendo terdapat hak mayorat anak
perempuan tertua.

Di Sumatera Utara terdapat suatu suku yang dikenal dengan suku Karo. Masyarakat
adat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo merupakan masyarakat hukum yang memiliki
sistem hukum adatnya sendiri yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Republik Indonesia. Berbicara mengenai masalah tanah di Kabupaten Karo berarti berbicara
mengenai hukum adat Karo, hal ini disebabkan hubungan yang begitu erat antara masyarakat
adat Karo dengan tanahnya. Begitu eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat adat
Karo sehingga tanah dalam suku Karo mempunyai aturan mengenai hukum tanah adat dan
menjadi salah satu objek waris oleh masyarakat adat Karo

Putusan No. 18/Pdt.G/2010/Pn.Kb. Sengketa harta warisan antara Sr. S (Penggugat)


vs. S.J. S (Tergugat 1), R.P (Tergugat II), Kepala Desa Nageri (Turut Tergugat 1), dan
Kepala Kantor BPN Kabupaten Karo (Turut Tergugat 2).
Dahulu, Alm. K. S semasa hidupya menikah dua kali. Dalam perkawinannya yang
pertama dengan istrinya yang pertama Almh. N. br. K lahir 5 (lima) orang anak yaitu : Sr.S,
Almh L. br. S, S.J.S, St. S, dan B.M. br. sS. Sedangkan dalam perkawinannya yang kedua
dengan istrinya yang kedua Nd. I. br. B lahir 1 (satu) orang anak yaitu I. br. S. Alm K.S ada
meninggalkan harta warisan yang telah dibagi-bagikan kepada para ahli waris secara adat
83

Karo (lisan) pada tahun 1997 kepada seluruh ahli warisnya dan sejak pembagian tersebut
seluruh ahli waris telah menguasai dan mengusahai bagiannya masing-masing.
Menurut Sr. S pada gugatannya mengungkapkan bahwa bagian warisan yang diterimanya
adalah sebidang tanah yang setempat dikenal dengan sawah/tanah darat Pancur Teba terletak
di Desa Nageri, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo dengan luas ± 6.930 m2
Sedangkan menurut S.J.Sd dalam eksepsinya mengungkapkan bahwa ia mendapat
seluruh sawah/tanah darat Pancur Teba yang luasnya ± 11.161 m2 . Perbedaan pendapat
inilah yang telah menimbulkan sengketa di antara Sr.S dan S.J.S yang mereka bawa ke
pengadilan agar diselesaikan secara hukum.
Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan:
Dalam eksepsi : - Menolak eksepsi Tergugat –Tergugat untuk seluruhnya Dalam Pokok
Perkara :
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian
2. Menyatakan Penggugat adalah salah seorang anak/ahli waris dari Alm. K.S
3. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.766.000,- (satu
juta tujuh ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Dalam hal ini bukti kepemilikan berupa sertifikat hak milik yang dipunyai Tergugat
(S.J.S) lebih kuat dan lebih dahulu terbit dibanding bukti kepemilikan pengguggat (Sr.S).
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) jo. Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) bahwa bukti kepemilikan hak
atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah. Surat keterangan dan
pernyataan dari banyak pihak yang diajukan Penggugat tersebut tidak memiliki kaitan atas
objek perkara, oleh karena itu surat keterangan ini ditolak oleh Pengadilan Negeri Kabanjahe.
Oleh karena S.J.S dalam eksepsinya tidak mengakui bahwa tanda tangan pada akta hibah
tersebut adalah tandatangannya maka beban pembuktian dibebankan kepada Sr.S untuk
membuktikan apakah tanda tangan tersebut asli atau palsu. Namun hingga pada saat
pembuktian, pihak penggugat (Sr.S) tidak membuktikan tandatangan tersebut palsu atau
tidak.
84
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hadlisina Hawari, “PERBUATAN MELAWAN HUKUM PENGUASAAN


HARTA WARISAN SECARA SEPIHAK” 4 (2021): 1245–67.
Santoso U. Hukum Agraria. Jakarta: Kharisma Puta Utama; 2012.
Hetharie Y. Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh
Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. SASI
2019;25:27–38. https://doi.org/10.47268/sasi.v25i1.147.
Cooley F. Mimbar Dan Takhta Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan Dan Pemerintahan
Di Maluku Tengah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1987.
Neng Djubaedah & Yati Soelistijono, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), hlm.12
Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Haji Masagung,
1990, hal. 162.

85

Anda mungkin juga menyukai