Anda di halaman 1dari 18

HUKUM WARIS PERDATA

“PERBEDAAN ANTARA HUKUM WARIS PERDATA,


HUKUM WARIS ISLAM DAN HUKUM WARIS ADAT”

Disusun oleh :

ANANTA ZAINDUNI – 71190111138

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA


FAKULTAS HUKUM
2021/2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Harta waris disebut juga harta tanpa tuan, sebab pemilik awal harta tersebut
sudah tiada. Hal ini bisa disebabkan karena sang pemilik telah meninggal dunia
maupun pergi dalam waktu yang sangat lama tanpa keterangan dan kepastian kapan
kepulangannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya, maka hukum
memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk
menikmati dan mengurus harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut
tertelantarkan.
Ahli waris boleh menerima atau menolak warisan tersebut, hal ini adalah sifat
warisan yang merupakan hak. Ahli waris boleh menolak harta yang diwariskan oleh
pemilik, misalnya jumlah harta waris lebih sedikit dari hutang si pewaris, maka ahli
waris dapat menolak karena alasan tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh sebagian
ulama.
Di dalam sengketa pembagian hukum waris, ada 3 (tiga) penyelesaian dalam
mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat, hukum islam, dan hukum
perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau melengkapi. Artinya, para
ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan dalam pembagiannya. Baik itu
pembagian menurut hukum adat, hukum perdata, hukum islam, maupun kesepakatan
bersama antara para ahli waris.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris perdata?
2. Bagaimanakan pembagian warisan menurut hukum waris islam?
3. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris adat melayu?

2
BAB II

PEMBAHASA

A. HUKUM WARIS PERDATA


1. Pengertian dan Dasar Hukum Waris

Mengenai pengertian hukum waris ini terdapat berbagai definisi yang


diberikan oleh para pakar ahli hukum dan peraturan perundang-undangan, salah
satunya adalah menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H., warisan adalah soal
apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan sesorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang
masih hidup.1Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu “Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian”, pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat
tersebut adalah, bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan
kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya.

2. Istilah Hukum Waris

Di dalam hukum waris, dikenal beberapa istilah yang sering dipergunakan, yaitu :

a. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta


kekayaan.
b. Ahli waris, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang
hukum kekayaan, karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima
harta peninggalan pewaris.
c. Harta warisan, yaitu keseluruhan harta kekayaanyang berupa aktiva dan
pasiva yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah dikurangi dengan semua
utangnya.
Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :2
a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang,
b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
1
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,1976), hlm. 8.
3
2
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 67.

4
3. Wujud Warisan

Menurut hukum waris perdata, yang berpindah di dalam pewarisan adalah


hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Artinya, yang diwariskan pada prinsipnyaadalah hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang, kecuali dalam hal-hal tertentu, yaitu:3

a. Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa (Pasal


1813 KUHPer).
b. Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih kepada ahli
warisnya (Pasal 1601 KUHPer).
c. Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1646
KUHPer).
d. Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak
tersebut (Pasal 807 KUHPer).

4. Syarat-Syarat Mewaris

Dengan demikian pada prinsipnya, ahli waris tersebut harus memenuhi syarat:4

a. Ahli waris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka.
b. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau ia adalah janda atau duda.
c. Bukan orang yang tidak patut untuk mewaris.
d. Tidak menolak warisan.

5. Hak Mewaris Menurut Undang-Undang

Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab intestato) kita dapat


membedakan antara orang-orang yang mewarisi "uit eigen hoofde" dan mereka yang
mewarisi "bij plaatsvervulling". Seorang dikatakan mewarisi "uit eigen hoofde" jika
ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia
dikatakan mewarisi "bij plaatsvervuling" jika sebenarnya seorang lain yang berhak

3
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 213.
4
Ibid.

5
atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada
orang yang meninggalkan warisan.5

Siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang di atur sebagai


berikut oleh undang-undang. Untuk menetapkan itu, anggota-anggota keluarga si
meninggal, dibagi dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan
pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta
peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain-lainnya tidak mendapat bagian satu
apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama itu, barulah
orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil ke muka sebagai ahliwaris.
Seterusnya, jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua, barulah orang-orang
dari golongan ketiga tampil ke muka.6 Oleh karena itu ahli waris dibagi dalam
beberapa golongan, yaitu:7
a. Golongan I, yakni terdiri dari suami-istri dan anak beberta keturunannya.
b. Golongan II, yakni terdiri dari orangtua dan saudara-saudara beserta
keturunannya.
c. Golongan III, yakni terdiri dari kakek dan nenek serta seterusnya ke atas.
d. Golongan IV, yakni terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih
jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.

6. Bagian Ahli Waris Menurut Undang-Undang


Dalam pewarisan, keluarga pewaris disusun dalam kelompok yang disebut
dengan Golongan Ahli Waris. Golongan ini terdiri dari 4 golongan. Golongan ini
diukur menurut jauh-dekatnya hubungan darah dengan pewaris, di mana golongan
yang terdekat menutup golongan yang lebih jauh, yaitu:8
a. Golongan I
1) Anak beserta keturunannya : mewaris dalam derajat I mendapat bagian yang
sama besar atau mewaris kepala demi kepala (Pasal 852 ayat 2 KUHPer).
2) Suami atau istri yang hidup terlama : bagian suami-istri, bagiannya adalah
sama dengan anak.
5
Subekti, Op. cit., hlm. 68.
6
Ibid., hlm. 69.
7
P. N. H. Simanjuntak, Op. cit., hlm. 219.
8
Ibid., hlm. 220-222.

6
b. Golongan II
1) Bagian ayah dan ibu masing-masing
 Ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki atau perempuan, maka mereka
mewaris seluruh harta dan masing-masing setengah bagian.
 Ayah dan ibu mewaris bersama seorang saudara laki-laki atau perempuan,
maka mendapat bagian sama besar, ayah ibu masing-masing 1/3 bagian dan
sisa 1/3 bagian saudara.
 Ayah dan ibu mewaris bersama-samadengan 2 orang saudara laki-laki atau
perempuan, maka ayah dan ibu mendapat 1/4 bagian, sisanya untuk saudara.
 Ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari dua orang saudara, maka bagian
ayah dan ibu yg masing-masing 1/4 bagian diambil dahulu dan sisanya untuk
saudara dengan bagian yang sama besar.

2) Bagian ayah atau ibu yang mewaris dengan saudara


 Apabila hanya ada ayah ibu, maka mendapat seluruh warisan.
 Ayah atau ibu dan seorang saudara, mendapat 1/2 bagian dan sisanya bagian
saudara
 Ada 2 orang saudara, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian, sisanya
dibagi sama besar untuk saudara.
 Ada 3 orang saudara atau lebih, maka ayah atau ibu mendapat 1/4 bagian, dan
sisanyadibagi antara saudara.

3) Bagian saudara sebagai ahli waris


Apabila si pewaris meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan
maupun suami atau istri, sedangkan baik ayah maupun ibunya sudah meninggal
terlebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara si pewaris.

c. Golongan III
Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan
kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para
anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu
si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-

7
olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya di situ tidak mungkin terjadi
suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali
saja. Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahliwaris lagi, maka seluruh
warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.9

d. Golongan IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam
garis atas yang nasih hidup. Mereka ini mendapat setengah bagian. Sedangkan ahli
waris dalam garis lain yang derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapat
setengah bagian.

B. HUKUM WARIS ISLAM


1. Pengertian dan Dasar Hukum

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian harganya
masing-masing.10 Adapun dasar hukum dari waris Islam ini adalah Al-Qur’an,
Hadist, Ijtihad, dan Ijma.

2. Wujud Warisan

Warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam, yaitu sejumlah harta benda
serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya harta
peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda
serta segala hak “setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal wasiat”.11

9
Subekti, Op. cit., hlm. 70.
10
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 19991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171.
11
Wirjono Prodjodikoro,Op. cit., hlm. 17.

8
3. Dasar Hak Untuk Mewaris

Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat bagian
harta peninggalan menurut Al-Qur’an adalah :12

a. Karena hubungan darah (Surah An-Nissa’ [4] ayat 7, 11, 12, 33, dan ayat
176).
b. Karena hubungan semenda atau pernikahan.
c. Karena hubungan persaudaraan (Q.S. Al-Ahzaab [33] : 6).
d. Hubungan kerabat, karena sesama hijroh pada permulaan pengembangan
Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (Q.S. Al-Anfaal [8] : 75).

4. Golongan Ahli Waris

Secara garis besar, golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga
golongan, yaitu:13

a. Dzul Faraa’idh

Dzul Faraa’idh adalah ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an, yakni
ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak
berubah-ubah. Adapun perincian masing-masing ahli waris dzul faraa’idh ini di
dalam Al-Qur’an tertera dalam Surah An-Nissa’ (4) ayat 11, 12, dan 176, yaitu terdiri
atas:14

1) Dalam garis ke bawah:


 Anak perempuan
 Anak perempuan dari anak lelaki (Q.S. An-Nissa’[4] : 11)
2) Dalam garis ke atas:
 Ayah
 Ibu
 Kakek dari garis ayah, dan

12
P. N. H. Simanjuntak,Op. cit., hlm. 245.
13
Ibid., hlm. 246.
14
Ibid., hlm. 246-247.

9
 Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 11).
3) Dalam garis ke samping:
 Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah.
 Saudara perempuan tiri dari garis ayah (Q.S. An-Nissa’[4] : 176).
 Saudara lelaki tiri dari garis ibu.
 Saudara perempuan tiri dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).
4) Duda.
5) Janda (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).

b. Asabah

Asabah dalam bahasa Arab berarti “anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak”.
Dengan kata lain, asabah adalah ahli waris yang ditarik dari garis ayah. Apabila
pewaris meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris dzul faraa’idh, maka harta
peninggalan diwarisi oleh asabah.akan tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh ada, maka
sisa bagiannya menjadi bagian asabah. Ahli waris asabah dibagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu:15

1) Asabah binafsihi, yaitu asabah-asabah yang berhak mendapat semua harta


atau semua sisa, yang urutannya yaitu:
 Anak laki-laki
 Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya
masih terus laki-laki.
 Ayah
 Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus
dari pihak ayah.
 Saudara laki-laki sekandung
 Saudara laki-laki seayah
 Anak saudara laki-laki kandung
 Anak saudara laki-laki seayah
 Paman yang sekandung dengan ayah

15
Ibid., hlm. 247-248.

10
 Paman yang seayah dengan ayah
 Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
 Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
2) Asabah bilghairi, yaitu asabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita
yang menjadi asabah karena ditarik oleh seorang laki-laki. Mereka yang
termasuk asabah bilghairi adalah:
 Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki
 Saudara perempuan yang didampngioleh saudara laki-laki
3) Asabah ma’alghairi, yaitu sudara perempuan yang mewaris bersama
keturunan perempuan dari pewaris, mereka ini adalah:
 Saudara perempuan sekandung, dan
 Saudara perempuan seayah

c. Dzul arhaam

Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah pewaris
melalui pihak wanita saja”. Hazairin memberikan perincian mengenai dzul arhaam,
yaitu semua orang yang bukan dzul faraa’idh dan bukan asabah, umumnya terdiri
dari orang yang termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-
laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah
dari ibu.dengan demikian dzul arhaam akan mewaris kalau telah tidak ada dzul
faraa’idh dan tidak ada pula asabah.16

5. Bagian Ahli Waris

Adapun bagian dari para ahli waris dzul faraa’idh adalah:17

a. Ahli waris yang mendapat 1/2 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Seorang anak perempuan
2) Suami/duda, bila si pewaris (istri) tidak meniggalkan anak.

16
Ibid., hlm. 248.
17
Ibid., hlm. 248-249.

11
3) Seorang saudara perempuan kandung, bila si pewaris meninggalkan ayah dan
anak.
4) Seorang saudara perempuan seayah, bila si pewaris tidak meninggalkan ayah
dan anak, saudara laki-laki.
b. Ahli waris yang mendapat 1/3 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Ibu, bila si pewaris tidak meninggalkan anak, atau dua orang saudara atau
lebih.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan dengan
pembagian yang sama.
3) Ayah, bila si pewaris tidak meninggalkan anak.
c. Ahli waris yang mendapat 1/4 bdari harta peninggalan terdiri atas:
1) Suami/duda, bila si pewaris (istri) meninggalkan anak
2) Istri/janda, bila si pewaris (suami) tidak meninggalkan anak.
d. Ahli waris yang mendapat 1/6 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Ibu, jika pewaris meningglkan anak, atau dua saudara atau lebih.
2) Ayah, jika si pewaris meninggalkan anak.
3) Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila si pewaris tidak
meninggalkan anak dan ayah.
e. Ahli waris yang mendapat 1/8 dari harta peninggalan hanya terdiri atas:
istri/janda, bila si pewaris (suami) dengan meninggalkan anak.
f. Ahli waris yang mendapat 2/3 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Dua orang atau lebih anak perempuan
2) Dua orang saudaraperempuan kandung atau lebih
3) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

12
C. HUKUM WARIS ADAT MELAYU
1. Pengertian dan Dasar Hukum

Hukum waris adat adalah tata cara pewarisan menurut hukum adat yang berlaku.
Hukum ini merupakan konsekuensi dari masih terpeliharanya hukum adat di
beberapa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa indonesia.
Bila dikatakan bahwa keragaman kehidupan masyarakat Indonesia berbanding lurus
dengan hukum adatnya, tak terkecuali hukum waris. 18
Berbeda dengan sistem
pewarisan yang lain, hukum waris adat memiliki kekhasan tersendiri, yaitu tidak
mengenal adanya pembagian yang ditentukan.Semuanya dikembalikan pada asas
musyawarah mufaka, kelayakan, kepatuhan, dan juga kebutuhan masing-masing ahli
waris. Kemufakatan itulah yang menjadi dsar hukum pembagian waris adat.

2. Harta Peninggalan

Pada masyarakat hukum adat bilateral atau parental (dan sebagian dari masyarakat
hukum adat patrilineal), pada dasarnya harta warisan itu dibagi-bagi kepada ahli
warisnya. Di sini anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak uang sama
atas harta peninggalan orangtuanya. Wujud dari harta tersebut umumnya harta yang
dapat atau mudah dibagi-bagi. Tidak seperti pada masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilineal dimana terdapat harta yang tidak dapat dibagi-bagi, oleh
karena yang menguasai warisan adalah seluruh anggota keluarga, harta yang tak
terbagi-bagi itu adalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Sedangkan
dalam masyarakat Melayu yang umumnya menganut sistem bilateral atau parental,
harta peninggalannya merupakan harta yang dapat dibagi-bagi.

18
NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm.
12.

13
3. Prinsip-Prinsip Garis Keturunan dalam Waris Adat

Pada dasarnya, hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-
prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya:19

a. Prinsip Patrilineal : dimana kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam


hukum waris adat sangat kuat.
b. Prinsip Matrilineal : dimana kedudukan dan pengaruh pihak perempuan
dalam hukum waris adat sangat kuat.
c. Prinsip bilateral (parental) : dimana kedudukan anak laki-laki dan kedudukan
anak perempuan dalam hukum waris adat adalah sama dan sejajar.

Dalam sistem kekerabatan, masyarakat Masyarakat Melayu Deli lebih dominan


menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan
muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika
pasangan muda tersebut telah dikaruniai anak. Jika belum memiliki rumah dan anak,
pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan.
Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah
diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli. Oleh karena itu,
sebenarnya jika dilihat secara tidak langsung masyarakat Melayu Deli menganut
sistem kekerabatan bilateral atau parental, karena pola kekerabatan antara matrilineal
dan patrilineal telah diterapkan cukup seimbang oleh masyarakat Melayu Deli.

4. Sistem Kewarisan Adat

Di samping prinsip-prinsip garis keturunan di atas, hukum waris adat mengenal tiga
sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan
sistem kewarisan mayorat.20 Oleh karena masyarakat Melayu menganut sistem
kekerabatan parental maka sistem kewarisan adat yang dipakai masyarakat Melayu
adalah sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan di mana para ahli waris
mewarisi harta peninggalan pewaris secara perorangan.

19
P. N. H. Simanjuntak., Op. cit., hlm. 257.
20
Ibid., hlm. 257.

14
5. Ahli Waris

Terdapat golongan ahli waris yang diprioritaskan, yaitu:21

a. Anak Kandung : dalam hukum adat anak kandung yaitu anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Selain anak kandung, ahli waris yg di prioritaskan
adalah janda atau duda. Jika anak kandung, janda atau dua tidak ada, maka
warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu orangtua si pewaris.
b. Orangtua : jika orangtua pewaris tidak ada, termasuk janda atau duda, maka
harta warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu saudara pewaris.
c. Saudara pewaris : disebut juga pewarisan menyamping.

Selain ke-3 golongan yg diprioritaskan tersebut, beberapa golongan ahli waris lain di
tentukan berdasarkan status anak apakah anak tersebut mendapat warisan atau tidak.

a. Anak angkat : anak angkat berhak menerima warisan bersama dengan anak
kandung, namun bagiannya tidak sama persis dengan anak kandung.
b. Anak tiri : anak tiri berhak memperoleh warisan tetapi terbatas pada bagian
harta warisan ayah atau ibu kandungnya saja.
c. Anak luar kawin : anak luar kawin hanya berhak atas warisan yang berasal
dari ibunya, karena ia hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

6. Pembagian harta warisan

Masyarakat adat melayu identik dengan agama islam, dalam hal pembagian harta
warisan, pertama masyarakat adat melayu harus ada kesepakatan terlebih dahulu
dari setiap ahli waris, yang mana apakah mereka atau para ahli waris dalam
pembagian harta warisan akan menggunakan hukum waris islam atau hukum waris
secara adat melayu. Biasanya di dalam pembagian warisan dua hal tersebut
disepakati terlebih dahulu dari awal oleh para ahli waris. Jika disepakati bahwa
pembagian harta warisan itu menggunakan hukum waris adat melayu, maka
pembagiannya tidak mengikuti aturan pembagian di dalam sitem hukum waris islam.

21
Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 7-
8.

15
Dimana pembagian warisan menurut sistem hukum waris adat melayu antara anak
laki-laki dengan anak perempuan kedudukan dinilai sama dalam keluarga. Oleh
karena itu hak dan kewajibannya juga sama. Dengan demikian dalam hal pembagian
harta warisan juga sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

TABEL PERBEDAAN

No. Perbedaan Hukum Perdata Hukum Islam Hukum Adat


Kebiasaan yang
- Al-Qur’an
sudah turun-
1 Sumber KUHPerdata - Hadist
temurun dari
- Ijma dan Ijtihad
masyarakat sekitar
- Gol. I : suami-
- Dzul Faraa’idh
istri dan anak
: ahli waris yg
beserta
sudah
keturunannya
ditentukan di
- Gol. II : orangtua - Anak
dalam Al-
dan saudara- kandung
Qur’an
saudara beserta (sah)
- Asabah : ahli
keturunannya. - Orangtua
Ahli waris yg ditarik
2 - Gol. III : kakek - Saudara
Waris dari garis ayah.
dan nenek dan - Anak angkat
- Dzul Arhaam :
seterusnya ke atas - Anak tiri
org yg
- Gol. IV : - Anak luar
mempunyai
keluarga garis kawin
hubungan
menyamping
darah pewaris
yang lebih jauh,
melalui pihak
saudara ahli waris
wanita.
gol. III
- Ahli waris harus - Matinya Hampir sama
3 Syarat
ada saat warisan pewaris dengan waris dalam

16
terbuka - Hidupnya ahli hukum Islam
- Memiliki waris
hubungan darah - Tidak ada
- Tidak menolak penghalang
warisan mewaris
Bagian anak laki-laki Bagian anak laki- Bagian anak laki-
4 Bagian dan perempuan laki dua kali bagian laki dan perempuan
adalah sama anak perempuan adalah sama

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari paparan atau penjelasan di atas, dapatdisimpulkanbahwapada prinsipnya


bahwa hukum waris adalah hukum yangmengatur pembagian waris kepada orang
yang berhak mendapatkannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya
sebab pemilik awal harta tersebut sudah tiada, maka hukum memberikan hak dan
kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk menikmati dan
mengurus harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut tertelantarkan
Penyelesaian dalam mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat,
hukum islam, dan hukum perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau
melengkapi. Artinya, para ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan
dalam pembagiannya. Baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum perdata,
hukum islam, maupun kesepakatan bersama antara para ahli waris.

17
DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 1976. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta: Sumur


Bandung.

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia


Group.

Wahyu Kuncoro, NM. 2015. Waris Permasalahan dan Solusinya. Jakarta:


Raih Asa Sukses.

Harun, Badriyah. 2009. Panduan Praktis Pembagian Waris. Yogyakarta:


Pustaka Yustisia.

18

Anda mungkin juga menyukai