Disusun oleh :
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Harta waris disebut juga harta tanpa tuan, sebab pemilik awal harta tersebut
sudah tiada. Hal ini bisa disebabkan karena sang pemilik telah meninggal dunia
maupun pergi dalam waktu yang sangat lama tanpa keterangan dan kepastian kapan
kepulangannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya, maka hukum
memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk
menikmati dan mengurus harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut
tertelantarkan.
Ahli waris boleh menerima atau menolak warisan tersebut, hal ini adalah sifat
warisan yang merupakan hak. Ahli waris boleh menolak harta yang diwariskan oleh
pemilik, misalnya jumlah harta waris lebih sedikit dari hutang si pewaris, maka ahli
waris dapat menolak karena alasan tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh sebagian
ulama.
Di dalam sengketa pembagian hukum waris, ada 3 (tiga) penyelesaian dalam
mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat, hukum islam, dan hukum
perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau melengkapi. Artinya, para
ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan dalam pembagiannya. Baik itu
pembagian menurut hukum adat, hukum perdata, hukum islam, maupun kesepakatan
bersama antara para ahli waris.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris perdata?
2. Bagaimanakan pembagian warisan menurut hukum waris islam?
3. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris adat melayu?
2
BAB II
PEMBAHASA
Di dalam hukum waris, dikenal beberapa istilah yang sering dipergunakan, yaitu :
4
3. Wujud Warisan
4. Syarat-Syarat Mewaris
Dengan demikian pada prinsipnya, ahli waris tersebut harus memenuhi syarat:4
a. Ahli waris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka.
b. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau ia adalah janda atau duda.
c. Bukan orang yang tidak patut untuk mewaris.
d. Tidak menolak warisan.
3
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 213.
4
Ibid.
5
atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada
orang yang meninggalkan warisan.5
6
b. Golongan II
1) Bagian ayah dan ibu masing-masing
Ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki atau perempuan, maka mereka
mewaris seluruh harta dan masing-masing setengah bagian.
Ayah dan ibu mewaris bersama seorang saudara laki-laki atau perempuan,
maka mendapat bagian sama besar, ayah ibu masing-masing 1/3 bagian dan
sisa 1/3 bagian saudara.
Ayah dan ibu mewaris bersama-samadengan 2 orang saudara laki-laki atau
perempuan, maka ayah dan ibu mendapat 1/4 bagian, sisanya untuk saudara.
Ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari dua orang saudara, maka bagian
ayah dan ibu yg masing-masing 1/4 bagian diambil dahulu dan sisanya untuk
saudara dengan bagian yang sama besar.
c. Golongan III
Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan
kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para
anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu
si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-
7
olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya di situ tidak mungkin terjadi
suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali
saja. Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahliwaris lagi, maka seluruh
warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.9
d. Golongan IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam
garis atas yang nasih hidup. Mereka ini mendapat setengah bagian. Sedangkan ahli
waris dalam garis lain yang derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapat
setengah bagian.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian harganya
masing-masing.10 Adapun dasar hukum dari waris Islam ini adalah Al-Qur’an,
Hadist, Ijtihad, dan Ijma.
2. Wujud Warisan
Warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam, yaitu sejumlah harta benda
serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya harta
peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda
serta segala hak “setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal wasiat”.11
9
Subekti, Op. cit., hlm. 70.
10
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 19991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171.
11
Wirjono Prodjodikoro,Op. cit., hlm. 17.
8
3. Dasar Hak Untuk Mewaris
Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat bagian
harta peninggalan menurut Al-Qur’an adalah :12
a. Karena hubungan darah (Surah An-Nissa’ [4] ayat 7, 11, 12, 33, dan ayat
176).
b. Karena hubungan semenda atau pernikahan.
c. Karena hubungan persaudaraan (Q.S. Al-Ahzaab [33] : 6).
d. Hubungan kerabat, karena sesama hijroh pada permulaan pengembangan
Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (Q.S. Al-Anfaal [8] : 75).
Secara garis besar, golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga
golongan, yaitu:13
a. Dzul Faraa’idh
Dzul Faraa’idh adalah ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an, yakni
ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak
berubah-ubah. Adapun perincian masing-masing ahli waris dzul faraa’idh ini di
dalam Al-Qur’an tertera dalam Surah An-Nissa’ (4) ayat 11, 12, dan 176, yaitu terdiri
atas:14
12
P. N. H. Simanjuntak,Op. cit., hlm. 245.
13
Ibid., hlm. 246.
14
Ibid., hlm. 246-247.
9
Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 11).
3) Dalam garis ke samping:
Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah.
Saudara perempuan tiri dari garis ayah (Q.S. An-Nissa’[4] : 176).
Saudara lelaki tiri dari garis ibu.
Saudara perempuan tiri dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).
4) Duda.
5) Janda (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).
b. Asabah
Asabah dalam bahasa Arab berarti “anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak”.
Dengan kata lain, asabah adalah ahli waris yang ditarik dari garis ayah. Apabila
pewaris meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris dzul faraa’idh, maka harta
peninggalan diwarisi oleh asabah.akan tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh ada, maka
sisa bagiannya menjadi bagian asabah. Ahli waris asabah dibagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu:15
15
Ibid., hlm. 247-248.
10
Paman yang seayah dengan ayah
Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
2) Asabah bilghairi, yaitu asabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita
yang menjadi asabah karena ditarik oleh seorang laki-laki. Mereka yang
termasuk asabah bilghairi adalah:
Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki
Saudara perempuan yang didampngioleh saudara laki-laki
3) Asabah ma’alghairi, yaitu sudara perempuan yang mewaris bersama
keturunan perempuan dari pewaris, mereka ini adalah:
Saudara perempuan sekandung, dan
Saudara perempuan seayah
c. Dzul arhaam
Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah pewaris
melalui pihak wanita saja”. Hazairin memberikan perincian mengenai dzul arhaam,
yaitu semua orang yang bukan dzul faraa’idh dan bukan asabah, umumnya terdiri
dari orang yang termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-
laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah
dari ibu.dengan demikian dzul arhaam akan mewaris kalau telah tidak ada dzul
faraa’idh dan tidak ada pula asabah.16
a. Ahli waris yang mendapat 1/2 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Seorang anak perempuan
2) Suami/duda, bila si pewaris (istri) tidak meniggalkan anak.
16
Ibid., hlm. 248.
17
Ibid., hlm. 248-249.
11
3) Seorang saudara perempuan kandung, bila si pewaris meninggalkan ayah dan
anak.
4) Seorang saudara perempuan seayah, bila si pewaris tidak meninggalkan ayah
dan anak, saudara laki-laki.
b. Ahli waris yang mendapat 1/3 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Ibu, bila si pewaris tidak meninggalkan anak, atau dua orang saudara atau
lebih.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan dengan
pembagian yang sama.
3) Ayah, bila si pewaris tidak meninggalkan anak.
c. Ahli waris yang mendapat 1/4 bdari harta peninggalan terdiri atas:
1) Suami/duda, bila si pewaris (istri) meninggalkan anak
2) Istri/janda, bila si pewaris (suami) tidak meninggalkan anak.
d. Ahli waris yang mendapat 1/6 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Ibu, jika pewaris meningglkan anak, atau dua saudara atau lebih.
2) Ayah, jika si pewaris meninggalkan anak.
3) Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila si pewaris tidak
meninggalkan anak dan ayah.
e. Ahli waris yang mendapat 1/8 dari harta peninggalan hanya terdiri atas:
istri/janda, bila si pewaris (suami) dengan meninggalkan anak.
f. Ahli waris yang mendapat 2/3 dari harta peninggalan terdiri atas:
1) Dua orang atau lebih anak perempuan
2) Dua orang saudaraperempuan kandung atau lebih
3) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
12
C. HUKUM WARIS ADAT MELAYU
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Hukum waris adat adalah tata cara pewarisan menurut hukum adat yang berlaku.
Hukum ini merupakan konsekuensi dari masih terpeliharanya hukum adat di
beberapa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa indonesia.
Bila dikatakan bahwa keragaman kehidupan masyarakat Indonesia berbanding lurus
dengan hukum adatnya, tak terkecuali hukum waris. 18
Berbeda dengan sistem
pewarisan yang lain, hukum waris adat memiliki kekhasan tersendiri, yaitu tidak
mengenal adanya pembagian yang ditentukan.Semuanya dikembalikan pada asas
musyawarah mufaka, kelayakan, kepatuhan, dan juga kebutuhan masing-masing ahli
waris. Kemufakatan itulah yang menjadi dsar hukum pembagian waris adat.
2. Harta Peninggalan
Pada masyarakat hukum adat bilateral atau parental (dan sebagian dari masyarakat
hukum adat patrilineal), pada dasarnya harta warisan itu dibagi-bagi kepada ahli
warisnya. Di sini anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak uang sama
atas harta peninggalan orangtuanya. Wujud dari harta tersebut umumnya harta yang
dapat atau mudah dibagi-bagi. Tidak seperti pada masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilineal dimana terdapat harta yang tidak dapat dibagi-bagi, oleh
karena yang menguasai warisan adalah seluruh anggota keluarga, harta yang tak
terbagi-bagi itu adalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Sedangkan
dalam masyarakat Melayu yang umumnya menganut sistem bilateral atau parental,
harta peninggalannya merupakan harta yang dapat dibagi-bagi.
18
NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm.
12.
13
3. Prinsip-Prinsip Garis Keturunan dalam Waris Adat
Pada dasarnya, hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-
prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya:19
Di samping prinsip-prinsip garis keturunan di atas, hukum waris adat mengenal tiga
sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan
sistem kewarisan mayorat.20 Oleh karena masyarakat Melayu menganut sistem
kekerabatan parental maka sistem kewarisan adat yang dipakai masyarakat Melayu
adalah sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan di mana para ahli waris
mewarisi harta peninggalan pewaris secara perorangan.
19
P. N. H. Simanjuntak., Op. cit., hlm. 257.
20
Ibid., hlm. 257.
14
5. Ahli Waris
a. Anak Kandung : dalam hukum adat anak kandung yaitu anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Selain anak kandung, ahli waris yg di prioritaskan
adalah janda atau duda. Jika anak kandung, janda atau dua tidak ada, maka
warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu orangtua si pewaris.
b. Orangtua : jika orangtua pewaris tidak ada, termasuk janda atau duda, maka
harta warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu saudara pewaris.
c. Saudara pewaris : disebut juga pewarisan menyamping.
Selain ke-3 golongan yg diprioritaskan tersebut, beberapa golongan ahli waris lain di
tentukan berdasarkan status anak apakah anak tersebut mendapat warisan atau tidak.
a. Anak angkat : anak angkat berhak menerima warisan bersama dengan anak
kandung, namun bagiannya tidak sama persis dengan anak kandung.
b. Anak tiri : anak tiri berhak memperoleh warisan tetapi terbatas pada bagian
harta warisan ayah atau ibu kandungnya saja.
c. Anak luar kawin : anak luar kawin hanya berhak atas warisan yang berasal
dari ibunya, karena ia hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.
Masyarakat adat melayu identik dengan agama islam, dalam hal pembagian harta
warisan, pertama masyarakat adat melayu harus ada kesepakatan terlebih dahulu
dari setiap ahli waris, yang mana apakah mereka atau para ahli waris dalam
pembagian harta warisan akan menggunakan hukum waris islam atau hukum waris
secara adat melayu. Biasanya di dalam pembagian warisan dua hal tersebut
disepakati terlebih dahulu dari awal oleh para ahli waris. Jika disepakati bahwa
pembagian harta warisan itu menggunakan hukum waris adat melayu, maka
pembagiannya tidak mengikuti aturan pembagian di dalam sitem hukum waris islam.
21
Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 7-
8.
15
Dimana pembagian warisan menurut sistem hukum waris adat melayu antara anak
laki-laki dengan anak perempuan kedudukan dinilai sama dalam keluarga. Oleh
karena itu hak dan kewajibannya juga sama. Dengan demikian dalam hal pembagian
harta warisan juga sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
TABEL PERBEDAAN
16
terbuka - Hidupnya ahli hukum Islam
- Memiliki waris
hubungan darah - Tidak ada
- Tidak menolak penghalang
warisan mewaris
Bagian anak laki-laki Bagian anak laki- Bagian anak laki-
4 Bagian dan perempuan laki dua kali bagian laki dan perempuan
adalah sama anak perempuan adalah sama
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18