Anda di halaman 1dari 10

NAMA : SATRIO

NIM : 041575377

TUGAS 2

HUKUM PERDATA

1. Bagaimana mekanisme pembagian warisan terhadap ahli waris dalam Hukum Indonesia
maupun Hukum Islam? Jelaskan!

JAWAB :
Perlu kita ketahui Ahli Waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang
menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya
pewaris.

Ahli Waris dalam Hukum Indonesia


Hukum warisan terdapat di Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) atau populernya disebut hukum waris perdata barat. Dalam pasal
tersebut ditegaskan pembagian harta warisan baru bisa dilakukan setelah terjadi
kematian. Jadi, kalau pemilik harta masih hidup, harta yang dimilikinya tidak dapat
dialihkan melalui pengesahan prosedur atau ketentuan waris.

Pasal 832 menyebutkan orang-orang yang berhak menjadi ahli waris, yaitu:

 Golongan I: keluarga yang berada pada garis lurus ke bawah, yaitu suami atau istri
yang ditinggalkan, anak-anak, dan keturunan beserta suami atau istri yang hidup
lebih lama.
 Golongan II: keluarga yang berada pada garis lurus ke atas, seperti orang tua dan
saudara beserta keturunannya.
 Golongan III: terdiri dari kakek, nenek, dan leluhur.
 Golongan IV: anggota keluarga yang berada pada garis ke samping dan keluarga
lainnya hingga derajat keenam.
Walau begitu, tetap ada ketentuan yang menjadikan suatu pihak dinyatakan sebagai ahli
waris atau dicoret sebagai ahli waris.

Pihak yang menjadi ahli waris secara alami

1. Mereka yang ditunjuk sesuai undang-undang, antara lain suami/istri, anak,


kakek/nenek, dan lainnya sebagaimana termasuk dalam Golongan I hingga Golongan
IV. Hak ini disebut dengan ab intestato.
2. Pihak yang ditunjuk secara khusus sebagai ahli waris sesuai isi wasiat milik pewaris.
Umumnya disebut surat wasiat, surat ini tetap perlu disahkan oleh notaris. Hak ini
disebut dengan testamenter.
3. Anak yang masih berada di dalam kandungan. Walau belum dilahirkan, statusnya bisa
disahkan langsung sebagai ahli waris jika diperlukan. Hak ini diperkuat oleh ketentuan
Pasal 2 KUHPerdata.

Pasal 838 KUHPerdata menyatakan pihak-pihak yang akan dicoret sebagai ahli waris
jika melakukan tindakan kriminal seperti berikut.

1. Melakukan pencegahan untuk mengesahkan atau mencabut surat wasiat.


2. Memalsukan, merusak, atau menggelapkan keberadaan surat wasiat.
3. Berupaya membunuh atau telah membunuh pewaris.
4. Terbukti bersalah berusaha merusak nama baik pewaris.

Berikut ini adalah cara hitung pembagian harta warisan menurut KUH Perdata.

1. Suami atau istri dan anak-anak yang ditinggal mati pewaris mendapat seperempat
bagian.
2. Kalau pewaris belum punya suami atau istri dan anak, hasil pembagian warisan diberi
ke orangtua, saudara, dan keturunan saudara pewaris sebesar seperempat bagian.
3. Kalau pewaris gak punya saudara kandung, harta warisan dibagi ke garis ayah sebesar
setengah bagian dan garis ibu sebesar setengah bagian.
4. Keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup berhak menerima warisan sesuai
dengan ketentuan yang besarannya setengah bagian.

Dengan kata lain, urutan ahli waris ini dibuat berdasarkan asas prioritas. Selama
Golongan I masih hidup, maka Golongan II tidak sah untuk menerima warisan di mata
hukum. Begitu juga selanjutnya, baru setelah Golongan I dan II gak ada, maka Golongan
III yang berhak menerima warisan.

Ada juga hak-hak yang dimiliki ahli waris. Jadi, setelah keberadaan ahli waris dapat
dipastikan dan disahkan, maka timbullah hak-hak bagi para ahli waris tersebut, yaitu:

 Para ahli waris dapat mengusulkan pemisahan harta warisan yang telah dibagikan.
Berdasarkan Pasal 1066 KUHPerdata, hal ini dapat direalisasikan lima tahun setelah
harta waris dibagikan. Namun, hal ini gak wajib dan hanya bersifat kesepakatan
internal di antara para ahli waris dengan mengikuti ketentuan hukum yang sah.
 Suatu pihak dinyatakan secara alami sebagai ahli waris yang sah yang mana berhak
menerima semua hak warisan berupa harta benda dan piutang dari pewaris. Namun,
sesuai Pasal 833 KUHPerdata, ahli waris tersebut memiliki hak saisine, yaitu hak
untuk mempertimbangkan atau menolak menerima warisan.
 Ahli waris berhak meminta penjelasan atau rincian terkait warisan yang diterimanya.
Bentuknya bisa dalam pembukuan yang berisi jenis-jenis hak, kewajiban, utang,
dan/atau piutang dari pewaris. Permintaan ini adalah bagian dari hak beneficiary
sesuai Pasal 1023 KUHPerdata.
 Ahli waris pertama berhak untuk menggugat ahli waris kedua atau pihak terkait
lainnya yang menguasai harta warisan yang menjadi bagian dari hak ahli waris
pertama. Hal ini disebut dengan hak hereditas petitio yang diperkuat oleh Pasal 834
KUHPerdata.

Ahli Waris dalam Hukum Islam


Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang yang
telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-
kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An
Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada
6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).
Selain itu, merujuk pada beberapa ketentuan dalam Ilmu Fiqih yang lebih spesifik terkait
dengan pembagian waris antara lain adalah:

1. Asal Masalah
Asal Masalah adalah: ‫فروضها‬ ‫أو‬ ‫فرضها‬ ‫منه‬ ‫يصح‬ ‫عدد‬ ‫أقل‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.”
(Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, halaman
339). Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau dalam ilmu
faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah:
‫كسر‬ ‫غير‬ ‫من‬ ‫صحيحا‬ ‫الورثة‬ ‫من‬ ‫واحد‬ ‫كل‬ ‫نصيب‬ ‫منه‬ ‫يتأتى‬ ‫عدد‬ ‫أقل‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli
waris secara benar tanpa adanya pecahan.” (Musthafa Al-Khin, 2013:339)
Ketentuan Asal Masalah bisa disamakan dengan masing-masing bagian pasti ahli
waris yang ada.
2. Adadur Ru’ûs (‫)عدد الرؤوس‬
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala.
Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila ahli
warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl.
Sedangkan apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya
menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang
yang menerima warisan.

3. Siham (‫)سهام‬
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian
pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.
4. Majmu’ Siham (‫السهام‬ ‫)مجموع‬
Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham dalam menghitung pembagian
warisan:
 Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan
 Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak
laki-laki sisa (ashabah) dan seterusnya.
 Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
 Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan
seterusnya
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.Ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.Harta warisan adalah
harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

Namun demikian, selain memperoleh hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban
menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni untuk mengurus dan menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih
piutang.Menyelesaiakan wasiat pewaris. Membagi harta warisan diantara ahli waris
yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI) dengan ketentuan sebagaiman
berikut ini :
• Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak
diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama
diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
• Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak
mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190
KHI).
• Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179
KHI).
• Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian
(Pasal 180 KHI).

Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.

Sedangkan menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga
wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli
waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari
pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

 Anak laki-laki (al ibn).


 Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
 Bapak (al ab).
 Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
 Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
 Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
 Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
 Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
 Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
 Paman seibu sebapak.
 Paman sebapak (al ammu liab).
 Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
 Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
 Suami (az zauj).
 Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan
seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
 Anak perempuan (al bint).
 Cucu perempuan (bintul ibn).
 Ibu (al um).
 Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
 Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
 Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
 Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
 Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
 Isteri (az zaujah).
 Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian
apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian
1/8 apabila si pewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri berhak mendapatkan
juga bagian warisnya.

Dengan demikian maka dalam Islam, pembagian waris bukan melalui pembagian
merata kepada ahli waris, akan tetapi dengan pembagian yang proporsional seperti
penjelasan diatas.

2. Apakah anak di luar nikah yang mendapatkan warisan adalah anak zina ?

JAWAB:

Menurut Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer, anak yang
dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah, tidak boleh diakui tanpa mengurangi
ketentuan Pasal 273 KUHPer mengenai anak penodaan darah. Maka jika didasarkan
pada ketentuan dalam KUHPer, anak zina tidak mendapat warisan dari orang tuanya.
Akan tetapi, berdasarkan Pasal 867 KUHPer, yakni “Ketentuan-ketentuan tersebut di
atas mi tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah.
Undang-undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka.” Yang berarti
anak zina mendapatkan nafkah seperlunya dari orang tuanya. Merujuk kembali pada
ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan/ Undang-Undang
Perkawinan tidak dibedakan mengenai anak zina dan anak luar kawin. Yang diatur dalam
UU Perkawinan hanyalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan). Oleh karena adanya hubungan perdata dengan
ibunya, maka anak zina yang lahir setelah berlakunya UU Perkawinan, bisa
mendapatkan warisan dari ibunya. Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010
menguji Pasal 43 ayat (1) UPP yang menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan ayahnya yang terbukti
secara teknologi dan hukum. Artinya berdasarkan referensi tersebut terdapat
perbedaan membaca status hubungan antara anak dengan orang tuanya di KUHPer dan
putusan mahkamah konstitusi yang menguji pasal 43 ayat (1) UPP, sehingga walaupun
terlahir bukan dari pernikahan yang sah anak masih berhak mendapatkan warisan.
Namun, poin-poin hukum Islam dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya
memutuskan bahwa bagi keturunan dari hasil perzinahan secara spesifik menjelaskan
bahwa anak hasil zina terputus hubungan nasabnya, wali pernikahan nya dan nafkahnya
dari ayah biologis yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi, anak hasil perzinahan
memiliki hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.

3. Menurut analisis Anda apakah semua ahli waris yang memiliki hubungan darah berhak
mendapatkan warisan?

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah harta Waris baru terbuka
(dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830
KUHPerdata); Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk
suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih
terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah
bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan
merupakan ahli waris dari pewaris. Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak
mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik
itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau
keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori,
maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852
KUHPerdata).
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari
kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Selain syarat-syarat di atas, namun juga terdapat siapa saja yang tidak berhak untuk
menerima waris. Berdasarkan KUHP pasal 838, pihak-pihak yang tidak berhak menerima
waris yakni orang yang dihukum karena telah membunuh atau mencoba membunuh
pemilik harta, orang yang pernah dipersalahkan karena fitnah telah mengajukan
pengaduan terhadap pemilik harta. Putusan hakim harus putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, orang yang telah mencegah pemilik harta dengan kekerasan,
untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya dan orang yang telah menggelapkan,
merusak atau memalsukan surat wasiat pemilik harta.

Anda mungkin juga menyukai