Anda di halaman 1dari 8

Harta Peninggalan

( At-tirkah )
Definisi:

At-tirkah secara etimologi1 adalah segala sesuatu yang ditinggalakan oleh seseorang.

Secara terminology: segala sesuatu yang ditingglkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia
berupa harta atau segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan harta benda dan juga hak
yang mencakup hak orang lain seperti hak khiyar ‘aib, hak rahn dan lainnya.

Dengan kata lain harta warisan disini biasa berbentuk2:

1. Harta banda yang bersifat tetap seperti bangunan, tanah, kebun dan sebagainya.
2. Harta benda yang bersifat tidak tetap atau bergerak seperti uang tunai, peralatan,
kendaraan, pakaian dan lain sebagainya.
3. Hutang-hutang orang lain kepada si mayit.
4. Harta benda yang telah digadaikan oleh si mayit dan boleh ditebus.
5. Harta benda yang telah dibeli oleh si mayit semasa hidupnya yang berupa pembelian
yang telah dibayar uangnya tetapi belum diterima barangnya semacam home delivery.
6. Harta yang berupa simpanan di bank, saham, insurance dan lainnya yang dibolehkan
secara syari’at.
7. Harta lainnya yang mempunyai nilai kebendaan.

Hak-hak yang berkaitan dengan At-Tirkah3

Dalam hal penggunaan harta warisan ini, terdapat beberapa hak yang harus ditunaikan
terlebih dahulu berkaitan dengan hak-hak pewaris. Jika hak-hak ini sudah ditunakan, barulah sisa
dari seluruh harta peninggalan pewaris tersebut dapat dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai
ketetapan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan (ijma’) para ulama. Hak-hak yang berkaitan
dengan pewaris dan harta warisannya tersebut diantaranya adalah:

a. Biaya untuk keperluan pemakaman pewaris


b. Hutang pewaris
c. Menunaikan wasiat pewaris

1
Prof. Dr. Abu Al-Yazid Muhammad Abu Al-‘Azam, Maqasid fi-Al-Mirast, Universitas Al-Azhar, Cairo, Hal 10
2
http://cmsweb.muis.gov.sg/malay Majelis Ugama Islam singapora (MUIS), Ilmu Faraid
3
H.M Jabal Alamsyah Nasution, Panduan Pelatihan Akuntansi Al-Mawarist, cet.I, 2004, BPQ EL-Azhar, Mesir. Hal:
14
a. Biaya untuk Keperluan Pemakaman Pewaris
Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta
miliknya tersebut dengan penggunaan yang sewajarnya, yakni tidak berlebihan dan tidak pula
dikurang-kurangi. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang
dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya adalah: biaya
memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di
tempat peristirahatannya yang terakhir. Segala keperluan tersebut bisa berbeda-beda biayanya,
tergantung keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.

Apabila pewaris tidak meninggalkan warisan, maka hendaknya biaya pemakamannya


dipikul oleh keluarga yang menjadi tanggungannya sewaktu masih hidup, yaitu anak-anak dan
kerabat lainnya yang mampu. Jika pewaris tidak mempunyai kerabat yang dapat menanggung
biaya penguburannya, maka biaya itu dapat meminta ke kas RT, kas RW atau bahkan baitulmal
(kas negara). Di tempat saya tinggal dahulu, terdapat satu kebijaksanaan dari pengurus RT dan
para warganya, yaitu menyediakan biaya pengurusan jenazah dari awal sampai ke tempat
peristirahatannya yang terakhir (tidak termasuk biaya untuk pembelian tanah makam). Kas RT
ini sebenarnya merupakan dana yang di dapat dari iuran bulanan warga itu sendiri.

b. Hutang Pewaris
Hutang yang masih ditanggung pewaris harus ditunaikan atau dibayarkan terlebih dahulu.
Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya
sebelum hutangnya ditunaikan terlebih dahulu.

Berkaitan dengan hutang ini, terdapat hadits Rasulullah saw disebutkan bahwa Rasulullah
saw bersabda,

  ‫ نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه‬: ‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫عن أبي هريرة قال‬

“Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung (sesudah wafatnya) sampai hutangnya
didunia dilunasi. (HR. Ahmad)

Mungkin diantara kita ada yang bertanya-tanya, bagaimana perihal seseorang yang wafat,
yang masih mempunyai tanggungan hutang yang belum dilunasi, namun ia tidak meninggalkan
harta warisan yang cukup untuk menutup hutangnya tersebut? Maka jika terjadi kondisi seperti
ini, yaitu jumlah hutangnya tersebut lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli warisnya
harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan harta mereka sendiri
sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya yang telah wafat tersebut. Jika
memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada kerabatnya yang
lain. Jika memang masih belum mencukupi juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum
muslimin lainnya, atau bahkan meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta
baitulmal (kas negara).
Di dalam suatu hadits disebutkan, “Seorang hamba muslim yang membayar hutang
saudaranya, maka Allah akan melepaskan ikatan penggadaiannya pada hari kiamat.” (HR.
Mashabih Assunnah)

Harap diperhatikan, bahwa hutang yang patut dibantu adalah hutang seseorang yang
digunakan untuk amal kebaikan, seperti untuk memberi makan anak istrinya, membeli pakaian
untuk menutup auratnya, dan lain sebagainya, karena memang dia berada dalam kondisi yang
kekurangan. Adapun hutang seseorang yang digunakan untuk perbuatan dosa, seperti seseorang
yang berhutang untuk berjudi, membeli minuman keras dan perbuatan dosa lainnya, maka tidak
perlu dibantu, dan bahkan tidak boleh meminjamkan harta untuk perbuatan dosa dalam bentuk
dan kondisi apapun. Wallahu’alam.

c. Menunaikan Wasiat Pewaris


Wasiat adalah permintaan pewaris terhadap ahli warisnya sebelum wafatnya. Wasiat ini
sebenarnya tidak hanya berupa pesan yang sifatnya untuk membagikan sejumlah tertentu dari
hartanya, namun ia bisa juga berbentuk pesan-pesan kebaikan yang diinginkan pewaris untuk
ditunaikan oleh ahli warisnya.

Seorang muslim yang telah mengetahui ilmu faraid tentunya menginginkan ketika ia
telah wafat, harta peninggalannya tersebut dapat dibagikan kepada ahli warisnya dengan benar
sesuai dengan syariat (ketentuan) yang Allah turunkan. Juga terkadang mereka mempunyai
keinginan tertentu sebelum wafatnya, diantaranya ia ingin seperbagian hartanya tersebut
disedekahkan kepada fakir miskin, diinfakan di jalan Allah, disumbangkan untuk pembangunan
masjid setempat, dibagikan kepada seseorang yang ia anggap telah berjasa kepadanya, dan lain
sebagainya. Maka seluruh keinginannya tersebut dapat dituliskan di dalam suatu surat wasiat.

Penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah pewaris wafat. Jika ia mewasiatkan harta,
maka yang paling didahulukan untuk diselesaikan adalah biaya keperluan pemakamannya,
kemudian pembayaran hutangnya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, disebutkan
bahwa sesungguhnya Rasulullah saw memutuskan untuk mendahulukan penyelesaian hutang
sebelum melaksanakan wasiat.

Wajib hukumnya menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah
sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan
bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli
warisnya. Para ulama telah sepakat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya adalah
haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah swt. telah menetapkan bagian ahli
waris di dalam Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., dari Abu Umamah ra., ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sungguh Allah telah memberikan hak
(waris) kepada setiap yang berhak. Oleh karena itu, tidak ada wasiat (tambahan harta) bagi
orang yang (telah) mendapatkan warisan’”. (HR. al-Khamsah, kecuali an-Nasa’i)

Adapun mengenai surat Al-Baqarah ayat-180, Allah SWT berfirman:


         
       

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah – 180).

Maka sesungguhnya ayat ini turun sebelum ayat-ayat waris. Maka setelah turun ayat-ayat
waris, ditentukanlah batas-batas tertentu bagi para ahli waris sebagaimana yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Oleh karena itu, setelah turun ayat-ayat waris, seseorang tidak boleh lagi berwasiat
untuk membagikan sejumlah harta tertentu di luar haknya untuk para ahli warisnya. Adapun
wasiat untuk selain ahli waris maka diperbolehkan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat Nabi
dan tabi’in.

Terkecuali khusus untuk istri-istri dari pewaris, terdapat satu ayat yang menjelaskan hak
mereka, yakni Firman Allah SWT:

        


            
       

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah
berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf
terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah – 240).

Jadi para istri hendaknya diberi nafkah selama setahun penuh dengan tidak disuruh
pindah dari rumahnya, dimana semua itu harus sudah diwasiatkan oleh para suami yang telah
kedatangan tanda-tanda maut. Nafkah setahun yang diwasiatkan ini adalah diluar harta warisan.
Jika mereka (para istri pewaris) hendak pindah sendiri sebelum setahun (yakni setelah habis
masa iddahnya [empat bulan sepuluh hari]), maka para wali atau ahli waris tidak berdosa
membiarkan para istri itu untuk berbuat yang makruf, seperti misalnya menikah lagi dan lain
sebagainya. Jadi tinggal selama setahun di rumah pewaris dan juga mendapatkan nafkahnya
selama setahun merupakan hak bagi para istri yang ditinggal wafat suaminya.

Dalam berwasiat hendaknya ada saksi, sebagaimana diterangkan dalam Q.S. al-Maaidah
– 106 Allah berfirman:

         
          
         
           
          

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia
akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara
kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka
bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang
(untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu:
"(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan
persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa".” (Q.S. al-Maaidah – 106)

Juga di dalam suatu hadits disebutkan, “Dari Salim, dari Ibnu Umar ra. bahwa dia
mendengar Rasulullah bersabda, ‘Seorang muslim yang memiliki sesuatu yang akan dia
wasiatkan, hendaklah wasiat tersebut sudah tercatat padanya (selambat-lambatnya) tiga malam
setelah berlangsungnya wasiat itu.’” Kata Abdullah bin Umar, “Sejak saya mendengar sabda
Rasulullah tersebut, maka tidak terlewat satu malam pun melainkan surat wasiat saya telah ada
pada saya.” (HR. Muslim)

Berkata imam Syafi’i, “Tidak ada kehati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim,
kecuali bila wasiatnya itu sudah tertulis dan selalu berada disisinya bila dia mempunyai sesuatu
yang hendak diwasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya akan menjemput. Sebab bila dia
mati sedang wasiatnya belum tertulis dan tidak berada disisinya, maka mungkin wasiatnya tidak
akan kesampaian (yakni tidak ada yang menunaikan, karena para ahli warisnya memang tidak
ada yang tahu apa yang diinginkan oleh pewaris yang telah wafat tersebut)”.

Demikian pula, menunaikan wasiat hukumnya wajib bagi yang telah diamanahi atau
dipercaya untuk menunaikan isi wasiat tersebut. Maka terhadap orang-orang yang merubah atau
bahkan menelantarkan wasiat tersebut, maka sesungguhnya ia telah berdosa. Firman Allah di
dalam Al-Qur’an:

         


    

“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah – 181)

Namun jika ia merasa pewaris telah berlebih-lebihan dalam berwasiat, berat sebelah, pilih
kasih dan tidak adil, misalnya berwasiat agar memberikan harta warisan seluruhnya kepada
seseorang, atau mungkin isi wasiat tersebut menyuruh berbuat dosa dan pelanggaran, maka ahli
waris boleh untuk tidak melaksanakan wasiatnya, karena memang Allah melarang perbuatan
dosa dan karena batas maksimal pemberian harta warisan pada wasiat itu adalah sepertiga dari
harta milik pewaris, itupun jika tidak ada protes dari salah satu ataupun seluruh ahli waris yang
ada. Firman Allah:

              
  

“(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah
atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah – 182).

Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah,
dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Sesungguhnya seorang lelaki dan seorang perempuan
benar-benar telah beramal dan taat kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya
kedatangan ajalnya, sedangkan keduanya menyulitkan di dalam wasiatnya, maka keduanya
wajib masuk neraka!" Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat (Q.S. an-Nisaa’ – 12):
"Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat kepada ahli waris. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun."

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.:
"Barang siapa yang mati dalam keadaan berwasiat (yang baik), maka dia telah mati di jalan
Allah dan sunnah, mati dalam keadaan takwa dan syahid; dan mati dalam keadaan diampuni
dosanya."

Batas maksimum wasiat adalah sepertiga dari harta waris, dan tidak boleh melebihinya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. telah
menceritakan pengalamannya dengan Rasulullah seputar masalah batas maksimum wasiat yang
diperbolehkan. Isinya adalah sebagai berikut: Sa’ad bin Abi Waqqash ra. mengatakan bahwa ia
dijenguk oleh Rasulullah ketika Haji Wada’ karena ia sakit parah hampir mati. Ia katakan,”Ya
Rasulullah! Anda lihat sendiri sakit saya yang parah ini, sedangkan saya tergolong orang yang
berharta tetapi tidak ada yang mewarisi saya kecuali anak wanita saya. Bagaimana kalau saya
sedekahkan dua pertiga harta saya?” Rasulullah menjawab, “Jangan.” Ia tanyakan lagi,
“Bagaimana kalau saya sedekahkan seperduanya?” Beliau menjawab, “Jangan. Sepertiga saja.
Sepertiga itu sudah banyak. Sungguh kau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah
lebih baik daripada kau tinggalkan mereka dalam keadaan kepapaan (kemiskinan), lalu mereka
meminta-minta kesana kemari. Tidakkah kau berikan infak hanya karena Allah melainkan kau
diberi pahala karena infak tersebut, termasuk sesuap makanan yang kau berikan untuk makanan
istrimu.” (HR. Muslim)
Satu hal yang mesti diperhatikan adalah wasiat tidak sama dengan hibah (hadiah atau
pemberian). Hibah menjadi milik orang yang dihibahkan pada saat itu juga. Sejak saat tersebut,
orang yang memberikan hibah itu sudah berubah statusnya menjadi bukan lagi pemilik sesuatu
yang dihibahkan tersebut, dan pemilik sesungguhnya menjadi orang yang diberi hibah tersebut.
Orang yang sudah menghibahkan sesuatu kepada orang lain dilarang mengambil kembali
hibahnya, apapun keadaannya. Di dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
disebutkan, Umar ibnul Khattab ra. mengatakan bahwa ia telah menyedekahkan seekor kuda
yang bagus untuk keperluan jihad fisabilillah, namun kemudian pemiliknya (yakni orang yang
telah diberinya) menyia-nyiakan kuda itu. Lalu ia (Umar) menyangka bahwa pemiliknya (yakni
orang yang telah diberinya) akan menjualnya dengan harga yang murah. Maka, hal itu ia
tanyakan kepada Rasulullah, kemudian beliau bersabda, “Janganlah kau membelinya dan
janganlah kau minta kembali sedekahmu, karena orang yang meminta kembali sedekahnya
adalah seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.” Juga di dalam hadits Muslim lainnya
disebutkan, dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang meminta kembali
pemberiannya adalah seperti anjing yang muntah lalu dijilatinya kembali.”

Adapun wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat akan menjadi milik orang yang diwasiatkan
dengan syarat jika orang yang berwasiat itu telah wafat, dan itupun perhitungannya setelah
dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran hutang-hutangnya, karena memang hutang
harus lebih didahulukan pembayarannya daripada wasiat. Jadi jika seseorang berwasiat,
“Berikanlah seperdelapan hartaku untuk pembangunan masjid itu!”. Maka seperdelapan itu
dihitung dari hartanya setelah dikurangi dengan biaya pemakaman dan pembayaran hutang-
hutangnya, bukan dari pokok harta warisnya secara utuh. Setelah itu, baru sisanya diberikan
kepada ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Contoh penentuan At-Tirkah:

Seseorang meninggal dunia dan harta warisan yang ditinggalkan sebesar Rp.
20.000.000,-. Berapakah harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya setelah
dilaksanakan kewajiban terhadap harta peninggalan simayit?

Harta warisan = Harta peninggalan – kewajiban terhadap harta simayit

Kewajiban terhadap harta peninggalan Harta

Pengurusan mayat Rp 2.000.000,-


Rp 20.000.000 – Rp 2.000.000 = Rp 18.000.000
Pembayaran hutang Rp. 3.000.000,-
Rp 18.000.000 - Rp 3.000.000 = Rp 15.000.000

Melaksanakan wasiat Rp. 5.000.000,-


Rp 15.000.000 – Rp 5.000.000 = Rp 10.000.000

Harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli


Rp. 10.000.000,-
waris yang berhak

Anda mungkin juga menyukai