Anda di halaman 1dari 9

Pewaris Dan Tanggung Jawab Ahli Waris Dalam Islam

Pengertian Waris 

Kata waris berasal dari bahasa Arab miras (bentuk pluralnya adalah mawaris), yang
berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli
waris. Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan
istilah ilmu faraid. 

Kata faraid merupakan bentuk plural/jamak dari faridah, yang artinya bagian yang telah
dtentukan kadarnya. Jadi pengertian ilmu mawaris atau ilmu faraid adalah ilmu untuk
memahami pembagian harta pusaka dan ketentuan tiap-tiap orang yang mempunyai
hak tirkah (harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit). 

Dasar Hukum Waris

1. Al-Qur'an:"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang Telah ditetapkan ". (An-Nisa' : 7) 
2. Hadits :"Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan
bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashabah
yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama ". (H.R. Bukhari –
muslim) 
3. Ijma' (kesepakatan para ulama) : Ijma’ para sahabat, imam-imam madzhab dan
mujtahid-mujtahid fikih menjadi sumber hukum atas permasalahan waris yang
belum dijelaskan oleh nas-nas yang sharih.Misalnya ; menentukan status kakek
dan bagian yang diterima bila bersama saudara-saudara yang meninggal. Juga
menentukan bagian anak perempuan dari anak laki-laki bila bersama anak
perempuan atau dengan saudara yang meninggal, masalah aul dan lain
sebagainya. 

Rukun – Rukun Waris 

Rukun-rukun waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari rukun waris ini tidak ada
maka tidak akan terjadi pembagian warisan. Diantaranya adalah : 

1. Adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah
harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan. 
2. Adanya ahli waris, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya
ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya. 
3. Adanya harta warisan, yaitu harta peninggalan milik pewaris yang ditinggalkan
ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat berbagai macam bentuk dan jenisnya,
yang di dalamnya ada nilai materinya. 
Syarat – Syarat Waris 

Syarat-syarat waris ada tiga, diantaranya adalah: 

1. Telah meninggalnya pewaris baik secara nyata maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal oleh hakim, karena setelah dinantikan hingga kurun
waktu tertentu, tidak terdengar kabar mengenai hidup matinya). Hal ini sering
terjadi pada saat datang bencana alam, tenggelamnya kapal di lautan, dan lain-
lain. Seandainya calon pewaris masih hidup, atau bahkan sudah sekarat, maka
harta tersebut sepenuhnya masih miliknya 100%, tidak boleh dibagikan tanpa
seizinnya. Jika ada pembagian harta dari orang yang hidup, maka itu adalah
pembagian harta biasa (hibah) yang tidak bisa disebut sebagai harta warisan. 
2. Adanya ahli waris yang masih hidup secara nyata pada waktu pewaris meninggal
dunia. 
3. Seluruh ahli waris telah diketahui secara pasti, termasuk kedudukannya terhadap
pewaris dan jumlah bagiannya masing-masing. 

Tirkah (peninggalan) Mayit 

Hal-hal yang bersangkutan dengan peninggalan si mayit ada 5 perkara : 

1. Kewajiban kepada Allah yang harus terlaksana, seperti nazar, zakat, diyat,
kaffarat, dan lain-lain. 
2. Biaya proses perawatan jenazah sampai selesai. 
3. Pelunasan hutang. 

Apabila seseorang meninggal dunia dan masih meninggalkan hutang, maka hutangnya
dibayarkan dari harta yang dimilikinya sebelum dibagikan kepada ahli warisnya. Apabila
hartanya sudah tidak ada, maka para ahli warisnyalah yang harus menanggungnya.
Karena Rasulullah saw bersabda, “Roh (jiwa) seorang mu’min masih terkatung-katung
(sesudah wafatnya) sampai hutangnya didunia dilunasi. (HR. Ahmad). 

Jika terjadi kondisi jumlah hutangnya lebih besar dari harta warisan yang ada, maka ahli
warisnya harus berusaha melunasinya dari harta warisan yang ada ditambah dengan
harta mereka sendiri sebagai bentuk tanggung jawab ahli waris terhadap kerabatnya
yang telah wafat tersebut. Jika memang hartanya masih belum mencukupi, maka bisa
meminta bantuan kepada kerabatnya yang lain. Jika memang masih belum mencukupi
juga, maka bisa meminta bantuan kepada kaum muslimin lainnya, atau bahkan
meminta bantuan kepada pemerintah atau negara dari harta baitul mal (kas negara). 

Demikian pendapat yang dipilih oleh golongan Syafi’iyyah. Sedangkan, menurut


ketentuan yang ada didalam Kompilasi Hukum Islam – merupakan rumusan tertulis
Hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia –
pada pasal 157 berbunyi :“Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban
pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Jadi, para ahli
waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi
harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan harta milik pribadi. Dengan
demikian maka prosedur pembayaran hutang pewaris yang melampaui jumlah harta
peninggalan ialah menurut pengurangan yang seimbang. 

Contoh kasus : 
Pewaris X mempunyai hutang kepada A sebesar Rp.50.000,- ; kepada B sebesar
Rp.30.000,- ; dan C sebesar Rp.20.000,-. Jumlah harta peningalan pewaris sebesar
200.000. Ongkos-ongkos selama sakit dan ongkos kematian sebesar Rp.
160.000,-.Berdasar rumus di atas maka penyelesaian hutang-hutang tersebut diatur
sebagai berikut : 

A= 50.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp.20.000,- 


B= 30.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 12.000,- 
C= 20.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp.8.000,- 

Dan pelunasan hutang ini lebih diperioritaskan dari pada pelaksanaan wasiat
berdasarkan nas hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim, bahwa sesungguhnya
Rasulullah SAW memutuskan untuk mendahulukan penyelesaian hutang sebelum
melaksanakan wasiat. 

    4. Wasiat, maksimal 1/3 harta dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang
sudah              menerima furudh/ashabah. 
    5. Harta Waris. sebelum harta waris ini dibagikan, terlebih dahulu ahli waris. harus                   
memenuhi hak-hak si mayit secara urut dari hak yang pertama sampai keempat                   
dengan menggunakan harta peninggalan dari si mayit, kemudian baru sisa harta waris         
dapat dibagikan kepada ahli warisnya sesuai ketentuan. 

Para ulama mazhab sepakat bahawa tirkah (harta peninggalan mayit) beralih
pemilikannya kepada ahli waris sejak kematiannya sepanjang tidak ada hutang atau
wasiat. Mereka juga bersepakat tentang beralihnya pemilikan atas kelebihan hutang
dan wasiat kepada ahli waris. 

Hanafi mengatakan: Bagian yang nilainya sama dengan jumlah hutang, tidak di
masukkan dalam mmilik ahli waris. Berdasar itu, apabila harta peninggalan tertelan
hutang, maka ahli waris tidak menerima apa-apa. Akan tetapi mereka berhak meminta
pembebasan dari pemilik piutang atas hutang yang lebih besar dari jumlah tirkah.
Sedangkan bila harta peninggalan tidak habis oleh hutang maka para ahli waris
menerima sisanya yang tidak terkena hutang itu. 

Syafi’I dan mayoritas ulama mazhab Hambali mengatakan: Pemilikan ahli waris adalah
masih tetap ada dalam tirkah. Membayar hutang mayit didahulukan daripada wasiat
meskipun wasiat didahulukan penyebutannya dalam ayat. Ini karena ucapan ali yang
diriwayatkan oleh At-Tirmizi, 

“Aku melihat Rasulullah saw mulai menguruskan utang mayit daripada wasiat” 
Hikamah didahulukannya adalah perhatian islam terhadapt utang itu, tidak
mengabaikannya. Sebab, utang mirip dengan warisan yang harus diambil tanpa
kompensasi. Pendahuluan utang daripada wasiat adalah jelas. Sebab, pembayaran
utang adalah kewajiban orang yang berutang yang mana dia dipaksa untuk
membayarnya pada saat dia hidup. Wasiat adalah ibadah sunnah. Fardhu kewajiban
adalah lebih kuat. 

Utang yang harus dibayarkan menurut hanafiyyah adalah yang ada sisi tuntutan dari
hamba (manusia). Adapun utang-utang kepada Allah, seperti zakat, dan kafarah maka
para ahli waris tidak wajib membayarnya kecuali jika orang yang meninggal telah
berwasiat untuk membayarnya. 

Bagaimanapun, utang ada empat macam: 

1. Utang-utang yang berkaitan dengan benda seperti utang yang berkaitan dengan
barang gadaian, jika si mayit tidak mempunyai apa-apa selain barang gadaian
itu. Saya telah menjelaskan bahwa utang itu menurut Hanafiyyah adalah
didahulukan pengafanan dan perawatan jenazah. Adapon dalam undang-
undang, utang diakhirkan daripada perawatan jenazah demi mengambil
pendapat Hanabilah. 
2. Utang-utang untuk Allah seperti zakat, kafarah dan nazar gugur dengan
kematian menurut Hanafiyyah. Para ahli waris tidak berkewajiban
membayarkannya untuk mayit kecuali dengan perwakilan dari si mayt. Yaitu, si
mayit berwasiat agar utang-utang kepada Allah itu dibayarkan untuknya dari
peninggalannya. Oleh karena itu dibayarkan dari sepertiga hartanya sahaja.
Mayorita ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafiiyyah dan Hanabilah mengatakan
utang-utang ini adalah wajib dibayrkan dan berkaitan dengan peninggalan mayit,
dibayarkan meskipon mayit tidak berwasiat. Pendapat ini lebih sohih, sebab di
dalamnya ada unsur pembebasan tanggungan. 
3. Utang-utang hamba atau utang-utang mayit yang menjadi tanggungannya pada
saat dia sehat didahulukan daripada utang pada waktu dia sakit. Utang-utang
pada waktu sehat ada dalam posisi salam meskipun berbeda-beda
penyebabnya, seperti utang, mahar, sewa dan semua yang harus menjadi
tanggungan sebagai ganti sesuatu yang lain. Utang pada waktu sehat adalah
yang ada dengan bukti, atau pengakuan pada saat die sehat. Utamg pada waktu
dia sakit adalah sakit keras yakni mati. 
4. Utang-utang pada waktu sakit yang menjadi kewajiban mayit melalui jalan
pengakuan yang tidak dilalui oleh orang lain. Mayoritas ulama tidak
membedakan antara utang-utang pada waktu sehat dan utang pada waktu sakit.
Malakiyyah berpendapat peninggalan mayit yang mulai diurus adalah benda
seperti gadaian. Kemudian bilik perawatan, kemudian pembayaran utang-utang
dan barulah wasiat. Pembayaran utang dari harta mayit didahulukan daripada
wasiat, artinya utang mayit terhadap orang lain, baik telah jatuh temponya atau
tidak. Setelah didahulakn denda haji Tamatu’ baik dia berwasiata atau tidak.
Kemudia zakat fitrah yang tidak dibayarkan, kafarat-kafarat yang keabsahannya
disaksikan menjadi tanggungannya atau dia hanya berwasiat sahaja. 

Syafiiyyah mengatakan utang-utang yang menjadi tanggungan mayit dibayarkan dari


ra’sul mal (harta si mayit sebelum dibagi-bagi) baik si mayit mengizinkan
pembayarannya atau tidak, kewajiban kepada Allah atau manusia sebab itu adalah hak-
hak yang menjadi kewajibannya. Utang kepada Allah seperti zakat, kafarat, haji
didahulukan daripada utang kepada anak Adam menurut pendapat yang paling shahih. 

Hanabilah mengatakan harta yang tersisa selepas biaya perawatan si mayit dengan
baik, digunakan untuk membayar utang-utangnya baik dia berwasiat atau tidak. Dimulai
dengan yang berkaitan dengan harta itu seperti utang dengan gadai, denda jinayah,
yang menjadi tanggungan pelaku kejahatan dan sebagaianya, kemudian utang-utang
bebas yang menjadi tanggungan, baik utang-utang itu kepada Allah seperti zakat mal
dan sedekah fitrah, kafarat, haji wajib dan nazar. Atau, utang yang berupa utang murni,
harga, sewa, ju’alah (upah yang dijanjikan kepada seseorang untuk suatu pekerjaan)
yang masih dalam tanggungan dan sebagainya, diyat setelah berlalu satu tahun, denda
(kompensasi) jinayat, barang-barang yang di ghasab, harga-harga barang yang rusak
dan sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist di atas bahwa Rasulullah memutuskan
pengurusan utang sebelum wasiat. Jika hartanya sedikit, mereka yang mempunyai
piutang ahli waris akan membagi antar mereka. 

Jika utang itu termasuk dalam hak Allah maka jika si mayit berwasiat tentang itu, harus
dipenuhi dari sepertiga daripada sisa hartanya setelah utang yang notabene menjadi
hak hamba. 

Jika dia tidak berwasiat maka tidak wajib.Orang yang meninggalkan solat dan si mayit
berwasiat untuk memberikan makan fakir miskin sebagai gantinya dari sepertiga harta
si mayit. Untuk setiap solat setengah sha’ gandum. Demikian juga solat witir sebab itu
juga kewajiban menurut Abu Hanifah. 

Jika si mayit tidak menjalankan puasa Ramadhan karena bepergian atau sakit,
semenyara dia mampu untuk menqhadanya sampai meninggal dan dia berwasiat untuk
memberi makan, para ahli warisnya wajib untuk memberikan makan dari sepertiga
harta mayit, setiap hari setengah sha’ gandum. 

Jika dia berwasiat untuk menjalankan haji maka dilakukan dari sepertiga hartanya
sahaja. 

Sebab-Sebab Menjadi Ahli Waris 

1. Pernikahan, hanya dengan akad nikah yang sah, maka suami bisa mendapat
harta warisan istrinya dan istri pun bisa mendapat warisan dari suaminya. 
2. Keturunan (nasab), yaitu kerabat dari arah atas seperti kedua orang tua, dari
arah bawah / keturunan seperti anak, ke arah samping seperti saudara, paman
serta anak-anak mereka. 
3. Perwalian/wala’ (sebab memerdekakan budak ). Maula / mu'tiq (tuan/majikan
yang memerdekakan budak) dapat menjadi ahli waris bagi mantan budaknya
(‘atiq) yang sudah ia merdekakan apabila mantan budak itu meninggal tidak
mempunyai ahli waris sama sekali baik secara nasab (keturunan) maupun
pernikahan. 

Sebab-Sebab Menggugurkan Ahli Waris 

1. Membunuh, orang yang membunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuhnya
meskipun yang dibunuh ayahnya sendiri. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
"Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun." (HR Abu Daud). Ada
perbedaan di kalangan fuqaha (ahli fikih) tentang penentuan jenis pembunuhan :

 Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak


waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. 
 Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau
yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. 
 Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan
macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan
kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya
membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau
hukuman mati pada umumnya. 
 Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya di-qishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak
tergolong sebagai penggugur hak waris. 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 173 dinyatakan, “Seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena: 

 dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya


berat para pewaris; 
 dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat”. 

2. Berlainan agama. Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta warisan orang non
muslim walapun ia adalah orang tua atau anak, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini telah
ditegaskan oleh Rasulullah SAW. dalam sabdanya : "Orang Islam tidak dapat mewarisi
harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam." (HR
Bukhari dan Muslim). 

3. Budak, tidak dapat mewarisi harta keluarganya yang meninggal karena ia tidak
berkuasa atas harta bendanya. Sedangkan kekuasaan atas budak dan harta bendanya
berada dalam tangan tuannya. 
Hadits Rasulullah SAW, “Siapa yang menjual seorang hamba (budak) sedangkan dia
memiliki harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba
tersebut mensyaratkannya (yakni membuat perjanjian dahulu dengan pembelinya
supaya hartanya tidak menjadi milik tuannya yang baru tersebut).” (HR. Ibnu Majah). 

Harta Bawaan dan Harta Gono Gini 

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, hendaknya terlebih


dahulu diteliti asal harta tersebut, apakah harta itu merupakan harta pribadi masing-
masing pihak yang terpisah satu sama lain atau merupakan harta serikat (gono gini)
dari suami istri sesudah pernikahan. 

Adapun, Properti suami atau istri dibedakan statusnya menjadi dua : 

a. Harta pribadi (bawaan), yang merupakan milik masing-masing suami istri. Harta ini
diperoleh dari dua jalan, yaitu ;

1. Warisan dari keluarga masing-masing pihak. 


2. Hibah (pemberian) atau usaha sendiri.

Harta kekayaan yang diperoleh dari dua jalur ini merupakan properti pribadi masing-
masing pihak, baik sebelum maupun sesudah pernikahan. Apabila mereka meninggal,
harta tersebut dapat diwarisi oleh ahli warisnya termasuk anak, istri atau suami.

b. Harta gono gini 

1. Pengertian Gono Gini 

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, gono gini diartikan sebagai harta perolehan
bersama selama bersuami isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku dalam
lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan istilah “harta kekayaan
dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f) adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
(tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa). Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan harta gono gini adalah harta benda yang diperoleh oleh suami isteri selama
perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua di antara suami isteri. 

Dalam perspektif fikih Islam, sebagian ulama menganggap harta gono-gini sebagai
harta syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak). Adapun definisi syirkah
kepemilikan ini adalah kepemilikan bersama atas suatu barang di antara dua orang
atau lebih yang terjadi karena adanya salah satu sebab kepemilikan (seperti jual-beli,
hibah, wasiat, dan waris), atau karena adanya percampuran harta benda yang sulit
untuk dipilah-pilah dan dibedakan. Syirkah kepemilikan ini misalkan ada satu pihak
yang menghibahkan suatu harta kepada dua orang, lalu keduanya menerimanya. Maka
kepemilikan harta itu dalam fikih Islam disebut syirkah kepemilikan (syirkah milk/ syirkah
amlak). 

2. Batasan Harta Isteri 

Berdasarkan pengertian harta gono gini diatas, maka harta yang sudah dimiliki oleh
suami atau isteri sebelum menikah, demikian pula mahar bagi isteri, juga warisan,
hadiah, dan hibah milik isteri atau suami, tidak termasuk harta gono gini. Bahkan dalam
Islam harta yang diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri tidak termasuk harta gono
gini, karena harta tersebut adalah hak milik isteri. Hal itu berdasarkan firman Allah yang
artinya ; 

“Bagi para laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS An-Nisaa` : 32) 

Jadi, apabila isteri bekerja dan memperoleh harta, maka isteri punya hak penuh atas
hartanya itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga, maka itu
dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala
berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah kepada isteri
Abdullah bin Mas’ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami karena ia
tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim). 

Jelaslah, bahwa harta yang menjadi hak isteri, adalah harta yang sudah dimiliki oleh
isteri sebelum pernikahan. Misalnya, harta pemberian orang tua isteri. Termasuk juga
hak milik isteri adalah mahar dari suami, demikian pula warisan, hadiah, dan hibah yang
diberikan oleh suatu pihak kepada isteri. Semua itu adalah harta isteri, bukan harta
gono gini. Demikian juga harta yang diperoleh isteri dari hasil kerjanya sendiri. Walau
pun setelah akad nikah. 

Kecuali jika isteri menggunakan hartanya itu untuk keperluan keluarga dan dijadikan
hak milik bersama (syirkah amlak). Misalnya uang yang semula milik isteri diberikan
kepada suami, lalu suami menggabungkan uang isteri tersebut dengan uang suami
yang selanjutnya uang gabungan itu dibelikan rumah untuk keperluan keluarga dan
dijadikan sebagai hak milik bersama. Dalam hal ini rumah tersebut menjadi harta gono
gini. 

3. Pembagian Harta Gono Gini 

Harta gono-gini adalah hasil kekayaan yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan,
yang keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Bekerja di sini berarti
luas sehingga tugas istri yang hanya memelihara dan mendidik anak tetap dianggap
bekerja meskipun tidak menghasilkan uang. Begitu juga, apakah suami bekerja atau
tidak, sama saja statusnya. Jadi semua harta yang diperoleh secara bersama dalam
ikatan perkawinan dibagi dua. Masing-masing mendapat 50 persen dari harta gono-gini
tersebut. 
Oleh karena, apabila salah seorang suami atau istri meninggal, terlebih dahulu
dipisahkan harta peninggalannya menjadi 3 bagian ; satu bagian yang menjadi milik
istri, satu bagian milik suami, dan yang satunya menjadi harta gono gini ; Lalu salah
satu suami atau istri yang masih hidup lebih dahulu mengambil separoh bagian harta
gono gini ini, kemudian separohnya lagi digabung dengan satu bagian harta milik yang
meninggal. Dari seluruh peninggalan harta yang meninggal inilah, yang selanjutnya
dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan ilmu
faraid, termasuk suami atau istri yang masih hidup. 

Pembagian fifty-fifty dalam pasal 97 dalam Kompilasi Hukum Islam bukanlah ketentuan
yang sifatnya wajib secara syar’i. Sebab tidak ada nash dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits
yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni suami dan isteri
masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Pembagian harta gono gini dapat juga
dilakukan atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua pihak (suami-istri) yang
bercerai. Misalnya, suami isteri sepakat membagi harta dengan prosentase suami
mendapat sepertiga, sedangkan isteri mendapat dua pertiga. Atau sebaliknya misalkan
suami mendapatkan dua pertiga sedang isteri mendapat sepertiga. Atau prosentase
lainnya sepanjang telah disepakati dalam perdamaian. 

Jadi, tidak wajib masing-masing mendapat setengah, tetapi masing-masing


mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan yang terjadi dalam perdamaian.
Tetapi, jika suami-isteri yang akan bercerai berperkara mengenai harta gono-gini ke
Pengadilan Agama, maka ada ketentuan khusus yang diberlakukan. Dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 97 ada ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak mendapat seperdua (bagian 50 %) dari harta bersama, sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 

Hukum Menunda Pembagian Harta Waris 

Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setelah pewaris meninggal, tidak
boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan,
misalnya karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil,
atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada
bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan
adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, jangan sampai karena lama tidak
dibagikan, akhirnya muncul kecurigaan dan perselisihan dari para ahli waris. Oleh
karena itu tidak boleh menunda/menahan harta milik mereka, karena sesungguhnya
mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut.

Anda mungkin juga menyukai