LIMA PILAR
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Disusun oleh:
Kelompok 9
Dosen pembimbing:
Azmil Umur, M.A
1) Menghidupkan Meunasah
Secara fisik meunasah dapat diartikan sebagai rumah ibadah bagi umat
Islam yang dapat dinamakan dengan dengan musholla. Secara arsitektur
meunasah harus membujur dari Utara ke Selatan sekaligus, agar masyarakat
mengetahui ke mana arah kiblat shalat sesuai dengan fungsinya sebagai rumah
ibadah, sehingga jika para tamu yang berdatangan ke suatu kampung langsung
dapat membedakan rumah dengan meunasah. Pada meunasah-meunasah
tradisional biasanya berbentuk rumah panggung seperti rumah adat masyarakat
Aceh.
1
Dijabarkan dengan adanya shalat berjamaah pada setiap waktu shalat
fardhu, kalau lima waktu tidak dapat dilaksanakan memadai dengan tiga waktu
yaitu maghrib, isya dan subuh. Penetapan tiga waktu sebagai batas minimal
beralasan, karena pada waktu siang (zhuhur dan ashar) kebanyakan orang tidak
berada di kampong, tetapi berada di tempat-tempat usaha. Seperti kantor,
perusahaan, kebun, sawah dan lain-lain. Sehingga sangat boleh jadi tidak ada
jamaah di kampong, namun mereka diharapkan melaksanakan shalat berjamaah di
kantor atau perusahaan dan bahkan suami isteri akan melaksanakan shalat jamaah
di kebun dan sawah.
Di samping menghidupkan meunasah melalui shalat jamaah, dianjurkan di
setiap meunasah dan masjid diadakan pengajian untuk setiap tingkat umur, baik
anak-anak dengan TPA dan TQA, maupun remaja dan orang tua. Hal ini bertujuan
agar tidak ada lagi orang yang tinggal di Aceh tidak bisa mengaji dan tidak ada
alasan tidak memahami agama Islam.Sejak adanya program ini banyak diantara
mereka yang menjadi Imam Kampong atau meunasah mendapat pelatihan
manajemen, bagaimana pengelolaan meunasah dan masjid. Sehingga diharapkan
meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah shalat tetapi juga sebagai tempat
bermusyawarah dan menjadi lembaga peradilan adat.
2) Pemberdayaan Zakat
Wujud dari pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul Mal pada
tingkat Kampong, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat
kampong difokuskan pada hasil pertanian kampong dan usaha-usaha pada tingkat
kampong, sedang sumber zakat Baitul Mal Kabupaten adalah dari hasil
perdagangan dan usaha pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat
Baitul Mal Provinsi adalah dari perusahaan yang bergerak pada level Provinsi.
Tugas dari mereka yang menjadi pegawai pada Baitul Mal ditambah
dengan Imam Kampong dan tokoh agama yang menginpentarisir harta-harta atau
kekayaan apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena banyak sekali harta
kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, namun karena ketidak tahuan harta
atau ukuran harta yang dikeluarkan zakatnya sehingga mereka tidak mengeluarkan
zakat. Seperti petani yang menanam nilam, durian, tomat, cabe/caplak, kol,
2
kentang dan lain-lain. Para petani belum mengetahui apakah semua penghasilan
mereka ini dikenai zakat, dan kalau wajib kadarnya berapa, untuk pengetahuan
masyarakat terhadap hal tersebut petugas Baitul Mal punya kewajiban dan
masyarakat yang tidak memahaminya punya hak untuk bertanya kepada masing-
masing Baitul Mal.
3
kewenangan, dikarenakan ada sebagian anggota dari Satpol PP dan WH belum
memahami secara detail apa yang menjadi tugas mereka. Ketidak tahuan ini juga
disebabkan belum adanya aturan yang baku tentang penetapan kewenangan
mereka, hal ini telah pernah dilakukan oleh lembaga Fathnership bekerja sama
dengan Satpol PP Provinsi, namun belum ditindak lanjuti penyelesaiannya.
4
Kesimpulan
Syariat islam merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah dalam Al-
Quran dan Hadist bagi seluruh umat manusia tidak hanya dari segi ibadah namun
juga dalam segala bidang aspek kehidupan agar tercipta kehidupan teratur didunia
dan diakhirat. Demi terselenggaranya syariat Islam di Aceh perlunya kerjasama
dari berbagai pihak, baik itu ulama, ormas islam, pemerintah, dan masyarakat itu
sendiri.
Penerapan lima pilar pelaksanaan syariat Islam di Aceh di harapkan dapat
membawa dampak baik bagi masyarakat Aceh sendiri, seperti menghidupkan
meunasah, memberdayakan zakat, menerapkan lingkungan yang Islami, serta
dengan pengawasan pelaksanaan syariat Islam oleh pihak-pihak yang berwenang
akan mampu membuat masyarakat Aceh lebih tentram, damai, dan sejahtera.
Tentunya dengan memperluas wilayah kewenangan mahkamah syar,iyah.
Dengan di terapkannya lima pilar pelaksanaan syariat islam diharapkan
akan mampu menciptakan masyarakat Islam yang madani di tanah Aceh tercinta.
Setelah tanah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001,
pemerintah mencanangakan syariat islam secara kaffah. Secara kaffah dalam
artian pelaksanaan hukum syariat secara sempurna oleh pemerintah Aceh.
Beberapa lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu, Dinas Syariat
Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama, Wilayatul Hisbah dan Mahkamah
Syariah.
5
DAFTAR PUSTAKA
Manzur, ibnu. Lisaanul ‘Arab PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Ensiklopedi Islam,
Jakarta: PT Intermesa, 1993, hlm. 345.
Shalih , Aplikasi Syariat Islam, Jakarta timur: Darul Falah;1997, hlm. 179
http://www.acehkita.com