Anda di halaman 1dari 7

Makalah

LIMA PILAR
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

Disusun oleh:

Kelompok 9

Ahmed Afdhalul Khalid (210105024)


Muhajir (210105102)
Nazira Kayla Maharani (210105107)

Dosen pembimbing:
Azmil Umur, M.A

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS HUKUM DAN SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH TAHUN 2022
PEMBAHASAN

A. Pentingnya Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh


Syariat Islam telah berlaku secara sah menjadi hukum positif (hukum yang
sedang berjalan atau berlaku di daerah) di Aceh sejak tahun 2002, mulai dari
tahun ini sudah beberapa qanun yang di hasilkan, qanun-qanun tersebut adalah
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun Nomor
13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003
tentang Khalwat (Mesum).
Untuk mempercepat pelaksanaan Syariat Islam, Prof. Dr. Al Yasa
Abubakar, MA sebagai kepala Dinas Syari’at Islam beserta Program Dinas
Syariat Islam yaitu Drs. M. Saleh Suhaidy (alm) menggagaskan program Lima
Pilar Pelaksanaan Syariat Islam. Dan kelima pilar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menghidupkan Meunasah.
2. Pemberdayaan Zakat.
3. Lingkungan Kantor dan Sekolah yang Islami.
4. Pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam.
5. Perluasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Dan kami selaku penulis akan menerangkan satu persatu pilar yang
menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini.

1) Menghidupkan Meunasah
Secara fisik meunasah dapat diartikan sebagai rumah ibadah bagi umat
Islam yang dapat dinamakan dengan dengan musholla. Secara arsitektur
meunasah harus membujur dari Utara ke Selatan sekaligus, agar masyarakat
mengetahui ke mana arah kiblat shalat sesuai dengan fungsinya sebagai rumah
ibadah, sehingga jika para tamu yang berdatangan ke suatu kampung langsung
dapat membedakan rumah dengan meunasah. Pada meunasah-meunasah
tradisional biasanya berbentuk rumah panggung seperti rumah adat masyarakat
Aceh.

1
Dijabarkan dengan adanya shalat berjamaah pada setiap waktu shalat
fardhu, kalau lima waktu tidak dapat dilaksanakan memadai dengan tiga waktu
yaitu maghrib, isya dan subuh. Penetapan tiga waktu sebagai batas minimal
beralasan, karena pada waktu siang (zhuhur dan ashar) kebanyakan orang tidak
berada di kampong, tetapi berada di tempat-tempat usaha. Seperti kantor,
perusahaan, kebun, sawah dan lain-lain. Sehingga sangat boleh jadi tidak ada
jamaah di kampong, namun mereka diharapkan melaksanakan shalat berjamaah di
kantor atau perusahaan dan bahkan suami isteri akan melaksanakan shalat jamaah
di kebun dan sawah.
Di samping menghidupkan meunasah melalui shalat jamaah, dianjurkan di
setiap meunasah dan masjid diadakan pengajian untuk setiap tingkat umur, baik
anak-anak dengan TPA dan TQA, maupun remaja dan orang tua. Hal ini bertujuan
agar tidak ada lagi orang yang tinggal di Aceh tidak bisa mengaji dan tidak ada
alasan tidak memahami agama Islam.Sejak adanya program ini banyak diantara
mereka yang menjadi Imam Kampong atau meunasah mendapat pelatihan
manajemen, bagaimana pengelolaan meunasah dan masjid. Sehingga diharapkan
meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah shalat tetapi juga sebagai tempat
bermusyawarah dan menjadi lembaga peradilan adat.

2) Pemberdayaan Zakat
Wujud dari pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul Mal pada
tingkat Kampong, Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat
kampong difokuskan pada hasil pertanian kampong dan usaha-usaha pada tingkat
kampong, sedang sumber zakat Baitul Mal Kabupaten adalah dari hasil
perdagangan dan usaha pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat
Baitul Mal Provinsi adalah dari perusahaan yang bergerak pada level Provinsi.
Tugas dari mereka yang menjadi pegawai pada Baitul Mal ditambah
dengan Imam Kampong dan tokoh agama yang menginpentarisir harta-harta atau
kekayaan apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Karena banyak sekali harta
kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya, namun karena ketidak tahuan harta
atau ukuran harta yang dikeluarkan zakatnya sehingga mereka tidak mengeluarkan
zakat. Seperti petani yang menanam nilam, durian, tomat, cabe/caplak, kol,

2
kentang dan lain-lain. Para petani belum mengetahui apakah semua penghasilan
mereka ini dikenai zakat, dan kalau wajib kadarnya berapa, untuk pengetahuan
masyarakat terhadap hal tersebut petugas Baitul Mal punya kewajiban dan
masyarakat yang tidak memahaminya punya hak untuk bertanya kepada masing-
masing Baitul Mal.

3) Lingkungan Kantor dan Sekolah yang Islami.


Setiap masyaskat Islam menginginkan lingkungan yang Islami, semua
orang pada pagi hari sampai siang berada di tempat kerja dan lembaga pendidikan,
sehingga apa yang diprogramkan pada menghidupkan meunasah terpenuhi secara
lengkap, maka setiap lembaga atau kantor diwajibkan menyediakan tempat shalat
atau mushalla untuk dapat melaksanakan shalat berjama’ah pada jam kantor.
Semenjak adanya program ini setiap kantor atau sekolah sudah memiliki tempat
shalat zhuhur berjamaah.
Program yang berhubungan dengan kantor dan sekolah ini, termasuk pada
kewajiban memakai pakaian islami. Sehingga dikatakan dalam Qanun : Setiap
kepala kantor atau pimpinan bertanggung jawab terhadap pakaian yang dikenakan
pegawainya. Demikian juga halnya dengan sekolah, setiap orang yang terlibat
dalam proses belajar mengajar berkewajiban memakai pakaian islami, mungkin
juga bisa kita katakan bahwa adanya “kantin kajujuran” pada saat ini di sekolah-
sekolah adalah dalam rangka menciptakan sekolah yang islami.

4) Pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam.


Dibentuknya lembaga Wilayatul Hisbah (WH) yang berrfungsi untuk
mensosialisasikan dan mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Pada awalnya
lembaga ini berada di bawah Dinas Syariat Islam, tetapi sejak lahirnya UU Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Wilayatul Hisbah bergabung dengan
lembaga Satpol PP, kedua lembaga yang sekarang sudah bergabung menjadi satu
dan mempunyai kewenangan yang berbeda.
Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun
Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi Perda atau qanun non Syariat.
Dalam pelaksanaan kewenangan ini dilapangan masih terjadinya benturan

3
kewenangan, dikarenakan ada sebagian anggota dari Satpol PP dan WH belum
memahami secara detail apa yang menjadi tugas mereka. Ketidak tahuan ini juga
disebabkan belum adanya aturan yang baku tentang penetapan kewenangan
mereka, hal ini telah pernah dilakukan oleh lembaga Fathnership bekerja sama
dengan Satpol PP Provinsi, namun belum ditindak lanjuti penyelesaiannya.

5) Perluasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah.


Kewenangan Mahkamah Syar’iyah termaktub didalam Qanun Nomor 10
tahun 2002 secara rinci pada Pasal 49 yaitu sebagai berikut :
Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan,
dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang :
 Ahwal al-syakhshiyah.
 Mu’amalah.
 Jinayah.
Penjelasan Pasal 49 ini memerinci bidang-bidang apa saja yang termasuk
ahwal al-syakhsyiah, muamalah, dan jinayah; dari rincian itu dapat di simpulkan
bahwa kewenagan Mahkamah Syar’iyah secara umum mencakup semua aspek
hukum perdata dan pidana Islam; karna itu wewenangnya luas sekali.
Berlakunya Syariat Islam di Aceh ditandai dengan perubahan nama
Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama ini turut
memperluas kewenangannya, yang selama ini hanya behubungan dengan
pelaksanaan hukum keluarga tetapi sekarang menjadi lebih luas dengan cakupah
hukum jinayah dan juga mu’amalah. Dalam tatanan hukum di Indonesia
perubahan ini sangat luar biasa karena perubahannya berkaitan dengan perluasan
kewenangan Mahkamah Syar’iyah, berarti membabatasi kewenangan Pengadilan
Negeri.

4
Kesimpulan
Syariat islam merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah dalam Al-
Quran dan Hadist bagi seluruh umat manusia tidak hanya dari segi ibadah namun
juga dalam segala bidang aspek kehidupan agar tercipta kehidupan teratur didunia
dan diakhirat. Demi terselenggaranya syariat Islam di Aceh perlunya kerjasama
dari berbagai pihak, baik itu ulama, ormas islam, pemerintah, dan masyarakat itu
sendiri.
Penerapan lima pilar pelaksanaan syariat Islam di Aceh di harapkan dapat
membawa dampak baik bagi masyarakat Aceh sendiri, seperti menghidupkan
meunasah, memberdayakan zakat, menerapkan lingkungan yang Islami, serta
dengan pengawasan pelaksanaan syariat Islam oleh pihak-pihak yang berwenang
akan mampu membuat masyarakat Aceh lebih tentram, damai, dan sejahtera.
Tentunya dengan memperluas wilayah kewenangan mahkamah syar,iyah.
Dengan di terapkannya lima pilar pelaksanaan syariat islam diharapkan
akan mampu menciptakan masyarakat Islam yang madani di tanah Aceh tercinta.
Setelah tanah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001,
pemerintah mencanangakan syariat islam secara kaffah. Secara kaffah dalam
artian pelaksanaan hukum syariat secara sempurna oleh pemerintah Aceh.
Beberapa lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu, Dinas Syariat
Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama, Wilayatul Hisbah dan Mahkamah
Syariah.

5
DAFTAR PUSTAKA

Al qhatan, manna’. Ulumul Quran. CV.Ramsa Putra:Surabaya, 1992

Manzur, ibnu. Lisaanul ‘Arab PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Ensiklopedi Islam,
Jakarta: PT Intermesa, 1993, hlm. 345.

Shalih , Aplikasi Syariat Islam, Jakarta timur: Darul Falah;1997, hlm. 179
http://www.acehkita.com

Abu bakar,Alyasa’.Hukum Pidana Islam Di Aceh: Dinas Syariat Islam


Aceh;2011, hml. 30.

Abu bakar,Alyasa’.Paradigma, Kebijakan Dan Kegiatan: Dinas Syariat Islam


Aceh;2008, hml. 116, 119, 120.

Anda mungkin juga menyukai