Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

NIAT DALAM MENCARI ILMU


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah:
Bahtsul Kutub
Dosen Pembina:
Ahmad Izza Muttaqin, M.Pd.I

Disusun oleh:
KELOMPOK 2/PAI VID

Afidatul Aulia (2018390100726)

Abdul Munir (2018390100856)


Dewi Azizatul Mabruroh (2018390100864)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG
BANYUWANGI
MARET 2021
KATA PENGANTAR

Al hamdulillah alladzi faddhala bani adam bil ‘ilmi wal ‘amal ’ala jami’il
‘aalam. Shalawat atas Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin bangsa arab dan
‘ajam serta atas keluarga dan para sahabatnya yang menjadi sumber ilmu dan
hikmah. Sesungguhnya puncak kebahagiaan manusia ada dalam agama
Islam yang kaffah dengan perantara tunduk patuh kepada Allah Swt. serta
selalu mengikuti tindak dan ajaran Rasulullah Saw. serta para sahabatnya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bahtsul
Kutub mengulas kitab Ta’lim Muta’allim dengan judul “Niat dalam Mencari
Ilmu” selain memberikan kepahaman terhadap isi kandungan kitab ta’limul
muta’alim diharapkan dapat menjadikan penulis ataupun pembaca lebih bisa
menata niat yang baik yang hanya untuk mencari ridla Allah dan Rasul-Nya untuk
mencapai tujuan dalam mencari ilmu yaitu ilmu yang bermanfaat.
Penyusun menyadari banyaknya kekurangan dan jauhnya kesempurnaan dalam
menyusun makalah ini dengan segala keterbatasan pengetahuan dan kemampuan
penyusun. Kritik dan saran sangat penyusun harapkan dari pembaca. Semoga
makalah ini memberikan manfaat baik dari pihak pembaca terutama bagi
penyusun.
Dengan segenap kerendahan hati, kami menyampaikan rasa terima kasih
kepada Bapak Ahmad Izza Muttaqin, M.Pd.I selaku dosen pengampu dan
pembimbing serta semua pihak yang telah berpartisispasi. Semoga Alllah
‘Azza wa Jalla selalu melimpahkan karunia, rahmat, taufiq serta hidayah-
Nya kepada kita semua untuk selalu bisa melaksanakan perintah serta
kekuatan untuk mencari dan mendalami kebesaran ilmu Allah sang Maha Ilmu.
Aamiin.

Genteng, 08 Maret 2021


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. As Syaikh Burhanuddin Al Islam Az Zarnuji .............................................. 3
B. Pengertian Niat................................................................................................. 4
C. Pengertian Ilmu................................................................................................ 6
D. Pengertian Menuntut Ilmu.............................................................................. 8
E. Niat Dalam Mencari Ilmu................................................................................ 9

BAB III PENUTUP..............................................................................................16


A. Kesimpulan..............................................................................................16
B. Saran........................................................................................................16

DAFTAR RUJUKAN..........................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

‫نِيَّةُ امل ْر ِء َخْيٌر ِم ْن َع َملِ ِه‬


َ
"Niatnya seseorang itu lebih baik dari pada amal seseorang." (Az-Zarnuzi)
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka dari itu
setiap manusia wajib belajar baik melalui pendidikan formal, non-formal
ataupun informal. Belajar merupakan kunci untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan manusia tidak akan mengalami
kebutaan untuk berjalan di atas bumi.
Teori pendidikan mengatakan bahwa faktor yang memperngaruhi kemajuan
pendidikan adalah dengan merombak kurikulim menjadi kurikulum yang baik,
begitu juga dari aspek guru, sarana dan prasarana, metode pembelajrana,
lingkungan belajar, sistem penilaian, dan lain sebagainnya. Tanpa memungkiri
segala faktor tersebut, terdapat faktor yang sangat penting yaitu niat dari orang
yang mencari ilmu itu sendiri. Seberapa besar usaha orang yang
mendukungnya selama tidak memiliki niat yang besar dari sendiri, maka akan
kesulitan dalam mencapai sesuatu yang dituju, yaitu keberhasilan atas ilmu.
Tidak sedikit dari orang yang mencari ilmu di muka bumi ini, mereka
mengerahkan segala upaya dalam belajar, bersekolah sampai menggapai
puncak dari paripurna belajar, tetapi dengan kesalahan niat tidak akan sampai
pada keberhasilan sebuah pendidikan yaitu mampu mengantarkanmanusia
memiliki kemampuan efektif dalam hal ini berakhlak mulia (Nuspidawati,
2018: 3) serta tidak dapat merasakan kenikmatan dari ilmu yang dipelajarinya.
Dari sisnilah dapat dilihat begitu pentingnya peran niat dalam segala tindak
laku dalam kehidupan terutama dalam mencari ilmu yang notabenya suatu
yang hilang dari diri kita yang harus kita cari lagi dengan mencurahkan segala
upaya untuk meraihnya. Membutuhkan segala upaya maksimal dalam
menggapai hal yang begitu mulya, dengan menggapainya manusia akan

1
menjadi sosok yang mulnya. Dan tentunya tanpa adanya niatan untuk merasa
lebih mulya di hadapan manusia.
Baik tidaknya niat manusia, itu yang membedakan hasil dari segala tindakan
yang diperbuat manusia, karena niat adalah pokok dari segala tindakan. Sabda
Nabi Muhammad Saw. dalam hadits shahih:
ِ ‫ال بِاالنِّي‬
..…‫ات‬َ ُ ‫اَألع َم‬ ْ ‫ِإمَّنَا‬
".…Sesungguhnya segala amal tergantung dari niatnya"
dalam madzhab Imam Syafi'i menafsiri hadis di atas bahwa sahnya amal itu
dengan niat.dianggap tidaknya suatu amal tergantung dari niat masing-masing
individu. (Az-Zarnuzi dalam Ta'lim Muta'allim)

B. Rumusan Masalah
Dari titik pandang uraian di atas muncul beberapa pertanyaan yang perlu
dibahas, antara lain:
1. Siapa sosok Imam Az Zarnuji?
2. Apa pengertian dari niat yang menjadi dasar amal?
3. Seperti apa pengertian ilmu?
4. Apa pengertian dari mencari ilmu?
5. Seperti apa menjalankan niat dalam mencari Ilmu?

C. Tujuan
Beberapa rangkaian rumusan masalah di atas, memiliki beberapa tujuan,
yaitu:
1. Dapat mengenal sekilas sosok imam Az Zarnuji yang telah mengarang kitab
Ta'lim Muta'allim.
2. Mengetahui dan memahami pengertian niat
3. Memahami pengertian ilmu dari berbagai kalangan ulama
4. Mengetaui pengertian dari istilah mencari ilmu
5. Memahami bagaiman cara niat ketika mencari ilmu supaya apa yang kita
upayakan tidak menjadi hal yang sia-sia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Semakin tinggi ilmu seseorang maka dia semakin tahu atas kekurangannya,
tapi jika sebaliknya maka dia adalah orang yang bodoh. (Ibrahim bin Isma'il
dalam Ta'lim Muta'allim) Ilmu merupakan hal yang sangat urgen dalam hidup
manusia, menjadi kebutuhan sekunder yang harus dimiliki setiap insan. Tanpa
ilmu manusia menjadi buta untuk menjalani kehidupan. Sifat berilmu merupakan
sifat dasar manusia yang menjadikan manusia selalu ingin mempelajari suatu hal.
Inilah yang menjadikan perbedaan manusia dengan makhluk Allah lainnya. Allah
menjadikan manusia memiliki keutamaan dengan ilmu yang dimilkinya.
Sebagaimana yang terpaparkan secara rinci dalam kitab Ta'lim al Muta'allim
Tariiq al Ta'allum yang dikarang oleh Syaikh Az Zarnuji yang menjelaskan
berbagai hal yang berhubungan dengan ilmu dan teknik mencari ilmu untuk
mempermudah para pencari ilmu untuk mencapai tujuannya.
A. As Syaikh Burhanuddin Al Islam Az Zarnuji
Syaikh Az Zarnuji merupakan pengarang kitab Ta'lim al Muta'allim Tariiq
al Ta'allum, belum ada keterangan jelas tentang riwayat beliau, dengan melihat
nama beliau Az-Zarnuji adalah nama marga yang di ambil dari nama kota
tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj. (As’ad, 2007: ii) Abuddin Nata dalam
bukunya menyebutkan namalengkap Az-Zarnuji adalah Burhanuddin al-Islam
al-Zarnuji. (Nata, 2003: 103) Namun sampai sekarang nama person-nya belum
diketahui dan belum ditemukan literatur yang menulisnya.
Az-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13, Zarnuj masuk wilayah Irak,
Tapi boleh jadi, kota itu dalam peta sekarang masuk wilayah Turkistan (kini
Afghanistan) karena ia berada di dekat kota Khoujanda’. Sedangkan untuk
biografi beliau mulai dari beliau dilahirkan dan perjalan hidup beliau, masih
bisa didapatkan literatur yang jelas untuk membahasnya. Untuk wafatnya
Syaikh Az Zarnuji Menurut Aliy As’ad itu masih harus dipastikan, karena

3
ditemukan beberapa catatan yang berbeda-beda, yaitu tahun 591H, 593H, dan
597H. (As’ad, 2007: iii)
Sementara Muztaba (2014: 26) mengutip pendapat Plessner bahwa Imam
Zarnuji hidup antara abad 12 dan 13 masehi dan bermadzhab Hanafiyah.
Yakni, sebuah aliran madzhab yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah.
Adapun ciri utama madzhab ini adalah mengutamakan ra‟yu (fikir) dan qiyas
(analogi) di samping pedoman utama: al-Qur‟an dan al-Hadist. (Al Maududi,
1990: 285) Madzhab tersebut menjadi pegangan umat Islam terutama di Turki
dan India (Mamat, 2013: 2). Menurut Plessner sebagaimana dikutip Muztaba
(Muztaba, 2014: 26) bahwa nama Imam Zarnuji sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya. Bahkan kewafatan
Imam Zarnuji pun juga belum diketahui secara pasti.
Tentang riwayat pendidikan Imam Zarnuji, Maryati (Maryati, 2014: 34)
mengutip pendapat Djudi bahwa Imam Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan
Samarkand, sebuah kota yang menjadi pusat keilmuan dan pengajaran. Imam
Zarnuji belajar kepada ulama besar pada masanya, antara lain:
1). Burhanuddin Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (w. 593H/1197M), yakni
ulama besar madzhab Hanafi penyusun Kitāb Al-Hidāyah fī Furū‟ al-Figh
2). Ruknul Islam Muhammad bin Abu Bakar (w. 573H/1177M), yakni ulama
besar madzhab Hanafi, pujangga, penyair, dan mufti di Bukhara
3). Syaikh Hammad bin Ibrahim (w. 576H/1180M), yakni ulama madzhab
Hanafi, sastrawan, dan ahli ilmu kalam
4). Syaikh Fahruddin al-Khayani (w. 587H/1191M), yakni ulama ahli fikih
madzhab Hanafi dan penyusun Kitāb Badā‟ius, Shanā‟i
5). Syaikh Fahruddin Qadhikhan al-Quzjandi (w. 592H/1196M), yakni seorang
mujtahid dalam madzhab Hanafi dan pengarang kitab
6). Ruknuddin al-Farghani (594H/1198M), yakni ulama fikih madzhab Hanafi,
pujangga, sastrawan, dan penyair. (Nizar, 2002 25)
B. Pengertian Niat
Niat pada asalnya mempunyai arti kehendak (al-qasdu). Kemudian niat
pada umumnya diartikan sebagai keinginan (al ‘azm) hati terhadap sesuatu.

4
Menurut al- Ghazali antara lafadz niat (niyyah), iradah dan qashd mempunyai
makna yang sama. Ia diartikan sebagai kehendak dan dorongan hati dengan
keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan tujuan yang
bersifat seketika atau tujuan yang akan terjadi di lain waktu. (Yusuf, 1996: 15)
Sementara Al-Khithabi mengatakan bahwa niat adalah tujuan individu
terhadap sesuatu, menurut hatinya dan menuntut dia untuk ditindaklanjuti.
Niat adalah keinginan hati, jadi tujuan dan keinginan adalah merupakan
bagian dari niat. Selanjutnya, Imam Haramain menspesialisasikan
pengertian niat adalah keinginan karena keinginan hanya bisa diterapkan untuk
suatu tindakan yang akan dikerjakan pada masa yang akan datang, sedangkan
tujuan adalah untuk pekerjaan yang benar-benar sedang dikerjakan.
(Hidayah & Hariyani, 2012: 4) Ibnu Al Qayyim mengungkapkan bahwa niat
itu berkaitan dengan suatu pekerjaan yang memungkinkan untuk dilaksanakan
dan yang tidak mungkin untuk dilaksanakan, dan ini berbeda dengan
tujuan dan harapan. Keduanya itu tidak berhubungan dengan suatu
pekerjaan yang tidak mungkin untuk dilaksanakan baik oleh dirinya
sendiri maupun oleh orang lain. Oleh karena itu niat itu lebih umum dari
pada tujuan. Sedangkan Daraz mengatakan bahwa niat adalah gerakan, yang
dengan gerakan tersebut seseorang bisa melakukan kehendaknya dengan
benar-benar melakukan sesuatu yang dikehendaki (dikutip oleh Umar
Sulaiman Al-Asyqar, 2006).
Menurut Imam Zarkasyi, niat merupakan tujuan mutlak. niat memiliki
hubungan erat dengan maksud tertentu bagi seseorang dan mutlaknya tujuan
bagi sebuah pekerjaan. Al Qurafi berpendapat bahwa niat adalah tujuan
seseorang dengan hatinya terhadap sesuatu yang dia kehendaki untuk
dikerjakannya. (dikutip oleh Umar Sulaiman Al Asyqar, 2006)
Niat (intention) merupakan representasi kognitif dari kesiapan seseorang
untuk melakukan suatu perilaku atau tindakan. dan niat dijelaskan ke dalam
tiga determinan, yakni: a) Sikap (pendapat diri sendiri tentang perilaku), 2)
Norma sujektif (pendapat orang lain tentang perilaku) 3) Kontrol perilaku yang

5
dirasakan. ketiga determinan ini dapt memprediksi preilaku atau tindakan.
(Ajzen, 2006)
Niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggapnya sesuai dengan
tujuan, baik untuk memperoleh manfaat atau mencegah keburukan. Atau niat
adalah suatu kehendak yang dibarengi dengan tindakan, dan niat menajdi
barometer suatu tindakan. Apabila niat seseorang baik, maka tindakan yang
dihasilkan menjadi baik, sebaliknya jika niat seorang buruk maka tindakan
yang dihasilkan menjadi buruk. (Nawawi dalam Murtadlo&Salafuddin, 2001)
Dari pengertian niat di atas dapat disimpulkan bahwa niat adalah suatu
keinginan atau kehendak yang diikuti tindakan dan perilaku.
Pengertian niat di atas ketika dikaitkan dengan mencari ilmu, maka dapat
diuraikan bahwa untuk dapat dan tidaknya menghasilkan buah dari ilmu dalam
pencariannya semuanya tergantung dari niatnya. Ketika dalam mencari ilmu
niat baik maka akan mendapatkan sesuai yang diniatkan, dan sebaliknya.
Karena baik buruknya apa yang dihasilkan manusia merupakan bentuk
implementasi atau wujud konkrit dari apa yang diniatkan. Dengan demikian
niat individu sangat penting bagi perilaku atau tindakannya dalam kehidupan
sehari-hari khususnya dalam hal mencari ilmu.
C. Pengertian Ilmu
Secara kebahasaan, ilmu berasal dari akar kata ‘ilm yang diartikan sebagai
tanda, penunjuk, atau petunjuk agar sesuatu atau seseorang dikenal. Demikian
juga ma’lam, artinya tanda jalan atau sesuatu agar seseorang membimbing
dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang. Selain itu, ‘alam juga dapat
diartikan sebagai penunjuk jalan.
Al-Attas membagi definisi dalam dua kategori. Pertama, hadd, yakni suatu
definisi yang bermaksud mencari hal yang spesifik (khusus) dari objek yang
didefinisikan sehingga ia berbeda dengan objek lainnya seperti manusia
didefinisikan sebagai hayawaan naatiq atau hewan yang berpikir. Kedua, rasm,
yaitu definisi yang menerangkan karakteristik utama dari objek, tetapi bukan
inti seperti definisi bahwa manusia adalah hewan yang tertawa. Mendefinisikan
ilmu dengan hadd tidak mungkin, karena terkait dengan sifat yang inheren

6
pada ilmu, yakni tidak memiliki batasan dan karekteristik spesifik seperti
pemilahan spesies dari kategori genus. Sejauh ini upaya yang lazim dilakukan
para pemikir muslim dalam mendefinisikan ilmu menggunakan kategori kedua,
yakni rasm, yaitu dengan menguraikan karakteristik-karakteristik umum yang
terdapat dalam ilmu. (Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam
dalam Abidin, 2011)
Al-Baqillani mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang objek yang
diketahui sebagaimana apa adanya. ( Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant:
the Concept of Knowledge in Medieval Isl am dalam Abidin, 2011) Definisi
yang seperti ini sangat masyhur di kalangan pemikir muslim, yang sering kali
dihadapkan vis-a-vis dengan istilah opini atau ra’yun. (Kartanegara, 2002: 57)
Untuk yang terakhir ini cenderung bersifat subjektif, dalam artian sang subjek
memiliki peran yang sangat dominan (subjektifitas yang tinggi) dalam menilai
suatu objek.
Pemikir klasik lain, Abu Bakr bin Furak memberikan definisi ilmu kepada
hal yang bersifat lebih praktis, dengan mengatakan bahwa ilmu adalah sesuatu
agar sang pemilik mampu bertindak dengan benar dan baik. (Rosenthal,
Knowledge Triumphant dalam Abidin, 2011)
Syed M. Naquib al-Attas. Dalam mendefenisikan ilmu, ia berangkat dari
sebuah premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt. dan diperoleh dari jiwa
yang kreatif. Sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt., ilmu didefinisikan
sebagai tibanya (hushul) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari
ilmu; sedangkan sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif,
ilmu adalah tibanya jiwa (wushul) pada makna sesuatu atau objek ilmu. Pada
definisi yang pertama, titik tekan ada pada Allah swt. sebagai sumber segala
ilmu; sedangkan pada definisi yang kedua, lebih berorientasi pada manusia
yang merupakan si pencari ilmu. (Daud & Nor, 2005: 64)
Dari berbagai pengertian ilmu di atas, ilmu didefinisikan sebagai
pengetahuan sesuatu secara objektif. Pengertian ini menghendaki bahwa
pengetahuan itu harus benar-benar dapat mewakili dari realitas atau objek yang

7
dikaji, bukan sekadar asumsi, perkiraan, opini terhadap sesuatu yang terkadang
sering kali tidak sama atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya ada.
D. Pengertian Menuntut Ilmu
Menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘ulumuddin, menuntut ilmu harus
bertujuan untuk menghias dan mempercantik hati dengan sifat-sifat keutamaan,
dan selanjutnya mengupayakan kedekatan diri kepada Alloh, dan naik pada
kelas yang dihuni oleh golongan tertinggi yang terdiri dari para malaikat dan
orang-orang yang di dekatkan kepada Alloh.
Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk
merubah tingkah laku dan perilaku kearah yang lebih baik, karena pada
dasarnya ilmu menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan
kebodohan. Disisi lain juga di katakan: “Uthlubu al-’ilma min al-mahdi ila al-
llahdi” yang artinya tuntutlah ilmu dari buaian samapai keliang lahat. Perintah
menuntut ilmu tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal yang
paling diharapkan dari menuntut ilmu adalah terjadinya perubahan pada diri
individu kearah yang lebih baik yaitu perubahan tingkah laku, sikap dan
perubahan aspek lain yang ada pada diri individu. (Jamaludin, 2010:16)
Menuntut ilmu adalah pekerjaan yang paling baik, mulia dan utama. Al
qur’an dan Sunnah serta pendapat para pakar pendukung dengan pembuktian
segala aspek, telah memberikan kesaksian akan hal ini. Akan tetapi, kebaikan,
kemuliaan dan keutamaan tersebut tidak akan pernah ada, jika dilakukan
dengan niat yang tidak benar. Bahkan, menuntut ilmu menjadi pekerjaan sia-
sia, menghabiskan waktu, tenaga, dan harta benda. Baik atau buruknya sebuah
ilmu bukan karena ilmunya melainkan karena niat atau tujuan sipemilik ilmu,
Ibarat pisau, tergantung siapa yang memilikinya. Jika pisau dimiliki oleh orang
jahat, maka pisau itu bisa digunakan untuk membunuh, merampok atau
mencuri. Tetapi jika dimiliki oleh orang baik, maka pisau itu bisa digunakan
untuk memotong hewan qurban, mengiris bawang atau membelah ikan.
(Maryati, 2014: 18)
Menurut KH Moch. Jamaludin Ahmad, orang yang menuntut ilmu itu
terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :

8
1. Orang yang mencari ilmu karena hendak mencari bekal ke akhirat. Niatnya
hanya untuk mencapai keridhoan Allah dan bekal untuk hari kiamat.
2. Orang yang mencari ilmu untuk persiapan kehidupan yang fana ini,
disamping niat untuk persiapan kehidupan akhirat lainnya hendak mencapi
kekuasaan, kemuliaan, kemegehan, dan harta benda. Sedang ia sadar bahwa
niat yang demikian itu sama sekali tidak bernilai dan tidak dihargai.
3. Orang yang mencari ilmu karena dipengaruhi oleh syaithon, ia
mempergunakan ilmunya untuk menambah kekayaan, membanggakan
kemegahan dan menyombongkan diri. Ia tidak dapat digolongan kedalam
golongan orang yang berilmu, karena ia telah digelapkan oleh tipu daya
syaithon. Orang yang seperti ini akan rusak dan mudah diperdaya.
(Jamaludin, 2010: 19)
E. Niat dalam Mencari Ilmu
Para pencari ilmu dalam masa mencari ilmu wajib niat mencari ilmu, karena
niat merupakan pokok dari semua tingkah karena sabda Nabi Muhammad Saw.
dalam hadits shahih:
‫ص لَّى ال ه َعلَْي ِه َو‬ ِ َ ‫ مَسِ عت رس‬:‫اب ر ِض ي اهلل عْن ه قَ َال‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ ُ ْ ُ َ َ َ ِ َّ‫ص ُع َم َر بْ ِن اخلَط‬ ٍ ‫َع ْن اَِمْي ُر امل ْؤ ِمنِنْي َ َأىِب َح ْف‬
ُ
‫ور ُس ولِِه ف ِه ْجَرتُ ُه‬ ِ ‫امريء ما َنوى فَمن َك انَت ِهجرتُه إىل‬
‫اهلل‬ ٍ ‫ل‬ ‫ك‬ ِ‫ات وِإمَّن ا ل‬ِ ‫ي‬ ‫بالن‬ ‫ال‬ ‫األعم‬ ‫مَّن‬ ُ ‫َسلَّم َي ُق‬
َ ُ َْ ْ َْ َ ِّ ُ َّ ِّ َ َ :‫ول‬ ‫ا‬ ‫إ‬
‫اجَر إلي ِه‬ ِ ٍ ِ ِ ِ َ‫اهلل ورسولِِه ومن َكان‬ ِ ‫إىل‬
َ ‫ت ه ْجَرتُهُ ل ُد ْنيَا يُصْيبُها أو امرأة َيْنك ُح َها ف ِه ْجَرتُهُ إىل ما َه‬ ْ ْ َ ُْ َ
Dari Amirul Mukminin Abi Hafs Umar bin Khattab ra. dia berkata:
"Sesungguhnya Rassulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya setiap
perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (akan dibalas) menrutu apa yang diniatkan. Karena barang siapa
yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan
Rasaul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya.
Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya
atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang diniatkan'.” (Diriwayatkan oleh dua imam
hadits, Abu abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah
bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin
Muslim Al Qusyairi An Naishaburi di dalam kedua kitab shahih mereka
yang merupakan kitab karya manusia yang paling shahih)(An Nawawy,
2013: 39-40)

9
dan sabda Nabi Muhammad:
"Banyak amal yang tampak dalam bentuk amalan keduniaan, tetapi
karena didasari niat yang baik maka tergolong amal akhirat. sebaliknya
banyak amal yang seperti tergolong amal akhirat kemudian menjadi
amal dunia karena buruknya niat."
Dalam kitab Ta’lim Muta’alim, Syaikh Al-Zarnuji menjelaskan pedoman
niat belajar yang baik yang harus dimiliki oleh semua pelajar guna
mendapatkan ilmu yang bermanfaat, beliau memaparkan sebagai berikut :
1. Mencari Ridha Alloh SWT
Ridha adalah kesenangan, jadi yang dimaksud ridha Allah adalah hal
yang disenangi oleh Allah, untuk mendapatkan keridhaan Allah wajiblah
segala sesuatu itu dilakukan dengan hati. Niat yang sungguh-sungguh dalam
mencari ilmu adalah keridhoan Alloh dan akan mendapatkan pahala. Al
Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapatkan ilmu,
hendaknya diniati untuk untuk beribadah dan mendapatkan kebahagiaan
akhirat.
Beruntungnya seseorang dan akan mendapatkan anugerah berupa pahala
dan ganjaran surga bagi seseorang manusia yang menuntut ilmu karena
akhirat dan hinanya seorang manusia jika dia menuntut ilmu diniatkan demi
mencari sesuap nasi. Hal ini dikarenakan tertipunya manusia yang mencari
kenikmatan sementara dan melupakan akan kenikmatan yang abadi. Kita
tidak dilarang menuntut ilmu karena dunia asalkan niat kita untuk memiliki
dunia itu agar bisa berbuat baik kepada orang lain (Amar Ma'ruf Nahi
Mungkar).
2. Memerangi kebodohan pada diri sendiri dan kebodohan orang lain
Menuntut ilmu hendaklah berniat muntuk memerangi kebodohan sendiri
dan segenap kebodohan orang lain. Kita berniat menuntut ilmu untuk
memerangi kebodohan diri sendiri yakni menghilangkan kebodohan diri
sendiri dengan belajar, dengan belajar kita menjadi tau apa yang kita tidak
tahu, kita menjadi bisa apa yang kita tidak bisa. Adapun maksud dengan
memerangi kebodohan orang lain adalah, menghilangkan kebodohan orang
lain dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki. Jadi niat

10
seperti di atas saling berkaitan, kita tidak bisa menghilangkan kebodohan
orang lain tanpa menghilangkan kebodohan diri sendiri.
3. Mengambangkan dan Melestarikan Islam
Menuntut ilmu hendaklah berniat untuk mengembangkan Islam, karena
hanya dengan ilmu kita dapat membuat Islam itu maju. Di zaman seperti ini
bukanlah kekuatan fisik untuk memgangkat martabat seseorang, bangsa,
ataupun agama, melainkan dengan ilmulah kita bisa melakukan hal itu.
Sebagaimana para penduhulu kita ulama-ulama terdahulu sebut saja Ibnu
Sina dalam ilmu kedokterannya dan kejayaan islam masa lampau karena
ilmu pengetahuan yang dimiliki.
4. Mensyukuri Nikmat Akal dan Badan
Hendaklah diwaktu belajar itu berniat untuk mensyukuri nikmat akal dan
badan. Syukur adalah memuji sipemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukannya. Tiga hal yang harus terkumpul dalam Syukur yaitu:
mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan
menjadikan sarana untuk taat kepadaAllah Swt. Jadi syukur itu berkaitan
dengan isi hati, lisan dan anggota badan.
Tidak memiliki niat untuk mendapat kesohoran dari manusia (pujian/
posisi/penghormatan), hal dunia, sanjungan dan kedekatan dari para pemimpin
dan sebagainya. (Az-Zarnuzi, 1995)
Sedangkan Syaikh ‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir mengatakan bahwa ada tiga
perkara yang mesti dipenuhi agar seseorang disebut memiliki niatan yang benar
dalam menuntut ilmu.
Pertama: Menuntut ilmu diniatkan untuk beribadah kepada Allah dengan
benar.
Kedua: Berniat dalam menuntut ilmu untuk mengajarkan orang lain.
Sehingga para ulama seringkali mengatakan bahwa hendaklah para pria
menguasai perkara haid agar bisa nantinya mengajarkan istri, anak dan saudara
perempuannya.
Ketiga: Istiqomah dalam amal dan menuntut ilmu butuh waktu yang lama
(bukan hanya sebentar). Dalam belajar itu butuh kesungguhan. Muhammad bin

11
Syihab Az Zuhri berkata: “Yang namanya ilmu, jika engkau memberikan
usahamu seluruhnya, ia akan memberikan padamu sebagian." (Yusuf, 1996:
22) Dalam hadits riwayat Muslim, Abu Katsir berkata: “Ilmu tidak diperoleh
dengan badan yang bersantai-santai.” (HR. Muslim no. 612).
Tidak dianggap sah sifat zuhud dan taqwa dalam keadaan bodoh. Syair dari
Syeikh Burhanuddin:

"Kerusakan yang besar yaitu orang alim tapi tidak peduli. Dan lebih
besar dari itu yaitu orang bodoh yang ahli ibadah. keduannya
merupakan fitnah yang besar bagi seluruh alam ketika mereka berdua
dijadikan panutan."
Selain itu mencari ilmu diniati mensyukuri nikmat akal, badan yang sehat.
Jangan berniat supaya jadi pusat perhatian manusia, mencari remah-remah
dunia dan mencari kemulian di hadapan penguasa. Baranag siapa yang dapat
merasakan kenikmatan ilmu dan amal, maka tidak akan tertarik dengan apa
yang dimiliki orang lain. Syaikh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail As
Syafar Al anshari membacakan Syair pada Abu Hanifah:

"Barang siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan


memperoleh anugrah kebenaran. Dan kerugian bagi orang yang
menuntut ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat."
Boleh menuntut ilmu untuk mencari kedudukan di masyarakat, yang tujuannya
untuk 'amar ma'ruf nahi munkar, dan untuk melaksanakan kebenaran, serta
menegakkan agama Allah Swt. Bukan digunakan untuk keuntungan diri
sendiri, juga bukan karena keinginan nafsu.
Orang yang mencari ilmu sebaiknya merenengkan dalam upayanya mencari
ilmu dengan susah payah, maka jangan teralihkan dengan dunia yang hina dan
fana, sebagaimana yang dikatakan oleh Syair:
"Dunia itu lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona
dengannya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya merupakan
sihir yang dapat menulikan dan membutakan, mereka kebingungan tanpa
petunjuk."
Orang yang mencari ilmu harus menjaga diri dari hal yang dapat
merendahkan martabatnya. harus tawaddlu' dan tidak tama' terhadap harta
dunia. Syaikh Al Adib mengutaran beberapa syair tentang tawaddlu':

12
"Tawwaddlu' adalah suatu tanda atau sifat orang yang bertakwa.
Denngan tawaddlu' orang takwa semakin tinggi martabatnya. Sedang
anehnya orang 'ujub tidak mengetahui keadaan dirinya apakah termasuk
orang bertung atau orang yang celaka, atau bagaimana akhir umurnya,
atau apa tempat kembalinya pada hari kiamat kelak, ke neraka atau ke
surga. Sifat sombong merupakan sifat khusus Tuhan kita, maka hindari
dan takutlah bersifat demikian."
Imam Abu Hanifah berkata: "Besarkan surban, dan lebarkan lengan baju
kalian." beliau berkata demikian agar ilmu dan orang yang berilmu tidak
diremehkan.
Dalam kitab Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim, Hadratussyekh Muhammad
Hasyim Asy’ari memaparkan bagaimana pentingnya menata niat dalam belajar
dan mengajarkan ilmu. Setelah menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan
ulama, beliau menegaskan bahwa keutamaan-keutamaan tersebut hanya
diperoleh para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan dengan ilmunya mereka
bertujuan menggapai ridha Allah, bukan karena kepentingan duniawi seperti
memperkaya diri, memburu jabatan, memperbanyak pengikut, dan lain
sebagainya. (Asyari, 2002)
KH. Hasyim Asy’ari menegaskan yang artinya:
“Seluruh apa yang telah dijelaskan berupa keutamaan ilmu dan ahlinya
hanya berlaku bagi para ulama yang mengamalkan ilmunya, mereka
yang baik-baik, bertakwa serta dengan ilmunya bertujuan mencapai
ridhanya Allah dan mendekat kepada-Nya di surga Na’im. Keutamaan
tersebut tidak berlaku bagi orang yang berniat dengan ilmunya (dapat
meraih) tujuan-tujuan duniawi berupa tahta, harta atau bersaing
memperbanyak pengikut dan murid.”
Serta KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan beberapa dalil, di antaranya
sabda Nabi Muhammad Saw.:
“Barangsiapa mencari ilmu karena untuk menjatuhkan para ulama,
mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan wajah-wajah manusia
kepadanya, maka Allah memasukannya ke neraka” (HR. al-Tirmidzi).

Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang dilakukannya pun ikut
salah dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat. Setiap hal yang kita lakukan
dan kita ambil akan melahirkan timbal balik pada kita, baik itu buruk dan tidak.
Dan sebagai sebuah konsekuensi apabila seorang penuntut ilmu terdapat niatan

13
yang salah bukan karena ridlo Allah swt atau hanya untuk mencari kesenangan
dunia belaka, maka ia tidak akan pernah mendapatkan bau harumnya surga di
hari kiamat nanti. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad yang Artinya Abu
Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa mencari ilmu yang seharusnya dicari untuk mendapatkan
ridho Allah, lalu dicarinya hanya untuk mendapatkan kesenangan dunia,
maka ia tidak mendapatkan bau harumnya surga di hari kiamat”.
Orang yang mempunyai kesalahan niat dalam mencari ilmu dampaknya
sangat fatal, seperti yang dijelaskan dalam kitab Adabul Alim wal Muta’allim
bahwasanya Rasulullah bersabda yang Artinya, “Barangsiapa menuntut ilmu
untuk menandingi ulama, mendebat para ahli fikih, atau menjauhkan manusia
dari Tuhanya, Maka Allah akan memasukkanya ke dalam neraka.” (HR.
Bukhori).
Belajar jangan diniatkan untuk mencari pengaruh, kenikmatan dunia
ataupun kehormatan di depan penguasa-penguasa. Siapa saja yang telah
merasakan kelezatan ilmu dan amal maka akan semakin kecilah kegemarannya
akan harta benda dunia.
Syaikh Sufyan at Tsauri berkata:
“Ilmu dipelajari hanya untuk dijadikan sarana menuju ketakwaan
kepada Allah. Ia memiliki kelebihan yang tak dimiliki yang lain karena
fungsinya sebagai sarana pengantar ketakwaan kepada Allah SWT,
ketika fungsi ini tidak teraplikasikan dan tujuan penuntut ilmu telah
tercemar dengan keinginan mendapatkan duniawi seperti harta dan
tahta, maka pahala menuntut ilmu hangus, amal perbuatannya dihapus
dan dia merugi dengan sejelas-jelasnya."
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa, niat dalam segala
perbuatan merupakan hal yang sangat penting. Karena jika dalam niat saja
seseorang telah keliru maka berat rasanya untuk menjalankan perbuatan
tersebut dan hasil yang akan dicapaipun tidak akan maksimal. Apalagi dalam
urusan ilmu, jangan sampai seseorang berniat untuk mencari kesenangan dunia
semata, karena hal yang demikian akan menghalangi ia untuk mendapatkan
ridlo-Nya serta menghalangi langkahnya untuk menuju surga.

14
Al-Zarnuji mengatakan niat adalah azas segala perbuatan, maka dari itu
wajib bagi setiap manusia untuk berniat dalam belajar. Seorang yang mencari
ilmu harus menata niatnya, karena niat adalah dasar dari segala amal. Al-
Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’alim berpendapat bahwa belajar adalah
suatu pekerjaan, merupakan sebuah ibadah dan kewajiban, maka ia harus
mempunya niat belajar dan niat belajar yang harus dimiliki oleh pelajar harus
sesuai dengan tuntunan alqur’an dan sunnah. Niat adalah sebuah keharusan
bagi sebuah pekerjaan, sebab ia adalah pondasi bagi semua pekerjaan.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syaikh Az Zarnuji melihat nama beliau Az-Zarnuji adalah nama marga yang
di ambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj kota itu dalam
peta sekarang masuk wilayah Turkistan (kini Afghanistan). Imam Zarnuji
belajar kepada ulama besar pada masanya.
Niat merupakan tujuan mutlak. niat memiliki hubungan erat dengan maksud
tertentu bagi seseorang dan mutlaknya tujuan bagi sebuah pekerjaan..
Ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan sesuatu secara objektif. Pengertian
ini menghendaki bahwa pengetahuan itu harus benar-benar dapat mewakili dari
realitas atau objek yang dikaji, bukan sekadar asumsi, perkiraan, opini terhadap
sesuatu yang terkadang sering kali tidak sama atau tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya ada.
Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk
merubah tingkah laku dan perilaku kearah yang lebih baik, karena pada
dasarnya ilmu menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan
kebodohan.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa, niat dalam segala
perbuatan merupakan hal yang sangat penting. Karena jika dalam niat saja
seseorang telah keliru maka berat rasanya untuk menjalankan perbuatan
tersebut dan hasil yang akan dicapaipun tidak akan maksimal.
B. Saran
Sebagai seorang pendidik teap harus belajar tentang tata cara untuk
mendapatkan ilmu, untuk membimbing para peserta didiknya untuk dapat
menggapai tujuan dari ilmu itu sendiri.

16
DAFTAR RUJUKAN

Abidin, M. Z. (2011). KONSEP ILMU DALAM ISLAM: TINJAUAN TERHADAP


MAKNA, HAKIKAT, DAN SUMBER-SUMBER ILMU DALAM ISLAM.
10(1), 107–120.
Ahmad, M. J. (2010). Pendidikan Islam. Pustaka Muhibbin.
Al Maududi, A. A. A. (1990). Al Khalifah wa Al Mulk. Mizan.
An Nawawy, Y. S. (2013). Al Wafii (Syarah Hadits Arba’in An Nawawi):
Menyelami Makna Hadits Rsulullah Saw. (A. Halim (ed.)). Insan Kamil.
As’ad, A. (2007). Terjemah Ta’lim Muta’allim “Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan.” Menara Kudus.
Asyari, H. (2002). Adabu Al Ta’lim dan Muta’allim. MAktabah Turats Islami.
Az-Zarnuzi. (1995). Ta’lim al Muta’allim. Daar Ihya’ al Kutub al ’Arabiyah.
Daud, W. M. N. W., & Nor, W. M. (2005). Epistemologi Islam dan Tantangan
Pemikiran Umat. Dalam Jurnal Islamia, 5, 2.
Hidayah, S., & Hariyani. (2012). Implementasi Niat (Intention) dalam Kehidupan
Kerja. 36.
Ibn Ima’il, I. (n.d.). Sarh Risalah Ta’lim Muta’allim Thoriiqil Ta’allum. Daar
Ihya’ al Kutub al ’Arabiyah.
Kartanegara, M. (2002). Menembus Batas Waktu: Panaroma Filsafat Islam.
Mizan.
Mamat, M. A. (2013). KETOKOHAN IMAM ABU HANIFAH AL-NU ‘MAN
(M. 150H/767M) DALAM BIDANG PENDIDIKAN (Scholarship of Imam
Abu Hanifah Al-Nu’man in Education). Journal of Al-Tamaddun, 8(2), 1–13.
Maryati. (2014). Konsep Pemikiran Burhanuddin Az Zarnuji tentang Pendidikan
Islam: Telaah dalam Perspektif Hubungan Guru dan Murid. UIN Syarif
Hidayatullah.
Muztaba. (2014). Akhlak Belajar dan Karakter Guru: Studi Pemikiran Sykh Az
Zarnuji dalam Kitab Ta’lim Muta’allim. UIN Syarif Hidayatullah.
Nata, A. (2003). Prmikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam. Grafindo Persada.
Nizar, S. (2002). Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Ciputat Pers.
Nuspidawati, I. (2018). Evaluasi Program Pendidikan Akhlak (PPA) di Sekolah
Menengah Atas Islam Teladan (SMA IT) Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto.
IAIN Purwokerto.
Yusuf, Q. (1996). Niat dan Ikhlas. Pustaka Al Kautsar.
Abidin, M. Z. (2011). KONSEP ILMU DALAM ISLAM: TINJAUAN TERHADAP
MAKNA, HAKIKAT, DAN SUMBER-SUMBER ILMU DALAM ISLAM.
10(1), 107–120.
Ahmad, M. J. (2010). Pendidikan Islam. Pustaka Muhibbin.
Al Maududi, A. A. A. (1990). Al Khalifah wa Al Mulk. Mizan.
An Nawawy, Y. S. (2013). Al Wafii (Syarah Hadits Arba’in An Nawawi):
Menyelami Makna Hadits Rsulullah Saw. (A. HAlim (ed.)). Insan Kamil.

17
As’ad, A. (2007). Terjemah Ta’lim Muta’allim “Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan.” Menara Kudus.
Asyari, H. (2002). Adabu Al Ta’lim dan Muta’allim. MAktabah Turats Islami.
Az-Zarnuzi. (1995). Ta’lim al Muta’allim. Daar Ihya’ al Kutub al ’Arabiyah.
Daud, W. M. N. W., & Nor, W. M. (2005). Epistemologi Islam dan Tantangan
Pemikiran Umat. Dalam Jurnal Islamia, 5, 2.
Hidayah, S., & Hariyani. (2012). Implementasi Niat (Intention) dalam Kehidupan
Kerja. 36.
Ibn Ima’il, I. (n.d.). Sarh Risalah Ta’lim Muta’allim Thoriiqil Ta’allum. Daar
Ihya’ al Kutub al ’Arabiyah.
Kartanegara, M. (2002). Menembus Batas Waktu: Panaroma Filsafat Islam.
Mizan.
Mamat, M. A. (2013). KETOKOHAN IMAM ABU HANIFAH AL-NU ‘MAN
(M. 150H/767M) DALAM BIDANG PENDIDIKAN (Scholarship of Imam
Abu Hanifah Al-Nu’man in Education). Journal of Al-Tamaddun, 8(2), 1–13.
Maryati. (2014). Konsep Pemikiran Burhanuddin Az Zarnuji tentang Pendidikan
Islam: Telaah dalam Perspektif Hubungan Guru dan Murid. UIN Syarif
Hidayatullah.
Muztaba. (2014). Akhlak Belajar dan Karakter Guru: Studi Pemikiran Sykh Az
Zarnuji dalam Kitab Ta’lim Muta’allim. UIN Syarif Hidayatullah.
Nata, A. (2003). Prmikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam. Grafindo Persada.
Nizar, S. (2002). Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Ciputat Pers.
Nuspidawati, I. (2018). Evaluasi Program Pendidikan Akhlak (PPA) di Sekolah
Menengah Atas Islam Teladan (SMA IT) Al Irsyad Al Islamiyah Purwokerto.
IAIN Purwokerto.
Yusuf, Q. (1996). Niat dan Ikhlas. Pustaka Al Kautsar.

18
19

Anda mungkin juga menyukai