Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kematian adalah suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum
berupa kewarisan yang melahirkan hak dan kewajiban antara pewaris dan ahli waris.
Setelah pelaksanaan kewajiban semasa hidupnya, pewaris secara Islam juga memiliki
kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu pembagian atau peralihan harta peninggalannya
kepada ahli waris. Dalam sistem kewarisan Islam diatur tentang pembagian atau peralihan
harta peninggalan pewaris kepada ahli waris. Pembagian harta peninggalan dalam hukum
Islam tidak hanya dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta peninggalan
pewaris tapi juga perihal yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta
peninggalan pewaris.
Tata cara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan
dengan cara wasiat. Perihal wasiat dalam Al-Quran antara lain diatur dalam surat Al-
Baqarah ayat 180 yang menyatakan bahwa kalau kamu meninggalkan harta yang banyak,
diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu, untuk berwasiat
kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik. Dilanjutkan masih dalam ayat
tersebut bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang bertakwa kepada-Nya. Wasiat
dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu
undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Wasiat hanya diatur Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan
pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang
wasiat biasa sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan
untuk anak angkat atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak
biasa ini disebut wasiat wajibah.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana taarif wasiat dan wasiat wajibah?
2. Apa dasar hukum wasiat dan wasiat wajibah?
3. Apa Syarat wasiat ?
4. Bagaimanakah pemberian bagian melalui wasiat dan wasiat wajibah?
5. Bagaimanakah perhitungan menggunakan wasiat dan wasiat wajibah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Wasiat dan Wasiat Wajibah


2.1.1 Pengertian Wasiat
Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi,
artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat)
adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah
dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: penyerahan
harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya .
Menurut istilah syara wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang ataupun manfaaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Hukum Islam pasal 171 huruf f wasiat adalah pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia (Elimartati, 2010 : 59).
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia
membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika
menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang
ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu
berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu,
rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 343).
Dari berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa wasiat adalah pemberian
seseorang pewaris kepada orang lain selain ahli waris yang berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.

2.1.2 Pengertian Wasiat Wajibah


Sementara menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Muhadlarat fi Al-Mirats Al-
Muqaran, mendefinisikan wasiat adalah tindakan sukarela seseorang memberikan hak
kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela
dan tidak mengharapkan imbalan (tabarru) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah
peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.

2
Ini berbeda dengan wasiat wajibah. Wasiat wajibah merupakan kebijakan
penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam
keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli
waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena adanya suatu halangan syara. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris(Hukum
Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya
tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang
meninggal dunia.

Menurut Fatchur Rahman dikatakan wasiat wajibah karena dua hal :


a. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui
perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergntung kerelaan orang yang berwasiat
dan persetujuan si penerima wasiat.
b. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Wasiat wajibah dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam timbul untuk
menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak
angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di negara Islam, di daerah Afrika
seperti Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk
menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu atau cucu-cucunya
dari anak atau anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris.
Lembaga wasiat wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir
lembaga mawali atau pergantian tempat.
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu atau cucu-cucu dari anak
atau anak-anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena
ini, Abu Muslim Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-
golongan yang tidak mendapatkan harta pusaka. Ditambahkan oleh Ibnu Hazmin, bahwa
apabila tidak dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan
harta pusaka, maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian dari
harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam
bentuk wasiat yang wajib.

3
2.2 Dasar Hukum Wasiat dan Wasiat Wajibah
2.2.1 Dasar Hukum Wasiat
a) Al-Quran
Q.S Al-Baqarah ayat 180 :

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Q.S Al-Baqarah ayat 283 :

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya
dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.

b) Hadits


) :


, , , , (

,

Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah


Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak
kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad
dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan
dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud
(Bulughul Maram digital, 2008 : 987)

: :

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW :
barang siapa yang mati dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah

4
dan Sunnah, mati dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati dalam keadaan
diampuni dosanya.
(Sayyid Sabiq, 1987 : 232)
c) Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan RasulNya.
Ijma didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadits.

2.2.2 Dasar Hukum Wasiat Wajibah


Adapun dasar hukum wasiat wajibah ini, menurut Fatchur Rahman, diambil
secara kompromi terhadap pendapat para Ulama Salaf dan Khalaf, yakni :
a. Kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah
diambil dari pendapat-pendapat fuqaha dan tabiin besar ahli fiqh dan ahli hadis. Antara
lain Said ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Basry, Thawus, Ahmad, Ishaq ibn Rahawaih, dan
Ibn Hazm.
b. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat
menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat,
adalah diambil dari pendapat mazhab Ibn Hazm yang dinukil dari fuqaha tabiin dan
pendapat Imam Ahmad.
c. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu
dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pada pendapat
Ibn Hazm dan kaidah :
Pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang mubah,
karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan umum. Apabila
penguasa memerintahkan demikian, maka wajiblah ditaati.
Konsep 1/3 (sepertiga) harta peninggalan juga didasarkan pada hadits Saad bin Abi
Waqash, seorang sahabat Nabi. Saad bin Abi Waqash sewaktu sakit dikunjungi oleh
Rasulullah, bertanya, Saya mempunyai harta banyak akan tetapi hanya memiliki
seorang perempuan yang mewaris. Saya sedekahkan saja dua pertiga dari harta saya
ini. Rasulullah menjawab Jangan. Seperdua? tanya Saad lagi. Dijawab Rasulullah
lagi dengan Jangan. Bagaimana jika sepertiga? tanya Saad kembali. Dijawab
Rasulullah Besar jumlah sepertiga itu sesungguhnya jika engkau tinggalkan anakmu
dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik.
Hadits ini menjadi acuan bagi Mesir yang pertama mengundangkan tentang
wasiat wajibah dalam Undang-undang Nomor 71 Tahun 1946. Sejak 01 Agustus 1946,

5
orang Mesir yang tidak membuat wasiat sebelum meninggalnya, maka kepada
keturunannya dari anak pewaris yang telah meninggal terlebih dahulu daripada pewaris
diberikan wasiat wajib tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan
pewaris. Hal ini diadopsi oleh Indonesia dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.

2.3 Rukun, dan Syarat Wasiat


1. Rukun wasiat
Menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat itu adalah dari orang yang mewasiatkan.Menurut
Ibnu Rusyd wasiat ada 4 yaitu : orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat,
barang yang diwasiatkan, dan sighat (Elimartati, 2010 : 61).
2. Syarat wasiat
a) Syarat orang yang berwasiat
Menurut Sayyid Sabiq diisyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang
yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
b) Syarat orang yang menerima wasiat
Dia bukan ahli waris dari orang yang berwasiat.
Orang yang diberi wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat
dilaksanakan baik ada secara nyata maupun secara perkiraan, seperti berwasiat kepada
anak dalam kandugan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat diterima.
Orang yang diberi wasiat bukan lah orang yang membunuh orang yang memberi
wasiat.
c) Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau manfaat
yang bisa dimiliki dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia secara positif
(Elimartati, 2010 : 64).
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang
diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2) (Abdul Shomad, 2010 : 355).
Menurut Amir Syrifuddin harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga
dari harta yang dimiliki oleh pewasiat (Amir Syarifuddin, 2010 : 237).
Menurut pasal 195 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga
dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (pasal 195 ayat 2).
Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis
dihadapan dua orang saksi atau dihadapan notaris (pasal195 ayat 4). Apabila wasiat
melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya

6
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan (Abdul Shomad,
2010 : 356).

2.4 Pemberian Bagian Dalam Wasiat dan Wasiat Wajibah


2.4.1 Pemberian Bagian Dalam Wasiat
1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan.
Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Quran, As-
Sunnah, dan ijma.
2. Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah
menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang
menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada
ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak
laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman
kandung, dan seterusnya.
3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila
harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa,
maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan
bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima
tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri
disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih
utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris
yang masih memiliki kaitan rahim tidak termasuk ashhabul furudh juga ashabah.
Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki
dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris
tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula ashabah, para kerabat
yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli
waris yang termasuk ashhabul furudh dan ashabah, juga tidak ada kerabat yang
memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami
atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak
untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan
yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya.

7
Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga
sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
6. Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para ashabah karena sebab ialah orang-
orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan).
Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka
orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai
ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di
sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang
meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu
memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah
hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan
mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris
bila memang wasiatnya demikian.
8. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli
waris ataupun kerabat seperti yang saya jelaskan maka seluruh harta
peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

Contoh Perhitungan Menggunakan Wasiat Wajibah


Berikut ini contoh perhitungan harta warisan menggunakan wasiat :
Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari 2 anak perempuan, dan
cucu laki-laki garis perempuan. Harta yang ditinggalkan sebesar Rp 24.000.000,-. Bagian
masing-masing adalah :
Jika diselesaikan menurut ketentuan biasa
Ahli Waris Bagian AM HW Penerimaan
3-2 Rp 24.000.000
2 Anak 2 2/2 x Rp 24.000.000 Rp 24.000.000
Perempuan
(2/3)
Cucu Lk Dzawil
Garis Pr Arham
2 Jumlah Rp 24.000.000

Dua anak perempuan yang sedianya menerima 2/3 x Rp 24.000.000 = Rp 16.000.000,


ditambah pengembalian (radd) sisa harta yang ada sebesar Rp 8.000.000, Maka

8
keseluruhan harta diterima oleh dua anak perempuan. Sementara cucu laki-laki garis
perempuan termasuk kategori dzawil arham, yang dianggap tidak berhak
mendapatkan warisan.

2.4.2 Pemberian Bagian Dalam Wasiat Wajibah


Kompilasi Hukum Islam yang dianggap sebagai hasil ijma ulama Indonesia,
menetapkan ketentuan hukum tentang wasiat wajibah sendiri yang berbeda. Dalam pasal
209 menyiratkan :
a. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang
tua angkat terhadap anak angkat.
b. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi
dilakukan oleh negara.
c. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 (se
pertiga) dari harta peninggalan pewaris.
Hukum Islam menentukan bahwa pengangkatan anak dibolehkan tetapi akibat
hukum terhadap status dan keberadaan anak angkat adalah sebagai berikut : Status anak
angkat tidak dihubungkan dengan orang tua angkatnya, tetapi seperti sedia kala, yaitu
nasab tetap dihubungkan dengan orang tua kandungnya. Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka antara anak angkat dan orang tua angkatnya tidak ada akibat saling mewarisi.
Namun dalam Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum dari harta tersebut adalah
munculnya wasiat wajibah, yaitu hukum wajib terhadap adanya ketentuan wasiat. Wajib
disini merupakan sesuatu yang mesti dan mutlak harus dilaksanakan, jadi meskipun orang
tua angkat maupun anak angkat tidak berwasiat kepada anak angkat maupun orang tua
angkatnya, tetapi dia telah dianggap melakukannya. Karena sebelum diadakan pembagian
harta warisan maka tindakan awal yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan harta
peninggalan untuk wasiat wajibah.
Namun menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa
dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan Islam
adalah adanya hubungan darah, nasab, atau keturunan. Dengan kata lain bahwa peristiwa
pengangkatan anak menurut hukum kewarisan, tidak membawa pengaruh hukum
terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat
mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut. Maka sebagai solusinya
menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian wasiat wajibah dengan
syarat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Kedudukan (status) anak angkat menurut

9
Kompilasi Hukum Islam adalah tetap sebagai anak yang sah berdasarkan putusan
pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab darah dengan orang tua
kandungya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang
terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak
dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala
kebutuhannya. Pembagian harta warisan bagi anak angkat menurut Kompilasi Hukum
Islam adalah dengan jalan melalui hibah atau dengan jalan wasiat wajibah dengan syarat
tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya, hal ini untuk
melindungi para ahli waris lainnya
Kutipan di atas hanya membatasi pemberian wasiat wajibah pada anak angkat
atau orang tua angkat. Pembatasan ini dilakukan, karena Kompilasi Hukum Islam telah
mengakomodasi konsep penggantian kedudukan sebagai alternatif pemberian bagian
kepada cucu laki-laki atau perempuan garis perempuan, baik yang terhalang karena orang
tuanya meninggal terlebih dahulu dari ahli waris lain atau karena memang sebagai dzawil
arham. Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas
kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka
tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai dzawil
arhamatau terhijab oleh ahli waris lain.

Menurut ketentuan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yang
meninggal lebih dulu dari pada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tersebut tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Maka, jelaslah pada prinsipnya
kedudukan setiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris dapat
digantikan oleh anaknya yang berkedudukan sebagai ahli waris pengganti yang bagiannya
sama atau tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantinya.
Menurut kalangan ahlu sunnah, bagian ahli waris pengganti tidak selalu harus
sama besarnya dengan bagian ahli waris yang digantikan kedudukannya. Demikian pula
sebagai ahli waris pengganti terbatas pada keturunan anak laki-laki saja. Besarnya bagian
perolehan masing-masing cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai
waris pengganti diatur sebagai berikut :
a. Cucu laki-laki dari anak laki-laki akan mendapat hak kewarisannya seperti anak laki-
laki.

10
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki akan mendapat :
1). Seperdua (1/2) bagian harta warisan bila seorang saja dengan tidak disertai adanya anak
laki-laki atau dua orang anak perempuan.
2). Dua pertiga (2/3) bagian harta warisan bila dua orang atau lebih dengan tidak disertai
adanya anak laki-laki atau anak perempuan.
3). Seperenam (1/6) bagian harta warisan bila seorang diri saja dengan disertai oleh seorang
anak perempuan
4). Sisanya harta warisan (sebagai ahli waris ashabah) bila disertai adanya anak laki-laki dari
anak laki-laki.

Berikut ini contoh perhitungan harta warisan menggunakan wasiat wajibah:


Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari 2 anak perempuan, dan
cucu laki-laki garis perempuan. Harta yang ditinggalkan sebesar Rp 24.000.000,-. Bagian
masing-masing adalah :
Jika diselesaikan dengan wasiat wajibah
Ahli Waris Bagian AM HW Peneimaan
3 Rp 24.000.000
2 Anak Pr (2/3) 2 2/3 x Rp 24.000.000 Rp 16.000.000
Cucu Lk garis 1 1/3 x Rp 24.000.000 Rp 8.000.000
Pr (1/3)
3 Jumlah Rp 24.000.000

2.5 Rumpun Ahli WAris Laki-Laki Dan Perempuan


Berdasarkan sebab-sebab menerima warisan, maka ahli waris dalam hukum islam
dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a) Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena hubungan darah.
b) Ahli waris sababaiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya
perkawinan yang sah dan atau karena memerdekakan hamba sahaya.
Dalam hukum perdata islam orang-orang yang menjadi ahli waris dapat dikelompokan
menjadi 2, yaitu :
1) Kelompok ahli waris menurut hubungan darah. Mereka ini terdiri dari:
(1) Golongan laki-laki, yaitu:
(a) Ayah
(b) Anak laki-laki
(c) Saudara laki-laki

11
(d) Paman dan
(e) kakek
(2) Golongan perempuan, yaitu:
(a) Ibu
(b) Anak perempuan
(c) Saudara perempuan dan
(d) nenek
2) Kelompok ahli waris menurut hubungan perkawinan, mereka ini adalah duda atau
janda.
Jika semua ahli waris yang disebutkan diatas masih ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanyalah; anak, ayah, ibu, janda, atau duda.
Ahli waris sebelum melakukan pembagian harta warisan, mempunyai kewajiban-
kewajiban terhadap si pewaris, kewajiban tersebut adalah:
a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b) Menyelesaikan semua hutang-hutang si pewaris
c) Menyelesaikan wasiat si pewaris
d) Menetukan semua jumlah harta peninggalan/warisan.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia
membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika
menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang
ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu
berbentuk harta.
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilih harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menetukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Berdasarkan sebab-sebab menerima warisan, maka ahli waris dalam hukum islam dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena hubungan darah.
b. Ahli waris sababaiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya
perkawinan yang sah dan atau karena memerdekakan hamba sahaya.

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan syara.

No Perbedaan Wasiat biasa Wasiat wajibah


1 Dari segi yang orang Orang lain selain orang Diberikan kepada anak angkat
menerima wasiat. yang menjadi ahli waris. yang tidak mendapat wasiat biasa.
Cucu laki-laki maupun cucu
perempuan yang orang tuanya
mati mendahului atau bersama-
sama kakek atau neneknya
(pewasiat).
2 Dari segi hukum sunah wajib

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rahim, Abd, al-Muhadlarat fi al-Mirats al-Muqaran, Kairo : t.p., t.t.


Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukun Islam, Jakarta : PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama Republik
Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Waris Islam, 1982
Latif, Abdul Rashid Haji Abdul, Wasiat dalam Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1986.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung : Al-Marif, 1981.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 1995.
-------, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.
Suparman, Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.
Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, Bandung :
Penerbit Bandar Maju, 2009.
Zahari, Ahmad, Tiga versi Hukum Kewarisan Islam, SyafiI, Hazairin dan KHI,Pontianak: Romeo
Grafika, 2006).

14

Anda mungkin juga menyukai