Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas pertolongan dan
rahmatNyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan dengan menyoroti tentang
“Hukum Wasiat dan Waris di Syiria”.
Saya menyadari akan kekurangan dari makalah ini, saya adalah manusia biasa yang
tak luput dari kesalahan. Namun, saya berharap makalah ini dapat menjadi acuan untuk
pembuatan makalah berikutnya yang lebih baik lagi.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga tugas ini dapat bermanfaat.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
1.2 Tujuan...............................................................................................................................6
1.3 Permasalahan.....................................................................................................................6
BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................17
DAFTAR PUSAKA........................................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm.154.
2
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013, hlm. 353.
3
Zainuddin. Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.
140.
4
Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat merupakan suatu perikatan yang
mengharuskan penerima wasiat memperoleh hak 1/3 harta peninggal si pewaris
sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta tersebut kepada si
penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat.4
Imam Syafi’i mengartikan wasiat sebagai amal sedekah dengan suatu hak yang
disandarkan kepada keadaan setelah mati, baik cara menyandarkan itu dengan
perkataan atau tidak. Imam Hambali menjelaskan bahwa wasiat adalah menyuruh
orang lain agar melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat meninggal
dunia.5
Dasar hukum wasiat dapat kita lihat di dalam Al-Qur’an surah Al- Baqarah
ayat 180 dan Surah Al-Maidah ayat 106.
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa”.(Q.S Al- Baqarah: 180)
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa ma'ruf ialah adil dan baik. Wasiat
itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu, ayat
ini dinasakhkan dengan ayat mewaris. Berdasarkan keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa wasiat merupakan syari’at Islam yang mempunyai fungsi bagi
manusia, sehingga tak ada seorang ulama atau orang Islam yang menentang dengan
adanya wasiat, bahkan perbuatan ini banyak dilakukan oleh umat Islam masa lalu.
Wasiat disamping bersifat sosial, juga bersifat ibadah. Agar wasiat dapat
terlaksana dengan baik, sesuai dengan hukum Islam, maka harus terpenuhinya syarat
dan rukunnya. Ibnu Rusyd menyatakan, rukun wasiat ada 4, yaitu pemberi wasiat,
penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan siqhat. Sedangkan menurut
Muhammad Jawad muqhniyah, rukun wasiat ada 4 yaitu redaksi wasiat, pemberi
wasiat, penerima wasiat, dan barang yang diwasiatkan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam seseorang yang akan berwasiat dijelaskan
pada pasal 194 yang berbunyi:
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun. Berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.16 Dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 194 di atas, terlihat sangat jelas bahwa
seseorang yang akan melakukan wasiat yang mempunyai kekuatan
hukum yang kuat di Indonesia harus berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, apabila seseorang yang melakukan wasiat yang belum cakap umur
4
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan HukumKewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 132.
5
Ibid.
5
menurut Kompilasi Hukum Islam maka wasiatnya batal.
Waris
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris
adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan
setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan
disebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah
memiliki bagian bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman Allah berikut
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu-bapak dan kerabatnya.
Dab bagi Wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Kata waris dalam berbagai bentuk makna dapat ditemukan dalam dalam al-
Qur’an, yang antara lain:
Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS/ an-Naml, 27:16)
Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. Az-
Zumar, 39:74)
Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. Al-
Maryam, 19:16)
Penjelasan di atas merupakan sedikit dari gambaran bagaimana hukum
pembagian harta warisan yang terjadi di Indonesia. Pada makalah kali ini saya akan
mengangkat tema tentang “Hukum Wasiat dan Waris di Syiria”
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian hukum wasiat dan waris
2. Mahasiswa dapat memahami rukun serta syarat wasiat dan warisan dalam islam
3. Mahasiswa dapat mengetahui hukum wasiat dan waris di Syiria
1.3 Permasalahan
1. Apa pengertian hukum wasiat dan waris?
2. Apa rukun dan syarat wasiat dan waris dalam islam?
3. Bagaimanakah hukum wasiat dan waris di negara Syiria?
6
BAB II
LANDASAN TEORI
Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari
pewaris yang telah berumur sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, berakal
sehat dan tanpa ada paksaan kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewasiat meninggal dunia.7
Dalam hukum suni, pemberi wasiat tidak boleh menggunakan warisan untuk
menguntungkan orang-orang yang termasuk dalam pola tanpa wasiat, terani
dajak hsisk qyi‖ah haj ini dibolehkan, dengan alasan untuk menghindari tidak
adanya harta menjelang kematian seseorang selama sakit ajal (marad al- maut),
tidak boleh melepaskan hartanya.Adapun wasiat mempunyai dasar hukum yang
kuat dalam qyapi‖ar Islam. Dalil yang paling pokok tentang wasiat adalah ayat dalam
QS. al-Baqarah (2): 180 seperti yang telah dipaparkan di pendahuluan.
Para ulama sepakat bahwa lafal kutiba dalam ayat tersebut pada dasarnya
menyatakan wajib, namun arti tersebut tidak dipegangi karena ada beberapa
qarinah yaitu:
7
ditunaikan seperti hutang yang tidak mempunyai bukti, zakat yang belum
dikeluarkan atau kafarat yang belum dibayar. Kewajiban- kewajiban ini
bersifat ra‖abbsdi dan bukan oada‖i.
Ketiga, kontrol yang dilakukan oleh para sarjana Muslim terhadap cara
membaca Alquran yang tepat. Setelah interpretasi tradisional atas QS.4;12 dan
QS.4:176 inilah yang diabaikan, dan akhirnya dilupakan.
8
Sesuai dengan rukun wasiat yang dikemukakan di atas maka ulama fikih
menetapkan syarat-syarat wasiat, yaitu;
al- Musi, syaratnya adalah
(a) Orang yang berwasiat itu cakap hukum atau baliq,
(b) Wasiat itu dilakukan secara sadar dan sukarela,
(c) Orang yang berwasiat itu tidak mempunyai hutang yang jumlahnya
sebanyajk harta yang akan ditinggalkannya;
al- musa lah, syaratnya ditujukan pada pribadi atau lembaga, adalah
(a) Benar-benar ada,
(b) Identitasnya jelas,
(c) Orang atau lembaga yang cakap menerima hak/milik,
(d) Penerima wasiat itu bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, jika
wafatnya karena terbunuh,
(e) Penerima wasiat itu bukan kafir harbi,
(f) Wasiat itu tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam
atau sesuatu maksiat;
al-musa bih, syarat harta yang di wasiatkan yakni:
(a) Yang di wasiatkan itu sesuatu yang bernilai dalam syarak bukan yang tidak
bersyarak, seperti minuman keras dan babi,
(b) Yang di wasiatkan itu sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa
materi atau manfaat,
(c) Yang di wasiatkan itu adalah milik al-musi, ketika berlangsung wasiat,
(d) Harta yang di wasiatkan itu tidak melebihi dari sepertiga harta al-musi:
dan
ijab dan kabul, syarat yang berhubungan dengan siqah wasiat, ulama fikih
menetapkan bahwa ijab kabul yang diperlukan harusjelas dan harus sejalan.
Siqah ijab dan kabul yang digunakan untuk mengungkapkan wasiat itu bisa
disampaikan secara lisan, tulisan maupun isyarat yang dapat dipahami.
Adapun wasiat melalui isyarat yang dipahami, menurut ulama mazhab
Hanafi dan Hanbali hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu
atau tidak bisa menuli dan membaca baca. Aial rerani, sjaka kazhab Majiii dal
Syafi‖i berpendapat bahwa wasiat tetap sah walaupun melalui isyarat yang
dapat dipahami, meskipun orang yang berwasiat itu mampu berbicara dan mampu
untuk membaca dan menulis.10
10
Ibid.
9
Dalam hal orang yang bakal menerima wasiat itu orang lain, jumlah harta yang
boleh diwasiatkan hanya sepertiga dari harta si pewasiat setelah dikurangi
hutang-hutangnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari semua harta
yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedang Malik berpendapat bahwa
sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang
berkembang tetapi tidak diketahui.
Menurut Ibnu Hazm, tidak ada ketentuan tentang jumlah atau perbandingan
harta yang diwasiatkan, hal ini diserahkan kepada pertimbangan dan ketulusan
masing-masing, asal masih dalam batas sepertiga warisan (harta). Namun
demikian, ia memberi batas minimum tentang jumlah orang yang akan
menerimanya. Jika kerabat yang tidak mewarisi tersebut banyak, ia harus
berwasiat sekurang-kurangnya kepada tiga orang. Jika ia berwasiat kepada orang
yang bukan kerabat, dua pertiga dari wasiatnya tersebut harus dialihkan kepada
kerabat.11
Orang yang berwasiat itu adakalanya mempunyai ahli waris dan adakalanya
tidak mempunyai ahli waris. Bila mempunyai ahli waris, ia tidak boleh
mewasiatkan lebih dari sepertiga, seperti yang telah disebutkan. Apabila ia
mewasiatkan lebih dari sepertiga, wasiatnya tidak dilaksanakan kecuali atas izin
dari ahli waris dengan dua syarat sebagai berikut:
Agar permintaan izin dari ahli waris itu dilaksanakan sesudah orang yang
berwasiat itu wafat, sebab sebelum ia wafat, orang yang memberi izin itu
belum mempunyai hak, sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Jika ahli
waris mengizinkan pada waktu orang yang berwasiat masih hidup, mungkin
mencabut kembali wasiatnya bilamana ia menginginkannyan. Dan jika ahli
waris memberikan izin setelah orang yang berwasiat itu wafat, wasiat itu
dapat dilaksanakan; dan
Agar orang yang memberi izin itu mempunyai kompetensi yang sah, tidak
dibatasi karena kebodohan dan kelalaian, pada waktu memberikan izin. Jika
orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh
mewasiatkan lebih dari sepertiga.
Dengan demikian sudah jelas bahwa apabila pewasiat mewasiatkan hartanya
lebih dari sepertiga maka wasiat itu harus mendapatkan persetujuan ahli
warisnya, sebaliknya jika tidak ada persetujuan maka wasiat itu hanya berlaku
sepertiga saja.
Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta
seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga
11
Ibid.Hlm 80.
10
dan masyarakat yang lebih berhak atau bisa diartikan sebagai hukum yang mengatur
pindahnya sesuatu dari seseorang pada seseorang yang lain baik berupa harta maupun
ilmu serta kehormatan. Ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah swt
tercantum dalam Al-qur,an diantaranya surat an-Nisa ayat 7,11,12 dengan adanya
hokum waris ini ditambah dengan aturan-aturan penjelasan pelaksanaannya dari
Rasullah saw, maka seluruh aspek pelaksanaannya ada aturan hukumnya. Dengan
demikian setiap orang Islam berkewajiban menaati seluruh aruran waris yang telah ada
pada al-Qur,an dan al-Hadist.12
Mengenai pengertian hukum waris, banyak dari para sarjana yang memberikan
pengertian mengenai hukum waris. Berikut ini adalah pendapat beberapa para sarjana
yang memberikan pengertian mengenai hukum waris. Vollmar berpendapat bahwa
“Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi
keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya”
(Vollmar, 1989:373). Pendapat ini hanya difokuskan kepada pemindahan harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya.
Hukum waris adat merupakan waris adat yang meliputi norma-norma hukum yang
menetapkan harta kekayaan baik yang materil maupun yang immateril yang manakah
dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga
mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Kemudian apabila kita menguraikan
hukum waris adat, maka kita tidak terikat pada asal kata waris itu sendiri dari bahasa
arab ataupun hukum waris Islam, oleh karena masalah waris bagi bangsa indonesia
tidak berarti waris setelah seseorang pewaris wafat, melainkan terjadi pewarisan dalam
arti penunjukan atau penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup.
Demikian corak khas dari hukum waris bangsa yang selama ini berlaku, berbeda
dari hukum waris Islam atau hukum waris barat sebagaimana tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Akan tetapi, pluralistik keberagaman
sistem pembagian harta waris di indonesia tidak hanya muncul dari sistem keberagaman
suku bangsa melainkan disebabkan adanya adat istiadat yang ada di berbagai suku adat.
Oleh karena itu, sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam dan memiliki
12
Saifuddin Masykuri, “Ilmu Faraidl: Perbandingan 4 Madzhab” , (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 8.
11
corak sifat yang bervariasi tersendiri sesuai dengan kekeluargaan masyarakat adat
tersebut13
Rukun
Dalam kewarisan Islam, terdapat pokok-pokok dan ketentuan serta aturan yang
berkaitan dengan masalah pewarisan. Aturan tersebut apabila tidak dilaksanakan secara
benar, atau ada yang kurang maka pewarisan tidak akan sempurna dalam
pembagiannya. Adapun rukun dalam kewarisan Islam, yakni:
A. Pewaris (muwarrits)
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.
Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan
sempurna, dan ia tela benar-benar meninggal dunia. Kematian pewaris menurut para
ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yaitu mati haqiqy (sejati), mati hukmy
(berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan). Dalam Pasal 171
butir b Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa “Pewaris adalah orang yang pada
saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Dengan demikian,
pewaris baru dikatakan ada jika yang bersangkutan meninggal dunia dan memiliki harta
peninggalan serta ahli waris.
Ahli waris dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 butir c adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi
ahli waris. Kelompok- kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari :
duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan antara harta warisan dan harta
13
Eko Budianto‚Hukum Waris Adat Osing Masyarakat Banyuwangi‛, dalam Jurnal
Hukum.unmuhjember.ac.id-vol-6-no-12-10/31 diakses pada tanggal 15 Maret 2014.
12
peninggalan. Pada pasal 171 butir d disebutkan bahwa harta peninggalan adalah harta
yang ditinggalkan pewaris baik berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-
haknya. Sementara yang dimaksud dengan harta waris sebagaimana yang dijelaskan
dalam pasal 171 butir e Kompilasi hukum Islam adalah harta bawaan ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat.
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam
kandungan, Para ahli warits yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits,
baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi harta
peninggalannya.
13
BAB III
PEMBAHASAN
14
Esposito, The Oxford …, h. 156-159.
15
Ibid. ; Don Peretz, The Middle East Today (New York: Praeger, 1986), h.397-399.
16
M. Lapidus, Sejarah Sosial …, h. 179. Paprai Ba‖aṡ yang berkuasa di Syria dan Irak.
14
3.1 Peraturan dan Hukum Wasiat di Negara Syiria
Setelah merdeka Syiria mulai memperlakukan nasionalisasi dan reformasi
sistem hukum. Sejumlah UU diberlakukan baik dalam perdata tahun 1953 (UU
Status Personal), hukum pidana tahun 1950 dan hukum dagang tahun 1949.
Pasal 232 : tidak ada wasiat yang dibolehkan bagi keturunan kecuali hanya
pada golongan pertama, dimana golongan ini adalah golongan yang
terhalang mendapat harta warisan.17
Pasal 238: (1) wasiat kepada bukan ahli waris seharusnya tidak boleh lebih
dari sepertiga harta peninggalan, setelah pembayaran hutang jika ada.
Meskipun tanpa persetujuan dari ahli waris. (2) Wasiat tidak boleh melebihi
batas maksimal dari sepertiga. (3) Yang didahulukan adalah pembayaran
hutang baru kemudian wasiat. (4) Wasiat untuk semua harta yang ada
dibolehkan jika memang tidak ada ahli waris yang lain.18
Pasal 257 : Jika seorang meninggal, meninggalkan seorang putra dan punya
anak (cucu pewaris) maka cucu tersebut berhak mengambil bagian dari ayah
mereka dan memungkinkan mendapat sepertiga, asalkan sesuai dengan
kondisi sebagai berikut :
(a) Wasiat wajibah bagi cucu seharusnya sama seperti bagian dari bapaknya,
yang penting tidak lebih dari sepertiga harta yang lazim terjadi.
(b) Cucu seharusnya tidak diberikan harta melalui wasiat wajibah jika
mereka dapat mewarisi kekuasaan orang tuanya (ayahnya).
(c) Wasiat wajibah diberikan kepada cucu dan anak dari cucu satu orang
dengan sistem 2:1. 19
15
meninggal dunia. Hal ini dikenal dengan konsep wasiat wajibah. Selanjutnya mengenai
warisan kepada pasangan yang masih hidup. Dalam hukum waris Islam tradisional,
pasangan yang masih hidup hanya mendapatkan bagian sesuai dengan yang ditentukan
dalam al-Qur’an (furudhul muqaddarah). Dalam kasus jika ahli waris yang ada hanya
pasangan yang masih hidup, maka sisa harta warisan dikembalikan ke baitul mal atau
Negara. Adapun pasangan, hanya mendapatkan bagiannya sesuai dengaan furudhul
muqaddarahnya, yaitu suami setengah dan istri seperempat dari harta warisan.
Dalam hal pembagian harta waris Syiria mengatur hal ini dalam Undang-undang
keluarganya. Dikatakan bahwasannya undang-undang Syiria/Suriah mengikuti undang-
undang keluarga Mesir, namun pada dasarnya dapat dikatakan memang syiria
mengadopsi undang-undang keluarga mesir secara subtansi, namun mengalami
perbedaan dalam draf-drafnya. Secara umum adopsi pandangan hukum dikaitkan dengan
Abu Yusuf dan disokong Muhammad al-Shaybani.
Saudara-saudari seibu mendapat bagian 1/6 ketika sendirian dan 1/3 ketika
lebih dari seorang
Antara saudara seibu dan saudari seibu dibagi sama rata
Pada keadaan, jika harta warisan habis dibagi melalui furudl, saudara-
saudari seibu bersama-sama saudara kandung atau saudara-saudara
kandung, sendirian maupun bersama saudari kandung satu atau lebih,
berbagi bagian 1/3 sama rata.
Proses perhitungan ini diadopsi dari mahzab Syafii dan Maliki dan ini terdapat
dalam Hukum Mahzab Hanafi.Undang-undang keluarga Syiria membatasi kasus anak
yang belum lahir untuk menjadi ahli waris atau bisa dikatakan belum pantas untuk
menjadi ahli waris, ini berbeda dengan apa yang ditetapkan Mesir yang mengatakan
bahwasannya anak yang belum lahir akan menjadi pewaris.
16
BAB IV
PENUTUP
17
DAFTAR PUSAKA
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm.154.
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013,
hlm. 353.
Zainuddin. Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 140.
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan HukumKewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 132.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol III (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 250; Ḥasan Aḥmad al-Khaṭīb, al-Fiqh al-
Muqāran (Mesir: Dār al-Taklīf, 1957), h. 56- 74.
David S. Powers, Studies in al-Qsp‖al ald Hadirh: The Fmpkariml mf rhe Islamic Law of Inheritance,
terj. Arif Maftuhin (cet. ke-1; Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 63.
Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad, Kifāyah al-Akhyār, terj. Mshakad Rifa‖i, dii. (Sekapalg:
Tmha Psrpa, 1978), h. 264. Baldilgial delgal Al-Mahāmiy Subḥiy Mahmasānī, Al-Mabādi‖ al- Syap‖iyyah wa
aj-Qānūniyyah fī al-Hajr wa an-Nafaqāt wa al-Mawāris wa al-Waṣiyyah (Beirut: Dār al-―Ilm al- Malāyin,
1967), h. 157-179
Don Peretz, The Middle East Today (New York: Praeger, 1986), h.397-399.
M. Lapidus, Sejarah Sosial …, h. 179. Paprai Ba‖aṡ yang berkuasa di Syria dan Irak.
Saifuddin Masykuri, “Ilmu Faraidl: Perbandingan 4 Madzhab” , (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 8.
18