Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas pertolongan dan
rahmatNyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan dengan menyoroti tentang
“Hukum Wasiat dan Waris di Syiria”.

Saya menyadari akan kekurangan dari makalah ini, saya adalah manusia biasa yang
tak luput dari kesalahan. Namun, saya berharap makalah ini dapat menjadi acuan untuk
pembuatan makalah berikutnya yang lebih baik lagi.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga tugas ini dapat bermanfaat.

Langsa, ... Mei 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4

1.2 Tujuan...............................................................................................................................6

1.3 Permasalahan.....................................................................................................................6

BAB II LANDASAN TEORI..........................................................................................................7

2.1 Pengertian, Hukum dan Dasar Hukum Wasiat...................................................................7

2.2 Rukun, Syarat dan Batasan Wasiat....................................................................................8

2.3 Pengertian, Hukum dan Dasar Hukum Warisan..................................................................10

2.4 Rukun dan Syarat Waris dalam Islam..............................................................................12

BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................................14

Hukum Wasiat dan Waris di Negara Syiria.................................................................................14

3.1 Peraturan dan Hukum Wasiat di Negara Syiria..................................................................15

3.1 Peraturan dan Hukum Waris di Negara Syiria..................................................................15

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................17

DAFTAR PUSAKA........................................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wasiat
Wasiat merupakan salah satu perbuatan yang sudah lama dikenal sebelum
Islam. Misalnya dalam masyarakat pada masa arab jahiliah, banyak sekali wasiat
yang diberikan kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan
dengan orang yang berwasiat, karena pada masa itu orang yang memberikan
sebagian besar harta miliknya memperlambangkan orang yang sangat kaya raya dan
mendapatkan pujian dari semua orang.1
Dengan datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan membatalkan wasiat
yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat pada waktu itu. Islam dapat
menerima wasiat yang sudah berjalan lama itu dengan jalan memberikan koreksi
dan perbaikan. Sehingga wasiat tetap menjadi sesuatu yang diperlukan dengan
memperhatikan kerabat keluarga yang ditinggalkan.
Dalam penggunaannya, kata wasiat berarti: berpesan, menetapkan,
memerintah (QS Al-An’am, [6]:151, 152, 153; Al-Nisa’ [4]:131), mewajibkan (QS
Al-‘Ankabut [29]:8, Luqman [31]:14, Al-Syura [42]:1 3, Al-Ahqaf [46]:15),
dan mensyariatkan (Al-Nisa’ [4]:11).2 Kata wasiat berasal dari washaya yang artinya
orang yang berwasiat menghubungkan harta bendanya waktu hidup dengan sesudah
mati. Menurut Taqiyuddin artinya pembelanjaan harta dengan khusus sesudah mati.
Menurut Zainuddin Ali, wasiat ialah penyerahan hak atas harta tertentu dari
seseorang kepada orang lain secara sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan
hingga pemilik harta meninggal dunia.3
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf F, wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia.5 Dalam buku Hukum Kewarisan Islam sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, wasiat adalah pesan terakhir dari
seseorang yang medekati kematianya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap hasrat peninggalannya atau pesan lain
di luar harta peninggalan.
Imam Abu Hanifah yang dikutib oleh Idris Ramulyo, mendefisinikan wasiat
sebagai pemberian hak memiliki secara tabarru’ (sukarela) yang pelaksanaanya
ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian dari orang yang memberikan, baik
sesuatu itu berupa barang atau manfaat.

1
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm.154.
2
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013, hlm. 353.
3
Zainuddin. Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.
140.

4
Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat merupakan suatu perikatan yang
mengharuskan penerima wasiat memperoleh hak 1/3 harta peninggal si pewaris
sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta tersebut kepada si
penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat.4
Imam Syafi’i mengartikan wasiat sebagai amal sedekah dengan suatu hak yang
disandarkan kepada keadaan setelah mati, baik cara menyandarkan itu dengan
perkataan atau tidak. Imam Hambali menjelaskan bahwa wasiat adalah menyuruh
orang lain agar melakukan daya upaya setelah orang yang berwasiat meninggal
dunia.5
Dasar hukum wasiat dapat kita lihat di dalam Al-Qur’an surah Al- Baqarah
ayat 180 dan Surah Al-Maidah ayat 106.
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa”.(Q.S Al- Baqarah: 180)
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa ma'ruf ialah adil dan baik. Wasiat
itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu, ayat
ini dinasakhkan dengan ayat mewaris. Berdasarkan keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa wasiat merupakan syari’at Islam yang mempunyai fungsi bagi
manusia, sehingga tak ada seorang ulama atau orang Islam yang menentang dengan
adanya wasiat, bahkan perbuatan ini banyak dilakukan oleh umat Islam masa lalu.
Wasiat disamping bersifat sosial, juga bersifat ibadah. Agar wasiat dapat
terlaksana dengan baik, sesuai dengan hukum Islam, maka harus terpenuhinya syarat
dan rukunnya. Ibnu Rusyd menyatakan, rukun wasiat ada 4, yaitu pemberi wasiat,
penerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan siqhat. Sedangkan menurut
Muhammad Jawad muqhniyah, rukun wasiat ada 4 yaitu redaksi wasiat, pemberi
wasiat, penerima wasiat, dan barang yang diwasiatkan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam seseorang yang akan berwasiat dijelaskan
pada pasal 194 yang berbunyi:
1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun. Berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga.
2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.16 Dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 194 di atas, terlihat sangat jelas bahwa
seseorang yang akan melakukan wasiat yang mempunyai kekuatan
hukum yang kuat di Indonesia harus berumur sekurang-kurangnya 21
tahun, apabila seseorang yang melakukan wasiat yang belum cakap umur

4
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan HukumKewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 132.
5
Ibid.

5
menurut Kompilasi Hukum Islam maka wasiatnya batal.
Waris
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris
adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan
setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan
disebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah
memiliki bagian bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman Allah berikut
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu-bapak dan kerabatnya.
Dab bagi Wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan Ibu-Bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Kata waris dalam berbagai bentuk makna dapat ditemukan dalam dalam al-
Qur’an, yang antara lain:
 Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS/ an-Naml, 27:16)
 Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. Az-
Zumar, 39:74)
 Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. Al-
Maryam, 19:16)
Penjelasan di atas merupakan sedikit dari gambaran bagaimana hukum
pembagian harta warisan yang terjadi di Indonesia. Pada makalah kali ini saya akan
mengangkat tema tentang “Hukum Wasiat dan Waris di Syiria”

1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian hukum wasiat dan waris
2. Mahasiswa dapat memahami rukun serta syarat wasiat dan warisan dalam islam
3. Mahasiswa dapat mengetahui hukum wasiat dan waris di Syiria

1.3 Permasalahan
1. Apa pengertian hukum wasiat dan waris?
2. Apa rukun dan syarat wasiat dan waris dalam islam?
3. Bagaimanakah hukum wasiat dan waris di negara Syiria?

6
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian, Hukum dan Dasar Hukum Wasiat


Wasiat (Arab: al-wasiyyah) secara etimologis berasal dari kata washa yang
berarti menyampaikan, dan bersambung. Dalam Alquran, kata wasiat yang seakar
dengan wasiyyah memiliki beberapa arti di antaranya berarti menetapkan,
sebagaimana terdapat dalam ayat; ‫ شهداء كنتم ام‬memerintahkan, dalam ayat ‫هلال ا صاكم‬
‫ يه بوالد ووصيااالنسان‬, ‫ و اذا‬, kelqyapi‖arial, dalam ayat ‫ هلال من وصية‬. Kata wasiat
juga semakna dengan iqha‖, asal kata dari awsha, yaitu pesan atau janji pada orang
lain. Secara terminologis, wasiat adalah pesan atau janji sesorang kepada orang lain
untuk melakukan sesuatu pebuatan baik ketika seseorang berwasiat masih hidup
maupun setelah wafat).6

Wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari
pewaris yang telah berumur sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, berakal
sehat dan tanpa ada paksaan kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewasiat meninggal dunia.7

Dalam hukum suni, pemberi wasiat tidak boleh menggunakan warisan untuk
menguntungkan orang-orang yang termasuk dalam pola tanpa wasiat, terani
dajak hsisk qyi‖ah haj ini dibolehkan, dengan alasan untuk menghindari tidak
adanya harta menjelang kematian seseorang selama sakit ajal (marad al- maut),
tidak boleh melepaskan hartanya.Adapun wasiat mempunyai dasar hukum yang
kuat dalam qyapi‖ar Islam. Dalil yang paling pokok tentang wasiat adalah ayat dalam
QS. al-Baqarah (2): 180 seperti yang telah dipaparkan di pendahuluan.

Para ulama sepakat bahwa lafal kutiba dalam ayat tersebut pada dasarnya
menyatakan wajib, namun arti tersebut tidak dipegangi karena ada beberapa
qarinah yaitu:

 Ayat-ayat tentang kewarisan telah memberikan hak (saham)


tertentu kepada orang tua dan anggota kerabat lainnya;
 Hadis yang menyatakan tidak boleh berwasiat kepada ahli waris;
 Kenyataan sejarah bahwa Rasulullah saw. dan kebanyakan
sahabat tidak melakukan wasiat untuk anggota keluarganya.

Berdasarkan qarinah-qarinah ini, jumhur ulama menetapkan bahwa hukum


wasiat kepada kerabat yang tidak mewarisi hanyalah sunah. Namun demikian,
kewajiban wasiat tetap ada terhadap kewajiban-kewajiban yang belum
6
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol III (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 250; Ḥasan Aḥmad
al-Khaṭīb, al-Fiqh al-Muqāran (Mesir: Dār al-Taklīf, 1957), h. 56- 74.
7
Ibid.H.257

7
ditunaikan seperti hutang yang tidak mempunyai bukti, zakat yang belum
dikeluarkan atau kafarat yang belum dibayar. Kewajiban- kewajiban ini
bersifat ra‖abbsdi dan bukan oada‖i.

Reinterpretasi QS. 4:12 yang diusulkan juga mendorong untuk


memperhatikan kembali hubungan antara QS. 2:180 dan 2:240 (ayat-ayat wasiat)
dengan QS. 4:11-12 (ayat-ayat warisan).8

Ada alasan signifikan mengapa muncul perdebatan di kalangan pembaca


Alquran tentang cara yang tepat dalam membaca QS.(2):12, dan ini dapat
dipahami bahwa perdebatan itu melibatkan dua kelompok. Ia berkeyakinan
bahwa pembacaan alternatif tersebut mencerminkan makna asli kedua ayat itu
didasarkan pada tiga alasan utama:

Pertama, teks consonantal (teks gundul) Alquran sendiri, argumen-


argumennya kebanyakan adalah argumen gramatis dan linguistis. Pembacaan
model yang lebih sederhana, pembacaan yang lebih tidak dipaksakan atas QS. an-
Nisa (4):12 daripada pembacaan tradisional.

Kedua, adanya hadis-hadis tandingan yang dilupakan; argumen-argumennya


adalah argumen historis. Anekdot tadi mengindikasikan bahwa selama abad
pertama pascawafatnya Nabi Muhammad, diskusi tentang QS. An-Niqa‖ (4):12
dan 176 sangat lebih terbuka daripada tahun-tahun sesudahnya.

Ketiga, kontrol yang dilakukan oleh para sarjana Muslim terhadap cara
membaca Alquran yang tepat. Setelah interpretasi tradisional atas QS.4;12 dan
QS.4:176 inilah yang diabaikan, dan akhirnya dilupakan.

2.2 Rukun, Syarat dan Batasan Wasiat


Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menentukan rukun wasiat.
Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya satu, yaitu ijab, karena
menurut mereka, wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat,
sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu tidak bersifat mengikat. Selain
itu juga dibutuhkan Kabul, menurut salah satu tokoh madzhab Hanafi Ibnu Abidin (w.
1252 H).
Jumhur ulama fikih, menyatakan rukun wasiat terdiri atas: (1) al-musi (orang
yang berwasiat ), (2) al-musa lah (yang menerima wasiat), (3) al-musa bih (harta
yang diwasiatkan), (4) siqah (ijab kabul).9
8
David S. Powers, Studies in al-Qsp‖al ald Hadirh: The Fmpkariml mf rhe Islamic Law of Inheritance, terj.
Arif Maftuhin (cet. ke-1; Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 63.
9
Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad, Kifāyah al-Akhyār, terj. Mshakad Rifa‖i, dii.
(Sekapalg: Tmha Psrpa, 1978), h. 264. Baldilgial delgal Al-Mahāmiy Subḥiy Mahmasānī, Al-Mabādi‖
al- Syap‖iyyah wa aj-Qānūniyyah fī al-Hajr wa an-Nafaqāt wa al-Mawāris wa al-Waṣiyyah (Beirut: Dār
al-―Ilm al- Malāyin, 1967), h. 157-179

8
Sesuai dengan rukun wasiat yang dikemukakan di atas maka ulama fikih
menetapkan syarat-syarat wasiat, yaitu;
 al- Musi, syaratnya adalah
(a) Orang yang berwasiat itu cakap hukum atau baliq,
(b) Wasiat itu dilakukan secara sadar dan sukarela,
(c) Orang yang berwasiat itu tidak mempunyai hutang yang jumlahnya
sebanyajk harta yang akan ditinggalkannya;
 al- musa lah, syaratnya ditujukan pada pribadi atau lembaga, adalah
(a) Benar-benar ada,
(b) Identitasnya jelas,
(c) Orang atau lembaga yang cakap menerima hak/milik,
(d) Penerima wasiat itu bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, jika
wafatnya karena terbunuh,
(e) Penerima wasiat itu bukan kafir harbi,
(f) Wasiat itu tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam
atau sesuatu maksiat;
 al-musa bih, syarat harta yang di wasiatkan yakni:
(a) Yang di wasiatkan itu sesuatu yang bernilai dalam syarak bukan yang tidak
bersyarak, seperti minuman keras dan babi,
(b) Yang di wasiatkan itu sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa
materi atau manfaat,
(c) Yang di wasiatkan itu adalah milik al-musi, ketika berlangsung wasiat,
(d) Harta yang di wasiatkan itu tidak melebihi dari sepertiga harta al-musi:
dan
 ijab dan kabul, syarat yang berhubungan dengan siqah wasiat, ulama fikih
menetapkan bahwa ijab kabul yang diperlukan harusjelas dan harus sejalan.
Siqah ijab dan kabul yang digunakan untuk mengungkapkan wasiat itu bisa
disampaikan secara lisan, tulisan maupun isyarat yang dapat dipahami.
Adapun wasiat melalui isyarat yang dipahami, menurut ulama mazhab
Hanafi dan Hanbali hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu
atau tidak bisa menuli dan membaca baca. Aial rerani, sjaka kazhab Majiii dal
Syafi‖i berpendapat bahwa wasiat tetap sah walaupun melalui isyarat yang
dapat dipahami, meskipun orang yang berwasiat itu mampu berbicara dan mampu
untuk membaca dan menulis.10

10
Ibid.

9
Dalam hal orang yang bakal menerima wasiat itu orang lain, jumlah harta yang
boleh diwasiatkan hanya sepertiga dari harta si pewasiat setelah dikurangi
hutang-hutangnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari semua harta
yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedang Malik berpendapat bahwa
sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang
berkembang tetapi tidak diketahui.
Menurut Ibnu Hazm, tidak ada ketentuan tentang jumlah atau perbandingan
harta yang diwasiatkan, hal ini diserahkan kepada pertimbangan dan ketulusan
masing-masing, asal masih dalam batas sepertiga warisan (harta). Namun
demikian, ia memberi batas minimum tentang jumlah orang yang akan
menerimanya. Jika kerabat yang tidak mewarisi tersebut banyak, ia harus
berwasiat sekurang-kurangnya kepada tiga orang. Jika ia berwasiat kepada orang
yang bukan kerabat, dua pertiga dari wasiatnya tersebut harus dialihkan kepada
kerabat.11
Orang yang berwasiat itu adakalanya mempunyai ahli waris dan adakalanya
tidak mempunyai ahli waris. Bila mempunyai ahli waris, ia tidak boleh
mewasiatkan lebih dari sepertiga, seperti yang telah disebutkan. Apabila ia
mewasiatkan lebih dari sepertiga, wasiatnya tidak dilaksanakan kecuali atas izin
dari ahli waris dengan dua syarat sebagai berikut:
 Agar permintaan izin dari ahli waris itu dilaksanakan sesudah orang yang
berwasiat itu wafat, sebab sebelum ia wafat, orang yang memberi izin itu
belum mempunyai hak, sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Jika ahli
waris mengizinkan pada waktu orang yang berwasiat masih hidup, mungkin
mencabut kembali wasiatnya bilamana ia menginginkannyan. Dan jika ahli
waris memberikan izin setelah orang yang berwasiat itu wafat, wasiat itu
dapat dilaksanakan; dan
 Agar orang yang memberi izin itu mempunyai kompetensi yang sah, tidak
dibatasi karena kebodohan dan kelalaian, pada waktu memberikan izin. Jika
orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh
mewasiatkan lebih dari sepertiga.
Dengan demikian sudah jelas bahwa apabila pewasiat mewasiatkan hartanya
lebih dari sepertiga maka wasiat itu harus mendapatkan persetujuan ahli
warisnya, sebaliknya jika tidak ada persetujuan maka wasiat itu hanya berlaku
sepertiga saja.

2.3 Pengertian, Hukum dan Dasar Hukum Warisan

Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta
seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga
11
Ibid.Hlm 80.

10
dan masyarakat yang lebih berhak atau bisa diartikan sebagai hukum yang mengatur
pindahnya sesuatu dari seseorang pada seseorang yang lain baik berupa harta maupun
ilmu serta kehormatan. Ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah swt
tercantum dalam Al-qur,an diantaranya surat an-Nisa ayat 7,11,12 dengan adanya
hokum waris ini ditambah dengan aturan-aturan penjelasan pelaksanaannya dari
Rasullah saw, maka seluruh aspek pelaksanaannya ada aturan hukumnya. Dengan
demikian setiap orang Islam berkewajiban menaati seluruh aruran waris yang telah ada
pada al-Qur,an dan al-Hadist.12

Mengenai pengertian hukum waris, banyak dari para sarjana yang memberikan
pengertian mengenai hukum waris. Berikut ini adalah pendapat beberapa para sarjana
yang memberikan pengertian mengenai hukum waris. Vollmar berpendapat bahwa
“Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi
keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya”
(Vollmar, 1989:373). Pendapat ini hanya difokuskan kepada pemindahan harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya.

Pitlo berpendapat bahwa “hukum waris adalah kumpulan peraturan yang


mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga” (Pitlo,
1986:1).

“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak


pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan beberapa bagianya masing-masing”

Hukum waris adat merupakan waris adat yang meliputi norma-norma hukum yang
menetapkan harta kekayaan baik yang materil maupun yang immateril yang manakah
dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga
mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Kemudian apabila kita menguraikan
hukum waris adat, maka kita tidak terikat pada asal kata waris itu sendiri dari bahasa
arab ataupun hukum waris Islam, oleh karena masalah waris bagi bangsa indonesia
tidak berarti waris setelah seseorang pewaris wafat, melainkan terjadi pewarisan dalam
arti penunjukan atau penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup.

Demikian corak khas dari hukum waris bangsa yang selama ini berlaku, berbeda
dari hukum waris Islam atau hukum waris barat sebagaimana tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Akan tetapi, pluralistik keberagaman
sistem pembagian harta waris di indonesia tidak hanya muncul dari sistem keberagaman
suku bangsa melainkan disebabkan adanya adat istiadat yang ada di berbagai suku adat.
Oleh karena itu, sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam dan memiliki
12
Saifuddin Masykuri, “Ilmu Faraidl: Perbandingan 4 Madzhab” , (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 8.

11
corak sifat yang bervariasi tersendiri sesuai dengan kekeluargaan masyarakat adat
tersebut13

2.4 Rukun dan Syarat Waris dalam Islam

Rukun
Dalam kewarisan Islam, terdapat pokok-pokok dan ketentuan serta aturan yang
berkaitan dengan masalah pewarisan. Aturan tersebut apabila tidak dilaksanakan secara
benar, atau ada yang kurang maka pewarisan tidak akan sempurna dalam
pembagiannya. Adapun rukun dalam kewarisan Islam, yakni:
A. Pewaris (muwarrits)

Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.
Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya dengan
sempurna, dan ia tela benar-benar meninggal dunia. Kematian pewaris menurut para
ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yaitu mati haqiqy (sejati), mati hukmy
(berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan). Dalam Pasal 171
butir b Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa “Pewaris adalah orang yang pada
saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Dengan demikian,
pewaris baru dikatakan ada jika yang bersangkutan meninggal dunia dan memiliki harta
peninggalan serta ahli waris.

B. Ahli Waris (waarits)

Ahli waris dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 butir c adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi
ahli waris. Kelompok- kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
 Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek.
 Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari :
 duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

C. Harta Warisan (mauruts)

Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan antara harta warisan dan harta
13
Eko Budianto‚Hukum Waris Adat Osing Masyarakat Banyuwangi‛, dalam Jurnal
Hukum.unmuhjember.ac.id-vol-6-no-12-10/31 diakses pada tanggal 15 Maret 2014.

12
peninggalan. Pada pasal 171 butir d disebutkan bahwa harta peninggalan adalah harta
yang ditinggalkan pewaris baik berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-
haknya. Sementara yang dimaksud dengan harta waris sebagaimana yang dijelaskan
dalam pasal 171 butir e Kompilasi hukum Islam adalah harta bawaan ditambah bagian
dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat.

Syarat-syarat Kewarisan Islam


Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta
benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang ditinggalkannya.
Pengertian tersebut tidak sesekali bila orang yang bakal diganti kedudukannya masih
ada dan berkuasa penuh terhadap harta miliknya atau orang yang bakal menggantinya
tidak.berwujud disaat penggantian terjadi. Apalagi diantara keduanya terdapat hal-hal
yang menjadi sebuah penghalang.
Oleh karena karena itu pusaka mempusakai itu memerlukan syarat-syarat tertentu.
Seperti berikut:
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum, seperti
keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang). Kematian seorang
muwarits itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Mati haqiqy (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula
nyawa itu sudah berwujud padanya. Kematian ini bisa disaksikan oleh panca
indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian disebabkan
adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih
hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.
c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu kematian yang bukan haqiqi dan
bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat.

2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun seperti anak dalam
kandungan, Para ahli warits yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits,
baik mati haqiqy maupun mati taqdiry, maka berhak mewarisi harta
peninggalannya.

3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan,


Meskipun dua syarat warits mewarisi itu telah ada pada muwarits dan warrits,
namun salah seorang dari mereka tidak dapat mewariskan harta peninggalannya
kepada yang lain atau mewarisi harta peningalan dari yang lain, selama masih
terdapat salah satu dari empat macam penghalang yang dapat menjadikan
tidak mendapatkannya warisan, yakni: perbudakan, pembunuhan, perbedaan
agama, perbedaan negara.

13
BAB III
PEMBAHASAN

Hukum Wasiat dan Waris di Negara Syiria


Penduduk Muslim Syria terdiri atas mayoritas Sunni, perkiraan-perkiraan
yang diperoleh menempatkan penduduk Sunni tersebar diseluruh negeri secara
kasar mencapai angka 70%. Posisi Islam dalam masyarakat Syria telah berubah
secara mendasar pada masa-masa modern. Pada awal abad ke 19, kaum elit
politik dan social di kesultanan Usmaniah mempersatukan institusi-institusi,
simbol-simbol kaum ulama Islam.14

Pada paro kedua abad ke 20, kecenderungan sekuler mendominasi Syria,


dan gerakan-gerakan pemulihan kedudukan tertinggi Islam menjadi alasan
pembangkangan politik. Selama era Usmaniyah (1517-1918), para sultan
melegitimasi otoritas mereka dengan mengklaim menjalankan pemerintahan
sesuai dengan Islam.

Pada 1841 kesultanan usmani cenderung sekuler dan mendukung Eropa


sehingga Syria tidak lagi tunduk pada hukum Islam, sampai akhir perang dunia I
kesultanan Usmani hancur dan di Syria muncul nasionalisme Arab yang dipimpin
oleh Amir Faisal untuk mengusir kekuasaan asing terutama Prancis. Sehingga
semua penduduk Syria yang terdiri atas bermacam- macam agama bersatu.15

Pada saat kemerdekaan 1946-1963 politik di Syria mengalami serangkaian


kudeta militer, kabinet-kabinet yang berumur singkat, hubungan dengan Mesir
yang singkat, dan kekuatan politik yang dinamis yaitu munculnya partai sosialis
Arab dan partai komunis Syria.16

Selama dalam kekuasaan usmani, di Syria berlaku sistem peradilan dan


sistem hukum Usmani. Disamping itu berlaku juga code civil 1876 dan hukum
hak-hak keluarga 1917 (Law on Family Right). Setelah Usmani hancur, Syria
berada dalam kekuasaan bangsa Eropa (Perancis dan Inggris), sehingga secara
perlahan- lahan sistem hukum dan peradilan Syria menjadi sekuler dan hukum
Anglo Perancis telah memberi pengaruh yang besar terhadap hukum perdata dan
pidana. Meskipun demikian Hukum Islam (Islamic Personal Law) tetap dijaga
dan dipertahankan.

14
Esposito, The Oxford …, h. 156-159.
15
Ibid. ; Don Peretz, The Middle East Today (New York: Praeger, 1986), h.397-399.
16
M. Lapidus, Sejarah Sosial …, h. 179. Paprai Ba‖aṡ yang berkuasa di Syria dan Irak.

14
3.1 Peraturan dan Hukum Wasiat di Negara Syiria
Setelah merdeka Syiria mulai memperlakukan nasionalisasi dan reformasi
sistem hukum. Sejumlah UU diberlakukan baik dalam perdata tahun 1953 (UU
Status Personal), hukum pidana tahun 1950 dan hukum dagang tahun 1949.

Sejumlah pasal undang-undang 1953, secara signifikan diganti dengan UU


1975. Amandemen tersebut ditambah menjadi 22 pasal yang telah disetujui oleh
Parlemen Syria. Adapun tambahan pasal yang dimaksud, antara lain tentang
wasiat yang terdapat pada:

 Pasal 232 : tidak ada wasiat yang dibolehkan bagi keturunan kecuali hanya
pada golongan pertama, dimana golongan ini adalah golongan yang
terhalang mendapat harta warisan.17
 Pasal 238: (1) wasiat kepada bukan ahli waris seharusnya tidak boleh lebih
dari sepertiga harta peninggalan, setelah pembayaran hutang jika ada.
Meskipun tanpa persetujuan dari ahli waris. (2) Wasiat tidak boleh melebihi
batas maksimal dari sepertiga. (3) Yang didahulukan adalah pembayaran
hutang baru kemudian wasiat. (4) Wasiat untuk semua harta yang ada
dibolehkan jika memang tidak ada ahli waris yang lain.18
 Pasal 257 : Jika seorang meninggal, meninggalkan seorang putra dan punya
anak (cucu pewaris) maka cucu tersebut berhak mengambil bagian dari ayah
mereka dan memungkinkan mendapat sepertiga, asalkan sesuai dengan
kondisi sebagai berikut :
(a) Wasiat wajibah bagi cucu seharusnya sama seperti bagian dari bapaknya,
yang penting tidak lebih dari sepertiga harta yang lazim terjadi.
(b) Cucu seharusnya tidak diberikan harta melalui wasiat wajibah jika
mereka dapat mewarisi kekuasaan orang tuanya (ayahnya).
(c) Wasiat wajibah diberikan kepada cucu dan anak dari cucu satu orang
dengan sistem 2:1. 19

Dengan demikian dalam perundang-undangan Syria, cucu yang berhak


menerima wasiat wajib hanyalah melalui garis laki- laki. Jadi cucu melalui anak
perampuan tidak mendapat apa-apa. Dan jumlah harta yang diwasiatkan tidak lebih
dari sepertiga.

3.1 Peraturan dan Hukum Waris di Negara Syiria


Hukum kewarisan di Syiria mengalami perubahan diantara pembaharuan dalam
pemberian hak waris kepada cucu jika orang tuanya telah meninggal dunia. Dalam
konsep hukum waris Islam klasik, cucu sepenuhnya tidak mendapatkan hak waris, karena
kedudukannya yang lebih jauh. Namun, di beberapa Negara muslim, telah memberikan
hak waris kepada cucu jika orang tuanya yang seharusnya menjadi ahli waris telah
17
Ibid
18
Ibid
19
ibid

15
meninggal dunia. Hal ini dikenal dengan konsep wasiat wajibah. Selanjutnya mengenai
warisan kepada pasangan yang masih hidup. Dalam hukum waris Islam tradisional,
pasangan yang masih hidup hanya mendapatkan bagian sesuai dengan yang ditentukan
dalam al-Qur’an (furudhul muqaddarah). Dalam kasus jika ahli waris yang ada hanya
pasangan yang masih hidup, maka sisa harta warisan dikembalikan ke baitul mal atau
Negara. Adapun pasangan, hanya mendapatkan bagiannya sesuai dengaan furudhul
muqaddarahnya, yaitu suami setengah dan istri seperempat dari harta warisan.

Di Negara-negara muslim saat ini dalam hukum waris Islamnya, memberikan


seluruh harta warisan kepada pasangan yang masih hidup, dalam kasus jika hanya dia
satu-satunya ahli waris yang ada. Selain di Syiria hukum waris ini juga berlaku di Negara
Muslim lainnya, yakni di Mesir, Sudan, Tunisia, India dan Pakistan.

Dalam hal pembagian harta waris Syiria mengatur hal ini dalam Undang-undang
keluarganya. Dikatakan bahwasannya undang-undang Syiria/Suriah mengikuti undang-
undang keluarga Mesir, namun pada dasarnya dapat dikatakan memang syiria
mengadopsi undang-undang keluarga mesir secara subtansi, namun mengalami
perbedaan dalam draf-drafnya. Secara umum adopsi pandangan hukum dikaitkan dengan
Abu Yusuf dan disokong Muhammad al-Shaybani.

Dalam undang-undang Syiria dalam masalah warisan ini terbagi dalam delapan


bagian namun dari delapan bagian tersebut hanya dua bagian yang bisa dikatakan
membahas masalah harta warisan lebih mendalam. Dalam undang-undang waris Syiria
tidak dikatakan tentang status tuan dan budak (‘agnates by law/’asaba sababiyun). Yang
mana ini sangat berlawanan dengan apa yang ada di undang-undang keluarga mesir. Dari
sini dapat dikatakan bahwasanya Syiria mengatakan bahwasannya zaman perbudakan
tidak relevant lagi dengan Syiria.

Dalam pembagian warisan untuk saudara sekandung baik laki-laki maupun


perempuan Syria mengikuti aturan yang dibuat mesir yaitu: 

 Saudara-saudari seibu mendapat bagian 1/6 ketika sendirian dan 1/3 ketika
lebih dari seorang
 Antara saudara seibu dan saudari seibu dibagi sama rata
 Pada keadaan, jika harta warisan habis dibagi melalui furudl, saudara-
saudari seibu bersama-sama saudara kandung atau saudara-saudara
kandung, sendirian maupun bersama saudari kandung satu atau lebih,
berbagi bagian 1/3 sama rata.

Proses perhitungan ini diadopsi dari mahzab Syafii dan Maliki dan ini terdapat
dalam Hukum Mahzab Hanafi.Undang-undang keluarga Syiria membatasi kasus anak
yang belum lahir untuk menjadi ahli waris atau bisa dikatakan belum pantas untuk
menjadi ahli waris, ini berbeda dengan apa yang ditetapkan Mesir yang mengatakan
bahwasannya anak yang belum lahir akan menjadi pewaris.

16
BAB IV
PENUTUP

Negara Syiria, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, telah


mengadakan pembaruan hukum keluarga yang masih berdasar pada citra Islam,
walaupun negara tersebut telah dipengaruhi dengan berbagai sistem hukum, baik
hukum Barat maupun hukum Adat yang hidup dalam masyarakat.
Dalam undang-undang Syiria dalam masalah warisan ini terbagi menjadi
delapan bagian namun dari delapan bagian tersebut hanya dua bagian yang bisa
dikatakan membahas masalah warisan dan wasiat lebih mendalam.
Dalam perundang-undangan Syria, cucu yang berhak menerima wasiat
wajib hanyalah melalui garis laki- laki. Jadi cucu melalui anak perampuan tidak
mendapat apa-apa. Dan jumlah harta yang diwasiatkan tidak lebih dari sepertiga.

17
DAFTAR PUSAKA

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm.154.

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013,
hlm. 353.

Zainuddin. Ali, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 140.

Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan HukumKewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 132.

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol III (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 250; Ḥasan Aḥmad al-Khaṭīb, al-Fiqh al-
Muqāran (Mesir: Dār al-Taklīf, 1957), h. 56- 74.

David S. Powers, Studies in al-Qsp‖al ald Hadirh: The Fmpkariml mf rhe Islamic Law of Inheritance,
terj. Arif Maftuhin (cet. ke-1; Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 63.
Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad, Kifāyah al-Akhyār, terj. Mshakad Rifa‖i, dii. (Sekapalg:
Tmha Psrpa, 1978), h. 264. Baldilgial delgal Al-Mahāmiy Subḥiy Mahmasānī, Al-Mabādi‖ al- Syap‖iyyah wa
aj-Qānūniyyah fī al-Hajr wa an-Nafaqāt wa al-Mawāris wa al-Waṣiyyah (Beirut: Dār al-―Ilm al- Malāyin,
1967), h. 157-179

Esposito, The Oxford …, h. 156-159.

Don Peretz, The Middle East Today (New York: Praeger, 1986), h.397-399.

M. Lapidus, Sejarah Sosial …, h. 179. Paprai Ba‖aṡ yang berkuasa di Syria dan Irak.

Saifuddin Masykuri, “Ilmu Faraidl: Perbandingan 4 Madzhab” , (Lirboyo: Santri Salaf Press, 2016), 8.

Eko Budianto‚Hukum Waris Adat Osing Masyarakat Banyuwangi‛, dalam Jurnal


Hukum.unmuhjember.ac.id-vol-6-no-12-10/31 diakses pada tanggal 15 Maret 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai