Anda di halaman 1dari 11

Makalah

WAKILAH ORANG BISA DALAM AKAD NIKAH


DI
S
U
S
U
N
OLEH :

MAISARAH : 18110077

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-AZIZIYAH


SAMALANGA BIREUEN ACEH
1442 H/ 2021 M
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha

Sempurna, pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-Nya

penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan

yaitu “Konsep Islam Tentang Kehidupan”. Dengan harapan semoga makalah ini

bisa berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.

Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

turut berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas ini, karena penulis sadar

sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi

dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –

Nya.

Akhirnya walaupun penulis telah berusaha dengan secermat mungkin, namun

sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput dari salah dan lupa. Untuk itu

penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga kita selalu berada dalam

lindungan-Nya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Pengertian Wakilah.......................................................................................3

B. Hukum Wakilah............................................................................................4

C. Hukum Wakilah Orang Bisu Saat Akad Nikah............................................5

BAB III PENUTUP.................................................................................................7

Kesimpulan...........................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (KHI) pasal 19

disebutkan “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

Selanjunya pasal 20 menyebutkan tentang dua macam wali nikah; pertama,

wali nasab yang terdiri dari empat kelompok yaitu laki-laki garis lurus keatas,

kerabat laki-laki ayah, anak paman laki-laki dari ayah, dan saudara kandung

laki-laki kakek dari ayah serta keturunannya. Kedua, wali hakim, mengenai

wewenang wali hakim yang dapat menikahkan hanya dalam beberapa

momen-momen tertentu, seperti terjadinya pertentangan di antara para wali,

wali nasab tidak ada, baik karena gaib atau karena mati atau karena

walinya ‘adhal/ enggan.1 Hal itu, sesuai dengan sabda Nabi yang artinya:

siapa saja perempuan yang menikah tanpa seizing walinya,. Maka


perniklahannya batal, dan jika suaminya telah mencampurinya, maka dia
(wanita) itu berhak mendapatkan mahar karena dia sudah menganggap halal
farajnya. Jika mereka (para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang
menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali baginya.2

Ada pendapat yang mengatakan bahwa fungsi wali nikah sebenarnya adalah

sebagai wakil dari perempuan, sebenarnya wali tersebut tidak diperlukan apabila

yang mengucapkan ikrar ijab adalah laki-laki. Namun dalam praktek selalu pihak

perempuan yang mengucapkan ijab (penawaran) sedangkan pengantin laki-laki

1
Anonim, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, dilengkapi KHI Di Indonesia (Surabaya:
Arkola, t.th), 185-186.
2
Muhammad bin Isma’il al-Kulani dan As-Shan’ani, Subulussalam, juz 3 (Bandung: Dahlan Press,
1059), 117-118. Selanjutnya ditulis As-Shan’ani.

1
mengucapkan ikrar qabul (penerimaan), karena pada dasarnya wanita itu pemalu

maka pengucapan ijab tersebut diwakilkan pada walinya, jadi wali di sini hanya

sekedar sebagai wakil karena yang paling berhak adalah perempuan tersebut.

Penting untuk diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak

perwaliannya itu kepada orang lain, meski orang tersebut tidak ternasuk dalam

daftar para wali.hal itu biasa dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta

tokoh ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang sah. Dan untuk itu

harus ada akad antara wali dengan orang yang diberi hak untuk mewakilinya.

Dibolehkannya seseorang mewakilkan hak perwaliannya juga diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 28 mengatur tentang kebolehan wali nikah untuk

mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29 juga memberi ruang kepada

calon mempelai pria dimana dalam keadaan tertentu dapat mewakilkan dirinya

kepada orang lain dengan syarat adanya surat kuasa dan pernyataan bahwa orang

yang diberi kuasa adalah mewakili dirinya.3

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Wakilah

2. Bagaimanakah Hukum Wakilah

3. Bagaimanakah Hukum Wakilah Orang Bisu Saat Akad Nikah

3
Dr. H. Umiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),74

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakilah

Kita sering mendengar kata taukil wali (Wali berwakil) saat pernikahan

karena dengan alasan Syar’i dan wali merasa kurang percaya diri yang akhirnya

mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan anaknya. Tentu hal ini

mengundang pertanyaan bagi masyarakat sehingga menimbulkan berbagai

penafsiran yang beragam, sampai muncul pertanyaan mengapa hal itu dilakukan

oleh wali nikah. Karena wali nikah adalah merupakan salah satu rukun dalam

pernikahan maka hal ini menjadi penting kedudukan wali. Untuk mengetahui

lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kata taukil wali Bil Kitabah ditijau secara

etimologi dan terminologi sebagai berikut; Kata taukil berbentuk masdar, berasal

dari kata wakkala-yuwakkilu- taukilan yang berarti penyerahan atau pelimpahan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia taukil atau pelimpahan kekuasaan adalah

bermakna proses, cara, perbuatan melimpahkan (memindahkan) hak wewenang.

Sedangkan kata al-wakalah atau al- wikalah adalah perwakilan. Yang

menurut bahasa berarti al-hifz, al-kifayah, ad-daman dan at- tafwid yang berarti

penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat.4 Dari segi makna secara

etimologi, baik taukil maupun wakalah tidak terdapat perbedaan. Karena

keduanya berasal dari satu kata yang sama, yaitu wakalah. Adapun pengertian

taukil atau wakalah menurut istilah syara‘ dalam perspektif berbagai madzhab

adalah sebagai berikut:. ‘Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah adalah

seseorang menempati diri orang lain dalam hal tasarruf (pengelolaan). ‘Ulama

4
Bisri, M. Adib, Munawir Abdul Fatah, Ahmad Warson Munawwir, dan A. Mustofa
Bisri. 1999. Kamus Al-Bisri: Indonesia-Arab, Arab-Indonesia. Pustaka Progressif. Hal.14

3
Malikiyah mengatakan, al-wakalah adalah seseorang menggantikan (menempati)

tempat orang lain dalam hak dan kewajiban, kemudian dia mengelola pada posisi

itu. ‘Ulama Hanabilah mengatakan, al-wakalah adalah permintaan ganti

seseorang yang memperbolehkan adanya tasarruf yang seimbang pada pihak lain,

yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah SWT dan hak-hak

manusia. Sedangkan menurut ‘Ulama Syafi’iyah al-wakalah berarti sesorang yang

menyerahkan urusannya kepada orang lain agar orang yang mewakilinya itu dapat

melaksanakan sesuatu urusan yang diserahkan kepadanya selama yang

menyerahkan masih hidup.5 Dari beberapa definisi berbagai ulama tersebut, dapat

disimpulkan bahwa al- wakalah adalah penyerahan urusan seseorang kepada

orang lain (wakilnya) untuk melaksanakan suatu urusan, kemudian wakil tersebut

menempati posisi yang mewakilkan (muwakkil) dalam hak dan kewajiban yang

kemudian berlaku selama muwakkil masih dalam keadaan hidup.

B. Hukum Wakilah

Wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang yang mampu dikerjakan

sendiri sebagian dari suatu tugas yang bias diganti, kepada orang lain, agar orang

itu mengerjakannya semasa hidupnya. 14


Wakalah adalah perwakilan pada

perkara-perkara yang boleh disikapi oleh wakil itu seperti yang mewakilkan pada

perkara-perkara yang boleh diwakilkan.6 Wakalah adalah menyerahkan pekerjaan

yang dikerjakan kepada orang lain agar dikerjakannya (wakil) sewaktu hidupnya

(yang berwakil).

5
Al-Juzairy, Abdurrahman. 2014. “Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah.” Kairo: Dar al-
Jauzy.hal.27
6

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001), 320

4
Hukum berwakil ini sunnah, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa,

haram kalau kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan

makruh kalau pekerjaan itu makruh.7 Firman Allah SWT:

‫ا‬GGَ‫وا لَبِ ۡثن‬ْ ُ‫ال‬GGَ‫ل ِّم ۡنهُمۡ َكمۡ لَبِ ۡثتُمۡۖ ق‬ٞ ‫ال قَٓاِئ‬G
َ Gَ‫وا بَ ۡينَهُمۡۚ ق‬ َ ِ‫ ٰ َذل‬G‫َو َك‬
ْ ُ‫ٓا َءل‬G ‫ك بَ َع ۡث ٰنَهُمۡ لِيَتَ َس‬
ۡ Gَ‫ا لَبِ ۡثتُمۡ ف‬GG‫وا َربُّ ُكمۡ َأ ۡعلَ ُم بِ َم‬
‫ ِذ ِٓۦه‬Gَ‫ َو ِرقِ ُكمۡ ٰه‬Gِ‫ َد ُكم ب‬G‫ٱب َعثُ ٓو ْا َأ َح‬G ْ ُ‫ض يَ ۡو ٖ ۚم قَال‬ َ ‫يَ ۡو ًما َأ ۡو بَ ۡع‬
ۡ َّ‫ هُ َو ۡليَتَلَط‬G‫ر ۡز ٖق ِّم ۡن‬G ۡ ۡ ۡ ۡ
‫ف َواَل‬ ِ Gِ‫أتِ ُكم ب‬GGَ‫ ا فَلي‬G‫ٓا َأ ۡز َك ٰى طَ َع ٗام‬GGَ‫ر َأيُّه‬Gۡ Gُ‫ ِة فَليَنظ‬Gَ‫ِإلَى ٱل َم ِدين‬
١٩ ‫ي ُۡش ِع َر َّن بِ ُكمۡ َأ َحدًا‬
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya
di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah
berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini)
sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih
mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang
di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan
hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.(Q.S Al-Kahfi:19)8

C. Hukum Wakilah Orang Bisu Saat Akad Nikah

Di antara rukun nikah adalah adanya ijab kabul. Ijab qobul merupakan bacaan

akad nikah dan merupakan salah satu rukun nikah yang wajib dilakukan untuk

semua pasangan yang akan menjadi suami isteri secara sah. Ijab adalah perkataan

wali pengantin wanita kepada pengantin pria, sedangkan kabul adalah ucapan

pengantin pria. Salah satu syarat dari akad nikah adalah ijab qobul yang harus

dilakukan dengan perkataan yang jelas. Lalu bagimana denga orang bisu yang

akan melakukan ijab qobul. Cara ijab qobul orang bisu dalam akad nikah bisa

dilakukan dengan isyarat, dengan syarat bila isyaratnya sharih (jelas), jika tidak

sharih, dalam arti isyaratnya menimbulkan kinayah atau ia bisa menulis maka bila

ia masih bisa mewakilkan ia harus mewakilkan dan jika tidak bisa mewakilkan
7
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001), 320
8
Depag RI, Al-Qur'an Dan Terjemahnya( Jakarta,2002)

5
maka ijab qabulnya boleh dilakukan dengan isyarat kinayah atau dengan tulisan

karena darurat.9 Tidak hanya itu, ternyata jika salah satu pihaknya tidak

memahami isyaratnya, ijab qabulnya tidak sah, sebab yang melakukan ijab qobul

hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja. Ada beberapa hal yang

wajib Anda ketahui, isyarat orang bisu dan tulisannya seperti penjelasan dengan

lisannya berbeda dengan orang yang terikan lisannya. Imam As-Syafi’i berkata

“Isyarat dan tulisannya sama dalam berbagai masalah-masalah hukum seperti

dalam hal wasiat, nikah, talak, jual beli, qishas dan sebagainya.10

9
Alhusaini, Taqiyuddin Abubakar. 1984. Kifayatul akhyar: Kitab hukum Islam dilengkapi
dalil Quran dan Hadis. PT Bina Ilmu.hal.111
10

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Darul Fikr, 2007), h. 177.

6
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum berwakil ini sunnah, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa,

haram kalau kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan

makruh kalau pekerjaan itu makruh, Cara ijab qobul orang bisu dalam akad nikah

bisa dilakukan dengan isyarat, dengan syarat bila isyaratnya sharih (jelas), jika

tidak sharih, dalam arti isyaratnya menimbulkan kinayah atau ia bisa menulis

maka bila ia masih bisa mewakilkan ia harus mewakilkan dan jika tidak bisa

mewakilkan maka ijab qabulnya boleh dilakukan dengan isyarat kinayah atau

dengan tulisan karena darurat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, dilengkapi KHI Di


Indonesia (Surabaya: Arkola, t.th),

Muhammad bin Isma’il al-Kulani dan As-Shan’ani, Subulussalam, juz 3


(Bandung: Dahlan Press, 1059), 117-118. Selanjutnya ditulis As-Shan’ani.

Dr. H. Umiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:


Kencana, 2006),

Bisri, M. Adib, Munawir Abdul Fatah, Ahmad Warson Munawwir, dan A.


Mustofa Bisri. 1999. Kamus Al-Bisri: Indonesia-Arab, Arab-Indonesia. Pustaka
Progressif.

Al-Juzairy, Abdurrahman. 2014. “Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah.”


Kairo: Dar al-Jauzy.

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ( Bandung: Sinar Baru Algesindo.2001), 320

Depag RI, Al-Qur'an Dan Terjemahnya( Jakarta,2002)

Alhusaini, Taqiyuddin Abubakar. 1984. Kifayatul akhyar: Kitab hukum


Islam dilengkapi dalil Quran dan Hadis. PT Bina Ilmu.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Darul Fikr,


2007),

Anda mungkin juga menyukai