Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“WALI NIKAH”

DiajukanUntuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Ahwal Al-Syakhisyyah


Dosen Pengampu: Supriyanto Agus Jibu, S.H., M.H

Disusun Oleh:
Nirmala Ramadan Kio (211012051)

Ikbal Isman (211012)

Ramlin Harun (211012)

JURUSAN PENDIDKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan shalawat serta salam kami haturkan kepada
baginda Rasulullah SAW atas segala limpahan rahmat dan kuasanya sehingga kita dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang bentuk dan isinya sangat sederhana. Makalah
ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Al-Ahwal Al-Syakhisyyah
dengan judul “Wali Nikah”
Sehubungan dengan itu kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu mohoh kiranya pembaca dapat memakluminya, dengan
segala maaf kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca yang menyimak makalah ini
dengan baik dan memberikan kritik serta saran yang sifatnya membangun guna
kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo, 21 November 2023

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................5
A. Pengertian Wali Nikah...............................................................................................................5
B. Syarat-syarat Wali Nikah............................................................................................................6
C. Macam-macam Wali Nikah........................................................................................................7
D. Kedudukan Wali Nikah...............................................................................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu syarat dalam akad nikah adalah terdapatnya wali, wali adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 1
Wali nikah merupakan orang yang mempunyai wewenang untuk melangsungkan akad
nikah kepada perempuan yang berada dibawah perwaliannya. Persoalan wali nikah
menurut syari'at Islam adalah termasuk rukun dalam perkawinan.
Dalam melangsungkan perkawinan diharuskan mempunyai wali nikah bagi
calon mempelai perempuan karena pada dasarnya tidak dibenarkan atau tidak
dianggap sah menurut hukum jika suatu perkawinan dilangsungkan tanpa ada wali
nikah bagi pihak perempuan.2 Wali dalam perkawinan adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad perkawinan (akad nikah).
Maka wali dalam konteks perkawinan adalah orang yang mempunyai kuasa untuk
melakukan akad perkawinan terhadap mereka yang ada dibawah kuasanya yang telah
di tetapkan oleh syara.
Keberadaan seorang wali nikah dalam akad perkawinan adalah sesuatu yang
mesti ada dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama. Dalam
akad perkawinan itu sendiri, wali nikah dapat berkedudukan sebagai orang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Dalam Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa, Wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau
adhal atau enggan.
Wali hakim adalah Kepala Negara yang beragama Islam yang mempunyai
kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk menikahkan
seseorang yang walinya tidak ada. Dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim dijelaskan bahwa
“Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang ditunjuk
oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita
yang tidak mempunyai wali.3

1
Fikih Sosial, K H Sahal, and Mahfudz Ma, “PROBLEMATIKA HAK IJBAR WALI NIKAH PERSPEKTIF” 2 (2023): 135–
50.
2
Jurnal Khazanah Keagamaan, “Jurnal Khazanah Keagamaan” 11, no. 1 (2023).
3
https://etheses.uinsgd.ac.id/24768/4/4_bab1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali Nikah
Kata "wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu waliy dengan
bentuk jamak auliya’ yang berarti penolong yang merupakan lawan dari kata adhuw
(musuh). Bentuk mashdar-nya adalah al-walayah/al-wilayati dengan makna al-
nushrah (pertolongan), selain itu juga bermakna kerabat. Dan di antara al-asma’ al-
husna adalah al-Waliy yang berarti pemilik sesuatu secara keseluruhannya dan yang
berhak mengatur segala sesuatunya.4
Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang
menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim,
sebelum anak itu dewasa, pihak yang mewakili pengantin perempuan pada waktu
menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria)5
Dalam istilah fiqih pengertian wali memang banyak diapakai dengan berbagai
macam makna dan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya ialah:
 Kata wali ini bisa digunakan sebagai kata pemimpin suatu negara atau wilayah
kepemerintahan.
 Wali juga sering disebut dengan kata Waliyullah, maksudnya adalah orang
yang dekat kepada Allah.
 Wali juga sering disebut sebagai orang yang bertanggung jawab dari semua
hal.
 Dan juga wali ini sering disebut sebagai orang yang dibebankan oleh
kewajiban, seperti dalam mengelola harta.

Wali juga dapat diartikan ialah orang yang telah mengakadkan pernikahan itu
menjadi sah. Wali dalam suatu pernikahan juga sering disebut suatu hukum yang
harus ada atau harus dipenuhi dari calon mempelai wanita yang akan melakukan
pernikahanya atau yang memberi izin bagi calon wanita tersebut.6
Wali dalam perkawinan adalah seseorang yangbertindak atas nama mempelai
perempuan dalam sebuahakad nikah, karena di dalam akad nikah dilakukan oleh
duapihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelailaki-laki sendiri,
sedangkan dari pihak perempuan diwakilioleh walinya. Orang yang melaksanakan
akad nikah inidinamakan wali. 'Abdurrahman Aljaziri di dalam karyanyaAl-fiqh 'ala
Madhahibil Ar-ba'ah mendefinisikan walidalam pernikahan adalah yang padanya
terletak sahnyasebuah akad nikah maka tidak sah tanpa adanya wali.
Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus atau mengatur perempuan
yang di bawah perlindungannya. Orang yang berhak mengawinkan seorang
perempuan adalah wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Apabila
wali tidak bisa hadir atau karena sebab tertentu tidak bisa hadir maka hak
kewaliannya jatuh kepada orang lain. Wali merupakan salah satu rukun nikah, jika
suatu pernikahan tanpa adanya seorang wali niscaya pernikahan tersebut tidak akan
sah.7

4
Muhammad Lutfi Syarifuddin, “TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH,” n.d.
5
Studi Di et al., “Tinjauan Fiqh Kontemporer Tentang Kewenangan Ayah Biologis Sebagai Wali Nikah Terhadap
Anak Luar Nikah,” 2022.
6
2021 : 41) Nova Berliana, “Landasan Teori ‫اديدج‬,” Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2021, 17–39.
7
Nova Berliana.
B. Syarat-syarat Wali Nikah
Orang yang akan menjadi wali nikah harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan. Apabila wali tersebut tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
oleh hakim, maka perwaliannya tidak sah. Oleh karena itu persyaratan menjadi wali
harus dipenuhi, diantaranya yaitu:
1. Islam.
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Adil8

Di samping itu, para ulama telah mengemukakan banyak persyaratan-


persyaratan, di antaranya:
1) Muslim
Disyaratkan sebagai wali adalah seorang muslim apabila yang menikah
itu orang muslim juga. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28:

‫اَل َيَّتِخ ِذ اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن اْلٰك ِفِر ْيَن َاْو ِلَيۤا َء ِم ْن ُد ْو ِن اْلُم ْؤ ِمِنْيَۚن َو َم ْن َّيْفَع ْل ٰذ ِل َك َفَلْيَس ِم َن‬
‫ِهّٰللا ِفْي َش ْي ٍء ِآاَّل َاْن َتَّتُقْو ا ِم ْنُهْم ُتٰق ىًةۗ َو ُيَح ِّذ ُر ُك ُم ُهّٰللا َنْفَس ٗه ۗ َو ِاَلى ِهّٰللا اْلَم ِص ْيُر‬
artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada
Allah kembali (mu).”
Ayat di atas sebagai landasan bahwa umat Islam jika ingin
menikahatau menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan seorang
muslim. Dengandemikian dapat dikatakan bahwa beragama Islam merupakan
syarat yang harus dipenuhi oleh wali nikah.
Mukallaf
2) Mukallaf
Seseorang dapat disebut sebagai mukallaf jika dia memiliki akal yang
sempurna dan telah mencapai baligh. Dalam hal ini, hukum syara’
menghubungkan kemampuan akal yang penuh dengan tahap kedewasaan
seseorang. Syarat kedua mukallaf adalah mencapai baligh, yang merupakan
tahap penting dalam perkembangan karakter seseorang dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa. Tanda-tanda baligh termasuk ejakulasi sperma
pada pria dan menstruasi pada wanita.
3) Adil
Adil yang dimaksud adalah berbuat adil, dan tidak fasik. Imam asy-
Syafi’i berpendapat bahwa hanya orang muslim yang adil yang layak
menjadi wali, sehingga orang muslim yang fasiq tidak boleh menjabat
sebagai wali. Pendapat ini juga didukung oleh mazhab Hambali
Berbeda dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki yang
menganggap bahwa adil bukanlah syarat dalam perwalian. Kedua mazhab
tersebut berpendapat bahwa baik wali yang adil maupun yang fasiq tetap
dapat menikahkan anak atau saudaranya, karena fasiq tidak menghalangi
kasih sayang dan upaya pemeliharaan kebaikan bagi keluarga. Sejak zaman
8
Keagamaan, “Jurnal Khazanah Keagamaan.”
Rasulullah pun, tidak ditemukan adanya larangan bagi wali untuk
menikahkan anaknya karena alasan fasiq
4) Bearakal
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali nikah haruslah
orang yang tanggung jawab, karena orang yang menjadi wali harus orang
yang berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya atau gila berarti tidak
memenuhi yarat untuk menjadi wali.
5) Laki-laki
Laki-laki merupakan syarat perwalian, demikian merupakan pendapat
dari seluruh ulama karena dianggap lebih sempurna, sedangkan perempuan
dianggapmemiliki kekurangan. Perempuan dianggap tidak sanggupmewakili
dirinya sendiri apalagi orang lain.Pernyataan tersebut memberikan pengertian
bahwa wali nikah haruslah laki-laki dan tidak boleh perempuan.9

C. Macam-macam Wali Nikah


Wali nikah ada empat macam, yaitu diantaranya Wali Nasab, Wali Hakim,
Wali Tahkim, Wali Maula.
1) Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang
akan melangsungkan pernikahan. Wali nasab dibagi dua yaitu wali dekat dan wali
jauh. Wali dekat adalah ayah sedangkan wali jauh adalah kakak atau adik ayah.
Jika kakak dan adik ayah menjadi wali dekat, yang terus ke bawah menjadi wali
jauh (Saebani 2018, 248). Jumhur ulama yang terdiri dari Syafiiyah, Hanabilah,
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah membagi wali itu kepada dua kelompok yaitu:
a. Wali dekat atau wali qarib adalah ayah dan kalau tidak ada ayah pindah
kepadakakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap
anak perempuanyang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan
anaknya yang masih berada dalamusia muda tanpa minta persetujuan dari
anaknya tersebut. Wali dalam kedudukanseperti ini disebut wali mujbir.
Ketidakharusan minta pendapat dari anaknya yangmasih usia muda itu
adalah karena orang yang masih muda tidak mempunyaikecakapan untuk
memberikan persetujuan. Ulama Hanabilah menempatkan orangyang
diberi wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan
sebagaiayah.
b. Wali jauh atau wali ab’ad adalah wali dalam garis kerabat selain dari ayah
dan kakek, juga selain dari anak atau cucu, karena anak menurut ulama
jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibuya dari segi dia adalah anak,
bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan
ibunya sebagai wali hakim.10
2) Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, atau orang yang diangkat
oleh pemeritah untuk bertindak sebagai wali nikah dalam suatu pernikahan.

Rasulullah SAW bersabda:

9
Rini, D. T., &Ulinnajah, A. (2023). PANDANGAN QS. AL-BAQARAH: 232 TENTANG WALI NIKAH DAN
RELEVANSINYA DI ERA KEKINIAN. NUSANTARA: JurnalIlmuPengetahuanSosial, 10(6), 3124-3135
10
Feby Sri Yelvita, “No Title ‫” הארץ‬,‫ הכי קשה לראות את מה שבאמת לנגד העינים‬XXIII, no. 8.5.2017 (2022): 2003–5.
Artinya: “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak
ada walinya” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).

Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah:


 Kepala pemerintahan
 Khalifah atau pemimpin, penguasa pemerintahan atau qadi nikah yang
diberi wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang
berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut di atas, maka wali hakim dapat
diangkat oleh orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau
orang-orang yang alim.

3) Wali Tahkim
Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri. Orang
yang bisa diangkat sebagai wali tahkim adalah orang lain yang disegani,
terpandang, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan
luas,Islam, adil dan laki-laki. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya
dilaksanakan dengan wali hakim padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya,
maka pernikahan tersebut dilangsungkan dengan wali tahkim. Caranya ialah
kedua calon mempelai (calon suami dan calon isteri) mengangkat seorang yang
mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam
pernikahan mereka.
Wali tahkim terjadi apabila:
1. Wali nasab tidak ada
2. Wali nasab gaib atau berpergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada
wakilnya disitu, dan
3. Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk.

4) Wali Maula
Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya
apabila perempuan itu rela menerimanya. Maksudnya perempuan disini terutama
adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.

Wali dalam pernikahan adalah orang yang bertanggungjawab ataspernikahan


yang dilaksanakan di atas perwaliannya, sehingga pernikahantidak dianggap sah
apabila tidak terdapat wali yang menyerahkanmempelai perempuan kepada
mempelai laki-laki. Berdasarkan haltersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut
hukum Islam, ijabadalahwewenang wali semata-mata. Karena peranan wali yang
mempunyai artipenting akan tetap dipertahankan, apabila wanita itu tidak
mempunyaiwali nasab bisa digantikan kedudukannya oleh wali hakim.11

D. Kedudukan Wali Nikah


Dalam pernikahan, wali nikah merupakan rukun yang menentukan di mana
wali adalah orang yang melakukan ijab qabul dalam akad pernikahan. Mengenai
kedudukan wali yang merupakan keabsahan dalam suatu pernikahan, imam madzhab
berbeda pendapat. Imam Malik mengatakan “tiada nikah tanpa wali dan wali menjadi
syarat sahnya”. Imam Syafi‟I pun berkata demikian.

11
Rizka Verawati, “Wali Nikah Dalam Perspektif Hadits,” Skripsi, 2020, 18.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, yaitu apabila seorang wanita
melakukannikahnya tanpa wali, sedangkan mempelai pria sebanding (kufu‟),
makadiperbolehkan. Imam Abu Daud membedakan antara gadis dan janda, yaitu
bagianak gadis diperlukan adanya wali, sedangkan pada janda wali nikah
tidakdisyaratkan.23 Juga bagi perempuan yang terhormat diperbolehkan
jugamewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya. Imam Malik
jugadalam hal ini menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya
untukmenikahkannya.
Dengan penjelasan tersebut di atas, maka masalah kedudukan wali dalam
pernikahan secara garis besar ada dua pendapat yaitu pendapat yang mensyaratkan
adanya wali dan pendapat yang tidak mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan.
Adapun yang menyebabkan terjadinya perbedaan di kalangan Imam madzhab
mengenai wali dalam pernikahan sebab dalam Al-Qur‟an tidak terdapat penjelasan
wali dalam nikah, sah dan tidaknya pernikahan tanpa wali, pun begitu juga dalam
hadits. Demikian dari perbedaan pendapat tersebut dapat disimpulkan dengan dua
pendapat saja merupakan masalah yang diperselisihkan antara madzhab Hanafi dan
madzhab Syafi‟I, masing-masing berpendapat tersebut adalah:
 Pendapat Abu Hanifah yaitu tidak mensyaratkan adanya wali.
 Pendapat Imam Syafi’i yaitu mensyaratkan adanya wali.12

12
Rohmat, “Kedudukan Wali Dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’Îyah, Hanafiyah, Dan Praktiknya Di
Indonesia,” Al-’Adalah X, no. 2 (2011): 165–78.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus atau mengatur


perempuan yang di bawah perlindungannya. Orang yang berhak mengawinkan
seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai
wali. Apabila wali tidak bisa hadir atau karena sebab tertentu tidak bisa hadir
maka hak kewaliannya jatuh kepada orang lain. Wali merupakan salah satu
rukun nikah, jika suatu pernikahan tanpa adanya seorang wali niscaya
pernikahan tersebut tidak akan sah.
Wali dalam pernikahan adalah orang yang bertanggungjawab
ataspernikahan yang dilaksanakan di atas perwaliannya, sehingga
pernikahantidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang
menyerahkanmempelai perempuan kepada mempelai laki-laki. Berdasarkan
haltersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut hukum Islam,
ijabadalahwewenang wali semata-mata. Karena peranan wali yang mempunyai
artipenting akan tetap dipertahankan, apabila wanita itu tidak mempunyaiwali
nasab bisa digantikan kedudukannya oleh wali hak.
DAFTAR PUSTAKA

Di, Studi, Kantor Urusan, Agama Kecamatan, Sukau Kabupaten, and Lampung Barat.
“Tinjauan Fiqh Kontemporer Tentang Kewenangan Ayah Biologis Sebagai Wali Nikah
Terhadap Anak Luar Nikah,” 2022.
Keagamaan, Jurnal Khazanah. “Jurnal Khazanah Keagamaan” 11, no. 1 (2023).
Nova Berliana, 2021 : 41). “Landasan Teori ‫اديدج‬.” Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2021, 17–39.
Rohmat. “Kedudukan Wali Dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’Îyah, Hanafiyah, Dan
Praktiknya Di Indonesia.” Al-’Adalah X, no. 2 (2011): 165–78.
Sosial, Fikih, K H Sahal, and Mahfudz Ma. “PROBLEMATIKA HAK IJBAR WALI
NIKAH PERSPEKTIF” 2 (2023): 135–50.
Syarifuddin, Muhammad Lutfi. “TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH,” n.d.
Verawati, Rizka. “Wali Nikah Dalam Perspektif Hadits.” Skripsi, 2020, 18.
Yelvita, Feby Sri. “No Title‫” הארץ‬.‫ הכי קשה לראות את מה שבאמת לנגד העינים‬XXIII, no. 8.5.2017
(2022): 2003–5.

Anda mungkin juga menyukai