Anda di halaman 1dari 12

HUKUM ACARA PERADILAN

“WALI ADHAL”

Dosen Pengampu :

Dr. H. Aldam,S.Ag.,SPd.I.,M.H.I

Di susun Oleh :

Kelompok 14

Nur Azisah (105261142820)

ST. Ayu Safitri (105261135420)

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat-Nya

sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Selain untuk menambah

wawasan dan pengetahuan, penyusunan Makalah ini disusun untuk memenuhi

salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan. Makalah ini membahas

tentang “Wali Adhal” ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya

dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan

makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada teman

sekelompok yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan

menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Mungkin dalam pembuatan

makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui maka dari itu kami

mohon saran dan kritik yang membangun dari teman-teman maupun dosen guna

menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.

Makassar, 5 Juli 2023

Kelompok 14

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………...…………………........ 2

DAFTAR ISI………………………………………………………………...... 3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………...... 4

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………...... 4

B. Rumusan Masalah……………………………………………………... 5

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………........ 6

A. Pengertian Wali Adhal..........................…………………………......... 6

B. Dasar Hukum Wali Adhal....................... ……………………………... 8

BAB III PENUTUP………………………………………………………....... 11

A. Kesimpulan…………………………………………………......…....... 11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 12

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pandangan Islam menikah bukan sekedar cara untuk pemenuhan

kebutuhan biologis semata tetapi lebih dari itu merupakan sunnah Rasul yaitu

mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya ia merupakan

salah satu ibadah bila diniati untuk sunnah Rasul.

Perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria

dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup

manusia. Dalam Islam perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci antara

seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang

bahagia. Perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup

sebagai suami istri yang sah, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Tujuan perkawinan ini didasarkan kepada Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat

21 yang berbunyi :

َّ‫َومِنْ ءَايََٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ َأزْوََٰجًا لِّتَسْكُنُو ٓٓآ إِلَيْهَا َو َجعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً َورَحْمَةً ٓ إِن‬
َ‫فِى َٰذَلِكَ لَءَايََٰتٍ ِّلقَ ْومٍ يََتفَكَّرُون‬
Artinya :

“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”1

1
Kementerian Agama Republik Indonesia, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
(Bandung, 2016), h. 21

4
Orang tua sebagai wali nikah yang sah bagi pihak perempuan seharusnya

berpihak pada tujuan dari perkawinan yang positif sesuai dengan kehendak

anaknya dan menjadi wali akad nikah anaknya, sehingga tujuan dari perkawinan

tersebut dapat tercapai. Selain itu wali dalam perkawinan merupakan kewajiban

yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkan

anaknya atau memberi ijin pernikahannya.

Dalam masalah keberadaan wali ada kalanya orang yang berhak menjadi

wali enggan untuk menikahkan anaknya karena beberapa alasan. Beberapa alasan

yang sering di kemukakan oleh wali dalam persidangan diantaranya wali

menganggap calon mempelai adalah orang yang memiliki perangai/akhlaq yang

buruk, calon mempelai belum memiliki penghasilan yang cukup, ada juga alas an

wali yang menganggap bahwa calon mempelai laki-laki tidak sekufu (sepadan),

bahkan ada juga wali enggan menikahkan karena harus terpenuhinya syarat-syarat

tertentu yang diberikan kepada calon mempelai laki-laki.

Dalam agama Islam, sistem perwalian atau wali adalah salah satu

mekanisme yang ditetapkan untuk melindungi dan memastikan hak-hak individu

yang rentan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Salah satu

bentuk perwalian ini adalah wali adhal, yang khusus ditujukan untuk orang-orang

yang tidak dapat melindungi diri mereka sendiri secara efektif. Wali adhal

memiliki tanggung jawab yang besar dalam memastikan kebutuhan dan

kesejahteraan individu yang mereka wakili.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa pengertian wali adhal?

2. Apa dasar hukum wali adhal?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wali Adhal

Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab yaitu:

‫عضل‬-‫يعضل‬-‫عضال‬. Sedangkan menurut istilah wali adhal ialah wali yang enggan
atau menolak. Maksudnya seorang wali yang enggan atau menolak tidak mau

menikahkan atau tidak mau menjadi wali dalam perkawinan anak perempuannya

dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihan anaknya.2

Adapun menurut para ulama, definisi wali adhal adalah penolakan wali

untuk menikahkan anak perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan

laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah

meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai

itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara’ dilarang.3

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah

alasan syar‟i atau alasan tidak syar‟i. Alasan syar‟i adalah alasan yang

dibenarkan oleh hukum syara‟, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar

orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang

kafir, atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat

tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali
menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar‟i seperti ini, maka

wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali

hakim).4

2
Indra Fani, Analisis Putusan Mengenai Perkara Peralihan Perwalian Dari Wali Nasab
Kepada Wali Hakim Karena Wali Adhal, (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin Makassar,
2014), h. 28.
3
Wahbah al Zuhaili, al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 470.
4
Jurnal Munakahat Vol 2 No 1 Maret 2005, http://kuakalideres.blogspot.com /2009/12/
pernikahanTanpa Restu Wali, diakses pada tanggal 20 Juni 2023.

6
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wali dinyatakan adhal

apabila:

a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu

dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik

penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya maupun

tidak,

b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan

dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya

menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya.5

Apabila seseorang perempuan sudah meminta kepada walinya untuk

dinikahkan dengan pilihan seorang laki-laki yang seimbang (sekufu) dan walinya

berkeberatan tanpa alasan yang jelas maka hakim berhak menikahkannya setelah

ternyata bahwa keduanya telah sekufu dan setelah memberi nasehat kepada wali

agar mencabut keberatannya itu.

Pihak calon mempelai perempuan berhak mengajukan kepada Pengadilan

Agama, agar pengadilan memeriksa dan menetapkan adhalnya wali.Jika ada wali

adal, maka wali hakim baru dapat bertindak melaksanakan tugas sebagai wali

nikah setelah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali.6

Pada dasarnya untuk menjadi hak wali didalam perkawinan ada di tangan
wali aqrab, atau orang yang mewakili wali aqrab atau orang yang diberi wasiat

untuk menjadi wali. Hanya untuk wali aqrab saja yang berhak menikahkan

perempuan yang dalam perwaliannya dengan orang lain.

5
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam Cet. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1993), h. 1340
6
Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
h. 26

7
Dengan demikian ia berhak melarang perkawinannya dengan seorang

apabila sebab yang dapat diterima, misalnya calon suami tidak sekufu atau karena

si perempuan sudah dipinang oleh orang lain lebih dahulu, atau jelek akhlaknya,

atau cacat badan yang menyebabkan perkawinannya dapat difasakhkan. Dalam

hal-hal ini wali aqrab adalah orang yang berhak menjadi wali dan haknya tidak

dapat berpindah kepada orang lain, hingga kepada hakim sekalipun.7

B. Dasar Hukum Wali Adhal

Mengenai masalah wali yang adhal ada beberapa dasar hukum yang dapat

mendukung kebenaran tersebut. Salah satunya yaitu:

‫َوإِذَا طََّلقْتُمُ ٱلنِّسَا ٓٓ َء فَبََلغْنَ َأجَلَهُنَّ فَلَا َت ْعضُلُوهُنَّ أَن يَن ِكحْنَ َأزْ َٰوَجَهُنَّ إِذَا تَرََٰضَوْآ بَيْنَهُم‬
ْ‫ِبٱلْ َمعْرُوفِ ٓ َٰذَلِكَ يُو َعظُ بِهِۦ مَن كَانَ مِنكُمْ يُ ْؤمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَ ْومِ ٱلْءَاخِرِ ٓ َٰذَلِكُمْ أَزْكَىَٰ لَكُم‬
َ‫َوأَطْهَرُ ٓ َوٱللَّهُ َيعْلَ ُم َوأَنتُمْ لَا َتعْلَمُون‬
Terjemahnya :

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,

maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi

dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara

mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada

orang-orang yang xberiman di antara kamu kepada Allah dan hari

kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,

sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 232).8

Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak ada halangan bagi seorang

laki laki dalam melamar seorang janda dan ingin menikahinya, pada saat itu

diharamkan bagi seorang wali menahan dan menghalang-halangi seorang janda

itu untuk melangsungkan pernikahan. Begitupun dengan seorang gadis yang ingin

7
Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) h.
12.
8
Kementerian Agama Republik Indonesia, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
(Bandung, 2016), h. 37

8
menikah, wali tidak boleh menghalangi-halangi seorang gadis yang ingin

melangsungkan sebuah pernikahan dengan laki-laki yang disukainya.

Sedangkan Dasar Hukum wali adhal juga diatur dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut:

a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak

ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya

atau ghaib atau adhal atau enggan.

b. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Jadi wali Hakim dapat bertindak menggantikan wali nasab atau aqrab, setelah ada

penetapan dari pengadilan agama tentang keadhalan wali.

Adapun sebab berpindahnya hak perwalian dari wali nasab ke wali hakim

menurut Kompilasi Hukum Islam yang merujuk pada pendapat Imam Syafi‟i

yaitu sebagai berikut: (1) Tidak ada wali nasab; (2) Wali mafqud artinya tidak

tentu keberadaannya, atau wali yang sederajat dengan dia tidak ada; (3) Wali

nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada di bawah

perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang kawin adalah seorang perempuan

dengan Saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah; (4) Wali nasab

bepergian jauh (masafatul qosri) atau tidak ada di tempat tetapi tidak memberi
kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada; (5) Wali nasab sedang berihram

haji/ umrah; (6) Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh

dijumpai, atau (7) Wali nasab tidak diketahui alamatnya atau ghaib; (8) Wali

nasab tawaro’ (sembunyi untuk menghindari perkawinan); (9) Wali adhol, artinya

wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan.9

9
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Pedoman Fiqh Munakahat, (Jakarta: Cemerlang,
2000), h. 20.

9
Secara materil undang-undang perkawinan tidak mengatur secara jelas

tentang ketentuan wali hakim namun PMA Nomor 2 tahun 1987 tentang wali

hakim merupakan upaya menjembatani antara UU perkawinan dan Hukum Islam,

sehingga dalam prakteknya ketentuan mengenai wali hakim secara materil

merujuk pada hukum Islam.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tentang wali adhal, dapat di tarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab yaitu:

‫عضل‬-‫يعضل‬-‫عضال‬. Sedangkan menurut istilah wali adhal ialah wali yang

enggan atau menolak.Maksudnya seorang wali yang enggan atau menolak

tidak mau menikahkan atau tidak mau menjadi wali dalam perkawinan anak

perempuannya dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihan anaknya

2. Dasar hukum wali adhal terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 232. Dan KHI

(Kompilasi Hukum Islam) pasal 23, sebagai berikut :

a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab

tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat

tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.

b. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali

tersebut. Jadi wali Hakim dapat bertindak menggantikan wali nasab atau

aqrab, setelah ada penetapan dari pengadilan agama tentang keadhalan wali.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an, Kementerian Agama RI, (2016). Lajnah Pentashihan Mushaf

Al-Qur’an. Bandung.

Al-Zuhaili, W. (2011). Al-Fiqh al Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema

Insani.

Dahlan. (1993). Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeye.

Fani, I. (2014). Analisis Putusan Mengenai Perkara Peralihan Perwalian

Dari Wali Nasab Kepada Wali Hakim Karena Wali Adhal. Makassar: Skripsi

Universitas Hasanuddin Makassar.

Haji, D. B. (2000). Pedoman Fiqh Zakat. Jakarta: Cemerlang.

Hamdani, A. (2002). Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:

Pustaka Amani.

Rahman, A. (2004). Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka

Cipta.

12

Anda mungkin juga menyukai