Anda di halaman 1dari 17

NAFKAH BATIN DALAM PERNIKAHAN MENURUT PANDANGAN ISLAM

Oleh :

Nabil Rofiqul Haq bin Machzun Ali bin Ali Muchdlor bin Muhsan

NIM :

439.606

Disampaikan Dalam Munadhoroh Ilmiyah

Pada, Ahad 27 Juni 2021

MA’HAD ‘ALY AN NUUR LIDDIROSAT AL-ISLAMIYAH

WARU, BAKI SUKOHARJO, JAWA TENGAH

TAHUN AJARAN 2021-2022

1
NAFKAH BATIN DALAM PERNIKAHAN MENURUT PANDANGAN ISLAM

Oleh: Nabil

I. PENDAHULUAN

Segala puji hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla yang telah memberikan hidayah
taufiq-Nya melalui lisan nabi-Nya Muhammad shallallhu ‘alaihi wa sallam. Dan
Dialah manusia mulia yang menyebarkan risalah islam ini, hingga tersebar keseluruh
pelosok negeri, dan kita bisa merasakan nikmatnya Islam hingga saat ini.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi


Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau, para sahabat,
tabi’in, tabi’ut-tabi’in, dan orang-orang yang senantiasa berusaha untuk selalu
istiqamah menggenggam erat agama ini hingga hari akhir kelak.

Menjalani pernikahan dalam Islam memang merupakan salah satu ibadah dalam
Islam. Tujuan pernikahan dalam Islam adalah membangun rumah tangga dalam Islam
yang berisikan keluarga sakinah mawadah warahmah.

Setelah melaksanakan syarat pernikahan dalam Islam dan keduanya melewati


kehidupan setelah menikah, maka salah satu kebutuhan dalam pernikahan yang wajib
dipenuhi adalah kebutuhan biologis. Salah satu kewajiban suami terhadap istri dalam
Islam adalah memberikan nafkah batin.

Dalam fikih Islam, ada dua definisi tentang perkawinan. Pertama bahwa
perkawinan adalah akad pemilikan (‘aqd at-tamlîk) dan kedua sebagai akad
pewenangan (‘aqd al-ibâhah). Baik dalam definisi yang pertama maupun yang kedua,
posisi perempuan selalu menjadi obyek dari kepentingan laki-laki. Karena akad
pemilikan dalam fikih, berarti pemilikan laki-laki terhadap perempuan, atau pemilikan
hak untuk berhubungan. Sementara akad pewenangan juga berarti akad yang
memberikan wewenang kepada laki-laki untuk bersenang-senang dengan wanitanya.

Perempuan memang memiliki hak yang sama untuk menikmati tubuh suaminya,
tetapi hak tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam definisi perkawinan. Lain
halnya dengan hak laki-laki yang secara eksplisit dinyatakan bahwa perkawinan adalah
(hanya) hak pemanfaatan laki-laki terhadap tubuh perempuan. Konsekuensinya, ulama
fikih tidak tegas ketika membicarakan apakah istri juga memiliki hak yang sama atas

2
kenikmatan seksual juga tidak tegas apakah suami berkewajiban memenuhi hasrat
seksual istrinya.

Lantas bagaimana pandangan islam mengenai hukum permasalahan nafkah


batin ?.

II. DEFINISI
a. Definisi Bahasa

Nafkah berasal dari bahasa arab ‫ النفقة‬artinya ‫ المصروف و اإلنفاق‬yaitu biaya,


belanja, pengeluaran uang1. Dalam madzahib al arbaah disebutkan ‫النفقة في اللغة االخراج‬
yaitu pengeluaran2.

b. Definisi Istilah

Sedangkan menurut istilah nafkah adalah kewajiban suami untuk memenuhi


kebutuhan istri dalam menyediakan makanan, tempat tinggal, pembantu dan obat-
obatan, apabila suaminya kaya.3

Ditinjau dari makna lughowinya, nafkah merupakan makna sempit yang tidak
mencakup semua fungsi dari sebuah pernikahan. Namun dari makna istilah nafkah
merupakan hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan tanpa adanya usaha yang
maksimal.

Dari pengertian tersebut diatas seolah-olah nafkan hanya merupakan


pemenuhan kepada istri dalam bidang materi. Namun lebih dari itu nafkah terbagi
menjadi dua yaitu nafkah lahir (materi) dan nafkah bathin atau hubungan biologis4.
Imam malik mengatakan bahwa nafkah tidak wajib bagi suami sampai ia dapat
mengajak untuk dukhul (wath’i, jimak)5. Oleh sebab itu hal terpenting yang harus
dilakukan seorang suami bagi istrinya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya
adalah memberikan nafkah terhadap keluarga. Suami yang baik selalu memerhatikan

1
Ahmad Warson Munawwir, kamus Al Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif 2002,
hal. 1449
2
Al Jazairi, fiqih `Ala Madzahib Al `Arba’ah Juz IV. Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah. 1990. Hal. 485
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut: Darul fikri, 2006. Hal. 539.,
4
http://adeetea.multiply.com/journal/item/49 24/06/2021
5
Ibnu Rusydi Al Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Juz II, Beirut: Dar Ibnu Asshashah,
2005 jilid 1-6. Hal. 44 (bab Huququ Az Zaujiyyah)

3
masalah ini. Dan tidak akan menyia-nyiakan amanah sekaligus menjadi kewajibaannya.
Maka sudah menjadi tanggung kjawab suami untuk enafkahi isteri secara lahir maupun
batin.

c. Pengertian nafkah batin

Pengertian nafkah batin adalah memenuhi keperluan nafsu dengan istimta’


(hubungan suami istri). Namun suami perlu meyadari bahwa antara perkara yang
menjadi tanggung jawabnya ialah memenuhi keinginan nafsu istri, begitu juga pihak
istri, hal itu menjadi kewajiban kedua-duanya. Kegagalan memahami dan menyadari
hak memenuhi hubungan kelamin antara suami istri menjadi salah satu sebab hilangnya
keharmonisandan menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga.6

Nafkah batin juga bisa didefinisikan apabila suami menggauli istri secar seksual
hingga terpenuhi kebutuhannya. Yaitu suami menggauli itrinya secara seksual hingga
terpenuhi hajatnya. Dalam bahasa ilmiah disebut hingga istrinya mencapai orgasmus
dari hubungan kelamin itu. Dalam suatu perkawinan dan rumah tangga sakinah, maka
faktor pergaulan seksualitas ini juga mepengaruhi, harta kekayaan yang melimpah ruah
serta sikap yang dmikian memukau dan wajah yang elok bukanlah berarti apabila salah
seorang dari suami istri itu tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis. 7

III. DALIL-DALIL
a. Dalil dari Al-Qur’an

Istri dan anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah, yaitu nafkah
yang tidak terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu kikir, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:

8
‫وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف‬

“... Dan kewajiban ayah adalah memberi nafkah makanan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang makruf...”

9
...‫أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم وال تضاروهن لتضيقوا عليهن‬

6
Muhammad bin Ahmad, Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2006), 67.
7
Ibid.
8
QS Al-Baqarah: 233
9
QS ath-Thalaq:6

4
“tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka...”

Dalil-dalil tersebut diatas pmerupakan dasar kewajiban nafkah secar lahiriyah


(materi) yang harus diberikan oleh seorang suami (atau ayah) untuk keluarganya (isteri
dan anak) dengan cara yang makruf sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.
Kemudian dengan nafkah secara bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai berikut;

10
‫وعاشروهن بالمعروف‬

“... dan bergaullah dengan mereka secara patut ...”

Mengenai lafadz “`Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan optimal.
Dan juga akar kata `Asyara yaitu ‘`isyrah’ adalah berkumpul atau bercampur. Maka
berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami isteri rasa saling terikat
dan bertautan. Karena dalam syarian islman antara suami isteri diwajibkan untuk
bergauk dengan sebaik-baiknya tidak diperbolehkan menunda hak dan kewajiban dan
juga tidakboleh saling membenci apalagi bersikap saling menyakiti sebgaimana dalam
ayat tersebut. Oleh sebab itu dalam memaknai lafadz tersebut Al-Qusyairi menyatakan
dalam tafsirnya yaitu maksud mempergauli interu dengan ilmu-ilmu dan tata cara adab
serta akhlaq yang baik.

Alquran Sebenarnya tidak secara spesifik menjelaskan tentang perihal seksualitas.


Tetapi juga tidak menghindar dari permbicaraan ini. Yang mana alquran lebih
cenderung kepada relasi seksual sebagai suami istri ketimbang seks sebagai seks
sebagai hak asasi individu.

Pada dasarnya ada dua alasan mengapa Alquran membicarakan hal ini:

Pertama, pembicaraan ini dimaksudkan untuk melakukan pembelaan terhadap


sejarah seksualitas di masa jahiliyah, masa dimana sebelum kedatangan islam. Menurut
Islam, pada masa itu pola seksualitas yang ada adalah model yang tidak teratur dan
tidak beradab. Pada masa itu pula tercermin bahwa relasi laki-laki dan perempuan tidak
seimbang11.

10
QS an-nisaa’:19
11
Syafiq hasyim, Bebas dari Patriarkhisme Islam (Jakarta: Kata Kita, 2010), hal.224-225

5
Jauh sebeum islam, masyarakat jahiliyyah melakukan praktik pernikahan dengan
memiliki ratusan bahkan ribuan istri, harem, selir dan pergundikan banyak terjadi.
Terdapat banyak perkawinan yang menggambarkan bahwa wanita dimasa itu tidak
memiliki harga yang semestinya. Wanita yang ada pada masa jahiliyah hanya sebagai
tempat pelampiasan hasrat seksual yang tak terhormat12.

Kedua, pembicaraan ini juga dimaksudkan untuk membuat aturan-aturan dari pola
seksal yang tidak beragama menuju seksualitas yang beragama (berdasarkan syariah).
Semua tindakan yang mengatasnamakan seks dalam Islam tidak dapat berlangsung
tanpa mdendapatkan legitimasi. Dari sinimuncul batasan-batasan dan aturan-aturan
yang harus dipatuhi. Misalnya dalam kasus poligami, yang tadinya seorang laki-laki
bisa mengawini sebanyak mungkin perempuan, dengan adanya Islam, seorang laki-laki
diberi batas maksimal empat istri13.

Hal mendasar dalam alquran ialah alquran tidak membuat klaim yang
merendahkan permpuan dan seks, bahkan menentang tradisi misoginis14. Hal ini terlihat
dalam Alquran yaitu:

‫ومن آياته أن خلق لك م من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك آليات لقوم يتفكرون‬

“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah bahwa Dia menciptakan pasangan


untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya (Sukun), dan dijadikan Nya di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

Ayat ini sering dikemukakan untuk menjawab bagaimana Islam memberikan


apresiasinya terhadap seksualitas. Ada sejumlah nilai yanghendak dicapai dari
pernikahan ini. pertama, sebagai cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk
memperoleh kenikmatan/kepuasan seksual. Kedua, merupakan ikhtiyar manusia untuk
melestarikan kehidupan di bumi. Ketiga, menjadi wahana manusia menemukan tempat
ketenangan dan keindahannya. Melalui perkawinan, kegelisahan dan kesusahan hati
manusia mendapatkan salurannya.

12
Halim Barkat, Dunia Arab, trans. Irfan M Zakki (Bandung: Nusa Media, 2012). Hal.140
13
Ibid. Hal. 14i
14
Husein Muhammad,”Islam, Seksualitas dan Budaya” Swara Rahima 20, no. XII (2012), hal.23-24

6
Sukun yang sering diterjemahkan dengan cinta, mengandung arti keintiman
mendalam yang disebabkan oleh pemenuhan seksual dan kedamaian mental.
Penggunaan nya dalam Alquran dinilai penting karena dua alasan: Pertama, ia
menunjukkan bahwa ilam menuntut agar hubungan didasarkan pada rasa saling cinta,
keharmonisan dan kepuasan, sebuah pandangan yang bila ditinjau dari masa
pewahyuan Alquran merupakan sesuatu yang sangat revolusioner. Dengan
menekankan sikap saling memberi dan menerima kepuasan seksual, Alquran
menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan keduanya memiliki dorongan dan
kebutuhan serta knhak untuk memenuhinya. Kedua, dengan mendefinisikan seks dalam
pengertian yang menyiratkan kesenangan dan kepuasan seksual, Alquran juga
menegaskan bahwa seks bukan sajabertujuab untuk memperbanyak keturunan, akan
tetapi juga merupakan aktivitas yang menyenangkan da bertujuan menciptakan sukun.

Ayat selanjutnya yang populer dijadikan rujukan tentang hubungan diantara


suami istri adalah surat al baqarah ayat 23, adapun bunyinya:

‫نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم وقدموا ألنفسكم واتقوا هللا واعلموا أنكم مالقوه وبشر المؤمنين‬

“Istri-istrimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat becocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal
yang baik) untuk untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
beriman”15

Ayat diatas bila memahaminya secara sekilas, tergambar bahwa seksualitas


perempuan adalah pasif dan sebaliknya seksualitas lelaki yang aktif. Ladang menjadi
metafor perempuan sedangkan laki-laki si penanam bibit. Sehingga sebagai ladang, istri
bisa kapan saja dan ditanami apa saja sesuai dengan keinginan suami. Dengan kata lain
perempuan adalah objekkemauan laki-laki khususnya dalam soal batin.

Penafsiran dan pemahaman demikianlah yang umum berkembang di tengah-tengah


masyarakat.

Ayat di atas bila dilihat asbabun nuzul-nya tidak memojokkan perempuan bahkan
menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat. Ayat in turun pada dasarnya
berkaitan dengan kegemaran sebagian laki-laki yang suka menggauli istrinya lewat

15
QS. Ar-Ruum: 21

7
dubur. Islam melarang praktik tersebut dengan mengingatkan bahwa istri dengan
rahimnya (ladang) bagi laki-laki untuk menanam benih keturunannya. Maka janganlah
kalian tanam benih tadi tida pada tempatnya (dubur). Selainmerupakan sesuatu yang
tidak pada tempatnya, perbuatan tersebut dari sisi kesehatan juga kurang aman. Jadi
jelas, pesan ayat itu bukan untuk memperlakukan perempuan semaunya.

Lebih dari itu, penggambaran perempuan sebagai ladang dalam konteks


masyarakat madinah saat itu sebenarnya mengisyatarkan tingginya nilai perempuan.
Ladang merupakan sesuatu yang terbatas dan jarang di Madinah. Tidak jarang beberapa
kabilah berperang untuk mendapatkan tempat yang subur untuk menjadi ladang.
Karena nilainya begitu tinggi maka nyawa pun bisa dikorbankan untuk
mendapatkannya.

Selanjutnya ayat di atas juga memberi pengertian bahwa istri “laksana sawah
ladang” yang siap digarap kapan saja ketika suami menghendaki. Dalam ayat ini
terkandung pengertian suatu bentuk kehati-hatian sekaligus menjaga betul perihal
kualitas benih dan metode penanamannya, sehinnga tidak terkesan dipaksakan. Jadi
harus ada interaksi antara keduanya yang diharapkan dapat membuat lahan itu subur
produktif. Dengan demikian seorang suami memiliki tanggung jawab terhadap
“ladang” yang diamanati Allah. Ladang tersebut perlu dirawat dengan baik dengan
dicangkul, disiram, diberi pupuk dan disayang agar tetap subur. Hubungan siami istri
dalam sebuah perkawinan adalah ibadah, namun bukan berarti hak batin perempuan
pun ditiadakan, justru dimensi ibadah inilah yang mebawa substansi pada keikhlasan
masing-masing pihak tanpa adanya pemaksaan terhadap pasangan16.

Sebagaimana dalam fiman-Nya yang lain.

‫ه ّن لباس لكم وأنتم لباس له ّن‬

“Mereka (istri) itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi
merka”17

Ibnu jarir at-Thabari, mengemukakan dua tafsir atas ayat ini. Pertama, ayat ini
adalah metafora untuk arti penyatuan dua tubuh secara interaktif. Kedua, mengutip ahli

16
Andi Dermawan, “Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Al-Qur’an,” in Tela’ah Ulang Wacana
Seksualitas, ed. Mochammad Sodik, I (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI dan McGillIISEP-
CIDA, 2004). 303
17
QS al-Baqarah: 187

8
tafsir Mujahid Qatadah, ayat ini berarti masing-masing pasangan saling memberi
ketenangan bagi yang lainnya18. Hubungan suami dan istri dalam Alquran yang
dijelaskan ayat ini merupakan suatu hubungan yang setara, saling melengkapi, dan
saling membutuhkan sebagai partner dalam menyalurkan nafkah batinnya.

b. Dalil dari As-Sunnah

‫عن عائشة قالت كانت امرأة عثمان بن مظعون تختضب وتتطيب فتركته فدخلت علي فقلت لها أمشهد أم مغيب‬
‫فقالت مشهد كمغيب قلت لها ما لك قالت عثمان ال يريد الدنيا وال يريد النساء قالت عائشة فدخل علي رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه وسلم فأخبرته بذلك فلقي عثمان فقال يا عثمان أتؤمن بما نؤمن به قال نعم يا رسول هللا قال فأسوة‬
‫ما لك بنا‬

Aisyah meriwayatkan , “Dulu istri Utsman bin Mazh’un biasa memakai


pewarna tangan dan memakai wewangian, kemudian ditinggalkannya (dia menjadi
kusut masai) . Saya bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau?” Dia menjawab ,
“Utsman sudah tidak menghendaki dunia dan tidak menghendaki wanita lagi.’ Di dalam
riwayat Thabrani dari Abu Musa al Asyari, “Kemudian Nabi saw menemui Utsman
seraya berkata, “Wahai Utsman, mengapa engkau tidak meneladani aku?
Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atas dirimu…” Sesudah itu mereka didatangi
oleh istri Utsman dengan memakai kosmetika seperti pengantin, lalu para wanita
berkata, “Lihatlah dai berkata, kami telah ditimpa sesuatu yang menimpa orang-orang.”
(HR Ahmad)19

Ada beberapa hadis yang membicarakan subordinasi seksualitas perempuan.


Diantaranya sabda Nabi:

‫إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن تجيء فبات غضبان لعنته المالئكة حتى تصبح‬

“Apabila seorang suami mengajak istrinya berhubungan intim, lalu istrinya


menolak sehingga ia marah sepanjang malam; maka isteri tersebut dilaknat oleh
malaikat sampai pagi hari” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)20.

Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam kitab Fath al-Bari mendukung penuh kesahihan hadis
ini. Baginya, ada beberapa hadis lain yang memperkuat [syawâhid] hadis di atas. Yaitu:

18
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, III (t.p., n.d.).489
19
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam bin Hanbal (Mu’assasah ar-Rislah, 1999) Juz. 41 hal. 273
Hadits no. 24753
20
Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, VII/323, no. hadis: 4706

9
‫ (والذي نفسي بيده ما من رجل يدعو امرأته‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن أبي حازم عن أبي هريرة قال‬
)‫إلى فراشه فتأبى عليه إال كان الذي في السماء ساخطا عليها حتى يرضى عنها‬

“Demi Dzat yang menguasai diriku, seseorang yang memanggil istrinya ke


ranjangnya (berhubungan intim), lalu sang istri menolaknya, sungguh semua yang
berada di langit mengutuk istri tersebut sampai sang suami memaafkannya”21.

Dalam pemaknaan fikih terhadap hadis di atas, tugas primer istri adalah memenuhi
kebutuhan seksual suami. Istri berkewajiban penuh untuk melayani hasrat seksual
suami. Kewajiban istri ini merupakan konsekuensi dari kewajiban nafkah oleh suami.
Dalam fikih, suami dibebani kewajiban nafkah dalam kaitannya ia memperoleh hak
untuk menikmati tubuh istrinya [an-nafaqah fi muqâbalat al-istimtâ’]. Artinya, istri
yang ingin memperoleh hak nafkah, setiap saat harus selalu dalam keadaan bersedia
untuk dinikmati oleh suaminya. Jika tidak, misalnya ketika ia belum memiliki kesiapan
fisik untuk disetubuhi karena berumur kecil, atau ketika ia dimasukkan penjara karena
suatu tindak pindana, atau ia melakukan penolakan terhadap ajakan hubungan intim
suaminya [nusyuz]22.

Apakah perempuan berdosa (dilaknat), hanya karena ia menolak ajakan suami?


Bagi Ibn Hajar hanya penolakan yang mengakibatkan kemarahan suami yang dianggap
berdosa [fa bâta ghadhbâna], karena hubungan intim adalah hak suami. Ketika suami
merelakan dan memaafkan maka penolakan tersebut tidak berdosa. Penolakan yang
berdosa, juga disyaratkan bahwa ia merupakan inisiatif penuh dari sang isteri, bukan
sebagai akibat dari perlakuan suami yang zalim. Ibn Hajar mendasarkan pada riwayat
lain ‘hâjiratan firâsahâ’, yang berarti perempuan secara sadar dan sengaja
meninggalkan ranjang perkawinan. Artinya, yang dilaknat adalah perempuan yang
sengaja mengawali penolakan, bukan penolakan yang diawali dengan ulah suami yang
zalim23.

Bahkan dalam pandangan sebagaian ulama fikih kontemporer, seperti az-Zuhaili,


dinyatakan bahwa laknat [dosa] itu turun pada penolakan yang tidak beralasan [min
ghair ‘udzrin], dan yang muncul bukan karena sedang memenuhi kewajiban agama
[lam yusyghilhâ ‘an al-farâ’idh]. Artinya, perempuan berhak menolak ajakan suami

21
al-‘Asqallani, Fath al-Bari, X hal.368
22
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, VII hal. 789-797
23
al-‘Asqallani, fathu al-Baari, X hal.368.

10
yang dipastikan akan menyakitinya, atau ia sedang menunaikan suatu kewajiban (lihat,
Husein Muhammad, 2000: 99). Dari beberapa pandangan ini, setidaknya subordinasi
seksualitas perempuan terhadap laki-laki tidak total dan tidak sepenuhnya. Ada ruang-
ruang di mana perempuan oleh agama (pemikiran fikih klasik) dinyatakan berhak
menolak ajakan hubungan intim dari suaminya. Artinya totalitas ketaatan istri tidak
sepenuhnya bisa dibenarkan. Hadis yang menekankan totalitas ketaatan istri harus
dikritisi dan dimaknai kembali, terutama hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan at-Turmudzi: “Jika seseorang mengajak isterinya berhubungan intim, maka si isteri
harus memenuhinya sekalipun sedang berada di dapur, dalam suatu riwayat disebut
dengan redaksi sedang di atas punggung unta” [idzâ da’â ar-rajulu imra’tahû li hâjatihi,
falta’tihî walaw kânat ‘alâ at-tannûr, wa fî riwâyatin walaw kânat ‘alâ zhahri qatabin]24.

Jika dianalisis, teks hadis ini memuat perbedaan atau salah baca tulis [tash-hîf].
Karena dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, menggunakan kata falya’tihâ, bukan
falta’tihî. Teksnya adalah: “Apabila kamu ingin memenuhi kebutuhan biologismu dari
isterimu, maka datangilah isterimu itu, sekalipun ia sedang berada di dapur” [Idza arâda
ahadukum min imra’atihi hâjatan, fal ya’tihâ, walau kânat ‘ala at-tannûr]25. Perbedaan
lafal baca-tulis [tashhîf]; antara riwayat at-Turmudzi [fal ta’tihî] dengan riwayat Ahmad
[fal ya’tihâ], dalam ilmu hadis dianggap kejanggalan [illah] yang bisa menurunkan
derajat hadis menjadi lemah [dha’îf] dan tidak bisa diterima [mardûd].

Perbedaan ini terkesan sederhana, tetapi memiliki konsekuensi pemahaman yang


berbeda jauh antara redaksi yang pertama dengan yang kedua. Dari redaksi hadis yang
pertama [falya’tihâ]; bisa dipahami bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan biologis
suami kapanpun dan dimanapun. Istri tidak memiliki hak untuk menolak. Bahkan jika
menolak, ia akan dilaknat oleh malaikat dan seluruh makhluk seisi bumi. Tetapi pada
redaksi yang kedua [fal ya’tihâ], yang bisa dipahami hanyalah anjuran kepada suami
untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya kepada istrinya, bukan kepada yang lain,
sekalipun sang istri sedang berada di dapur. Artinya, hanya sebatas izin syara’ kepada
lelaki untuk melampiaskan kebutuhan biologis kepada istri yang di dapur, bukan
totalitas ketaatan istri dalam memenuhi kebutuhan suami.

24
Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Turmudzi, III/465, no. hadis: 4697
25
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, IV/23)

11
IV. HUKUM NAFKAH BATIN DALAM PERNIKAHAN

Setelah menikah, seorang laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap istri dan
anak-anaknya. Salah satu kewajiban suami terhadap istri dalam Islam yang harus
dipenuhi yakni menafkahi keluarganya. Nafkah di sini meliputi nafkah lahir dan batin.

ِ‫علَ ْي ِهن ِبا ْل َم ْع ُروف‬


َ ‫َولَ ُهن ِمثْ ُل الذِي‬

“Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran


kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk
suaminya).”26

Allah Ta’ala kembali berfirman,

‫نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم‬

“Para istri kalian adalah ladang bagi kalian. Karena itu, datangilah ladang
kalian, dengan cara yang kalian sukai.”27

Aisyah meriwayatkan , “Dulu istri Utsman bin Mazh’un biasa memakai


pewarna tangan dan memakai wewangian, kemudian ditinggalkannya (dia menjadi
kusut masai) . Saya bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau?” Dia menjawab ,
“Utsman sudah tidak menghendaki dunia dan tidak menghendaki wanita lagi.’ Di dalam
riwayat Thabrani dari Abu Musa al Asyari, “Kemudian Nabi saw menemui Utsman
seraya berkata, “Wahai Utsman, mengapa engkau tidak meneladani aku?
Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atas dirimu…” Sesudah itu mereka didatangi
oleh istri Utsman dengan memakai kosmetika seperti pengantin, lalu para wanita
berkata, “Lihatlah dai berkata, kami telah ditimpa sesuatu yang menimpa orang-orang.”
(HR Ahmad)28

26
QS. al-Baqarah: 228
27
Al-Baqarah:223
28
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam bin Hanbal (Mu’assasah ar-Rislah, 1999) Juz. 41 hal. 273
Hadits no. 24753

12
Mengenai suami yang tidak memberikan nafkah batin karena alasan malas atau
lelah, maka hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam.

Syaikh Muhammad Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata,

‫ وتحس أنه‬،ٍ‫ فإن المرأة تكره زوجها حينئذ‬،‫ والعواقب الوخيمة‬،‫ونبه العلماء على ذلك لما فيه من المفاسد‬
‫ فلربما‬،‫ ويكرمها في عشرته لها‬،‫ وال يريد أن يحسن إليها‬،‫ وأنه ال يلتفت إليها‬،‫يريد قضاء حاجته فقط‬
‫ فيشرع بناء على مقاصد الشرع العامة من حصول‬،‫ ودخل الشيطان بينهما فأفسدها عليه‬،‫حقدت عليه‬
.29‫ فعليه أن يعطي المرأة حقها‬،‫السكن واأللفة‬

“Para ulama telah memperingatkan masalah ini karena ada mafsadah dan
akibat yang buruk. Yaitu seorang istri membenci suaminya ketika itu. Istri merasa
suaminya hanya sekedar ingin menunaikan syahwatnya saja, tidak perhatian dan tidak
ingin berbuat baik kepadanya dan tidak menghormatinya dalam bermuamalah. Bisa jadi
ia akan memusuhi suaminya. Dan setan masuk kemudian merusaknya. Maka syariat
dibangun diatas tujuan umum untuk menciptakan kerukunan dan persatuan hati. Maka
hendaklah ia memberikan hak kepada Istrinya.”

Nafkah batin sebagaimana yang telah dijelaskan antara lain mempergauli isteri
dengan baik, menjaga isteri dengan baik dan mendatangi isteri dengan baik pula. Ketiga
bentuk nafkah batin ini mutlak harus dipenuhi oleh seorang suami kepada isterinya,
karena kapan ketiga hal ini tidak terpenuhi akan mengakibatkan konflik di antara suami
isteri yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya keretakan rumah tangga yang
berkepanjangan, bahkan dapat menyebabkan terjadinya perceraian.

Kedudukan nafkah batin di samping sebagai kewajiban bagi suami, juga


menjalankannya merupakan suatu ibadah atau sedekah yang mendapatkan pahala dari
Allah swt. Sebagaimana tergambar dalam sabda Rasulullah saw.:

“... Lalu para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara
kita yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala. Jawab Rasulullah:
bagaimana pendapatmu kalau dia seorang yang menyalurkan syahwatnya pada tempat
yang haram, apakah itu merupakan suatu dosa? Betul jawab sahabat. Begitu pulalah

29
Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Syarhu Zaad al-Mustaqni’, juz. 11 hal.311
(maktabah syamilah)

13
jika ia melakukan syahwat itu pada tempat yang halal, maka ia akan mendapat pahala”
(HR. Muslim)30.

V. KADAR NAFKAH BATIN

Dalam hidup berumah tangga, sebagai seorang suami memberikan nafkah lahir dan
batin sudah merupakan kewajibannya dan sudah menjadi hak seoarang istri untuk
mendapatkannya dari sang suami.

Sedangkan nafkah batin yakni nafkah yang diberikan kepada istri berupa
kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan biologis sang istri. Kebutuhan biologis yang
terpenuhi akan sangat mempengaruhi keharmonisan hubungan keluarga.

Lantas berapa lama batasan waktu bagi seorang istri untuk mendapatkan nafkah
batin dari sang suami?

1. Madzhab Maliki:
Madzhab maliki berpendapat, persetubuhan wajib dilakukan oleh suami
kepada istrinya jika tidak ada halangan31.
2. Madzhab Syafi’i
Mazhab Syafi'i berpendapat, persetubuhan hanya diwajibkan sekali saja
karena ini adalah hak milik suami, maka dia boleh meninggalkannya seperti
halnya mendiami rumah sewaan. Karena yang mengajak kepada
persetubuhan adalah nafsu syahwat dan rasa cinta. Oleh karena itu tidak
mungkin diwajibkan. Dan yang sunah jangan sampai suami menangguhkan
persetubuhan untuk istrinya untuk mencegah kerusakan32.

al-Gazali mewajibkan sekurangnya satu kali dalam empat hari. Namun,


kata al-Gazali sangat tergantung kepada kebutuhan kedua belah pihak
sehingga jangan sampai berbuat salah. Memelihara diri dari berbuat
kesalahan adalah wajib33.

30
Imam Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz 1, h. 403.
31
DR. Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fii Fiqhil Islami, (Darul Fikri, Damaskus. 2005) hal.113
32
Ibid.
33
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 163

14
3. Madzhab Hanbali
Sedangkan menurut Imam Ahmad, batas minimal suami tidak memberikan
hak biologis istrinya dalah empat bulan. Pendapat tersebut berdasar pada
ketetapan yang dibuat oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Di masa
itu, banyak kaum laki-laki yang pergi berperang namun ada istri yang sedih
ditinggal oleh suaminya untuk berperang. Umar bin Khattab pun
mengetahui hal tersebut saat Beliau menjumpai sebuah rumah dan
mendengar syair seorang wanita yang sedih ditinggal suaminya berperang.
Hal tersebut membuat Umar bin Khattab gundah dan bertanya kepada
putrinya yang bernama Hafsoh. Beliau menanyakan berapa lama seorang
wanita mampu bertahan tanpa suaminya. Lalu Hafsoh menjawab, “Sekuat-
kuat wanita dia hanya bisa bertahan selama empat bulan.” Kemudian sejak
saat itu Umar menyuruh pasukan yang sudah empat bulan di medan perang
untuk pulang ke rumah.

Ibn Hazm dari kalangan Zahiri berpendapat, suami waji menyetubuhi isterinya
paling kurang sekali dalam tiap kali suci34. Pendapat ini didasarkan atas firman Allah
dalam QS. al-Baqarah/2: 222, yang terjemahnya: “Apabila mereka telah suci,
campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.”
Dari ayat ini Ibn Hizam berkesimpulan suami hanya berkewajiban menyetubuhi
isterinya satu kali untuk setiap masa suci35.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dipahami bahwa masalah jarak waktu di


mana suami harus menyetubuhi isterinya sangat tergantung kepada situasi dan kondisi
serta banyak yang sangat bersifat pribadi. Paling mendasar adalah kepuasan yang
mampu membendungnya dari berbuat penyelewengan atau jangan sampai mereka
tersiksa batinnya.

VI. KESIMPULAN
1. Dalam pernikahan menimbulkan konsekuensi yang harus dijalankan, yaitu
berupa pemenuhan nafkah oleh sang suami berupa nafkah lahiriyah dan nafkah
batiniyah.

34
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 162
35
Abu Bakar Jabir al-Jazari, Minhaj al-Muslim, h. 392.

15
2. Alquran dan hadits memandang bahwa seksualitas antara sepasang suami istri
memiliki karakteristik yang sama pada agresifitasnya.
3. Bahwa konsep alquran dalam hal ini tidak membuat klaim yang merendahkan
perempuan, bahkan menentang tradisi misoginis.
4. Kedudukan perempuan dalam pernikahan merupakan hubungan setara, saling
melengkapi dan saling membutuhkan.
5. Konsep mu’asyarh bil ma’ruf menuntut adanya kebersamaan menyangkut
segala kebutuhan suami-isteri. Termasuk menyangkut hubungan seksual antara
mereka berdua. Yang satu harus memperhatikan yang lain secara bersama.
Adalah bukan suatu hal yang ‘mu’asyarah bil ma’ruf’ jika hubungan intim
hanya menyenangkan satu pihak, sementara tidak kepada pihak yang lain,
apalagi sampai menyakitkan. Pola relasi antara suami dan isteri yang ditegaskan
Alquran adalah setara. Hunna libâsun lakum, wa antum libâsun lahunna
[Perempuan adalah pakaian laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian bagi
perempuan].

Wallahu A’lam bishowab.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad Warson Munawwir, kamus Al Munawwir Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progresif 2002, hal. 1449
2. Al Jazairi, fiqih `Ala Madzahib Al `Arba’ah Juz IV. Beirut: Darul Kutub Al
Ilmiyah. 1990. Hal. 485
3. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut: Darul fikri, 2006. Hal. 539.,
4. http://adeetea.multiply.com/journal/item/49 24/06/2021
5. Ibnu Rusydi Al Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Juz
II, Beirut: Dar Ibnu Asshashah, 2005 jilid 1-6. Hal. 44 (bab Huququ Az
Zaujiyyah)
6. Muhammad bin Ahmad, Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka
Amani, 2006), 67.
7. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam bin Hanbal (Mu’assasah ar-Rislah,
1999) Juz. 41 hal. 273 Hadits no. 24753
8. Syafiq hasyim, Bebas dari Patriarkhisme Islam (Jakarta: Kata Kita, 2010),
hal.224-225
9. Halim Barkat, Dunia Arab, trans. Irfan M Zakki (Bandung: Nusa Media,
2012). Hal.140
10. Husein Muhammad,”Islam, Seksualitas dan Budaya” Swara Rahima 20,
no. XII (2012), hal.23-24
11. Andi Dermawan, “Marital Rape Dalam Perspektif Hukum Al-Qur’an,” in
Tela’ah Ulang Wacana Seksualitas, ed. Mochammad Sodik, I
(Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI dan McGillIISEP-
CIDA, 2004). 303
12. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-
Qur’an, III (t.p., n.d.).489
13. Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, VII/323, no. hadis: 4706
14. al-‘Asqallani, Fath al-Bari, X hal.368
15. al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, VII hal. 789-797
16. al-‘Asqallani, fathu al-Baari, X hal.368.
17. Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Turmudzi, III/465, no. hadis: 4697
18. Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, IV/23)
19. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam bin Hanbal (Mu’assasah ar-Rislah,
1999) Juz. 41 hal. 273 Hadits no. 24753
20. Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Syarhu Zaad al-
Mustaqni’, juz. 11 hal.311 (maktabah syamilah)
21. Imam Muslim ibn al-Hajaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz
1, h. 403.
22. DR. Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fii Fiqhil Islami, (Darul Fikri, Damaskus.
2005) hal.113
23. Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. 6, h. 163
24. Abu Bakar Jabir al-Jazari, Minhaj al-Muslim, h. 392.

17

Anda mungkin juga menyukai