Disusun oleh:
1. Nabilla Syifa Auliya 22103070003
2. Muh Fathul Al Amin S. 22103070026
3. Putri Aviva Intan P. 22103070031
4. Lina Indah P. 22103070034
5. Ach. Fiqriyansyah 22103070036
KELAS A
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki
dan perempuan untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan. Dalam
pandangan islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula
sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh
karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan dilaksanakan sesuai
dengan petunjuk Allah dan Nabi.
Disamping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup
sesaat tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, sesorang mesti menentukan pilihan
pasangan hidupnya itu secara hati- hati dan dilihat dari berbagai segi. Dalam proses
menentukan pasangan diutamakan untuk memilih yang sepaham, seibang dan sederajat.1
Sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan tentunya banyak sekali proses yang
dilalui salah satunya khitbah dan kafaah. Kedua proses tersebut bertujuannnya agar
menghasilkan keserasian dalam menghindari kemudharat, karena sering kali kegagalan
dalam pernikahan disebabkan oleh banyaknya perbedaan antara kedua belah pihak baik
dari segi agama atau pun setrata sosial.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Khitbah ?
2. Apa Definisi Kafa’ah?
3. Apa yang menjadi dasar hukum dari Khitbah dan Kafa’ah ?
4. Apa yang menjadi syarat untuk melaksanakan khitbah?
5. Apa saja dampak hukum dari khitbah?
1
Prof. Dr Amir Syarifuddin “Hukum Perkawinan Islam Indonesia” (Jakarta : Kencana, 2006) Hal. 48
2
Ahmad Royani “Kaffah Dalam Perkawinan Islam (Telaah Kesederajatan Agama dan Sosial)” Al hawal, Vol 5
No.1 hal. 105
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khitbah
B. Pengertian Kafaah
Dalam kamus bahasa arab, kafa’ah berasal dari kata اة--افئ – مكاف--ا – يك-- كافyang
berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh, Kafa’ah berarti seimbang, yaitu keseimbangan
dalam memilih pasangan hidup. Kafa’ah atau kufu’ menurut bahasa artinya setara,
seimbang, atau keserasian, kesesuaian serupa, sederajat atau sebanding. Secara istilah
3
Ahmad Mustakim, Nurul Khalifah “ Konsep Khitbah Dalam Islam” JAS MERAH Jurnal Hukum Dan Ahwal Al-
Syahsiyyah, Vol 1 No. 2 Mei 2022 hal 32
4
Samsinar Hasibun, JumniNelly, Zulfahmi ” Konsep Khitbah ( Melihat Pinangan Dalam Hadist Rasullullah
SAW)Jurnal of Islamic law Al- Madani Vol. 1 No. 2, Juni 2022 Hal 67
5
Umar Haris Sanjaya dan Ainur Rahim Faqih ”Hukum Perkawinan Islam”Gama Media, Yogyakarta, 2017, Hal 30
adalah keseimbangan, keserasian antara calon istri dan suami dalam hal tingkat sosial,
ekonomi, dan moral.
Secara terminologi kafa’ah adalah kesesuaian atau kesepadanan antara laki-laki
dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan baik menyangkut agama, ilmu,
akhlak, status sosial maupun hartanya. Mengutip pendapat Abu Zahroh, Siti Fatimah
mengemukakan bahwa kafa’ah adalah suatu kondisi dimana dalam suatu perkawinan
haruslah didapatkan adanya keseimbangan antara suami dan isri mengenai beberapa
aspek tertentu yang dapat mengosongkan dari krisis yang dapat merusak perkawinan.
Dalam kafa’ah terdapat keseimbanga, keharmonisan, dan keserasian terutama dalam hal
agama yaitu akhlak dan ibadah.
Eksistensi kafa’ah dalam pernikahan dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan
pernikahan yaitu membentuk pasangan rumah tangga yang sakinnah mawaddah dan
warrrohmah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Ruum ayat
21 sebagai berikut.
و من ءايته ان خلق لكم من انفسكم ازوجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك أليت
لقوميتفكرون
6
Dahlan, Mulyadi “Kafaah Dalam Pernikahan Menurut Ulama’ Fiqh” Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga
Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021 hal. 32-33
persamaan suami dengan istri dalam nilai ketakwaan, pekerjaan, harta, merdeka, dan
nasab.7
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan para ulama Hanafiyah Kafa’ah tidak
termasuk syarat sah akad karena merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya,
sehingga keduannya bisa saja menggugurkannya tetapi kafa’ah termasuk pada syarat
lazim dalam perkawinan. Namun sebagaian ulama termasuk satu riwayat dari Ahmad
mengatakan bahwa Kafa’ah termasuk syarat sah nya perkawinan tapi dalil yang
digunakan kelompok ini termasuk dalil dhoif.8
7
Muhammad Irsyad “ Kaffa’ah Dalam Perkawinan Di Masyarakat Muslim ( Suatu Kajian Sosiologis)” seminar
Nasional Teknologi Edukasi Dan Humaniora 2021 Ke 1 Hal 998
8
Prof. Dr Amir Syarifuddin “ Hukum Perkawinan Islam Indonesia” Jakarta : Kencana, 2006 Hal.143
1) Surah An-Nur ayat 26
Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-lakiyang keji, dan laki-laki yang
keji untuk perempuan-perempuanyang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan
yang baikuntuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untukperempuan-perempuan
yang baik (pula). Mereka itu bersih dariapa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh
ampunan danrezeki yang mulia (surga)”.
ٍ
ْ ِح َه ا ِإ اَّل َز ان
َأو َّ ِح ِإ اَّل َز انِيَةً َْأو ُم ْش رِكَةً َو
ُ الز انِيَةُ اَل ي َْن ك ُ الز ا يِن اَل ي َْن ك
َّ
وال تنكحوا شمالركات حتى یؤمن وألمة مؤمنةة خیر من شمركة ولو
أعجبتكم وال تنكحوا شمالرنیك حتى یؤمنوا ولعبد مؤمن خیر نم شمك ر ووألعجبكم أولئك یوعدن إىل
رانال وا یدعو إلى الجنة واغملفرة بإذنھ ویبین
یآاتھ للناس عللھم یتذكرون
D. Syarat-Syarat Khitbah
Syarat khitbah dalam perspektif islam terbagi menjadi dua, yaitu syarat
mustahsinah dan syarat lazimah. Syarat mustahsinah bukan merupakan syarat wajib yang
dipenuhi sebelum peminangan dilakukan akan tetapi hanya berupa anjuran dan menjadi
kebiasaan yang baik saja. Tanpa ada syarat mustahsinah peminangan tetap sah. Yang
termasuk syarat-syarat mustahsinah ialah:
a) Wanita yang dipinang itu hendaklah sejodoh, dengan laki-laki yang
meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama-sama baik
bentuknya, sama dalam tingkat kekayaan, sama-sama berilmu dan sebagainya.
b) Wanita yang akan dipinang itu hendaklah wanita yang mempunyai sifat kasih
sayang dan wanita yang peranak.
c) Wanita yang akandipinang itu hendaklah wanita yang jauh hubungan darah
dengan laki-laki yang meminangnya.
d) Hendaklah mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita
yang dipinang. Sebaliknya yang dipinang sendiri harus mengetahui juga keadaan
yang meminangnya
Syarat mustahsinah ini merupakan sebuah syarat yang bersifat anjuran bagi setiap
laki-laki yang ingin meminang wanita agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan
dikhitbahnya, dengan adanya syarat mustahsinah tersebut diharapkan seorang laki-laki
dapat memilih wanita yang tepat agar nantinya dapat membentuk keluarga sesuai
dengan yang dicita-citakan.
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.
Dengan demikian syarat lazimah ini mempengaruhi sah atau tidaknya khitbah yang
dilakukan, yang termasuk di dalamnya yaitu:
a. Wanita yang dipinang tidak istri orang lain dan tidak dalam pinangan laki-laki atau
apabila sedang dipinang oleh laki-laki lain. laki-laki tersebut telah melepaskan hak
pinangnya.
b. Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah talak raj’i, karena yang lebih berhak
menikahinya adalah mantan suaminya. Mantan suaminya boleh merujuknya kapan
saja dia kehendaki dalam masa iddah itu.9
“tanda orang munafik ada tiga, jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari, dan
jika dipercaya ia khianat ”.
9
Eliyyil Akbar “ TA’ARUF DALAM KHITBAH PERSPEKTIF SYAFI’I DAN JA’FARI” Musawa, Vol. 14, No 1,
Januari 2015
10
Wahbah Az-Zuhaili, “ Konsep Hukum Darurat Dalam Hukum Islam”, Gaya Media Pratama1997
Berdasarkan dalil-dalil diatas jelaslah bahwa jika seseorang sudah berjanji, maka
haruslah ia menepatinya, dan tidak boleh mengkhianati janji yang sudah dibuat.
Walaupun dalam hal peminangan yang status hukumnya belum mengikat dan belum pula
menimbulkan kewajiban oleh salah satu pihak. Maka orang tersebut tidak boleh
membatalkan dengan alasan yang tidak rasional dan haruslah dilakukan dengan yang
dibenarkan oleh syara’.
Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat ulama:
a) Menurut fuqaha Syafi’iyyah peminang berhak meminta kembali apa yang telah
diberikan kepada perempuan yang dipinangnya, jika barang yang diberikan kepada
terpinang masih utuh maka diminta apa adanya, jika barang itu rusak atau sudah
habis (hilang) maka diminta kembali nilainya seharga barangnya, baik pembatalan
itu dating dari pihak laki-laki maupun perempuan.
b) Menurut fuqaha Hanafiyyah bahwa barang-barang yang telah diberikan oleh pihak
peminang kepada pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh,
jika sudah berubah atau hilang, atau sudah dijual maka pihak laki-laki tidak berhak
meminta kembali barang tersebut.
c) Menurut fuqaha Malikiyyah bahwa apabila barang itu dating dari pihak peminang
maka barang-barang yang sudah diberikan tidak boleh diminta kembali, baik
pemberian itu masih utuh maupun sudah berubah. Sebaliknya apabila pembatalan
dating dari pihak yang dipinang maka jika pemberian itu masih utuh atau sudah 11
berubah maka boleh diminta. Apabila barang sudah rusak maka haruslah mengikuti
syarat dan adat.12
d) Menurut fuqaha Hanabilah dan sebagian fuqaha tabi’in berpendapat bahwa pihak
peminang tidak berhak dan tidak ada hak meminta kembali barang-barang yang telah
diberikan kepada terpinang, baik barang tersebut masih utuh atau sudah berubah,
Karena menurut mereka bahwa pemberian tidak boleh diminta kembali kecuali
pemberian seorang ayah kepada anaknya.13
11
Abdul bari Awang, Imam Mahdie “peminangan atau melamar,dan Akibat menurut hukum islam sertaundang-
undang islam di Indonesia” Kemala Publisher 2018 (Vol,6,No.2,2018) diakses 26 Maret 2021
12
Alhamdani, “Risalah Nikah Hukuk Perkawinan Islam”, (Jakarta:Pustaka Amani 1980)
13
Ahmad Hadi Mufaat, “Fiqh Munakahat, Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa Permasalahannya”, ( Semarang:
Duta Grafika, 1992)
e) Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut karena tidak ada dalil
yang terperinci dalam satu aspek, di sisi lain memang adanya kebolehan untuk
membatalkan peminangan karena alasan-alasan tertentu yang bersifat logis dan
masyru’(disyariatkan). Namun, jika timbul sengketa maka langkah yang terbaik
adalah menyelesaikannya dengan jalan musyawarah, hal ini senada dengan firman
Allah SWT di dalam surat An-nisa:128
“dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir”.
A. Kesimpulan
Khitbah dan kafa’ah adalah hal yang penting dilakukan sebelum
melakukan pernikahan. Khitbah adalah permintaan laki-laki kepada
perempuan atau sebaliknya, bisa dilakukan melalui perantara dan dapat
dilakukan dengan tanpa melihat wajah. Kafa’ah adalah keseimbangan antara
laki-laki dan perempuan yang akan melakukan pernikahan baik menyangkut
agama, ilmu, akhlak, status sosial maupun hartanya. Khitbah tidak dibicarakan
dalam Al-Quran maupun sunah Nabi, sehingga tidak ada yang
mewajibkannya, dalam arti hukumnya mubah. Dalam KHI disebutkan
peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan boleh melakukan
pembatalan. Berbeda dengan Khitbah, Kafa’ah banyak dibicarakan dalam Al-
Quran dan ayat-ayatnya menjelaskan bahwa kafa’ah itu penting terutama
dalam hal agama. Kafa’ah bukan syarat sah pernikahan namun memiliki peran
yang penting. Melakukan Khitbah haruslah memenuhi dua syarat yaitu syarat
mustahsinah dan lazimah. akibat hukum dari peminangan ini adalah sebagai
berikut: Belum menimbulkan akibat hukum, para pihak dapat memutuskan
hubungan kapan saja, Kebebasan memutuskan hubungan harus dilaksanakan
dengan cara yang baik, yakni sesuai dengan tuntunan agama dan tata cara
setempat, Antara pemberian (hadiah), dengan mahar haruslah dibedakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alhamdani, Risalah Nikah Hukuk Perkawinan Islam”, Jakarta, Pustaka Amani 1980
Awang, Abdul bari, Imam Mahdie, peminangan atau melamar,dan Akibat menurut hukum islam
sertaundang-undang islam di Indonesia, Kemala Publisher,2018 (Vol,6,No.2,2018)
diakses 26 Maret 2021
Az-Zuhaili, Wahbah, Konsep Hukum Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama1997
Dahlan, Mulyadi, Kafaah Dalam Pernikahan Menurut Ulama’ Fiqh, Jurnal Pengembangan
Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Hasibun, Samsinar, JumniNelly, Zulfahmi, Konsep Khitbah ( Melihat Pinangan Dalam Hadist
Rasullullah SAW), Jurnal of Islamic law Al- Madani, Vol. 1 No. 2, Juni 2022
Mufaat, Ahmad Hadi, Fiqh Munakahat, Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa
Permasalahannya, Semarang, Duta Grafika, 1992
Mustakim, Ahmad, Nurul Khalifah, Konsep Khitbah Dalam Islam, JAS MERAH, Jurnal Hukum
Dan Ahwal Al- Syahsiyyah, Vol 1 No. 2 Mei 2022
Sanjaya, Umar Haris dan Ainur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam, Gama Media,
Yogyakarta, 2017
Royani, Ahmad, Kaffah Dalam Perkawinan Islam (Telaah Kesederajatan Agama dan Sosial), Al
hawal, Vol 5 No.1