Anda di halaman 1dari 87

ABSTRAK

Ihsan, Ahsanul. 2015. Konsep Khitbah dalam Al-Qur‟an : Kajian Tafsir Surat
Al-Baqarah Ayat 235 dan Relevansinya dengan Materi Fiqih di
Madrasah Aliyah Kelas XI. SKRIPSI, Jurusan Tarbiyah, Program
Studi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Ponorogo (STAIN) Ponorogo, Pembimbing I: Dr. H. Sugihanto,
M.Ag.

Kata Kunci: Konsep Khitbah, Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 235, Materi Fiqih.

Peminangan atau khitbah adalah suatu langkah pendahuluan menuju ke


arah perjodohan antara seorang laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat
terdapat kebiasaan pada waktu upacara peminangan, yaitu calon laki-laki
memberikan sebagian maskawain (peningset) atau pemberian lainya kepada calon
perempuan seperti perhiasan dan yang lainnya sebagai tanda bahwa seseorang
tersebut sungguh-sungguh berniat untuk melanjutkan jenjang pernikahan. Dalam
surat al-Baqarah ayat 235 ini dijelaskan bahwa seorang laki-laki tidak boleh
mengucapkan kata-kata sindiran maupun terang-terangan untuk meminang wanita
yang masih berada dalam masa iddahnya yang belum selesai, baik iddah karena
kematian suami, maupun iddah karena talak bain. Tetapi hal itu sama sekali tidak
dibenarkan bila wanita itu berada dalam masa iddah dari talak raj`i. Materi Fiqih
merupakan salah satu ilmu yang sangat penting di dalam agama islam. Ilmu Fiqih
sangat diperlukan untuk mengetahui dengan luas dan mendalam tentang semua
perbuat manusia serta dalam menghadapi kasus, mulai dari Ibadat, Muamalat,
Munakahat dan Jinayat.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana


konsep khitbah dalam al-Qur‟an ?, (2) Bagaimana kajian tafsir al-Misbah surat al-
Baqarah ayat 235 tentang khitbah ?, (3) Bagaiman konsep khitbah dalam al-
Qur‟an : kajian tafsir al-Misbah surat al-Baqarah ayat 235 dan bagaiman
relevansinya dalam materi Fiqih Madrasah Aliyah kelas XI ?

Metode Penelitian ini menggunakan penelitian Kajian Pustaka (Library


Research) dengan menggunakan pendekatan Deskriptif, sedangkan untuk teknik
pengumpulan data yaitu diolah dengan cara Editing, Organizing dan Penemuan
Hasil, dan kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam pengarapannya
adalah dengan teknik analisis isi (Content Analysis).

Adapun hasil kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Pengertian khitbah
itu ada dua yaitu secara etimologis dan terminologi. Secara etimologis meminang
atau melamar artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi
sendri atau orang lain), Sedangkan makna khitbah secara terminologi adalah suatu
langkah pendahuluan menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan
wanita,,(2) Pelajaran dari ayat al-Baqrah ayat 235 dalam tafsir al-Misbah adalah
Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita yang masih dalam masa iddah

1
2

(masa iddahnya belum selesai), secara terang-terangan dengan lafadz (ucapan


yang jelas). Kemudian, Bolehnya menawarkan diri kepada wanita tersebut dengan
sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak terang-terangan,,(3) Konsep
khitbah dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 235 dalam tafsir al-Misbah
memiliki kesamaan dan kaitannya dengan materi Fiqih yang ada di Madrasah
Aliyah, di dalam konsep khitbah ini dalam penyajiannya mengambil buku-buku
terdahulu yang yang ditulis oleh tokoh lain yang masih relavan. Sehingga, dapat
dijadikan sumber belajar tambahan ataupun sebagai penguatan dan pendalaman
materi ajar Fiqih di Madrasah Aliyah yang menuntut adanya contoh konkrit dalam
proses belajar mengajar.
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan dimuka bumi untuk

saling berintraksi, dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai,

menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian. Nabi Muhammad Saw

menganjurkan setiap muslim agar segera menikah ketika sudah mampu.

Membujang bukanlah hal yang baik. Dengan menikah berarti melaksanakan

sunnah rasul dan bahkan telah menyempurnakan separuh agamannya.

Sebagaimana termaktub dalam surat ar-Rum ayat 21 bahwa tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga sakinah penuh mawadah dan

rahmah. Menurut undang undang perkawinan (UUP) no 1 tahun 1974 pun

menyebutkan hal serupa yang bahwa tujuan perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa.1

Sebagian banyak orang yang menikah tanpa bekal pengetahuan

memadahai tentang pernikahan. Dia hanya tau bahwa pernikahan adalah

relasi yang sah secara syar‟i anatara lelaki dan perempuan, yang terbungkus

dalam konsep yang berbeda-beda seiring perbedaan level sosial dan

intelektual masing-masing orang.

1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama , (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), 26.
4

Perspektif dalam islam tentang pernikahan sebenarnya jauh lebih

intergral dan komperhensif dari pada itu, karna Allah Swt telah menjadikan

pernikahan sebagai penenang dan penentram.2

Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih allah sebagai jalan

bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga kelestarian

hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang

positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tuhan tidak mau menjadikan

manusia seprti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya, dan

berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki tanpa suatu aturan.

Akan tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat, Allah membuat hukum

sesuai dengan martabatnya.3

Pernikahan adalah satu-satunya cara untuk menjaga kontinyuitas

kehidupan manusia dan pemakmuran dunia. Bukan karnanya, spesies

manusia akan punah. Pernikahan juga merupakan motivator utama bagi

manusia untuk bekerja dan berproduksi. Kalau bukan karnanya, orang takkan

bersemangat untuk bekerja dan mencari rezeki.4

Dan tujuan perkawinan sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan

undang-undang akan tercapai dengan baik dan sempurna bila sejak proses

awal (muqaddimat az-zawaj) juga dilaksanakan selaras dengan ketentuan-

2
Syaikh Fuad Shalih, Untukmu Yang Akan Menikah dan Telah Menikah, (Jakarta Timur:
Pustaka al-Khutsar, 2011), 29.
3
Anshori, Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum
Positif), (Yogyakarta: UII Press, 2011), 21.
4
Ibid…..30-31.
5

ketentuan yang telah digariskan oleh agama. “Di antara proses yang akan

dilalui itu adalah peminangan atau khitbah.”5

Peminagan atau khitbah dipahami sebagai langkah awal untuk

melangsungkan sebuah perkawinan. Peminangan yang dalam istilah jawa

disebut dengan lamaran, “lamaran ialah permintaan seorang laki-laki kepada

perempuan pilihannya agar bersedia menjadi istrinya baik dilakukan sendiri

secara langsung maupun melalui orang percayaannya.”6 Disyari‟atkan

sebelum ada ikatan suami-istri dengan tujuan agar memasuki pernikahan

didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing

pihak. Adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampingkan dengan

bahasa yang jelas dan tegas (syarih) atau dapat juga dilakukan dengan sindiran

(kinayah).7 Dan tenggang waktunya itu merupakan tenggang waktu yang

bagus yang selama masa itu diharapakan akan terwujud kecocokan dan

keharmonisan antara kedua belah pihak. Apabila prinsip kebebasaan memilih

masing-masing suami-istri telah mantap, hingga melakukan pilihan secara

transparan, maka seyogyanya masing-masing mengetahui factor kecocokan

antara mereka. Kalau kondisi kehidupan tidak memberikan kemudahan

kepada mereka untuk mengetahui hal ini sebelum dilaksanakanya

peminangan.8

5
Amiur Nurdin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, cet. ke-1
(Jakarta: kencana, 2004), 82 .
6
Fuad Kauman dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, cet. ke-8
(Yogyakarta: Mitra pustaka, 2003), 36.
7
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqih Al-Islam Wa Adillatuhu Juz-3, (Damsyiq: Dar Al-Fikr,
1984), 10.
8
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahhriirul-Mar‟ah fi‟ Ashrir-Risaalah (Kebebasan
Wanita) Jilid 5 , cet. Ke-2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 57.
6

Khitbah atau meminang yang merupakan langkah pendahulian menuju

pernikahan ini bukan hal yang baru dalam masyarakat kita. Meminang atau

mengajukan pinangan ini telah lama dikenal umum oleh masyarakat luas. Bagi

bangsa kita bangsa Indonesia, Dalam pelaksanaan khitbah biasanya masing-

masing pihak saling menjelaskan keadaan dirinya atau keluarganya.

Tujuannya tidak lain untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman di antara

kedua belah pihak.9 Proses meminang atau khitbah ini sudah menjadi tradisi

atau kebiasaan dan adat istiadat, dimana jika orang tua sudah memnentukan

siapa jodoh anaknya, terutama jika kedua anak tersebut sudah saling kenal-

mengenal, maka orang tua lelaki akan datang sambil membawa pinangan

untuk meminta persetujuan dari orang tua sang gadis. Setelah proses khitbah

ini, maka kedua belah pihak dapat saling bertemu dan berdiskusi untuk

mencocokan visi dan misi, membicarakan rencana-rencana, termasuk tentu

saja rencana pernikahan. Dengan demikian, pernikahan akan terlaksana

berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.

Jika dikaji lebih dalam, pada dasarnya khitbah atau meminang ini

adalah proses ta‟aruf atau perkenalan yang lebih intensif agar masing-masing

pihak dapat saling menjajaki kecocokan diantara kedua belah pihak yang

hendak terikat dalam pernikahan. Selain itu khitbah juga diperlukan agar

masing-masing pihak merasa tertarik satu sama lainnya. Pengertian bahwa

masing-masing pihak akan semakin merasa tertarik, karna tidak jarang antara

9
Dahlan Idhamy, Azas-Azas Fiqih Munakahat, (Surabaya: Al-Iklhas, 1984), 15.
7

gadis dan lelaki yang terlibat dalam masalah penting tersebut belum tentu

mengenal siapa sosok pribadi yang hendak dijadikannya pasangan hidupnya10.

Banyak segi positif yang bisa dicapai dengan adanya peminangan

sebelum akad nikah dilaksanakan. Islam tidak mengajarkan pasangan calon

suami-istri yang akan mengikatkan diri melalui ikatan suci perkawinan dan

membagun rumah tangga bersama, sebelumnya tidak saling mengenal. Oleh

karenanya media peminangan sangat tepat untuk saling mengenal bagi yang

sebelumnya memang belum saling kenal. Mengenal yang dimaksud tidak

hanya mengetahui identitas personalnya saja namun lebih dari itu adalah

memahami dan mengetahui karakteristik calon suami maupun istri. Hal ini

dipandang penting karena keduanya bermaksud melangsungkan perkawinan

dan membentuk mahligai rumah tangga yang semula dimaksudkan kekal

tanpa berujung dengan perceraian. Realitas di masyarakat menunjukkan

bahwa perceraian seringkali terjadi karna tidak adanya saling pengertian,

saling memahami dan menghargai masing-masing pihak. Dengan adanya

peminangan ini calon suami-istri ini bisa memahami dan mengerti arti sebuah

pernikahan.11

Peminangan di Indonesia juga diatur dan dijelaskan oleh pemerintah

dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan

pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu

kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria

dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yang isi yaitu: Pasal

10
Ilham Abdullah, Kado Untuk Mempelai, (Yogyakarta: Absolut, 2004), 231.
11
Amiur Nurdin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, cet. ke-
1 (Jakarta: kencana, 2004), 83 .
8

11 menjelaskan peminangan dapat dilakukan oleh orang yang mencari

pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya. Pasal 12, ayat (1)

menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita

perawan atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram

meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj‟iah, dan meminang

wanita yang sedang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya

peminangan dari pihak laki-laki. Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan

belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan

tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat.12

Dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 235 juga menjelaskan Dan

disyaratakannya adanya khitbah. Maka dari itu diperlukan sebuah kajian yang

serius untuk mendapatkan pemahaman yang kuat tentang konsep khitbah

dalam al-Qur‟an dan bagai mana hubunganya materi fiqih kelas XI mengenai

Bab munakahat terutama tentang Khitbah. Berbijak dari hal di atas, maka

penulis sagat tertarik untuk mengkaji lebih jauh masalah ini menjadi bahan

kajian dalam skripsi yang berjudul “KONSEP KHITBAH DALAM AL

QUR‟AN : KAJIAN TAFSIR AL-MISBAH SURAT AL BAQARAH AYAT

235 DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI FIQIH MADRASAH

ALIYAH KELAS XI”

12
Soesilo dan Pramudji R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KHI pasal 11-13) ,
(Rhedbook Publisher, cet 1, 2008), hal 505.
9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukan oleh penulis

diatas, maka permasalahan yang akan penulis teliti dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaiman Konsep Khitbah dalam Al-Qur‟an ?

2. Bagaiman Kajian Tafsir al-Misbah dalam Surat al-Baqarah Ayat 235

tentang Khitbah ?

3. Bagaiman Konsep khitbah dalam al-Qur‟an : Kajian Tafsir al-Misbah

Surat al-Baqarah Ayat 235 dan bagaimana Relevansinya dalam Materi

Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI semester genap ?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan

penelitian yang ingin dicapai sebagi berikut:

1. Untuk mengetahui konsep khitbah dalam Al-Qur‟an

2. Untuk mengetahui kajian tafsir al-Misbah dalam surat al-Baqarah ayat

235 tentang khitbah

3. Untuk mengetahui konsep khitbah dalam al-Qur‟an : kajian tafsir al-

Misbah surat Al- Baqarah ayat 235 dan bagaimana relevansinya dengan

materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI semester genap


10

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dan dirasakan dari peneliti ini, anatra lain

A. Manfaat secara teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan salah satu khazanah ilmu pengetahuan

yang ada hubungannya dengan konsep khitbah dalam al-Qur‟an dari

pandangan kajian tafsir al-Misbah surat al-Baqarah ayat 235 dan

relevansinya terhadap materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI.

B. Manfaat secara praktis

1. Bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan islam, dapat memberikan

wawasan tentang konsep khitbah dalam Al-Qur‟an dari pandangan

kajian tafsir surat Al-Baqarah ayat 235 dan bagaimana relevansinya

terhadap materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI.

2. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam hal

penelitian dan mengembagkan metode berfikir analisa, serta

menambah wawasan terkait dengan khitbah atau peminangan, serta

mendorong untuk mengerti sebuah makna peminagan sebelum adanya

akad nikah.

3. Bagi kampus, sebagai dokumen yang dapat dijadikan sumbangan

pemikiran dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di STAIN

ponorogo.
11

E. Telaah Pustaka

Hasil penelitian terdahulu mengenai Khitbah atau Lamaran yang dapat

penulis ungkapkan salah satunya Dalam skripsi Nur Kholifah tahun 2011 dari

kampus IAIN Walisongo Semarang, dengan judul “ANALISIS PENDAPAT

AHMAD AL-DARDIRI TENTANG STATUS PEMBERIAN AKIBAT

PEMBATALAN PEMINANGAN”, yang berisikan tentang pembatalan

peminangan dari kitabnya Ahmad al-Dardiri berpendapat bahwa pembatalan

pinangan yang dibatalkan pihak perempuan, maka pihak laki-laki berhak

mengambil pemberiannya kembali. Mengurungkan niat untuk megadakan

akad nikah, padahal sudah peminangan yang memberikan harapan kepada

pihak pinangan apalagi sudah berjanji adalah perbuatan munafik, jika yang

membatalkan peminangan adalah pihak yang meminang, maka ia merelakan

semua yang pernah diberikan kepada pihak yang dipinang, karena

pemutusannya atas kehendak sendiri. Sebaliknya jika yang membatalkan

adalah pihak dipinang. Tentu saja pembatalan peminangan itu mengecewakan

pihak peminang. Oleh karenanya pihak peminang berhak menuntut kepada

pinangannya atas pemberian yang pernah diberikannya itu. Pemberian yang

tidak dikaitkan dengan perkawinan, maka barang pemberian tidak dapat

diminta kembali. Sedangkan pemberian yang berkaitan dengan perkawinan

maka pemberian berhak diminta kembali hal ini dipengaruhi oleh tradisi yang

sudah terjadi dimasyarakat.


12

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu berusaha

menggali sedalam mungkin produk tafsir yang dilakukan oleh ulama-

ulama terdahulu berdasarkan berbagai literature tafsir baik yang bersifat

primer maupun sekunder.13

Karena penelitian ini di dasarkan pada data-data kepustakaan, maka

jenis penelitian ini disebut penelitian pustaka (library research) atau

kajian pustaka. Kajian pustaka adalah telaah yang dilaksanakan untuk

memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaah

kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relavan.14

2. Sumber Data

Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam penelitian ini berasal

dari berbagai literature kepustakaan yang mempunyai kaitan dengan “

konsep khitbah dalam al-Qur‟an: kajian tafsir surat al-Baqarah ayat 235

dan relevansi dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI. Dalam

penelitian ini, sumber data dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer, merupakan bahan utama atau rujukan utama yang

dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkap dan

menganalisis penelitian tersebut. Adapun data primer yang penulis

kitab tafsir al-Misbah dan buku Fiqih Munakahat

13
Muhammad Nur Hakim, Motodologi Studi Islam, (Malang: UMM Prees, 2005), 84
14
Buku Pedoman Penulisan Skripsi (Ponorogo, Jurusan Tarbiyah STAIN Po, 2014), 61.
13

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder, merupakan bahan atau rujukan yang ditulis

oleh tokoh-tokoh lain yang ada relevansinya dengan tema penelitian

ini, antara lain:

1) Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih.

2) Syaikh Mahmud al-Mashri, Bekal Pernikahan.

3) Suparmin dan Najiha Sabeela, Fiqih Madrasah Aliya Kelas XI

Semester Genap.

4) Dar Al-Ghad Al-Jadid Al-Mansura Mesir, Fikih Sunnah Wanita .

5) Dept.Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, oleh karna itu

teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan

data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek

pembahasan yang dimaksud.15

Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah

dengan cara:

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama

dari segi kelengkapan, kejelasan makna dan keselarasan makna

antara satu dengan yang lain.

b. Organizing, yaitu menyajikan data-data yang diperoleh dengan

kerangka yang sudah ditentukan.

15
Suharmini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), 24.
14

c. Penemuan hasil, yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil

perorganisasian data sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang

merupakan jawaban dari rumusan masalah.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis isi (Content Analysis). Teknik analisis isi disini adalah teknik

untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karaktristik pesan,

yang penggarapannya dilakukan secara objektif dan sistematis. Selain

fungsi-fungsi tersebut, teknis analisis isi juga digunakan untuk

membandingkan isi sebuah buku dengan yang lain dalam bidang kajian

yang sama, baik berdasarkan kepada perbedaan waktu penulisannya,

maupun mengenai kemampuan buku yang disajikan kepada khalayak

masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu.16

Teknik analisi isi ditunjukkan untuk menghimpun dan

menganalisis dokumen-dokumen resmi, dokumen yang validitas, dan

keabsahannya terjamin baik dokumen perundangan dan kebijakan

maupun hasil-hasil penelitian. Analisa juga dapat dilakukan terhadap

buku-buku teks, baik yang bersifat teorits maupun empiris. Kegiatan

analisis ditunjukkan untuk mengetahui makna, kedudukan, dan hubungan

antara berbagai konsep, kebijakan, program, kegiatan, peristiwa yang ada

16
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Prees, 1993), 3.
15

atau yang terjadi untuk selanjutnya mengetahui manfaat, hasil atau

dampak dari hal-hal tersebut.17

Sementara itu, untuk memperoleh pemaparan yang objektif dalam

hal ini, tak lain adalah dengan menggunakan metode berfikir induktif dan

dekduktif. Metode induksi adalah cara yang dipakai untuk mendapatkan

ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-

hal atau masalah yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan

secara umum. Sedangkan dekduksi cara yang dipakai untuk mendapatkan

ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-

hal atau masalah yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan

secara khusus.18

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penulisan hasil penelitian dan agar dapat dicerna

secara rumit, diperlukan sebuah sistematika pembahasan. Dalam laporan

penelitian ini, penelitian mengelompokkan menjadi lima bab yang masing-

masing bab terdiri dari sub-sub yang saling berkaitan satu sama lain,

sistematika selengkapnya sebagai berikut:

Bab satu berisi pendahuluan yang menggamabarkan secara umum

kajian ini, yang isinya terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka dan landasan teori, metode

17
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan , (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2007), 81-82.
18
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), 57.
16

penelitian dan sistematika pembahasan dengan demikian merupakan

pengantar penelitian ini.

Bab dua membahas ruang lingkup ilmu pendidikan yang meliputi:

Pengertian khitbah, Dasar hukum khitbah, Wanita yang disunnahkan untuk

dilamar, Syarat-syarat khitbah, Meminang wanita yang sedang dalam iddah,

Batas-batas dalam melihat wanita Pinangan, Pembatalan khitbah dan hal-hal

yang ditimbulkannya.

Bab tiga Membahas konsep khitbah dalam tafsir al-Qur‟an surat al-

Baqarah ayat 235 dalam tafsir al-Misbah, didalam bab ini akan tersaji sekilas

Biografi M. Quraish shihab, Perjalanan intelektual M. Quraish Shihab,

Tentang tafsir Al-Misbah, Konsep khitbah dalam surat al-Baqarah ayat 235

perspektif tafsir Al-Misbah.

Bab empat Berisi tentang analisis terhadap konsep Khitbah dalam

tafsir al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 235 dan relevansinya dengan materi

Fiqh Madrasah Ailiyah kelas XI semester genap.

Bab lima merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dalam

pembahasan sekripsi ini serta saran-saran terkait dengan hasil penelitian.


17

BAB II

KONSEP KHITBAH

A. Khitbah (Lamaran)

1. Pengertian Khitbah

Kata khitbah berasal dari bahasa arab yang mempunyai sinonim

dengan peminagan, yang berasal dari kata “pinang” atau “melamar” (kata

kerja).19 Atau bersinonim juga dengan lamaran.

Secara etimologis meminang atau melamar artinya (antara lain)

“meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi sendiri atau orang lain)”.

Dikatakan pula bahwa kata khitbah yang dalam bahasa Melayu disebut

“peminangan” adalah bahasa Arab standar yang terpakai dalam pergaulan

sehari-hari, terdapat dalam firman Allah dan terdapat pula dalam ucapan

Nabi serta disyariatkan pula dalam suatu perkawinan yang waktu

pelaksanaanya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.20 Termaktub

di dalam Surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:

   


   
  
    
 
   
   
   
  
   
  

19
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: PT Kencana, 2006), 73.
20
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, ,( Jakarta:Kencana, 2003), 82.
18

   


  
    

Artinya:”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu,


dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang
ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk
beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu;
Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS. Al-Baqarah: 235)21

Dapat dipahami, bahwa ayat di atas dimaksudkan untuk menjaga

perasaan dan kehormatan wanita dan keluarga yang hendak dipinang. Hal

ini dikarenakan, Apabila seseorang menyatakan keinginannya untuk

menikahi wanita melalui kata-kata sindiran atau kiasan dan ternyata tidak

berlanjut, maka perasaan kedua belah pihak dan keluarganya akan relatif

terjaga.

Sedangkan makna Khitbah secara terminologi adalah suatu langkah

pendahuluan menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan wanita.22

Pengertian tersebut senada dengan pendapat Sayyid Sabiq yang cenderung

memahami khitbah sebagai permintaan seorang laki-laki kepada seorang

perempuan untuk dijadikan istrinya dengan melalui beberapa tahapan yang

sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.23 Dari pada itu, di dalam buku

21
Dept.Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,, t.t), 57.
22
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1999), 927.
23
Sayyid Sabiq, "Fiqh al-Sunnah"Terjemah Mudzakkir AS, Fikih Sunnah, Jilid VI,
(Bandung : PT. al-Ma'arif, 1980), 30 – 31.
19

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia disebutkan pula bahwa khitbah

adalah penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang yang

sebelumnya telah melalui proses seleksi.24

Selaras dengan hal tersebut, dikatakan bahwa hikmah

disyari‟atkannya khitbah atau peminangan adalah untuk lebih menguatkan

ikatan perkawinan yang akan diadakan sesudahnya. Masih menurut

sumber yang sama, selain diharapkan kedua belah pihak dapat saling

mengenal karakteristik pasangannya masing-masing, juga akan benar-

benar didasarkan pada pandangan dan penilaian yang jelas dari masing-

masing pihak.25

2. Dasar Hukum Khitbah

Ada sebuah keniscayaan bahwa di dalam al-Qur'an dan Hadits telah

mengatur khitbah serta beberapa hal yang erat kaitannya dengan

peminangan. Namun demikian, tidak ditemukan secara jelas dan terarah

adanya perintah atau larangan di dalam melakukan peminangan. Khitbah

bukanlah syarat sah nikah. Andaipun nikah dilangsungkan tanpa khitbah,

pernikahan tersebut sah hukumnya. Akan tetapi, biasanya khitbah

merupakan salah satu sarana untuk menikah, Oleh karena itu, dalam

menetapkan hukumnya tidak terdapat para jumhur ulama yang

mewajibkannya, sehingga dapat dipastikan bahwa hukumnya adalah

mubah. Pendapat yang lain dipegang mazhab Syafi‟i adalah khitbah ini

24
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , ( Jakarta: Prenada Media, 2006), 49.
25
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 41.
20

hukumnnya Mustahabb (dianjurkan) karna Rasulullah juga pernah

melakukannya, yaitu saat beliau meminang Aisyah binti Abi Bakar dan

Hafishah binti Umar r.a26.

Berbeda dengan pendapat di atas, Muhammad al-Khathib al-

Syarbini dengan menukil pendapat Imam al-Ghazaliy berpendapat bahwa

hukum khitbah adalah sunnah.27

Lebih jauh lagi Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid dengan

menyadur pendapat Daud al-Dhahiriy mengatakan bahwa dengan

bertendensi pada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi Muhammad

SAW. Dalam peminangan, maka dapat dipastikan hukum khitbah adalah

wajib.28 Senada dengan pendapat yang terakhir adalah pendapat yang

mengatakan bahwa hukum khitbah disamakan dengan hukum nikah,

mengingat khitbah adalah salah satu sarana menuju terwujudnya

pernikahan.29

Khitbah dalam hukum islam bukan merupakan hal yang wajib

dilalui, setidaknya merupakan tahap yang lazim pada setiap yang akan

melangsungkan perkawinan. Tradisi khitbah tidak saja berlangsung setelah

agama islam datang, akan tetapi ada sebelum islam datang. Dan kini

tradisi khitbah sudah menjadi tradisi yang banyak dilakukan di semua

26
Syaikh Mahmud al-Mashri, Bekal Pernikahan , (Jakarta: Qisthi Press, 2010),289.
27
Muhammad al-Khathîb al-Syarbînî, Mughni al-Muhtâj, Juz III , (Bairût: Dâr al-Fikr,
tt), 135.
28
Ibn Rusyd Al-Qurthubiy Al Andalusiy, Bidâyat al-Mujtahîd wa Nihâyat Al-
Muqtashid , ( Bairût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 2004), 435 - 436.
29
Muhammad al-Khathîb al-Syarbînî, Anonimous, Ensiklopedi Islam di Indonesia ,
(Jakarta: CV. Anda Utama, 1992), 624.
21

tempat di belahan bumi ini, termasuk di dalam hukum adat kita, tentu

dengan tata cara yang berbeda pula bagi setiap tempat.

3. Wanita yang disunahkan untuk di lamar

Dalam melamar, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan

beberapa sifat yang ada pada wanita yang akan dilamar, diantaranya:

a. Wanita itu disunnahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya,

ia harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang

suami pun memiliki kecenderungan dan rasa cinta kepadanya.

b. Disunnahkan pula agar wanita yang akan dilamar itu seorang yang

banyak memberikan keturunan, karna ketenangan dan kebahagian

keluarga akan terwujud lahirnya anak-anak yang menjadi harapan

setiap pasangan suami-istri.

c. Hendaklah wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis

dan masih muda.

d. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk

keluarga dekat.

e. Disunnahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang

mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat.

f. Hendaklah wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak

mulia.
22

g. Selain itu hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang

cantik dan kecantikan itu pula yang akan membantu menjaga kesucian

dan kehormatan.30

4. Syarat-Syarat Khitbah

Dalam melakukan sesuatu seseorang itu diharuskan untuk

memenuhi suatu syarat, baik syarat itu diadakan sebelum maupun sesudah

sesuatu itu terjadi. Begitu juga dalam peminangan diharuskan adanya

syarat yang harus dipenuhi, baik sebelum ataupun sesudah peminangan

dilakukan. Dalam hal ini syarat peminangan dibagi menjadi dua yaitu:

a. Tidak ada penghalang yang dapat menghalang pernikahan dengan

yang dipinang. Yaitu seperti adanya penghalang yang bersifat abadi,

seperti bibi, saudara sekandung atau saudara sesusuan. Dan ada yang

bersifat sementara, seperti saudara wanita istri, istri orang lain, wanita

yang iddah karena cerai atau perpisahan. Wanita-wanita tersebut

diharamkan untuk dikhitbah sampai hilang sebab-sebab

keharamannya.

Meminang wanita yang bersuami atau dalam masa iddah orang

lain, maka itu tidak diperbolehkan karna bertentangan dengan hak

orang lain yang mengakibatkan orang lain menjadi musuh.31

b. Tidak sedang dalam pinangan orang lain.

30
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga , (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2001), 38-42.
31
Dar Al-Ghad Al-Jadid Al-Mansura Mesir, Fikih Sunnah Wanita , (Jakarta: Pustaka Al-
Kausar, 2008), 405.
23

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah SAW

bersabda, “sebagian kalian tidak boleh membeli atau menawar atas

sesuatu yang sudah dibeli atau ditawar oleh sebagian yang lain dan

sedangkan kalian tidak boleh mengkhitbah sebagian yang lain.”32

Dalam riwayat yang lain dengan menggunakan redaksi,

“Seorang laki-laki tidak boleh membeli atau menawar atas sesuatu

yang beli atau ditawar saudaranya dan seorang laki-laki tidak boleh

mengkhitbah atas khitbah saudaranya kecuali ada izin baginya.”33

Pada pasal 12 KHI juga menjelaskan, pada prinsipnya,

peminagan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih

perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat

dipahami sebagai syarat peminagan. Selain itu syarat-syarat lainnya,

wanita yang dipinang tidak terdapat halangan seperti berikut, pasal 12

ayat (2), (3), dan (4) yang berbunyi

Ayat (2) wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam

masa iddah raj‟iah, haram dan dilarang untuk dipinang, ayat (3)

dilarang juga meminag seseorang wanita yang sedang dipinang orang

lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada

penolakan dari pihak wanita. Sedangkan ayat (4) putus pinangan pihak

pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan

32
Hadist Shahih, HR. AL –Bukhari dalam Kitab Al-Buyu‟,2139 dan Muslim dalam Kitab
An-Nikah, 1412
33
Dar Al-Ghad Al-Jadid Al-Mansura Mesir, Fikih Sunnah Wanita , 407-408
24

atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauh dan

meninggalkan wanita yang dipinang.34

Jadi dapat diambil suatu pemahaman, bahwa syarat

peminangan terletak pada wanita, yaitu

1) Wanita yang dipinang tidak/bukan istri orang.

2) Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.

3) Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah raj‟i. perempuan

yang menjalani masa tunggu raj‟i, bekas suaminyalah yang berhak

merujukinya

4) Wanita dalam masa iddah wafat, tetapi hanya boleh dipinang

dengan sindiran (kinayah).

5) Wanita dalam masa iddah bain shugra oleh bekas suaminya.

6) Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh dipinng bekas

suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain, didukul

(bersegama ) dan diceraikan.

Dari urain diatas dapat diambil pemahaman, bahwa wanita

yang setatusnya kebalikan dari yang dijelaskan tersebut di atas, maka

terhalang untuk dipinang.35

5. Meminang Wanita Yang Sedang Dalam Iddah.

Wanita yang sedang dalam „iddah tidak boleh dikawini seperti

tersebut dalam bab wanita yang haram dinikahi. Namun demikian tidak

34
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam Dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
377-378.
35
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 65.
25

semua wanita dalam „iddah haram dipinang secara mutlak. Untuk jelasnya

perlu diperinci sebagai berikut :

a. Wanita yang sedang menjalani „iddah talak raj‟I yakni talak masih

memungkinkan bagi suami yang menalak itu untuk melakukan ruju‟

dan wanita itu haram dipinang baik dengan sindiran atau terang-

terangan.

b. Wanita yang sedang menjalani „iddah karena thalak bain atau seperti

wanita yang ditalak tiga oleh suaminya, maka diperbolehkan

meminang wanita tersebut hanya dengan sindiran dan tidak

diperbolehkan secara terang-terangan. Hal ini dikarenakan wanita yang

ditalak bain atau ditalak tiga seperti wanita yang ditinggal mati

suaminya yaitu status perkawinan mereka terputus tanpa adanya ruju‟

(kembali).

c. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, haram dipinang secara

terang-terangan selama „iddah, tetapi boleh dipinang dengan sindiran.

Maksutnya adalah diperbolehkan meminang wanita yang ditinggal

mati suaminya karena untuk menghilangkan kemungkinan dusta dalam

„iddah. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selesai setelah

melahirkan atau setelah empat bulan sepuluh hari bagi wanita iddah

yang tidak sedang hamil. Kebohongan atau dusta pada pengurangan

masa iddah tidak bisa diterima.36

6. Batas-batas dalam Melihat Wanita Pinangan

36
Drs. Murni Djamal, MA. Ilmu Fiqih Jilid II , (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama/IAIN, 1983), 93
26

Melihat calon istri atau suami, melihat perempuan yang akan

dinikahi dianjurkan bahkan disunahkan oleh agama, seorang laki-laki yang

hendak melamar melihat wanita yang dilamarnya, demikian juga

sebaliknya jika keduanya tidak pernah melihat sebelumnya. Karena

penglihatan akan menenagkan hati kedua pihak, dimana mereka akan

melihat bahwa pada masing-masing dari keduanya terdapat hal yang

menarik untuk dinikahi.37 Sedangkan melihat calon istri untuk mengetahui

penampilan dan kecantikannya dipandang perlu untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang bahagia.38

Ada beberapa pendapat tentang kebolehan melihat seseorang

perempuan yang akan dipinang. Dalam hal ini para jumhur ulama seperti

Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Syafi‟I, salah satunya menurut

Madzahab Syafi‟I, tidak boleh melihat perempuan, selain muka dan kedua

telapak tangannya. Adapun sebaliknya dari itu adalah aurat. Firman Allah

SWT:

 
  
  
   
   
 
 

Artinya:“Katakanlah (hai Muhammad)kepada wanita-wanita mukmin,


hendaklan, mereka memejamkan sebagian pandangannya. Dan
hendaklah mereka menjaga kehormatan. Dan janganlah mereka
memperlihatkan kecantikan mereka, kecuali barang yang lahir.

37
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, 43.
38
Suparmin dan Najiha Sabeela, Fiqih Madrasah Aliya Kelas XI Semester Genap, (sragen
: CV rahma media pustaka), 6.
27

Dan hendaklah mereka tutupkan kerudung mereka sampai


kedadanya ” (Q.S. An-Nur: 31)39

Ibnu Abbas r.a berkata yang dimaksut dengan barang yang lahir

adalah muka dan telapak tangan. Dan boleh memperlihatkan aurat kepada

suami, ibu, bapak, dan orang-orang yang haram nikah dengan mereka

(muhrim).40 Firman Allah SWT:

   


 
 
  
 
  
  
  
 
   
 
  
  
  
  
   
Artinya: “Dan wanita-wanita itu tak boleh memperlihatkan kecantikan
mereka, kecuali kepada suami, bapak bapak suami(mertua),
atau anak, atau anak-anak suami atau saudara perempuan, atau
anak-anak saudara yang laki-laki atau anak-anak saudara yang
perempuan, atau istri-istri, atau yang dimiliki oleh tangan
kanan mereka (budak mereka)matau laki-laki yang tak ada
keinginan terhadap perempuan atau kepada anak-anak yang
belum tahu akan aurat perempuan.” (Q.S. An-Nur: 31)41

39
Abdul Malik Mujahid, Al Qur‟an dan Terjemahnya. Juz 18, (Darusalam: Global Leader
In Islamic Books, 2006), 493
40
H. Idris Ahmad S,H. Fiqih Syafi‟I (Fiqih Islam menurut Mazhab Syafi‟i), (Jakarta:
Karya Indah,1986), 283-284 .
41
Abdul Malik Mujahid, Al Qur‟an dan Terjemahnya. Juz 18, 493.
28

Maksut kecantikan yang boleh diperlihatkan kepada orang-orang

tersebut diatas ialah selain kecantikan antara pusar dan lutut sebab

kecantikan ini tetap haram hukumnya diperlihatkan..

Muhammad bin Ismail San‟ani berkata, pada beberapa hadist atas

disunahkan untuk mendahulukan melihat orang yang hendak dinikahi.

Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Memandang disini

hanyalah ditunjukan pada muka dan telapak tangan karena sesungguahnya

muka itu telah dapat menunjukkan kecantikan atau tidaknya perempuan itu

sedangkan telapak tangan menunjukkan lembut atau tidaknya badan

perempuan itu.42

Dari Mazhab Hambali bersependapat sama dengan Mazhab Syafi‟i

boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena wajah adalah pusat

segala keindahan, objek pandangan, dan bukti kecantikan, sedangkan

telapak tangan adalah bukti kesuburan. Dikalangan Ulama Mazhab

Hanbali yang paling benar adalah melihat anggota tubuh yang biasanya

sering terlihat, seperti leher, dua tangan, dan dua kaki.43

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya

berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah

wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu.

Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin

mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih

dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada
42
Drs. H. Ibnu Mas‟ud, Fiqih Madzab Syafi‟I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalah,
Munakahat, Jinayat, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 259-260.
43
Syaikh Mahmud al-Mashri, Bekal Pernikahan , (Jakarta: Qisthi Press, 2010), 317.
29

umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah wajib dan cukup memandang

anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua

tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika dalam sholat dan haji.44

Fuqaha yang lain sepeti Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya

melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Namun

pendapat Dawud Azh-Zhahiri telah ditolak mayoritas ulama, karena

pendapat mereka menyalahi ijma‟ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan

kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya.

Bagaimanapun, tak masuk akal dan tidak sesuai syariat jika seorang

wanita disuruh telanjang bulat agar peminangannya dapat melihat apa

yang dia inginkan. Jika demikian halnya fitnah dan kehancuran akan

merajalela dimuka bumi ini.

Silang pendapat ulama diatas disebabkan karena dalam persoalan ini

terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula

larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas yakni

pada muka dan dua telapak tangan.

7. Pembatalan Khitbah dan Hal-hal yang Ditimbulkannya

Khitbah atau pinangan sebagaimana yang telah kami sebutkan

adalah janji untuk menikah, bukan pernikahan itu sendiri. Oleh karna itu,

terkadang pembatalan pinangan benar-benar terjadi ketika salah satu atau

kedua belah pihak merasa tidak ada kecocokan untuk dapat melanjutkan

ke proses pernikahan.

44
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Kencana, 2003), 75.
30

Berpalingnya satu pihak dari yang lain adalah hal yang

diperbolehkan menurut syariat, dengan pertimbangan bahwa khitbah

dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad, namun sebatas perjanjian

untuk menikah. Oleh sebab itu, pembatalan khitbah tidak mengharuskan

laki-laki yang meminang dan wanita yang dipinang menjalani apa yang

harus dijalani akibat berakhirnya pernikahan.

Hanya saja yang kita ketahui dalam kehidupan kontenporer kita saat

ini bahwa pinangan sudah sangat lazim menuntut adanya pemberian-

pemberian kepada wanita yang dipinang, yang mana pemberian

terpentingnya adalah cincin atau yang terkenal dengan istilah tukar cincin.

Terkadang peminangan menyerahkan sebagaian atau seluruh

mahar, yang dimaksudkan untuk menunjukkan berbegangnya peminang

kepada wanita yang dipinang atau untuk menunjukkan keseriusannya.

Terkadang pihak wanita yang memberi hadiah-hadiah kepada calon suami.

Lalu bagaimana pandangan hukum islam mengenai pemberian-

pemberian yang telah diserah-terimakan kedua belah pihak ketika

keduanya berpaling meniggalkan pinangan? Jawaban atas pertanyaan ini

memiliki dua sisi:

a. Sisi pertama dari sisi mahar (Peningset)

Apabila peminang telah menyerahkan sebagian atau seluruh

mahar kepada wanita yang dipinangnya. Atau juga disebut dengan

peningset, peningset adalah dari kata dasar singset (jawa) yang berarti

ikat, peningset jadi berarti pengikat, sedangkan secara definisi adalah


31

suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua

pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin wanita. Sedangkan

mahar inilah yang biasanya disebut syabakah, yaitu perhiasan yang

diberikan peminang kepada wanita pinangannya setelah keduanya

sepakat menikah. Kadang-kadang pemberiannya dilakukan sebelum

akad nikah atau sesudahnya, tergantung tradisi yang berlaku, maka ia

berhak meminta mahar yang telah diserahkannnya itu, jika ia

mengundurkan diri dari pinangannya45 Karena mahar merupakan

bagian dari persyaratan dan tuntutan akad nikah. Dan oleh karna itu

pernikahan tidak terjadi, maka wanita tidak berhak atas mahar,

seluruhnya maupun sebagiannya. Ia pun harus mengembalikan mahar

tersebut apa adanya jika belum rusak, meskipun mahar tersebut telah

berubah akibat digunakan, atau diberikan tersimpan pada wanita itu.

Misalnya meyimpan sarana dan peralatan setelah digunakan, atau

menggunakan mobil yang pernah diserahkan kepadanya sebagai mahar

atau bagian-bagian dari mahar.

Para ulama Fiqih Madzab Hanafi berpendapat bahwa peminang

tidak memiliki hak untuk menuntut kembali berkurangnya nilai mahar

yang disebabkan oleh penggunaan. Mereka beralasan bahwa wanita

yang dipinang memiliki kekuasaan untuk mempergunakan berdasarkan

statusnya sebagai pemilik ketika menggunakannya.

45
Syaikh Mahmud al-Mashri, Bekal Pernikahan , 338.
32

Apabila pemilik menggunakan apa yang ada dalam

kekuasaannya ada sesuatu yang dimilikinya, maka ia tidak

berkewajiaban sama sekali mengganti kekurangan yang ditimbulkan

akibat pemakaian benda yang dimiliki itu.

Sedangkan apabila materi mahar yang telah diserahkan itu

rusak, maka peminang berhak menuntut ganti benda tersebut atau uang

yang senilai. Hal ini karena ia menyerahkan mahar tersebut atas dasar

pertukaran, yakni sebagai ganti menikah. Karena pernikahan tidak

terjadi, maka ia berhak meminta kembali apa yang pernah ia berikan.

Sedangkan An-Nawawi dan Asy-Safi‟I mengatakan, “Apabila

keduanya sama-sama mengakui telah terjadi serah terima harta, lalu

peminang mengatakan, “Aku menyerahkan sebagaian mahar,” sedang

yang wanitanya mengatakan, “Bukan mahar, akan tetapi hadiah,”

maka jika keduanya sama-sama mengakui bahwa serah terima tersebut

berupa ucapan namun berselisih apakah yang dikatakan peminang itu

mahar ataukah hadiah, maka pernyataan yang dibenarkan adalah

ucapan peminang yang disertai dengan sumpah.

Dan apabila keduanya mengakui bahwa dalam serah terima itu

tidak terjadi percakapan dan berselisih mengenai yang diniatkan oleh

peminang, maka pernyataan yang dibenarkan adalah juga pernyataan

peminang yang disertai dengan sumpah.


33

Ada pula ulama yang berpendapat tidak perlu disertai sumpah,

baik yang diserahkan itu sejenis dengan mahar atau tidak, baik berupa

makanan atau lainnya.

Ibnu al-Hammam al-Hanafi berpendapat, “Apabila suami

menyerahkan sesuatu kepada istrinya, kemudian istri mengatakan, “itu

adalah hadiah,” sedang suami mengantakan, “itu adalah sebagian dari

mahar,” maka pernyataan laki-laki, karena dialah pihak memberi. Jadi

ia lebih tahu maksud dari pemberiannya itu.”

b. Sisi kedua berhubungan dengan hadiah.

Al-Bukhari dalam Shaih-nya menyebutkan: Bab pemberian

suami kepada istri dan istri kepada suami, dalam memberikan

tanggapan tentang hal ini, Ibrahim berpendapat bahwa itu

dikatagorikan sebagai hadiah.

Umar bin Abdul Aziz berpendapat keduanya tidak dapat saling

meminta kembali. Rasulullah SAW pernah meminta izin kepada istri-

istri beliau agar selama sakit beliau di rumah Aisyah. Beliau

mengatakan,

“Orang yang mengambil kembali pemberiannya adalah seperti anjing

yang menjilat kembali air muntahnya”

Az-Zuhri berpendapat mengenai suami yang berkata kepada

istrinya, “Berikanlah kepadaku sebagian atau semua maharmu,” lalu

tidak lama ia menceraikannya dan istri meminta kembali

pemberiannya; Az-Zuhri mengatakan, “Suami harus


34

mengembalikannya jika dahulunya ia telah membujuknya untuk mau

memberikan. Dan jika istri memberikannya dengan kerelaan hati

sedangkan suami sama sekali tidak melakukan tipu daya, maka hal ini

boleh.”46 Allah berfirman,

 
   
    
  
 
Artinya: “kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”(An-Nisa: 4)47

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum hadiah-hadiah

yang diserahkan peminangan kepada wanita pinangannya pada masa

pinangan.

Para pengikut Hanafi memandang bahwa hadiah-hadiah

tersebut jika masih ada boleh bagi peminang memintanya kembali,

misalnya gelang, cincin, kalung, anting-anting, jam dan sejenisnya.

Apabila hadiah tersebut telah rusak atau habis, maka peminang

tidak berhak menuntut ganti atau uang senilai, hal itu karna pemberian

hadiah kepada wanita pinangan sebenarnya adalah hibah. Dan hadiah

memiliki hukum hibah. Yaitu apabila benda yang dihibahkan rusak

atau habis, maka hal itu menyebabkan tidak dapat diminta kembali,

baik berupa penganti atau uang yang senilai dengannya.

46
Dar Al-Ghad Al-Jadid Al-Mansura Mesir, Fikih Sunnah Wanita , 409-412.
47
Abdul Malik Mujahid, Al Qur‟an dan Terjemahnya. Juz 4, 100.
35

Sedangkan pengikut Imam Malik memandang bahwa hadiah-

hadiah yang diserahkan pada masa peminangan tidak dapat diminta

kembali apabila pinangan tidak dilanjutkan, baik penghentian itu dari

pihak wanita yang dipinang maupun dari pihak laki-laki peminang,

baik hadiah itu masih tetap keadaannya ataupun tidak.48

Pada kesempatan lain sebagian pengikut Imam Malik membuat

perincian, yaitu apabila pembatalan dilakukan oleh pihak wanita, maka

laki-laki peminang dapat meminta kembali hadiah yang telah

diserahkannya, sebab ia memberikannya atas dasar akan menikahinya.

Jika pernikahan tidak terjadi, maka wanita yang dipinang tidak berhak

atas hadiah tersebut. Kecuali apabila telah disepakati tidak perlu ada

pengembalian apabila pernikahan tidak terjadi, atau terdapat tradisi

kuat di lingkungan itu yang sesuai dengan syarat tersebut.

Umat islam bertindak berdasarkan syarat-syarat diantara

mereka, dan wajib hukumnya melaksanakan syarat yang telah

ditetapkan dan tradisi yang kuat di lingkungan manusia, sebagaimana

kewajiban melaksanakan syarat yang telah disepakati bersama.

Sedangkan apabila pembatalan berasal dari pihak laki-laki

peminang, maka ia tidak berhak menuntut kembali hadiah-hadiahnya,

meskipun hadiahnya tersebut masih tetap keadaanya seperti semula

dan berada pada wanita yang dipinang.

48
Sa‟id Bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan
Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 36.
36

Para pengikut Imam Syafi‟I berpendapat bahwa apa yang

diberikan peminang kepada wanita pinangannya setelah diterimanya

pinangan dan sebelum dilakukan akad nikah adakalanya dimaksudkan

sebatas hadiah, artinya peminang tidak berniat memberikan sesuatu itu

karna hendak menikahinya. Adakalanya pula ia tidak bermaksud

memberikannya hanya sebatas sebagi hadiah semata, namun

pemberian itu semata-mata untuk tujuan agar ia dapat menikainya,

maka dalam hal ini ia berhak untuk meminta kembali apa yang pernah

dikirimkannya kepada mereka; baik bila mereka yang membatalkan

pinangan atau dia sendiri yang tidak meyukai mereka dan pembatalan

berarti berasal darinya.

Para pengikut Imam Hambali berpandangan bahwa apabila

keluarga wanita yang dipinang telah berjanji menikahkan peminang

dengan anak perempuan mereka dan mereka tidak memenuhi janji itu,

maka peminang berhak meminta kembali hadiah yang telah

diberikannya kepada wanita pinangannya itu.

Hal tersebut disebabkan karena ia memberikan hadiah kepada

wanita itu adalah sebagai ganti ia akan menikahinya, namun

kenyataannya mereka tidak mau menikahkan, maka penyebab

pembatalan berasal dari mereka.

Apabila wanita yang dipinang meninggal dunia setelah

sebelumnya terdapat kesepakatan antara peminang dan wanita tersebut

beserta walinya untuk terlaksananya pernikahan, dan peminang sudah


37

pernah memberikan kepada wanita itu sebagian hadiah, maka

peminang tidak berhak untuk meminta kembali hadiah yang telah

diberikannya.

Hal ini disebabkan karena tidak terlaksananya pernikahan

bukanlah dari pihak mereka, sebab mereka sama sekali tidak dapat

menghindarkan kematian.

Demikian pula, apabila yang meninggal itu adalah peminang.

Ahli warisannya tidak berhak meminta kembali hadiah dari wanita

yang dipinanag maupun keluarganya.49

Demikianlah pendapat-pendapat yang masyhur dalam Fiqih

Islam khusus mengenai masalah ini. Kami cenderung kepada pendapat

Malikiyyah demi menjaga perasaan perempuan yang dipinang, yang

membatalkan itu datang bukan dari pihaknya. Untuk mengembirakan

dan untuk menunjukkan kebesaran jiwa. Meminta kembali barang-

barang yang diberikan kepada perempuan yang dipinang menunjukkan

kekerdilan jiwa, tidak sopan bahkan penghinaan bagi perempuan serta

keluarganya.50

Dan alangkah baiknya jika pemberian hadiah itu tidak di minta

kembali karna pembatalan pinangan, rasanya tak patut jika seseorang

meminta kembali nilai atau harga barang yang sudah dipakai atau

dikonsumsi seperti halnya makanan atau minuman, yang seperti ini

merupakan sikap yang sangat naïf. Karna hadiah-hadiah yang


49
Dar Al-Ghad Al-Jadid Al-Mansura Mesir, Fikih Sunnah Wanita, 412-414.
50
Sa‟id Bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan
Islam), 37.
38

diberikan dianggap hibah, karna itu tidak perlu diminta kembali sebab

sudah menjadi milik wanita yang dipinang dan sudah boleh

dimanfaatkannya. Orang yang menutut kembali pemberiannya berarti

mencabut milik orang lain tanpa kerelaan.


39

BAB III

PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISBAH

SURAT AL-BAQARAH AYAT 235

A. Biografi dan Sejarah Hidup Quraish Shihab

Muhammad Quraish Shihab, dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan,

pada tahun 1944.51 Beliau dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan

muslim yang sangat taat agama. Sebagai anak dari keluarga muslim dan yang

taat beribadah beliau sangat menghormati kedua orang tuanya, ayah beliau

bernama Abdurrahman Shihab (1905-1986), beliau seorang ulama keturunan

dari Arab yang terpelajar dan guru besar tafsir di IAIN Alaudin, Ujung

Pandang,52

Pendidikan yang baik diberikan didalam keluarga oleh orang tuanya,

dimasa beliau masih berada dikampung halaman, dimana beliau melanjutkan

studi dalam cukup lama. Beliau tidak pernah lupa akan nasehat yang

diberikan oleh ayahnya, dalam hal ini Shihab mengatakan;

Ayah kami, Almarhum Abdurrahman Shihab (1905-1986) adalah guru

besar dalam bidang tafsir. Disamping berwiraswasta, sejak muda beliau juga

berdakwah dan mengajar. Selalu disisakan waktunya pagi dan petang untuk

membaca Al-Qur‟an dan kitab-kitab tafsir. Seringkali beliau mengajak anak-

anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah beliau menyampaikan

petuah-petuah keagamaannya. Banyak dari petuah itu yang kemudian saya


51
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), 6.
52
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indinesia , (Jakarta;
Raja Grafindo press), 362.
40

ketahui ayat Al- Qur‟an atau petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-

Qur‟an yang hingga detik ini masih terniang ditelinga saya.53

Sebagaimana tersirat dalam pengakuannya, Quraish Shihab sangat

ingat akan pesan yang disampaikan oleh ayahnya dan saudara-saudaranya

ketika beliau masih belia. Beliaupun mengenang pendidikan dari orang tuanya

tersebut dengan mengatakan:

Aku akan palingkan (tidak memberikan) ayat-ayat- ku kepada


mereka yang bersikap angkuh dipermukaan bumi….. (QS 7: 146).
Al-Qur‟an adalah jamuan Tuhan, “demikian bunyi sebuah
hadist. Rugilah yang tidak menghindari jamuan-Nya dan lebih rugi
lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya.
Biarlah Al-Qur‟an berbicara (Istantiq Al-Qur‟an), sabda Ali ibn
Abi thalib.
“Bacalah Al-Qur‟an seakan-akan ia diturunkan kepadamu”,
kata Muhamad Iqbal.
“Rasakanlah keagungan Al-Qur‟an, sebelum kau menyentuhnya
dengan nalarmu” kata Syaikh Muhammad Abduh.
“Untuk mengantarmu mengetahui rahasia ayat-ayat Al-Qur‟an
tidak cukup engkau membaca empat kali sehari” seru Al- Mawdudi.

Itulah sebagian petuah beliau yang masih tergiang. Dari sanalah benih

kencintaan kepada studi Al-Qur‟an mulai bersemi dijiwa saya. Maka, ketika

belajar di Universitas Al-Azhar, mesir, saya bersedia mengulang setahun

untuk mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi dijurusan tafsir,

walaupun jurusan-jurusan lain pada fakultas lain sudah membuka pintu lebar-

lebar untuk saya.54

Sebagaimana pengakuan yang telah dipaparkan, dari sinilah Shihab

memulai haus akan ilmu-ilmu Al-Qur‟an, yang akhirnya mengantarkan belaiu

53
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an…., 14.
54
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an…, 14.
41

menjadi mufasir ternama bahkan pakar tafsir nomor satu di Indonesia, bahkan

untuk saat ini di seluruh Asia Tenggara.55 Setelah menekuni dibidang tafsir

itu, semakin sadarlah beliau betapa tepatnya pilihan itu. Juga, betapa besarnya

kebutuhan manusia akan Al-Qur‟an.

B. Perjalanan Intelektual

Muhammad Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di Ujung

Padang, yang pada waktu itu disebut dengan sekolah rakyat. Sebagaimana

penulis singgung diatas, bahwa beliau disamping sekolah dasar, beliau

diajarkan oleh orang tuanya yaitu bernama Abdurrahman Shihab dengan

pendidikan keluarga yang intensif. Karena dismping ayahnya seorang juru

dakwah, beliau adalah seorang ulama‟ dan juga ahli tafsir di tempat

kelahirannya.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar dikampung halamannya, ia

sangat ingin melanjutkan pendidikan menengahnya di jawa, yang menjadi

tempat ia menuntut ilmu dan yang menjadi pilihannya adalah kota Malang.

Dikota inilah, ia melanjutkan sekolah menengahnya di Tsanawiyah, disamping

itu, ia juga nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqiyah Malang. Ia

belajar di pondok pesantren Dar al-Hadits al-Faqiyah, Malang, di bawah

asuhan langsung al-Habib „Abd al-Qadir Bilfaqih, (lahir di Tarim Hadramawt,

Yaman, pada tanggal 15 Safar 1316 H dan wafat di Malang Jawa Timur pada

21 Jumad al Akhir 1382 H bertepatan dengan 19 November 1962 M). Beliau

55
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 166
42

adalah seorang ulama besar yang sangat luas wawasannya dan selalu

menanamkan pada santri-santrinya rasa rendah hati, toleransi, dan cinta

kepada Ahl al-Bayt.

Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima kelas II

Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah menamatkan dan lulus ia mendaftarkan diri

untuk masuk pada fakultas Usulluddin, jurusan Tafsir dan Hadits Universitas

Al-Azhar, namun karena adanya persyaratan yang belum terpenuhi, maka ia

rela mengulang satu tahun, sehingga baru tahun kemudian resmi belajar di

fakultas Usulluddin Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia mendapatkan

gelar Lc (S1) pada fakultas Usulluddin jurusan Tafsir dan Hadits di

Universitas Al-Azhar, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di fakultas

yang sama, dan pada tahun 1969 meraih gelar M.A untuk spesialisasi bidang

Tafsir Al-Qur‟an dengan judul tesis “Al-I-jaz Al-Tasyri‟iy li Al-Qur‟an Al-

Karim”.56

Beliau juga mempunyai rekan ketika beliau kuliah di Kairo rekan

ketika menempuh studinya di Al-Azhar antara lain K.H. Mukri Gawith, H.

Rusdi Taufik, H. Mukri Sa‟ad, Saleh Abdurahim dan Hamdan Khalid.

Beberapa tokoh nasional yang semasa dengan Quraish shihab menempuh studi

di Al-Azhar antara lain Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Muhammad

Asywadie dan adiknya Quraish Shihab sendiri yaitu Alwi Shihab.

Ketika ia selesai menyelesaikan studinya dengan gelar M.A tersebut,

untuk sementara waktu ia kembali ke kampung halamannya, Ujung Pandang.

56
Quraish Shihab, “Tentang Penulis”, Membumikan Al-Qur‟an.
43

Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969-1980), ia terjun di

berbagai kegiatan dan aktivitas sambil menimba pengalaman empiric, baik

didalam bidang akademik di Alaudin maupun di berbagai instansi

pemerintahan setempat.57 Disamping ia menimba pengalaman dan karier ini,

kemudian ia terpilih sebagai pembantu III (bagian kemahasiswaan) IAIN

Aludin, ujung pandang. Selain itu, Quraish Shihab juga terlibat dalam

pengembangan pendidikan Perguruan Tinggi Swasta Wilayah Timur

Indonesia dan diserahi tugas sebagai coordinator Wilatah VII. Di luar tugas

akademik, ia juga menjadi pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur

dan bidang pembinaan mental.58

Dari orang tuanya Quraish Shihab telah ditanamkan kecintaannya

terhadap Al-Qur‟an. Tidak puas dengan apa yang telah ia sudah dapatkan dari

almamaternya, Universitas Al-Azhar, ia selalu merasa belum cukup dan harus

belajar untuk mendalami Al-Qur‟an itu kembali. Pada tahun 1980, dengan

keinginan yang besar, ia kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di

almamaternya Universitas Al-Azhar, untuk menempuh gelar Doktor. Setelah

menempuh perkuliahan selama dua tahun, pada tahun 1982, dengan disertai

berjudul: Nazhm Al-Durar Li Al-Biq‟iy, Tahqiq Wa Dirasah. Beliau berhasil

meraih gelar doctor dalam ilmu-ilmu Al-Qur‟an dengan Yudisium Summa

Cum Laude disertai penghargaan tingkat satu (Mumtaz ma‟a martabat al-

syaraf al-„ula),59 dan menjadikannya sebagai orang pertama dari Asia

57
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indinesia , 362.
58
Quraish Shihab, “Tentang Penulis”, Membumikan Al-Qur‟an.
59
Quraish Shihab, “Tentang Penulis”, Membumikan Al-Qur‟an.
44

Tenggara yang mendapatkan prestasi dan penghargaan tingkat pertama

tersebut.

Setelah kembali kekampung halaman, ia tetap mengabdi di IAIN

Alaudin, kemudian pada tahun 1984 Quraish Shihab dipindah tugasnya dari

IAIN Alaudin, untuk mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sini ia

aktif mengajar bidang Tafsir Ulum Al-Qur‟an diprogram S1, S2, S3 sampai

tahun 1998. Dengan keilmuan yang menonjol, Quraish Shihab kemudian

diangkat menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (1992-

1996 dan 1996-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai

mentri Agama pada masa pemerintahan presiden Soeharto, namun tugas

sebagai mentri Agama ia jalankan dalam waktu yang sangat singkat, karna

adanya gerakan reformasi 1998. Pada tahun yang sama (1998), Quraish

Shihab diangkat menjadi Duta Besar untuk republic Arab Mesir, Somalia dan

Jibouti.60

Di samping itu, di luar kampus, ia dipercaya menduduki berbagai

jabatan penting, antara lain; Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat

sejak (1984); Anggota lajnah Pentashih Al-Quran depertemen Agama sejak

(1989); dan ketua lembaga pengembangan. Selain itu, juga banyak terlibat

beberapa organisasi professional; anatar lain pengurus perhimpunan ilmu

syari‟ah, pengurus konsorium ilmu-ilmu Agama Departemen pendidikan dan

60
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indinesia , 362.
45

kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI) ketika organisasi ini berdiri dan sangat maju.61

Di sela-sela kesibukannya yang sangat padat dan membutuhkan

banyak, ia aktif dan terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun

di luar negeri, disamping itu juga aktif menulis dalam surat kabar. Pada

majalah Amanah, Qurish Shihab mengasuh rubric tafsir, pada harian umum

pelita ia juga mengasuh rubric “Tanya jawab Keagamaan”. Disamping

kesibukan itu, ia juga mengasuh pengajian Istiqlal Untuk para “Ekskutif”62

yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.

Quraish Shihab merupakan salah satu cendikiawan muslim Indonesia

yang cukup produktif, penulis yang prolofik, yang telah menghasilkan

puluhan karya tulis. Disamping itu, ia juga memberi kuliah umum dalam

berbagai seminar, baik di dalam maupun di luar negeri, dan institusi

pendidikan (akademis) maupun non akademis.

Di antara sekian banyak makalah seminar yang ia tulis selama

beberapa tahun sejak 1975, ada yang diterbitkan atas permintaan beberapa

teman sejawat dan dari penerbit Mizan. Kumpulan makalah seminar tersebut

diterbitkan dengan judul Membumikan Al-Qur‟an, yang kemudian menjadi

buku best tseller nasional.

Kendatipun M. Quraish Shihab memiliki kesibukan yang luar biasa,

namun ia tetap sangat aktif menulis. Beberapa buku yang sudah Ia hasilkan

antara lain :

61
Ibid,…362.
62
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996), xi.
46

1. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN

Alauddin, 1984)

2. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an

(Jakarta: Lentera Hati, 1998)

3. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998)

4. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999)

5. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)

6. Anda Bertanya,Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah Keislaman

(Mizan Pustaka)

7. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah (Bandung:

Mizan, 1999)

8. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Al Qur'an dan Hadits (Bandung:

Mizan, 1999)

9. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung:

Mizan, 1999)

10. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama (Bandung:

Mizan, 1999)

11. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al Quran (Bandung:

Mizan, 1999)

12. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987)

13. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990)

14. Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departemen Agama)


47

15. Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994)

16. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994)

17. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)

18. Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat

(Bandung: Mizan, 1996)

19. Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an (Bandung; Mizan,

1999)

20. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999)

21. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15 Volume,

Jakarta: Lentera Hati, 2003)

22. Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta: Lentera

Hati, 2003)

23. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan

Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)

24. Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena (Jakarta:

Lentera Hati, 2004)

25. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam

(Jakarta: Lentera Hati, 2005)

26. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera

Hati, 2006)

27. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat

(Jakarta: Lentera Hati, 2006)


48

28. Asmâ' al-Husnâ; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1 boks)

(Jakarta: Lentera Hati)

29. Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep

Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007)

30. Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz 'Amma

(Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008)

31. Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat

(Jakarta: Lentera Hati)

32. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda

Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008)

C. Sekilas Tentang Tafsir Al-Misbah

Al- Misbah merupakan tafsir Al-Qur‟an lengkap 30 juz yang ditulis

oleh ahli tafsir terkemuka Indonesia yaitu Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dan

dituangkan kedalam ke dalam 15 volume buku. Keindonesiaan penulis

memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk

memperkaya khasanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia

makna ayat-ayat Allah.

Tafsir Al-Misbah wajah baru dilengkapi dengan navigasi rujukan

silang, dan dikemas dengan bahasa yang mdah dipahami serta pengemasan

yang lebih menarik.

Tafsir Al-Misbah menghimpun lebih dari 10.000 halaman yang

memuat kajian tafsir al-Qur‟an yang ditulis oleh M. Quraish Shihab, ahli
49

tafsir al-Qur‟an, alumnus universitas al-Azhar, kairo. Dengan kedalaman ilmu

dan kepiawaian penulisnya dalam menjelaskan makna sebuah kosakata dan

ayat al-Qur‟an, tafsir ini mendapat tempat di hati khalayak.

Tafsir yang terdiri dari 15 volume besar ini menafsirkan al-Qur‟an

secara tahlili, yaitu ayat per ayat berdasarkan tata urutan al-Qur‟an, inilah

yang membedakan tafsir ini dengan tafsir ini dengan karya M. Quraish Shihab

lainnya semisal Lentera Hati, Membumikan al-Qur‟an, Wawasan al-Qur‟an,

Mukjizat al-Qur‟an, Pengantin al-Qur‟an, dan selainnya yang menggunakan

pendekatan tematik (Mawdhu‟i), menafsirankan ayat-ayat al-Qur‟an

berdasarkan topic tertentu, bukan berdasarkan tata urutannya dalam mushaf.

Ada beberapa prinsip yang dipegang oleh M. Quraish Shihab dalam

karya tafsirnya, baik tahlili maupun mawdhu‟I, diantaranya bahwa al-Qur‟an

merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam al-Misbah, belaiu tidak

pernah luput dari pembahasan ilmu al-Munasabat yang tercermin dalam enam

hal yaitu: keserasian kata demi kata dalam satu surah; keserasian kandungan

ayat dengan penutup ayat (Fawashil); keserasian hubungan ayat dengan ayat

berikutnya; keserasian uraian awal/mukadimah satu surah dengan penutupnya;

keserasian penutup surah denngan uraian awal/mukadimah surah sesudahnya;

keserasian tema surah dengan nama surah.

Tafsir al-Misbah banyak mengemukakan „uraian penjelas‟ terhadap

sejumlah mufasir ternama sehingga menjadi refrensi yang memumpuni,

informative, argumentatif. Tafsir ini tersaji dengan gaya bahasa penulisan

yang mudah dicerna segenap kalangan, dari mulai akademisi hingga


50

masyarakat luas. Penjelasan makna sebuah ayat tertuang dengan tamsilan yang

semakin menarik atensi pembaca untuk menelaahnya.

Begitu menariknya uraian yang terdapat dalam banyak karyanya,

pemerhati karya tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel, merekomendasikan

bahwa karya-karya tafsir M. Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi bacaan

setiap Muslim di Indonesia sekarang.

Dari segi penamaannya, al-Misbah berarti “lampu, pelita, atau lentera”,

yang mengindikasikan makna kehidupan dan berbagai persoalan umat

diterangi oleh cahaya al-Qur‟an. Penulis mencitakan al-Qur‟an agar semakin

„membumi‟ dan mudah dipahami.63

D. Konsep Khitbah Dalam Surat Al- Baqarah Ayat 235 Perspektif Tafsir Al-

Misbah.

Surah Al- Baqarah (Arab: ‫" سور ال قر‬Lembu") Merupakan surah kedua

dan terpanjang yang mengandung 286 ayat. Surah ini turun di Madinah yang

sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281

diturunkan di Mina pada Haji wada' (haji Nabi Muhammad s.a.w. yang

terakhir). Seluruh ayat dari surat ini merupakan ayat Madaniyyah yang di

dalamnya juga mempunyai ayat yang terpanjang (ayat 282). Surat ini dinamai

Al Baqarah kerana terdapat kisah di dalamnya yang berkaitan perbalahan

kaum Bani Israil dengan Nabi Musa a.s tentang penyembelihan lembu betina

untuk mengetahui siapa yang kemudiannya menjelaskan sifat kaum Yahudi

63
http://jhonisamual.blogspot.com/2013/06/analisis-terhadap-tafsir-al-mishbah.html,
Diakses Tanggal 05 April 2015 pukul 19.43 WIB.
51

yang keras hatinya. Surah ini juga dinamakan Fusthaatul-Quran (puncak Al-

Qur‟an) kerana memuatkan beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam

surah yang lain. Ia juga digelar juga surah alif-laam-miim kerana surah ini

dimulai dengan Alif-laam-miim.64

Dari pendapat lain, dari Imam Ahmad beliau meriwayatkan : "... dari

Ibnu Abbas katanya:" Serombongan Yahudi menghadap kepada Rasulullah

saw lalu berkata: "Wahai Abul Qasim, sesungguhnya kami tanya anda tentang

lima hal. Maka kalau anda terangkan kepada kami, tahulah kami bahwa anda

adalah seorang Nabi dan kami tentu mengikutimu. Lalu dia melakukan

perjanjian sebagaimana dilakukan Isra'el (Nabi Ya'kub) terhadap anak-

anaknya ketika mereka berkata:" Allah adalah saksi atas apa yang kita katakan

ini." Kata dia saw: "Tanyalah." Kata mereka: "Terangkan kepada kami tentang

tanda-tanda seorang Nabi." Dia berkata:"Kedua matanya tidur tapi hatinya

tidak tidur." Kata mereka pula: "Terangkan bagaimana terjadinya anak

perempuan dan anak laki-laki ? " Kata dia:"Kedua air mani bertemu, maka

jika air mani laki-laki naik diatas mani perempuan, maka jadilah laki-laki.

Kalau mani perempuan yang naik lebih dulu diatas mani laki-laki jadilah anak

perempuan." Kata mereka lagi:" Terangkan apa yang diharamkan Isra'el atas

dirinya? "Kata dia:" Dahulu dia mengeluhkan sakit rheumatik dan tidak

menemukan sesuatu yang sesuai kecuali susu ini dan ini. Kata Abdullah:

"Kata ayahku: "Diantara mereka ada yang mengatakan: "yaitu unta" maka

diapun mengharamkan dagingnya. Kata mereka: "Engkau benar." Mereka

64
http://ms.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah, Diakses Tanggal 08 April 2015,
Pukul 19.58 WIB.
52

bertanya: "Apa guntur itu? "Kata dia: "Salah seorang malaikat Allah yang

ditugaskan mengiring awan, dengan tangannya atau ditangannya terdapat

pecut dari api yang dengan itu dia menggiring awan tersebut kemana saja

diperintahkan Allah." Kata mereka:" Lalu suara apa itu?" Dia mengatakan:"

Itulah suaranya." Merekapun berkata: "Engkau benar. Tinggal satu lagi, kalau

engkau terangkan kepada kami, tentu kami akan membai'atmu. Tidak ada satu

Nabi pun melainkan ada bersamanya malaikat yang membawa berita

kepadanya, maka terangkan kepada kami siapa temanmu?" Dia berkata:

"Jibril." Kata mereka:"Jibril, yang membawa peperangan, pertempuran dan

adzab, dia itu musuh kami, Seandainya engkau katakan Mikail, yang turun

membawa rahmat, tumbuhan dan hujan tentulah jadi (kami akan

membai'atmu).

Maka Allah turunkan: "Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi

musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam

hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya

dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman ”

Kandungan Surah Al-Baqarah ini banyak mengisahkan hukum-hakam

dan syariat seperti perintah mengerjakan Sholat; menunaikan Zakat; hukum

Puasa; hukum Haji dan Umrah; hukum qisas; hal-hal yang halal dan yang

haram; bernafkah di jalan Allah; hukum arak dan judi; cara menyantuni anak

yatim, larangan riba; hutang piutang; nafkah dan yang berhak menerimanya;

wasiat kepada dua orang ibu-bapak dan kaum kerabat; hukum sumpah;

kewajiban menyampaikan amanat; sihir; hukum merosakkan masjid; hukum


53

mengubah kitab-kitab Allah; hukum haidh, 'iddah, thalak, khulu', ilaa' dan

hukum susuan; hukum melamar, mahar, larangan mengahwini wanita musyrik

dan sebaliknya; hukum perang.

Surah ini juga ada menceritakan kisah Nabi Adam a.s., Nabi Musa a.s.

dan Nabi Ibrahim a.s. serta larangan akan bulan haram. Perkara utamanya

adalah berdakwah kepada kaum musyrik dan Yahudi Madinah serta memberi

amanah kepada mereka serta kepada kaum munafik akan ketentuan Allah

kepada mereka yang tidak beriman kepada-Nya.65

Berikut adalah penafsiran M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah:

   


   
  
    
 
   
   
   
  
  
   
   
  
   

Artinya:”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu, dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) Perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam

65
http://id.wikipedia.org/wiki/Asbabun_Nuzul_Surat_Al-Baqarah, Diakses Tanggal 08
April 2015, Pukul 19.58 WIB.
54

hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah


Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(QS. Al-Baqarah: 235)66

Setelah ayat yang lalu mengguraikan masa tunggu bagi wanita, yang

disusul dengan larangan kawin, maka pada ayat ini dijelaskan batas-batas

yang dibenarkan dalam konteks perkawinan.

Menurut Quraish Shihab ayat di atas, yang menegaskan bahwa Kepada

para pria yang ingin nikah, ditunjukan tuntunan berikut, yakni tidak ada dosa

bagi kamu meminang wanita-wanita yang telah bercerai dengan suaminya

dengan perceraian yang bersifat bain, yakni yang telah putus hak bekas

suaminya untuk rujuk kepadanya kecuali dengan akad nikah baru sesuai

syarat-syaratnya.

Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu pada saat masa

tunggu („iddah) mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan dengan

sendirian, yakni tidak tegas dan terang-terangan menyebut maksud

menikahinya.

Sindiran antara lain; dengan menyatakan “mudah-mudahan saya

mendapat jodoh yang baik”. Rasul saw ketika meminang Ummu Salamah

dengan sendirian, berkata kepadanya; “Anda telah mengentahui bahwa saya

adalah Rasulullah dan pilihan-Nya, dan Anda pun telah mengetahui

kedudukan saya di tengah masyarakat”.

Kalau tidak berdosa untuk meminang dengan sendirian pada masa

„iddah. Maka itu berarti berdosa meminang wanita yang perceraian nya

66
Abdul Malik Mujahid, Al Qur‟an dan Terjemahnya. Juz 2, (Darusalam: Global Leader
In Islamic Books, 2006), 48.
55

bersifat bain dengan terang-terangan, dan berdosa pula meminang wanita-

wanita yang perceraiannya bersifat raj‟I itu masih dalam status dapat dirujuk

oleh suaminya, sehingga meminangnya, baik sendirian apalagi terang-

terangan, dapat berkesan di hati mereka yang pada gilirannya dapat

berdampak negative dalam kehidupan rumah tangga jika ternyata suaminya

rujuk kepadanya. Terhadap wanita yang dicerai wafat suaminya dan sedang

dalam masa tunggu, tidak juga diperkenankan untuk dipinang secara terang-

terangan, baik langsung maupun tidak, karena wanita-wanita itu dituntut untuk

berkabung, sedangkan perkawinan adalah suatu kegembiraann.

Setelah membenarkan sindiran, dibenarkan pula menyembuyikan

keinginan mengawini mereka dalam hati. Allah mengetahui detik-detik hati

manusia, mengetahui pula bahwa kecenderungan kepada lawan seks adalah

naluri yang terbawa sejak lahir serta dorongan yang sukar dibendung setelah

dewasa. Membicarakan kecantikan atau kelemah lembutan wanita adalah

sesuatu yang sulit dibendung, apalagi jika hati telah jatuh cinta kepadanya.

Karena itu, lanjut ayat tersebut, tidak ada dosa juga menyembuyikan

keinginan mengawini mereka dalam hati kamu. Allah mengetahui bahwa

kamu akan menyebut-nyebut mereka.

Demikianlah tuntunan islam sangat realistis. Ia mengakui naluri dan

tidak memasungnya, membenarkan bisikan hati dan tidak melarangnya. Hanya

saja agar desakan cinta dan keinginan itu tidak berakibat negative,

ditetapkannya batas, yaitu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan

mereka secara rahasia. Misalnya dengan memintanya untuk tidak kawin selain
56

denganmu, atau mengucapkan kata-kata yang kamu malu atau dinilai buruk

oleh agama dan adat mengucapkannya di hadapan umum. Jangan juga

melakukan sesuatu yang melanggar agama dan kamu rahasiakan, yakni

berzina dengan mengandalkan bahan setelah masa „iddah berlalu kalian akan

hidup sebagai suami isteri.

Ayat ini tidak secara mutlak melarang para pria mengucapkan sesuatu

kepada wanita-wanita yang sedang menjali masa „iddah, tetapi kalau ingin

mengucapkan kata-kata kepadanya, ucapankanlah kata-kata yang ma‟ruf,

sopan dan terhormat, sesuai dengan tuntunan agama, yakni sindiran yang

baik.67

Memang masa tunggu wanita terasa panjang bagi yang mengawininya,

sehingga izin melamarnya dengan sendirian dapat mengundang langkah

terlarang untuk bercampur dengannya, atau paling tidak melakukan sekedar

akad nikah walau belum bercampur. Untuk itu, lanjutan ayat ini

msengingatkan, janganlah kamu berketetapan hati untuk berakad nikah,

sebelum habis masa „iddahnya.

Kalau ketetapan hati melakukan akad nikah telah dilarang di sini,

tentu lebih terlarang melakukan akad nikah itu sendiri. Karena akad nikah

tidak seharusnya terlaksana tanpa ketetapan hati. Disisi lain, ayat ini

mengisyaratkan bahwa perkawinan hendaknya dilaksanakan setelah berfikir

matang, menyangkut segala sesuatu, menyangkut calon pasangan, biaya hidup

dan tanggung jawab perkawinan. Perkawinan bukanlah coba-coba, atau

67
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an),
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), 476-477.
57

langkah tanpa pikir. Memanng bisa jadi, pada mulanya hati belum bulat, tapi

harus diupayakan mencari dalil penguat sehingga hati bulat melangkah.

Jangan berketetapan hati melakukan akad nikah sebelum sampai

ketetapan menyangkut „iddah wanita itu pada akhir masanya. Kalau „iddah

belum selesai, maka kamu belum boleh melamarnya secara terang-terangan

atau resmi, tidak juga menetapkan waktu pelaksanaan akad nikah. Dan

ketahuilah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu , yakni

apa yang dipikirkan oleh benak kamu, serta yang bergelora dalam jiwa kamu,

demikian juga bisikan-bisikan positif, atau negative, karna itu takutlah

kepada-Nya.68 Upayakanlah agar tidak terlintas dalam benak kamu hal-hal

yang dilarang-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah, di samping maha pedih siksa-

Nya, juga maha pengampun, menutupi kesalahan dan aib manusia. Dia juga

maha penyantun, sehingga mengukuhkan saksi, pada hal dia mampu

menjatuhkannya agar manusia dapat menyesal dan memperbaiki diri.

Pelajaran dari ayat adalah Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang

wanita yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara

terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas). Kemudian, Bolehnya

menawarkan diri kepada wanita tersebut dengan sindiran (isyarat) atau

ucapan-ucapan yang tidak terang-terangan (seperti ucapan: „sesungguhnya

saya ingin sekali menikah‟, atau „jika masa iddahmu telah selesai

bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin menikah‟, atau „saya sangat

senang dengan wanita sepertimu‟, atau ucapan-ucapan yang semisal). Dan di

68
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an), 478.
58

Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita yang sedang menjalani

masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya selama khitbah

(melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah dengan

wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya difash (dipisahkan)

dan tidak halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya. Dan

wajibnya muraqabatullah (merasa adanya pengawasan Allah Ta‟ala) dalam

keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai, dan membentengi diri dari

peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan haram.


59

BAB IV

ANALISIS KONSEP KHITBAH DALAM AL-QUR’AN SURAT

AL-BAQARAH AYAT 235 DALAM TAFSIR AL-MISBAH

DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI FIQIH

MADRASAH ALIYAH KELAS XI

A. Analisis Konsep Khitbah Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 235

Dalam Tafsir Al-Misbah

Bagian ini menganalisis konsep khitbah dalam perspektif tafsir surat

al-Baqarah ayat 235, mengenai khitbah, jika seseorang melangsungkan

perkawinan, biasanya diawali terdahulu dengan lamaran dari pihak laki-laki

kepada pihak perempuan sebagai langkah awal persiapan pernikahan, karena

meminang sebagai aktivitas syar‟i yang harus dipilih oleh seorang muslim.

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari‟atkan sebelum ada

ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan

kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.

Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk

menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita

untuk dijadikan bakal/calon istri. Seluruh kitab/kamus membedakan antara

kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan

juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan

yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua

istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan
60

keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj

(pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang

mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita

temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi

saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-

ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita

catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju

pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka

sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu

berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun

wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah

sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat

istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat

keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal

dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada

takdir Allah yang menghendaki lain. Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan

berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan

memantapkannya saja.

Konsep khitbah yang terkandung dalam tafsir surat Al-Baqarah ayat

235 ini berdasarkan penggalian materi yang terkandung di dalamnya,

pembahasan tentang konsep khitbah terdiri dari pengertian khitbah itu sendri,
61

dasar hukumnya, wanita yang di sunahkan untuk dilamar, syarat-syarat

khitbah, meminang wanita yang sedang dalam masa iddah, serta batas-batas

melihat wanita pinangan dan pembatalan khitbah serta hal-hal yang di

timbulkannya.

Kriteria wanita yang di sunahkan untuk dilamar sebagaimana

dijelaskan oleh Syaikh Hasan Ayyub, dalam bukunya Fiqih Keluarga sebagai

berikut: Wanita itu disunahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya ia

harus selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun

memiliki kecenderungan dan rasa cinta kepadanya. Selain itu, ia juga harus

berusaha menjaga keridhoan suaminya, mengerjakan apa yang disukai

suaminya, menjadikan suaminya merasa tentram hidup dengannya, senang

berbincang dan berbagi kasih sayang dengannya. Selain itu disunahkan pula

agar wanita yang dilamar itu seorang yang banyak memberikan keturunan,

karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan keluarga akan terwujud

dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami-istri.

Dan hendaknya juga wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis

dan masih muda, hal ini Karena seorang gadis akan mengantarkan pada tujuan

pernikahan. Selain itu seorang gadis juga akan lebih menyenangkan dan

membahagiakan, lebih menarik untuk dinikmati akan berperilaku lebih

menyenangkan, lebih indah dan lebih menarik untuk dipandang, lebih lembut

untuk disentuh dan lebih mudah bagi suaminya untuk membentuk dan

membimbing akhlaknya. Serta dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang

masih termasuk keluarga dekat, karena Imam Syafi'I pernah mengatakan,


62

"Jika seseorang menikahi wanita dari kalangan keluarganya sendiri, maka

kemungkinan besar anaknnya mempunyai daya pikir yang lemah."

Disunahkan pula bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang

mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan

berpengaruh pada dirinya dan juga anak keturunannnya. Dan hendaknya

wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia. Karena

ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan menjadikannya

pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya, sekaligus akan

menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan

keluarga suaminya. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah

seorang yang cantik, karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan

dan selalu diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu

pula yang akan membantu menjaga kesucian dan kehormatan. Dan hal itu

telah disebutkan Rasulullah saw dalam hadits tentang hal-hal yang disukai dari

kaum wanita.

Untuk penjelasan mengenai syarat-syarat khitbah dalam konsep

khitbah, itu dibagi menjadi dua yaitu: Pertama tidak ada penghalang yang

dapat menghalang pernikahan dengan yang dipinang. Yaitu seperti adanya

penghalang yang bersifat abadi, seperti bibi, saudara sekandung atau saudara

sesusuan. Dan ada yang bersifat sementara, seperti saudara wanita istri, istri

orang lain, wanita yang iddah karena cerai atau perpisahan. Wanita-wanita

tersebut diharamkan untuk dikhitbah sampai hilang sebab-sebab

keharamannya. Yang kedua Perempuan yang akan dilamar tidak sedang


63

dilamar laki-laki lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki

tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan

bebas. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah SAW bersabda,

“sebagian kalian tidak boleh membeli atau menawar atas sesuatu yang sudah

dibeli atau ditawar oleh sebagian yang lain dan sedangkan kalian tidak boleh

mengkhitbah sebagian yang lain.”

Sedangkan mengenai tentang meminang wanita yang sedang dalam

„iddah itu sebenarnya tidak boleh dinikahi seperti tersebut dalam bab wanita

yang haram dinikahi. Namun demikian tidak semua wanita dalam „iddah

haram dipinang secara mutlak sebagaimana dijelaskan oleh Drs Murni Djamal

dalam bukunya Ilmu Fiqih jilid II. Untuk jelasnya perlu diperinci sebagai

berikut :

d. Wanita yang sedang menjalani „iddah talak raj‟I yakni talak masih

memungkinkan bagi suami yang menalak itu untuk melakukan ruju‟ dan

wanita itu haram dipinang baik dengan sindiran atau terang-terangan.

e. Wanita yang sedang menjalani „iddah karna Thalak Bain atau seperti

wanita yang ditalak tiga oleh suaminya, maka diperbolehkan meminang

wanita tersebut hanya dengan sindiran dan tidak diperbolehkan secara

terang-terangan. Hal ini karna wanita yang ditalak bain atau ditalak tiga

seperti wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu status perkawinan

mereka terputus tanpa adanya ruju‟ (kembali).

f. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, haram dipinang secara terang-

terangan selama „iddah, tetapi boleh dipinang dengan sindiran. Maksutnya


64

adalah diperbolehkan meminang wanita yang ditinggal mati suaminya

karena untuk menghilangkan kemungkinan dusta dalam „iddah. Iddah

wanita yang ditinggal mati suaminya selesai setelah melahirkan atau

setelah empat bulan sepuluh hari bagi wanita iddah yang tidak sedang

hamil. Kebohongan atau dusta pada pengurangan masa iddah tidak bisa

diterima.

Untuk mengenai batas-batas dalam melihat wanita pinangan. Ada

beberapa pendapat tentang kebolehan melihat seseorang perempuan yang akan

dipinang. Dalam hal ini para jumhur ulama seperti Imam Hanafi, Imam

Maliki, dan Imam Syafi‟I, salah satunya menurut Madzahab Syafi‟I, tidak

boleh melihat perempuan, selain muka dan kedua telapak tangannya.

Dari mazhab Hambali bersependapat sama dengan mazhab syafi‟i

boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena wajah adalah pusat

segala keindahan, objek pandangan, dan bukti kecantikan, sedangkan telapak

tangan adalah bukti kesuburan. Dikalangan ulama mazhab Hanbali yang

paling benar adalah melihat anggota tubuh yang biasanya sering terlihat,

seperti leher, dua tangan, dan dua kaki.

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya

berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah

wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang

anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui

kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota

tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya


65

diduga maslahat. Dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh

tersebut saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua

telapak tangannya ketika dalam sholat dan haji.

B. Analisis Penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 235 dalam Tafsir Al-Misbah

Bagian ini menganalisis penafsiran surat al-Baqarah ayat 235 yang

terdapat dalam tafsir al-misbah. Mengenai point-point pelajaran dalam surat

Al-baqarah ayat : 235, yaitu menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan

dengan hukum melamar baik itu melamar seorang wanita yang suaminya

meninggal dunia sedang ia dalam masa iddah yang belum selesai, diantara

pelajaran-pelajaran ayat yang lain adalah:

1. Bolehnya seseorang menyembunyikan di dalam hatinya keinginan untuk

melamar seorang wanita yang tidak dibolehkan baginya untuk melamarnya

secara terang-terangan dengan lafadz yang jelas dan terang. Sebagaimana

ayat, “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam

hatimu.”

2. Bolehnya seseorang menyebutkan wanita yang masih dalam masa iddah

(karena suaminya meninggal), dalam hatinya atau diperdengarkan kepada

orang lain, sebagaimana ayat, “Allah mengetahui bahwa kamu akan

menyebut-nyebut mereka”; misalkan apabila seseorang mengatakan,

“Sesungguhnya saya ingin menikahi mantan istri si fulan (yang suaminya

tersebut telah meninggal dunia)”, ia mengucapkan itu dihadapan orang

lain, maka hal itu tidak apa-apa.


66

3. Tidak diperbolehkan bagi seseorang mengadakan perjanjian akan

menikahinya dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena

suaminya meninggal dunia , dengan mengatakan (misalnya): “Apabila

telah habis masa iddahmu maka saya akan menikahimu”; berdasarkan

ayat, “dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan

mereka secara rahasia”.

4. Bahwa memberikan isyarat atau ungkapan dengan majaz atau bahasa

kiasan dengan cara yang baik dalam rangka melamar wanita sedang dalam

masa iddah dari suaminya yang meninggal adalah bukanlah sebuah

kemungkaran; berdasarkan firman Allah, “kecuali sekedar mengucapkan

(kepada mereka) perkataan yang ma‟ruf.”

5. Haram hukumnya melakukan aqad nikah pada masa iddah, kecuali dari

suaminya; sebagaimana ayat, “Dan janganlah kamu ber‟azam (bertetap

hati) untuk bera qad nikah, sebelum habis iddahnya.”

6. Adanya isyarat dari ayat bahwa keharusan untuk memperhatikan hitungan

masa iddah, sebagaimana ayat, “sampai habis iddahnya”.

7. Bahwa ilmu Allah Ta‟ala meliputi atas segala sesuatu, sebagaimana ayat,

“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam

hatimu, maka takutlah kepadaNya… “. sehingga hendaknya seorang

manusia tidak menyembunyikan didalam hatinya sesuatu yang tidak

diridhai oleh Allah Ta‟ala.

8. Penetapan bahwa diantara sifat-sifat Allah adalah Al-Ghafuur dan Al-

Halim (Maha Pengampun dan Maha Penyantun). Wallahu a‟lam.


67

C. Analisis Materi Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI

Materi ajar Fiqih Madrasah Aliyah kelas XI semester genap meliputi

tiga bab yaitu bab pernikahan, bab talak, khuluk, fasakh, iddah, hadanah dan

bab mawaris. Materi tentang meminang atau khitbah itu sendiri masuk pada

bagian bab pernikahan, didalam materi ajar fiqih ini juga dilengkapi dengan

alur pembelajarannya. Untuk alur pembelajaran pada bab pernikahan, itu

membahasa tiga bahasan yang mencangkup pengertian nikah, ketentuan nikah

dalam islam dan ketentuan nikah dalam undang-undang, dalam bab nikah itu

sendri terdapat enam poin uraian materi, di antara poin tersebut salah satunya

akan membahas persiapan sebelum nikah yaitu meminang atau khitbah, alur

pembelajaran itu bertujuan agar lebih mudah dipahami dan dipelajari oleh

siswa. Dalam penyajian materi fiqih kelas XI Madarasah Aliyah terutama di

dalam sebuah sumber belajar yang digunakan yaitu berupa buku cetak yang

menggunakan kurikulum KTSP.

Materi ajar Fiqih di Madarasah Aliyah di sajikan dengan bahasa yang

tepat, lugas, padat dan mudah dimengerti didasarkan pada dalil-dalil yang

relavan. Selain itu, pada setiap bab terdapat penambahan seperti SK dan KD

dan tujuan pembelajaran serta apersepsi sebagai pendahuluan dan sebagai

pembuka untuk mengawali pembelajaran. Materi ajar Fiqih ini juga dilengkapi

dengan pegangan guru yang mencantumkan RPP dan silabus pendidikan

karakter dan beberapa fitur pelengkap diantaranya tes lisan, tes lisan ini

merupakan uji kemampuan yang pelaksanannya dilakukan dengan

mengadakan Tanya jawab secara langsung antara guru dan siswa. Untuk
68

mengetahui kemampuan siswa dan melatih percaya diri, selain itu dilengkapi

dengan kerja mandiri yang berisi perintah tugas praktek yang dilakukan siswa

secara perorangan tujuannya untuk mengukur penguasaan siswa secara

personal terhadap pembelajaran dalam sikap dan perbuatan, serta

menggunakan metode Paikem yaitu merupakan salah satu pendekatan

pembelajaran yang bagus dan layak untuk diterapakan, yaitu pembelajaran

secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Dalam fitur lain juga menambahi contoh tokoh teladan maksutnya

adalah informasi seputar tokoh yang berkaitan dengan materi yang diberikan.

Tujuannya adalah untuk menambah wawasan peserta didik dan dapat

dijadikan sebagai suri teladan dan menambahi info penting yang merupakan

informasi singkat yang berkaitan dengan materi yang berguna untuk

menambah wawasan siswa, penilaian portofolio merupakan alat penilaian

autentik (authentic assessment) yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Dan

merupakan penilaian kegiatan-kegiatan yang dilakukan sesuai dengan tujuan

pembelajaran atau kompetensi yang telah ditetapkan serta menambahan

proyek maksutnya adalah uji kemampuan siswa yang diwujudkan dengan

kegiatan yang melibatkan banyak siswa dalam jangka waktu tertentu.69 Untuk

menguji pemahaman siswa, terhadap kompetensi yang telah dipelajari,

diberikan uji kompetensi bab pada akhir bab dan latihan semester untuk

69
Suparmin dan Najiha Sabeela, Fiqih Madrasah Aliya Kelas XI Semester Genap,
(sragen : CV rahma media pustaka), 1.
69

menguji pemahaman materi selama satu semester. Untuk melatih siswa dalam

menghadapi ulangan umun maupun ujian akhir sekolah.70

Namun, pengajaran materi ajar Fiqih di Madrasah Aliyah masih

bersifat global saja, hal ini menjadikan siswa maupun siswi kesulitan dalam

hal pengaplikasian konsep khitbah dalam bab nikah, namun ini sebagai

pengetahuan saja dan sebatas mengetahui tentang proses pernikahan. Dalam

menjelaskan, seorang guru hanya menjelaskan dalam aspek teori berupa

definisi dan contoh sederhana saja dari kejadian disekitar. Pada hal bisa

dikaitkan dengan beberapa sumber-sumber hukum seperti Al-Qur‟an dan

hadits. Maka dari itu seorang guru harus pandai-pandai mengkaitkan

beberapa ilmu lain, karna ilmu fiqih itu begitu luas dan bisa dikaitan dengan

beberapa dalil maupun ilmu-ilmu lainnya.

Dalam buku ajar materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI semester

genap ini berdasarkan penggalian materi yang terkadung dalam materi Fiqih

ini, pemahasan mengenai khitbah masuk dalam bab 1 yaitu bab pernikahan,

dalam pembahasan khitbah ini terdiri dari pengertian khitbah, hukum khitbah,

cara mengajukan pinangan, perempuan yang boleh dipinang dan melihat calon

istri atau suami.

Untuk pengertian khitbah atau pinangan yang ada dalam materi fiqih

ini yaitu melamar untuk menyatakan permintaan atau ajakan untuk mengikat

perjodohan, dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai calon

istri. Dalil yang memperbolehkan pinangan sebagaimana firman Allah swt:

70
Suparmin dan Najiha Sabeela “kata pengantar”, Fiqih Madrasah Aliya Kelas XI
Semester Genap.
70

   


   
  
   
Artinya: ”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu

dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)

dalam hatimu . . . “ (Q.S. Al-Baqarah: 235)

Untuk mengenai hukum khitbah dalam materi fiqih ini yaitu Lamaran

atau pinangan bukan sesuatu yang menjadi wajib hukumnya. Hal ini menurut

pendapat jumhur ulama yang didasarkan pada pinangan nikah yang

diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Tetapi Dawud berpendapat bahwa

hukum khitbah adalah wajib.

Sedangkan cara mengajukan pinangan dalam materi fiqih ini

dijelaskan apabila meminang gadis atau janda menurut ajaran islam dengan

dua cara, yaitu pinangan kepada gadis atau janda yang habis masa iddahnya

dinyatakan secara terang-terangan. Artinya bahwa perempuan yang dipinang

akan dijadikan istrinya dengan berbicara langsung padanya. Sedangkan

pinangan kepada janda yang masih ada dalam masa iddah talak bain atau

ditinggal mati suami, tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan

kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran saja.

Untuk perempuan yang boleh dipinang dalam materi fiqih ini yaitu

perempuan yang belum bersuami, bukan dalam masa iddah, bukan pula dalam

pinangan orang lain, boleh dipinang dengan sindiran atau terus terang,

sebagaimana sabda nabi saw: “Janganlah salah seorang diantara kamu

meminang atas pinangan saudaranya, kecuali pinangan sebelumnya


71

meninggalkan pinangan itu atau memberikan ijin kepadanya” (H.R.Bukhari

dan Mislim).

Sedangkan perempuan yang tidak boleh dipinang baik secara sindiran

apalagi dengan cara terus terang yaitu perempuan dalam status istri orang lain

atau masih dalam iddah raj‟i. Adapun perempuan yang bukan dalam iddah

raj‟I boleh dipinang yaitu perempuan yang dalam iddah wafat boleh dipinang

dengan sindiran tetapi tidak dengan terus terang, perempuan beriddah talak

tiga (Bain Kubra ) dan perempuan yang beriddah karena talak bain sughra atau

karena sebab fasakh.

Haram hukumnya meminang perempuan yang telah dipinang orang

lain, jika perempuan itu telah menerima pinanganya dan walinya dengan jelas

telah mengizinkannya. Tetapi jika perempuan yang telah dipinang jelas

menolaknya, maka boleh ia meminang perempuan tersebut.

Sedangkan untuk melihat batas calon istri maupun suami di materi

fiqih ini dijelaskan, perempuan yang akan dinikahi diajurkan bahkan

disunnahkan oleh agama. Karena meminang istri merupakan pendahuluan

perenikahan. Sedangkan melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan

kecantikannya dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang bahagia.

Ada beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang

perempuan yang akan dipinang. Jumhur ulama berpendapat boleh melihat

wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui

kehalusan tubuh dan kecantikannya.


72

Menurut Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh badan, karena

dengan melihat seluruh badan, karena dengan melihat seluruhnya seseorang

dapat mengetahui bahwa calon istrinya itu termasuk wanita baik, dari segi

fisik dan juga kecantikannya. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah

memperbolehkan melihat kedua telapak kaki, muka dan dua telapak tangan.

D. Analisis Relevansi Konsep Khitbah Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah

Ayat 235 Dalam Tafsir Al-Misbah dengan Materi Fiqih Madarasah

Aliyah Kelas XI Semester Genap

Fiqih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum Allah yang

berkenaan dengan tingkah laku mukallaf, baik itu wajib, haram, sunnah,

makruh, atau mubah, yang diambil dari al-Qur‟an, Sunnah dan dalil-dalil yang

ditetapkan oleh pembuat hukum (al-syari‟) untuk mengetahuinya atau juga

hukum syara‟ yang bersifat amaliyah yang digali dengan ditemukan dari dalil-

dalil yang tafsili. Hukum atau produk yang berhasil ditemukan oleh para

mujtahid inilah yang disebut dengan fiqih.71

Maka nampaklah bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu ilmu yang

sangat penting di dalam agama islam. Ilmu fiqih sangat diperlukan untuk

mengetahui dengan luas dan mendalam tentang semua perbuat manusia serta

dalam menghadapi kasus, mulai dari Ibadat, Muamalat, Munakahat dan

Jinayat.72 Demikian halnya bahan materi fiqih terutama bahasan Fiqih di

Madrasah Aliyah untuk kelas XI semester genap ini disusun sedemikian rupa
71
Dr. Yayan Sopyan, M. Ag, Tarikh Tasyri‟ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam),
(Depok: Gramata Publishing, 2010), 5.
72
Drs. Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), 74-75.
73

yang pada dasarnya diharapkan siswa-siswi nantinya dapat menerapkan dan

menjalankan hukum islam terutama dalam ibadah, muamalah, munakahat

serta jinayat dalam kehidupan sehari-hari serta untuk masyarakat terutama

untuk dirinya sendiri.

Konsep khitbah yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat

235 penafsiran dalam tafsir al-misbah dan diperkuat dengan sumber lain yang

ditulis oleh tokoh-tokoh lain yang membahas tentang khitbah dan masih

relavan jika dikaitkan dengan materi ajar Fiqih di Madrasah Aliyah. Bahan

materi Fiqih di Madrasah Aliyah yang pembahasannya tentang bab pernikahan

terutama khitbah atau lamaran yang masih masuk dalam pembahasan

pernikahan, dan secara umum pembahasannya berkisar seputar menjelaskan

pengertian, hukum, syarat dan rukun, dalam buku ajar materi Fiqih di

Madrasah Aliyah itu pembahasannya tidak terlalu luas hanya bersifat global.

Pembahasan di surat al-Baqarah ayat 235 penafasiran dalam tafsir al-

Misbah yang berkaitan dengan konsep khitbah atau lamaran dan diperkuat

dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain yang ada kaitannya

dengan khitbah. Apa yang dibahas dalam konsep khitbah yang ada pada surat

al-Baqarah ayat 235 serta penafsiran dalam tafsir al-Misbah dan diperkuat

buku lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh lain dapat diaplikasikan menjadi

materi pendidikan Fiqih meliputi: pengertian khitbah, dasar hukum khitbah,

wanita yang disunahkan untuk dilamar, syarat-syarat khitbah, meminang

wanita yang sedang dalam iddah, batas-batas dalam melihat wanita yang

dipinang, pembatalan khitbah dan hal-hal yang ditimbulkannya dan masih


74

relavan dengan bahan ajar materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI yakni

mengidentifikasi pengertian khitbah, dalil yang digunakan, cara mengajukan

pinangan, perempuan yang boleh dipinanag dan melihat calon istri atau suami.

Dalam hal ini akan dipaparkan pada bagian analisis konsep khitbah

dalam al-Qur‟an kajian tafsir surat al-Baqarah ayat 235 dan bagaimana

relevansinya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI

Berdasarkan teori dalam al-Quran kajian tafsir surat al-Baqarah ayat

235 secara umum terdapat tujuh poin pembahasan mengenai konsep khitbah,

yang didalamnya membahas tentang khitbah dan didalam tafsir surat al-

Baqarah ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-

tokoh lain yang ada kaitannya dengan khitbah dan didalam kedua sumber itu

sangat luas pembahasannya, maka dari itu dalam penelitian ini penulis

membatasi pembahasan mengenai khitbah dan mengikuti yang ada dalam

materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI yaitu pembahasannya adalah

pengertian khitbah, menegenai hukum khitbah, wanita yang di sunnahkan

untuk dipinang atau dinikahi, permpuan yang boleh dipinang, mengenai

wanita masa iddah, dan batas-batas dalam melihat wanita pinangan. Adapun

penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Mengenai pengertian

Dari teori dapat diketahui bahwa di dalam tafsir surat al-Baqarah

ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh

lain yang ada kaitannya dengan khitbah dijelaskan tentang pengertian

khitbah secara etimologis dan terminologi. Secara etimologis meminang


75

atau melamar artinya (antara lain) yaitu: “meminta wanita untuk dijadikan

istri (bagi sendri atau orang lain), Sedangkan makna khitbah secara

terminologi adalah suatu langkah pendahuluan menuju ke arah perjodohan

antara seorang pria dan wanita.Terdapat dalam firman Allah dan terdapat

pula dalam ucapan Nabi serta disyariatkan pula dalam suatu perkawinan

yang waktu pelaksanaanny diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.

Termaktub di dalam Surat al-Baqarah ayat 235 yang berbunyi:

   


   
  
    
 
   
   
   
  
   
  
   
  
    

Artinya:”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu,


dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu
akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf.
Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad
nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-
Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”(QS. Al-Baqarah: 235)

Dapat dipahami, bahwa ayat di atas dimaksudkan untuk menjaga

perasaan dan kehormatan wanita dan keluarga yang hendak dipinang. Hal

ini dikarenakan, Apabila seseorang menyatakan keinginannya untuk


76

menikahi wanita melalui kata-kata sindiran atau kiasan dan ternyata tidak

berlanjut, maka perasaan kedua belah pihak dan keluarganya akan relatif

terjaga.

Dalam hal ini kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah

kelas XI mengenai pengertian khitbah atau pinangan yaitu melamar untuk

menyatakan permintaan atau ajakan untuk mengikat perjodohan, dari

seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai calon istri.

Dalil yang memperbolehkan pinangan sebagaimana firman Allah

SWT:

   


   
 
   

Artinya: ”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu . . . “ (Q.S. Al-Baqarah: 235).

2. Mengenai hukum khitbah

Dari teori dapat diketahui bahwa di dalam tafsir surat al-Baqarah

ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh

lain yang ada kaitannya dengan khitbah dijelaskan tentang hukum khitbah

yaitu dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat para jumhur ulama yang

mewajibkannya, sehingga dapat dipastikan bahwa hukumnya adalah

mubah. Pendapat yang lain dipegang mazhab Syafi‟i adalah khitbah ini
77

hukumnnya Mustahabb (dianjurkan), ada pendapat dari ulama lain yang

mengatakan sunnah dari pendapat Imam al-Ghazaliy.

Dalam kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah kelas XI

mengenai hukum khitbah. Lamaran atau pinangan bukan sesuatu yang

menjadi wajib hukumnya. Hal ini menurut pendapat jumhur ulama yang

didasarkan pada pinangan nikah yang diriwayatkan dari Nabi Muhamad

SAW. Tetapi Dawud berpendapat bahwa hukum khitbah adalah wajib.

3. Wanita yang di sunnahkan untuk dilamar atau dinikai

Dari teori dapat diketahui bahwa di dalam tafsir surat al-Baqarah

ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh

lain yang ada kaitannya dengan khitbah bahwa dijelaskan tentang wanita

yang di sunnahkan untuk dipinang atau dinikahi yaitu wanita itu

disunnahkan seorang yang penuh cinta kasih, disunnahkan pula agar

wanita yang akan dilamar itu seorang yang banyak memberikan keturunan,

dan hendaklah wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis

dan masih muda, serta dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih

termasuk keluarga dekat, Disunnahkan bagi seorang muslim untuk

menikahi wanita yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan

terhormat, taat beragama dan berakhlak mulia serta kecantikannya.

Dalam hal ini kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah

kelas XI mengenai wanita yang disunnahkan untuk dilamar atau dinikahi

yaitu sebagaimana telah digariskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits

riwayat Bukhari-Muslim yaitu “Wanita dinikahi karna empat hal karena


78

hartanya, karena (kemuliaan) keturunannya, kerena kecantikannya dan

agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama niscaya akan

beruntung” maka penjelasan dari hadits tersebut iyalah harus beragama

islam, silsilah atau keturunan orang baik, hartanya dan kencantikanya.

4. Perempuan yang boleh dipinang

Dari teori dapat diketahui bahwa di dalam tafsir surat al-Baqarah

ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh

lain yang ada kaitannya dengan khitbah bahwa dijelaskan tentang

perempuan yang boleh dipinang, bahwa syaratnya terletak pada wanitanya,

yaitu wanita yang dipinang tidak/bukan istri orang, wanita yang dipinang

tidak dalam pinangan laki-laki lain, wanita yang dipinang tidak dalam

masa iddah.

Dalam hal ini kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah

kelas XI mengenai perempuan yang boleh dipinang yaitu perempuan yang

belum bersuami, bukan dalam masa iddah, bukan pula dalam pinangan

orang lain.

5. Mengenai wanita masa iddah

Dari teori dapat diketahui bahwa di dalam tafsir surat al-Baqarah

ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh

lain yang ada kaitannya dengan khitbah bahwa dijelaskan mengenai

wanita masa iddah adalah Wanita yang sedang dalam „iddah tidak boleh

dikawini seperti tersebut dalam bab wanita yang haram dinikahi. Namun
79

demikian tidak semua wanita dalam „iddah haram dipinang secara mutlak.

Untuk jelasnya perlu diperinci sebagai berikut :

a. Wanita yang sedang menjalani „iddah talak raj‟I yakni talak masih

memungkinkan bagi suami yang menalak itu untuk melakukan ruju‟

dan wanita itu haram dipinang baik dengan sendirian atau terang-

terangan.

b. Wanita yang sedang menjalani „iddah karna Thalak Bain atau seperti

wanita yang ditalak tiga oleh suaminya, maka diperbolehkan

meminang wanita tersebut hanya dengan sendirian dan tidak

diperbolehkan secara terang-terangan. Hal ini karna wanita yang

ditalak bain atau ditalak tiga seperti wanita yang ditinggal mati

suaminya yaitu status perkawinan mereka terputus tanpa adanya ruju‟

(kembali).

c. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, haram dipinang secara

terang-terangan selama „iddah, tetapi boleh dipinang dengan sendirian.

Maksutnya adalah diperbolehkan meminang wanita yang ditinggal

mati suaminya karena untuk menghilangkan kemungkinan dusta dalam

„iddah. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selesai setelah

melahirkan atau setelah empat bulan sepuluh hari bagi wanita iddah

yang tidak sedang hamil. Kebohongan atau dusta pada pengurangan

masa iddah tidak bisa diterima.

Dalam hal ini kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah

kelas XI mengenai wanita masa iddah adalah wanita yang tidak boleh
80

dipinang yaitu wanita yang masih dalam iddah raj‟i. Adapun wanita yang

bukan dalam iddah raj‟I, boleh dipinang yaitu wanita yang dalam iddah

wafat boleh dipinang dengan sindiran tetapi tidak dengan terus terang,

wanita beriddah talak tiga (bain kubra ) dan wanita yang beriddah karna

talak bain sughra atau karna sebab fasakh.

6. Batas-batas dalam Melihat Wanita Pinangan

Dari teori dapat diketahui bahwa di dalam tafsir surat al-Baqarah

ayat 235 dan di padukan dengan sumber lain yang ditulis oleh tokoh-tokoh

lain yang ada kaitannya dengan khitbah bahwa dijelaskan mengenai batas-

batas dalam melihat wanita pinangan, bahwa ada beberapa pendapat

tentang kebolehan melihat seseorang perempuan yang akan dipinang.

Dalam hal ini para jumhur ulama seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, dan

Imam Syafi‟I, salah satunya menurut Madzahab Syafi‟I, tidak boleh

melihat perempuan, selain muka dan kedua telapak tangannya.

Dari mazhab Hambali bersependapat sama dengan mazhab syafi‟i

boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena wajah adalah pusat

segala keindahan, objek pandangan, dan bukti kecantikan, sedangkan

telapak tangan adalah bukti kesuburan. Dikalangan ulama mazhab Hanbali

yang paling benar adalah melihat anggota tubuh yang biasanya sering

terlihat, seperti leher, dua tangan, dan dua kaki.

Dalam hal ini kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah

kelas XI mengenai batas-batas dalam melihat wanita pinangan, bahwa

melihat wanita yang akan dinikahi dianjurkan bahkan disunahkan oleh


81

agama. Karna meminang istri merupakan pendahuluan pernikahan.

Sedangkan melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan

kecantikannya dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang bahagia.

Ada beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang

wanita yang akan dipinang. Jumhur ulama berpendapat boleh melihat

wajah dan kedua telapak tangan, karena demikian akan dapat diketahui

kehalusan tubuh dan kecantikannya.

Menurut Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh badan,

karena dengan melihat seluruhnya seseorang dapat mengetahui bahwa

calon istrinya itu termasuk wanita baik, dari segi fisik dan juga

kecantikannya. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah memperbolehkan

melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan.

Berdasarkan hasil telaah diatas, menunjukakan bahwa Kedua

pemahaman mengenai konsep khitbah dalam al-Qur‟an: kajian tafsir surat

al-Baqarah ayat 235 masih relavan jika dikaitkan dengan materi Fiqih

kelas XI, maka dari itu, dua uraian diatas dapat di jadikan sumber

tambahan ilmu pengetahuan untuk memperkaya pemahaman mengenai

pelajaran fiqih terutama di Madrasah Aliyah.

Sedangkan Dalam hal ini akan dipaparkan teori pembahasan

mengenai surat Al-Baqarah ayat 235 dalam tafsir Al-Misbah dan

relevansinya dengan materi fiqih Madrasah Aliyah kelas XI semester

genap, berdasarkan analisis dalam tafsir al-Misbah mengenai surat al-


82

Baqarah ayat 235 ini membahas hukum dan cara mengajukan pinangan

kepada wanita masih berada dalam masa iddah.

Dalam surat al-Baqarah ayat 235 menjelaskan bahwa seorang laki-

laki boleh mengucapkan kata-kata sindiran untuk meminang wanita yang

habis masa iddahnya, baik iddah karena kematian suami,

maupun iddah karena talak bain. Tetapi hal itu sama sekali tidak

dibenarkan bila wanita itu berada dalam masa iddah dari talak raj`i.

Kata-kata yang menggambarkan bawah si lelaki itu mempunyai

maksud untuk mengawininya bila telah selesai idahnya. Umpamanya si

lelaki itu berkata, “Saya senang sekali bila mempunyai istri yang memiliki

sifat-sifat seperti engkau.” Atau ungkapan lainnya yang tidak mengarah

pada berterus-terang. Sementara itu Allah melarang bila seorang laki-laki

mengadakan janji akan kawin atau membujuknya untuk kawin secara

sembunyi-sembunyi atau mengadakan pertemuan rahasia. Hal ini tidak

dibenarkan karena dikhawatirkan terjadinya fitnah.

Allah tidak melarang seorang laki-laki meminang perempuan yang

habis masa iddah talak bain, jika pinangan itu dilakukan secara sindiran,

atau masih dalam rencana karena Allah mengetahui bahwa manusia tidak

selalu dapat menyembunyikan isi hatinya. Maka Allah menghendaki

pinangan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan tetapi hendaknya

dengan kata-kata kiasan yang merupakan pendahuluan, dan dilanjutkan

nanti dalam bentuk pinangan resmi ketika perempuan tersebut telah habis

iddahnya. Pinangan dengan sindrian itu tidak boleh dilakukan terhadap


83

perempuan yang masih dalam iddah talak raj`i karena masih ada

kemungkinan perempuan itu akan kembali kepada suaminya semula.

Sedangkan kaitannya dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah

kelas XI mengenai cara mengajukan pinangan itu dibagi menjadi dua

yaitu kepada gadis dan janda yang sudah habis iddah, dalam materi Fiqih

ini masih ada relavan dengan pembahasan mengenai cara mengajukan

pinangan kepada wanita masih berada dalam masa iddah.

Dalam materi Fiqih ini dijelaskan bahwa cara mengajukan

pinangan baik kepada gadis atau pun janda, menurut ajaran islam yaitu

dengan dua cara, pertama pinangan kepada gadis maupun janda yang

sudah habis masa iddahnya dengan menyatakan dengan secara terang-

terangan. Artinya bahwa perempuan yang dipinang akan dijadikan istriya

dengan berbicara langsung padanya dan yang kedua yaitu pinangan

kepada janda yang masih ada dalam masa iddah talak bain atau ditinggal

mati suami, tidak boleh dipinang secara terang-terangan. Pinangan kepada

mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran saja. Sedangkan perempuan

yang tidak boleh dipinang, baik secara sindiran apalagi dengan cara terus

terang yaitu perempuan dalam status masih dalam iddah raj‟i.

Dari berbagai penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khitbah

dalam materi fiqih merupakan pelajaran Pendidikan Agama Islam yang

diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,

menghayati dan mengamalkan hukum Islam, serta melalui kegiatan


84

bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman, pembiasaan dan

keteladanan, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya.

Adapun relevansinya konsep khitbah dalam surat al-Baqarah ayat

235 dalam tafsir al-Misbah dengan materi Fiqih di Madrasah Aliyah adalah

sama-sama bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: mengetahui

dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan

menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman

tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan

sosial, serta melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan

benar. Pengamalan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan

menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi

dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.


85

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari rangkaian pembahasan dan beberapa uraian di atas tentang

Konsep Khitbah Dalam Al-Qur‟an : Kajian Tafsir al-Misbah Surat Al-Baqarah

ayat 235 Dan Relevansinya Dengan Materi Fiqih Di Madrasah Aliyah Kelas

XI Semester Genap, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengertian khitbah itu ada dua yaitu secara etimologis dan terminologi.

Sedangkan secara etimologis meminang atau melamar artinya (antara lain)

“meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi sendiri atau orang lain),

Sedangkan makna khitbah secara terminologi adalah suatu langkah

pendahuluan menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan wanita.

2. Pelajaran dari ayat al-Baqrah ayat 235 dalam tafsir al-Misbah adalah

Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita yang masih dalam

masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara terang-terangan dengan

lafadz (ucapan yang jelas). Kemudian, Bolehnya menawarkan diri kepada

wanita tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak

terang-terangan (seperti ucapan: „sesungguhnya saya ingin sekali

menikah‟, atau „jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah

denganku jika engkau ingin menikah‟, atau „saya sangat senang dengan

wanita sepertimu‟, atau ucapan-ucapan yang semisal). Dan di Haramnya

melakukan aqad nikah terhadap wanita yang sedang menjalani masa iddah,
86

3. Konsep khitbah dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 235 dalam tafsir al-

Misbah memiliki kesamaan dan kaitannya dengan materi Fiqih yang ada di

Madrasah Aliyah, di dalam konsep khitbah ini dalam penyajiannya

mengambil buku-buku terdahulu yang yang ditulis oleh tokoh lain yang

masih relavan. Sehingga, dapat dijadikan sumber belajar tambahan

ataupun sebagai penguatan dan pendalaman materi ajar Fiqih di Madrasah

Aliyah yang menuntut adanya contoh konkrit dalam proses belajar

mengajar.

B. Saran

Sebelum mengakhiri penulisan hasil penelitian ini, peneliti akan

mengemukan beberapa saran kepada berbagai pihak antaranya:

1. Bagi guru hendaknya senantiasa memperkaya refrensi bahan ajar dalam

mengajar, tidak hanya dari buku paket maupun lembar kerja siswa (LKS)

tetapi bisa menggunakan refrensi yang masih terkait salah satunya

menjadikan majalah sebagai sumber belajar.

2. Bagi peserta didik terutama untuk jenjang Madrasah Aliyah maka kiranya

perlu meningkatkan dalam mendalami ilmu fiqih agar dapat mengetahui

dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan

menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman

tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan

sosial, serta melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan

benar. Pengamalan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan


87

menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi

dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

3. Bagi masyarakat kususnya untuk para calon pengantin alangkah baiknya

mengetahui sebelum adanya akad nikah melangsungkan proses meminang

terlebih dahulu. Karna agama Islam juga mensyari‟atkan adanya

peminangan sebagai pendahuluan sebelum memasuki akad pernikahan.

Hal ini bertujuan untuk lebih saling mengenal diantara keduanya.

Sebenarnya, pertunangan adalah bagian dari upaya menyeleksi wanita dan

wanita menyeleksi pria. Dengan pertunangan akan terukur kesepadanan

antara kedua belah pihak sehingga pernikahan dilaksanakan lebih hati-hati,

dan keduanya telah memikirkan dengan matang.

Anda mungkin juga menyukai