Anda di halaman 1dari 14

sesungguhnya aku senang kalian umat yang paling banyak.

Dan
barangsiapa mempunyai kesempatan, maka hendaklah menikah dan
barang siapa tidak mendapatkannya, maka berpuasalah sebab
sesungguhnya puasa itu penekan hawa nafsu” (HR.Ibnu Majah, dari
Aisyah ra No.1836.).
c. Tujuan nikah, antara lain;
1) Menjauhkan diri dari zina.
2) Mendapatkan keturunan.
3) Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam.
4) Mewujudkan suatu masyarakat Islam.
5) Menghibur hati Rasulullah SAW .
6) Menambah jumlah umat Islam.
7) Menyambung zuriat/keturunan.
8) Menghibur hamba Allah.
d. Rukun nikah:
1) Calon suami.
2) Calon istri.
3) Wali nikah
4) Saksi nikah
5) Ijab Qabul.
e. Ulama berbeda mengenai hukum nikah. Ada yang menyebut wajib,
haram, sunnat, atau makruh berdasarkan tinjauan latar belakangnya.
C. Kegiatan Pembelajaran ke-3
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria calon suami atau isteri.
b. Mahasiswa mampu mengemukakan cara meminang calon isteri
(khitbah) menurut syariat Islam
c. Mahasiswa mampu mengemukakan wanita yang haram
dinikahi.(muharramāt).
d. Mahasiswa mampu menjelaskan hak suami dan isteri.
2. Materi Pembelajaran

a. Kriteria Calon Suami/Istri


Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga pada dasarnya
ditentukan oleh keserasian antara suami dan istri. Untuk memperoleh
27
keserasian tersebut, Islam mengajarkan bahwa perkawinan yang
dilakukan seorang pria dan wanita tidak hanya sekedar berdasarkan
suka sama suka, melainkan harus dilihat dari berbagai segi, misalnya
agama, moral, dan latar belakang sosial. Calon suami dan calon istri
harus mempunyai pandangan yang saling bersesuian dalam hal moral,
agama dan latar belakang sosial.55

Tentang hal ini Rasūlullāh SAW memberi petunjuk:

‫َﺎﳍَﺎ‬
ِ ‫َِرﺑَ ٍﻊ ﻟِﻤ‬
ْ ‫َﺎل ﺗـُْﻨ َﻜ ُﺢ اﻟْﻤَْﺮأَةُ ﻷ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ َ ‫ﱠﱯ‬‫أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻋَ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َاك‬
َ ‫َﺖ ﻳَﺪ‬
ْ ‫َات اﻟﺪﱢﻳ ِﻦ ﺗَ ِﺮﺑ‬
ِ ‫َﺎﳍَﺎ َوﻟِﺪِﻳﻨِﻬَﺎ ﻓَﺎﻇْﻔَْﺮ ﺑِﺬ‬
ِ ‫وَﳊَِ َﺴﺒِﻬَﺎ وَﳉَِﻤ‬

“Wanita dikawini karena empat perkara, yaitu karena kekayaannya,


pangkatnya (status sosialnya), kecantikannya, dan kekuatan agamanya.
Pilihlah wanita yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung”.
(Diriwayatkan dari Muslim dari Abi Hurairah r.a, No. 2661).
Hadis tersebut menunjukkan satu pesan moral bahwa dalam memilih
jodoh, faktor agama merupakan prioritas pertama, sedangkan faktor-
faktor lain dipertimbangkan setelah faktor agama terpenuhi. Hal itu
disebabkan perkawinan bukan semata-mata kesenangan duniawi,
melainkan juga sarana untuk membina kehidupan yang sejahtera lahir
dan batin. Lebih dari itu perkawinan adalah untuk menjaga keselamatan
agama dan nilai-nilai moral bagi anak keturunan.56

b. Meminang (Khitbah) Menurut Syariat Islam


Prinsip perkawinan dalam Islam adalah sekali seumur hidup, bukan
untuk sementara. Untuk mencapai prinsip tersebut, Islam mengatur
adanya khitbah atau peminangan sebelum pelaksanaan pernikahan.
Dalam masa pertunangan kedua belah pihak dapat saling kenal-
mengenal atau saling menjajaki. Diharapkan keputusan yang diambil
setelah peminangan itu adalah keputusan yang tepat.
55
Anonim, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah. (Yogyakarta: Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, 1989), hlm.
13.
56
Ibid., hlm. 14.

28
Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk
melangsungkan perkawinan. Ulama fikih mendefinisikannya dengan
menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk
mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan
ini.57

Dalam berbagai kitab fikih, kata khitbah sering diterjemahkan dengan


pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang
telah jelas (izhār al-rughbat fi al-zawāj bi imra’tin mu’ayyanat) atau
memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya. 58

Pada prinsipnya tujuan peminangan dalam Islam sebelum akad nikah,


agar mempelai laki-laki dan perempuan mestilah saling mengenal.
Mengenal disini maksudnya bukan sekedar mengetahui tetapi juga
memahami dan mengerti akan kepribadian masing-masing. Hal ini
dipandang sangat penting, mengingat keduanya akan saling
mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan membentuk keluarga
yang semula dimaksudkan kekal tanpa dihiasi kata-kata cerai. Fakta dan
realita yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat menunjukkan
bahwa perceraian kerap kali terjadi karena tidak saling pengertian, tidak
saling memahami dan menghargai masing-masing pihak.

Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengarah untuk melihat


kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi
pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Namun bukan berarti faktor-faktor
lain misalnya faktor fisik dikesampingkan. Ajaran Islam ternyata
menganjurkan untuk memerhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah seperti
kecantikan wajah, keserasian, kesuburan dan kesehatan tubuh. Bahkan

57
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm.
928.
58
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Juz. VII. (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), hlm.
10.

29
ada hadis Rasūl yang memerintahkan untuk menikahi wanita yang
subur.59

Dalam beberapa diskusi terutama kajian gender, hadis-hadis tentang


pemilihan jodoh itu menurut pendapat mereka menunjukkan adanya
“superioritas” laki-laki atas wanita. Wanita dalam hadis-hadis itu seolah-
olah diposisikan sebagai objek pilihan. Dalam artian hadis-hadis itu
seperti tidak memihak kepada wanita. Wanita dianggap sebagai pihak
yang hanya pasif dan pasrah untuk dipilih, yang bagi mereka (penganut
faham kesetaraan jender) hal itu merupakan bentuk diskriminasi
terhadap peranan perempuan. Tapi hal ini bisa dikembalikan pada teori
besar fikih munakahat Islam yang sangat patriarkhi.60

Namun pendapat itu mentah dengan sendirinya, jika pemahaman


terhadap substansi peminangan sebagai langkah awal untuk
menciptakan keluarga yang sakīnah, mawaddah dan raḥmah, yang
semestinya keempat syarat itu dimiliki oleh kedua belah pihak. Sangat
mustahil sebuah keluarga yang bahagia dapat terwujud jika suami tidak
memiliki kriteria yang telah disebut, terlebih lagi menyangkut masalah
harta dan keagamaan. Dengan demikian, meskipun secara zahir hadis
itu tertuju kepada laki-laki, tetapi substansinya menuntut agar wanita juga
melakukan hal yang sama.

Dengan demikian calon mempelai wanita dan keluarganya juga harus


melihat bagaimana akhlak, ketakwaan dan hubungan calon mempelai
laki-laki itu dengan Tuhan dan manusia. Demikian juga halnya dengan
penampilan fisik calon mempelai laki-laki juga harus diperhatikan dengan
baik, ketampanannya, dan tubuhnya.61 Dalam Islam persamaan kualitas
ini disebut dengan istilah kufu’ (setara).

59
Muhammad Baqir al-Habsy, Fikih Praktis Menurut Alquran, Sunnah dan Pendapat Ulama, Buku
Kedua Seputar Pernikahan dan Warisan. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 35-36.
60
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 84.
61
Yusuf Qardhawi, Qardhawi Bicara Soal Wanita. (Bandung: Arasy, 2003), hlm. 67-68.

30
Tentang hukum peminangan, mayoritas ulama berpendapat bahwa
peminangan tidak wajib.62 Namun dalam praktik di masyarakat
menunjukkan bahwa peminangan merupakan pendahuluan yang hampir
pasti dilakukan. Ini sejalan dengan pendapat Daud Zahiry yang
menyatakan meminang hukumnya wajib.63

Fikih Islam telah mengatur syarat-syarat peminangan dan halangan-


halangannya. Hal itu berasal dari hadis Rasūlullāh SAW yang artinya:

‫َﺧﻴ ِﻪ‬
ِ ‫َﺎل َﻻ ﻳَﺒِ ْﻊ اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ َﻋﻠَﻰ ﺑـَﻴْ ِﻊ أ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤَﺮ َﻋ ْﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
ُ‫َﺧﻴ ِﻪ إﱠِﻻ أَ ْن ﻳَﺄْذَ َن ﻟَﻪ‬
ِ ‫ُﺐ َﻋﻠَﻰ ِﺧﻄْﺒَ ِﺔ أ‬
ْ ‫وََﻻ ﳜَْﻄ‬
“Janganlah seseorang membeli barang yang sedang dibeli saudaranya
dan janganlah seseorang kamu meminang (wanita) yang dipinang
saudaranya, hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah
mengizinkannya”. (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar no. 2531).

Islam telah menetapkan bahwa wanita yang dipinang tersebut kriterianya


adalah :

1) Wanita yang dipinang tidak istri orang.


2) Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.
3) Wanita yang dipinang tidak dalam masa ‘iddah raj’i. Perempuan yang
menjalani masa ‘iddah raj’i, bekas suaminyalah yang berhak
merujukinya. (al-Baqarah [2] : 228).
4) Wanita dalam masa ‘iddah wafat, tetapi hanya boleh dipinang dengan
sindiran (kināyah) (Al-Baqarah, [2] : 235).
5) Wanita dalam masa ‘iddah bain sughra dapat dipinang oleh bekas
suaminya.
6) Wanita dalam masa ‘iddah bain kubrā boleh dipinang bekas
suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain, di dukhul dan telah
bercerai.

62
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 64.
63
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid. Juz. 2. (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.h.), hlm. 2.

31
Sebagaimana telah disebutkan, prinsip perkawinan dalam Islam
didasarkan pada asas kerelaan masing-masing pihak64 , dan perkawinan
itu berlangsung hingga akhir hayat masing-masing. Demi kebaikan
keduanya, maka Islam menganjurkan agar laki-laki melihat lebih dahulu
wanita yang akan dinikahinya. Dalam hadis yang disuruh adalah melihat
jasmaninya yang diwakili oleh muka dan telapak tangannya. Disamping
itu sesungguhnya Islam juga menganjurkan agar orang yang memilih
suami atau istri harus melihat sifat-sifat ruhaninya, apakah ia berakhlak
baik atau tidak. Ini yang merupakan faktor terpenting dalam memilih
pasangan hidup.

Ada beberapa hadis Rasūlullāh SAW, yang berhubungan dengan


anjuran untuk melihat wanita yang akan dipinang, yaitu yang artinya:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ُ ‫َﺎل ِﱄ َرﺳ‬ َ ‫ْﺖ ا ْﻣَﺮأَةً ﻓَـﻘ‬
ُ ‫َﺎل َﺧﻄَﺒ‬ َ ‫َﻋ ِﻦ اﻟْ ُﻤﻐِ َﲑةِ ﺑْ ِﻦ ُﺷ ْﻌﺒَﺔَ ﻗ‬
‫َﺎل ﻓَﺎﻧْﻈ ُْﺮ إِﻟَْﻴـﻬَﺎ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ أَ ْﺣﺮَى أَ ْن ﻳـُ ْﺆَد َم ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜﻤَﺎ‬
َ ‫ْﺖ َﻻ ﻗ‬ُ ‫ْت إِﻟَْﻴـﻬَﺎ ﻗُـﻠ‬
َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَﻧَﻈَﺮ‬

“Diriwayatkan dari al-Mughirah Ibn Syu’bah bahwa ia pernah meminang


seorang wanita, lalu Rasūlullāh berkata kepadanya: “Apakah kamu
melihat wanita itu? Jawab al-Mughirah: Belum. Sabda Rasūlullāh :
“Lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama
lebih langgeng”.(HR. Musnad Ahmad no. 17452).

Sabda Rasūlullāh SAW yang lain, artinya:

‫ُﻮل‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَﻘ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫ْﺖ َرﺳ‬ ُ ‫َﺎل َِﲰﻌ‬
َ ‫ﱠث ﻋَ ْﻦ ﳏَُ ﱠﻤ ِﺪ ﺑْ ِﻦ َﻣ ْﺴﻠَ َﻤﺔَ ﻗ‬
َ ‫َﺣﺪ‬
‫س أَ ْن ﻳـَْﻨﻈَُﺮ إِﻟَْﻴـﻬَﺎ‬
َ ْ‫ْﺐ ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ِﺧﻄْﺒَﺔَ ا ْﻣَﺮأَةٍ ﻓ ََﻼ ﺑَﺄ‬
ِ ‫َف اﻟﻠﱠﻪُ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ ِﰲ ﻗَـﻠ‬َ ‫إِذَا ﻗَﺬ‬

64
Asas-asas Perkawinan dalam Islam ada enam, yaitu : 1) asas kesukarelaan; 2) persetujuan kedua belah
pihak; 3) kebebasan memilih; 4) kemitraan suami-istri; 5) untuk selama-lamanya; 6) monogami terbuka (karena
darurat). Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. ( Jakarta:Rajawali Pers. Cet. ke- 11, 2004), hlm. 139.

32
“Apabila Allāh ‘Azza wa Jalla telah memberikan ketertarikan seorang
laki-laki untuk melamar seorang wanita, maka tidak mengapa ia untuk
melihatnya” (HR. Abu Daud dari Muhammad bin Maslamah No. 17928).

Dari dalil-dalil tersebut jelaslah bukan hanya boleh melihat wanita yang
akan dipinang tetapi malah dianjurkan/disunnahkan agar prinsip
perkawinan yang kekal dan bahagia dapat tercapai.

Tentang apa saja yang boleh dilihat oleh calon mempelai laki-laki
terhadap calon mempelai perempuan, berikut ini penjelasan al-Imam
Taqiyuddin, yang menjelaskan ada 7 macam ketentuan hukum laki-laki
melihat perempuan,65 yaitu:

1) Laki-laki melihat perempuan tanpa ada keperluan, maka hukumnya


tidak boleh (lihat sūrah al-Nūr [24]: 30).
2) Laki-laki melihat istrinya atau ibunya hukumnya boleh kecuali
kemaluannya.
3) Laki-laki melihat mahramnya atau budaknya, hukumnya boleh kecuali
antara lutut dan pusat (lihat An-Nur [24]: 31).
4) Laki-laki melihat wanita yang akan dipinangnya, hukumnya boleh
terbatas pada muka dan telapak tangannya.
5) Laki-laki melihat wanita untuk keperluan pengobatan, hukumnya boleh
melihat tempat-tempat mana saja yang diperlukan (ada hadisnya).
6) Laki-laki melihat wanita untuk keperluan saksi dan transaksi,
hukumnya boleh terbatas pada muka saja. (pendapat ulama).
7) Laki-laki melihat budaknya yang akan dibelinya hukumnya boleh
melihat tempat-tempat yang sangat diperlukan (pendapat ulama).

c. Wanita-wanita yang Haram Dinikahi (Muharramāt)


Hukum Islam mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fikih
disebut dengan maḥram (orang yang haram dinikahi). Tapi di
masyarakat istilah ini acap kali disebut dengan muḥrim, sebuah istilah

65
Imam Taqiyuddin, Kifāyat al-Akhyār fi Hal Ghayat al-Ikhtiyār. Juz. II. (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
t.t.h.), hlm. 26-30.

33
yang sebenarnya tidak terlalu tepat.66 Muḥrim, kalaupun kata ini ingin
dipakai maksudnya adalah suami, yang menyebabkan istrinya tidak
boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat dalam sebuah
perkawinan atau masih berada dalam ‘iddah talak raj’i. Di samping itu
muḥrim juga digunakan untuk menyebut orang yang sedang iḥrām.67
Para ulama fikih membagi maḥram ini kepada dua macam. Pertama
disebut dengan maḥram mu’aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan
kedua maḥram mu’abbad (larangan untuk selamanya). Dalam hal
larangan perkawinan ini agaknya Al-Qur’an memberikan aturan yang
tegas dan terperinci dalam sūrah al-Nisā’ ayat 22-23.
Berpijak dari ayat ini maka para ulama membuat rumusan-rumusan yang
lebih sistematis sebagai berikut :
d. Wanita yang Haram Dinikahi Selamanya (Maāram Mu’abbad).
Wanita yang Haram Dinikahi Selamanya (Maāram Mu’abbad) dapat
dibagi menjadi:
1) Karena pertalian nasab (hubungan darah)
a) Ibu, nenek (dari garis keturunan ibu atau bapak) dan seterusnya ke
atas.
b) Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.
c) Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.
d) Saudara perempuan ibu (bibi atau tante).
e) Saudara perempuan bapak (bibi atau tante).
f) Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung.
g) Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.
h) Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.
i) Anak perempuan saudara perempuan sekandung.
j) Anak perempuan saudara perempuan seayah.
k) Anak perempuan saudara perempuan seibu.

2) Karena hubungan semenda

66
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hlm. 145.
67
Abdul Aziz Dahlan, (ed)., Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 3. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hlm. 1049.

34
a. Ibu dari istri (mertua).
b. Anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri).
c. Istri bapak (ibu tiri).
d. Istri anak (menantu).
e. Saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam ikatan
perkawinan.
3) Karena pertalian sepersusuan
a) Wanita yang menyusui seterusnya ke atas.
b) Wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis ke bawah.
c) Wanita saudara sepersusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d) Wanita bibi sesusuan dan bibi sesusuan ke atas.
e) Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
4) Haram dinikahi karena sudah dili’an (sudah melaksanakan sumpah
li’an). (Lihat sūrah al-Nūr :6-9).
Para fuqahā’ mengatakan bahwa kalau sudah terjadi sumpah li’an,
maka antara suami istri harus pisah atau cerai dan hal itu
menyebabkan haram mereka untuk menikah kembali selama-
lamanya.
e. Wanita yang Haram Dinikahi untuk Sementara (Maāram Mu’aqqat).
Wanita yang haram dinikahi untuk sementara adalah wanita yang
mempunyai sebab-sebab yang mana selama sebab-sebab itu masih ada
wanita itu tidak boleh dinikahi. Tetapi jika sebab-sebab itu hilang, maka
ia boleh dinikahi.
Mereka itu adalah :
1) Memadu seorang wanita dengan saudaranya, atau dengan bibinya.
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Nisā’ ayat: 23, yang artinya:
“Dan diharamkan kamu memadu antara dua perempuan bersaudara,
kecuali apa yang telah lalu”.
Sabda Rasūlullāh SAW, yang artinya:

ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْن ﺗـُْﻨ َﻜ َﺢ اﻟْﻤ َْﺮأَةُ َﻋﻠَﻰ َﻋ ﱠﻤﺘِﻬَﺎ وَاﻟْ َﻤ ْﺮأَة‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ُﻮل ﻧـَﻬَﻰ اﻟﻨِ ﱡ‬
ُ ‫أَﺑَﺎ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻳـَﻘ‬
‫َوﺧَﺎﻟَﺘُـﻬَﺎ‬

35
“Dari Abu Hurairah sesungguhnya Nabi melarang memadu seorang
perempuan dengan bibi dari ayahnya atau perempuan dengan
saudari kandungnya”. (HR. Shahih Bukhari no. 4819).
Keharaman ini sifatnya sementara, oleh karena itu andaikata wanita
yang menjadi istri seseorang itu meninggal atau cerai, maka laki-laki/
bekas suaminya boleh menikahi adik atau kakak perempuan wanita
yang telah meninggal atau dicerai itu, demikian pula terhadap bibinya.
2) Wanita yang masih menjadi istri orang lain atau bekas istri orang lain
yang masih dalam iddah.
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Nisā’ ayat 24, yang artinya:
“Dan diharamkan kamu menikahi wanita yang bersuami”.
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Baqarah ayat 228, yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu tiga
kali suci”.
3) Wanita yang ditalak tiga
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Baqarah ayat 229, yang artinya:
“Talak yang dapat dirujuki dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Baqarah ayat 230, yang artinya:
“Kemudian jika si suami mentalaknya sesudah talak yang kedua maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya, sampai dia kawin dengan
suami yang lain”.
4) Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram haji maupun ihram
umrah.
Sabda Rasūlullāh SAW:
“Dari Usman bin Affan menyatakan: Orang yang sedang ihram tidak
boleh menikah, tidak boleh menikahkan dan tidak boleh pula
meminang”. (HR.Muslim).
5) Wanita musyrik
Firman Allāh SWT dalam sūrah al-Baqarah 221, yang artinya:
“Jangan kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman”.

36
6) Wanita yang hendak dinikahi oleh seseorang yang telah beristri empat
orang.

f. Hak dan Kewajiban Suami/Istri


Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak
dan begitu pula istri mempunyai hak. Disamping itu ketika telah terikat
dalam sebuah pernikahan, maka suami dan istri terikat dalam beberapa
kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara suami istri dalam rumah
tangga terdeskripsi dalam beberapa ayat Al-Qur’an juga bberapa hadis
Nabi Muhammad saw.
Pada hakikatnya hak suami merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya
kewajiban suami merupakan hak bagi istri. Ada tiga hal ketika berbicara
tentang hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga:
1) Kewajiban suami terhadap istrinya, yang merupakan hak istri dari
suaminya.
2) Hak bersama suami istri.
3) Kewajiban bersama suami istri.68
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi kepada dua
bagian, yaitu:
1) Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafaqah.
2) Kewajiban yang tidak bersifat materi.
Hak istri atau kewajiban suami kepada istri ada empat, yaitu69:
1) Mahar yaitu pemberian wajib dari suami untuk istri. Mahar merupakan
harta yang diberikan oleh suami kepada istrinya ketika
melangsungkan akad pernikahan. Jumlah minimal dan maksimal
mahar tidak ditentukan oleh syara’.
2) Nafkah adalah menyediakan segala keperluan istri berupa makanan,
minuman, pakaian, rumah, pembantu, obat-obatan dan lain-lain.
Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an , Sunnah dan Ijma’.

68
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Kencana Media Group. Cet. Ke-3, 2009), hlm. 160.
69
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq. (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI). Cet.
Ke-7, 2005), hlm. 165-169.

37
3) Iḥsān al-‘asyarah yaitu bergaul dengan istri dengan cara yang sebaik-
baiknya.
4) Membimbing dan mendidik keagamaan istri. Seorang suami
bertanggung jawab di hadapan Allāh terhadap istrinya karena dia
adalah pemimpinnya.
Menurut Amir Syarifuddin, kewajiban suami yang merupakan hak bagi
isterinya yang tidak bersifat materi adalah70:
1) Menggauli isterinya secara baik dan patut. Maksud pergaulan di sini
secara khusus adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang
berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual.
2) Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada
suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan
dan marabahaya.
3) Suami wajib mengujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan
Allāh untuk terwujud, yaitu mawaddah, raḥmah, dan sakīnah. Untuk
maksud itu, suami wajib memberikan rasa tenang bagi isterinya,
memberikan cinta dan kasih sayang kepada isterinya.
Kewajiban isteri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari
isterinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Kewajiban
yang bersifat nonmateri itu adalah:
1) Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya.
2) Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya;
memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam
batas-batas yang berada dalam kemampuannya.
3) Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak
menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.
4) Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang
tidak berada di rumah.
5) Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak
disenangi oleh suaminya.
6) Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak
dipandang dan suara yang tidak enak didengar.71
70
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 160-161.

38
Kemudian ada juga hak bersama suami isteri, yaitu:
1) Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Inilah
hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2) Timbulnya hubungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya
hubungan isteri dengan keluarga suaminya, yang disebut dengan
mushaharah.
3) Hubungan saling mewarisi di antara suami isteri. Setiap pihak berhak
mewarisi pihak lain bila terjadi kematian.72
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah
terjadinya perkawinan itu adalah:
1) Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan
tersebut.
2) Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.73
3. Latihan
Buatlah artikel kronologis sejarah tradisi di suku-suku masing-masing dalam
meminang calon isteri.
4. Evaluasi

a. Jelaskan kriteria calon isteri !


b. Sebutkan wanita yang haram dinikahi.(muḥarramāt) selamanya !
c. Jelaskan hak suami dalam pernikahan !
5. Kunci Jawaban
a. Kreteria calon isteri:
1) Wanita yang dipinang tidak istri orang.
2) Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.
3) Wanita yang dipinang tidak dalam masa ‘iddah raj’i. Perempuan yang
menjalani masa ‘iddah raj’i, bekas suaminyalah yang berhak
merujukinya. (al-Baqarah [2] : 228).
4) Wanita dalam masa ‘iddah wafat, tetapi hanya boleh dipinang dengan
sindiran (kināyah) (Al-Baqarah, [2] : 235).

71
Ibid., hlm.162.
72
Ibid., hlm. 163.
73
Ibid., hlm. 163-164.

39
5) Wanita dalam masa ‘iddah bain sughra dapat dipinang oleh bekas
suaminya.
6) Wanita dalam masa ‘iddah bain kubrā boleh dipinang bekas
suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain, di dukhul dan telah
bercerai.
b. Wanita yang Haram Dinikahi Selamanya (Maḥram Mu’abbad) dapat
dibagi menjadi:
1) Karena pertalian nasab (hubungan darah)
2) Karena hubungan semenda
3) Karena pertalian sepersusuan
c. Kewajiban suami sekaligus hak isteri ;
1) Mahar yaitu pemberian wajib dari suami untuk istri. Mahar merupakan
harta yang diberikan oleh suami kepada istrinya ketika
melangsungkan akad pernikahan. Jumlah minimal dan maksimal
mahar tidak ditentukan oleh syara’.
2) Nafkah adalah menyediakan segala keperluan istri berupa makanan,
minuman, pakaian, rumah, pembantu, obat-obatan dan lain-lain.
Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an , Sunnah dan Ijma’.
3) Iḥsān al-‘asyarah yaitu bergaul dengan istri dengan cara yang sebaik-
baiknya.
4) Membimbing dan mendidik keagamaan istri. Seorang suami
bertanggung jawab di hadapan Allāh terhadap istrinya karena dia
adalah pemimpinnya.
D. Kegiatan Pembelajaran ke-4
1. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian talak.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Iddah
c. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Ruju’
d. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar hukum talak, iddah dan ruju’
e. Mahasiswa mampu menguraikan pembagian talak.
2. Materi Pembelajaran

a. Pengertian Talak

40

Anda mungkin juga menyukai