Anda di halaman 1dari 11

Kriteria Memilih Pasangan Hidup Sesuai Syariat Islam

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah

Psikologi Perkembangan Dewasa Lansia

Dosen Pengampu: Dr. H. Kholilurohman,.M.Si

Disusun oleh :

Sinta Dewi Astuti

(211221155)

BKI 3C

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Memiliki pasangain hidup ituiadalah naluri setiap manusia, tanpa
ada naluri ini mungkin bumi tidak akan berpenghuni. Sudah menjadi
sunnaitulllah bahwa antara laki-laki dan wanitaitersebut terdapat unsur
tarikimenarikidan kebutuhan ini untukisalingimelengkapi. memenuhi
kebutuhann saling melengkapi, maka diperlukan pasangan sah dan
halalijalannya adalah melaluiipernikahann
Menurut Yusufial Qardawi (2004:22) Pernikahann adalah barat
dua sayap. Sayap athifah (rasa cinta) dan sayap akal. Sayapiathifah yang
paling rendah adalah qabul (bisa menerima lamaran) dan tidak membuat
pelamar menjauh dan yang tertinggi adalah adanya perasaan cenderung
kepada lawan jenis. Sedangkan sayap akal meliputi takafu’ (kecocokan)
pada status sosial, ekonomi, pendidikan, psikologis dan gen (garis
keturunan). Bahkan mencangkup seperti warna kulit, tinggi, kurus dan
lain-lain.
Memilih pasangan merupakan awal untuk menemukan tambatan
hati dan menjadi jalan menuju sebuah pernikahann. Sudah menjadi tradisi
di Jawa ketika mencari pasangan hidup itu yang diperhatikan umumnya
dari segi lahiriah seperti bibit bebet dan bobot. Ketiga hal tersebut menjadi
semacam alat kalibrasi bagi orang Jawa untuk menentukan calon
menantunya yang baik bagi anaknya.
Sedangkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari No.4700 dalam
kitab nikah pada bab sekufu dalam agama, tentang memilih pasangan
hidup yang berbunyi: "Wanita itu di nikahi karena empat hal, karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena
agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, iniscaya kamu akan
beruntung." (HR. Bukhari No.4700)
Penelitian ini bertujuan untuk menggali syarah hadits riwayat
imam Bukhari kriteria dalam memilih pasangan hidup menurut hadits
riwayat imam Bukhari, mengemukakan pendapat para ahli mengenai
kriteria memilih pasangan dan kaitannya dengan pendidikan pranikah,
serta mengidentifikasi implikasi dalam memilih pasangan hidup yang
terkandung dalam hadits riwayat imam al-Bukhari terhadap pendidikan
pranikah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara memilih pasangan hidup berdasarkan kriteria dan
agama?
2. Apa hikmah dan tujuan menikah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaiamana cara memilih pasangan hidup
berdasarkan kriteria dan agama.
2. Untuk mengetahui apa hikmah dan tujuan menikah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Memilih Pasangan Hidup Sesuai Kriteria dan Agama


Pernikahan merupakan salah satu cara yang dipilih Allah sebagai
jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan
kehidupannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan
penanganannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
Dalam memilih pasangan hidup, seorang Muslimah dianjurkan
untuk memperhatikan kriteria dan kualitas calon suami yang baik dan
benar, kehidupan rumah tangga akan terasa harmonis apabila seseorang
mempunyai pendamping yang setara atau sekufu’. Kafa’ah ialah serupa,
seimbang atau serasi maksudnya keseimbangan dan keserasian antara
calon suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan pernikahan.
Adapun macam-macam kriteria memilih pasangan hidup para
ulama :
a. Agama
Merupakan orang yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding
dengan perempuan suci atau perempuan shalihah yang merupakan
anak salih atau perempuan yang lurus, dia dan keluarganya
memiliki jiwa agamis dan memiliki akhlak terpuji. Kefasikan
orang tersebut ditunjukan secara terang-terangan atau tidak secara
terang-terangan. Akan tetapi ada yang bersaksi bahwa dia
melakukan perbuatan kefasikan. Karena kesaksian dan periwayatan
orang yang fasik ditolak (Tihami dan Sohari, 2009: 56). Hal ini
merupakan suatu kekurangan pada sifat kemanusiaannya. kerena
seorang perempuan merasa rendah dengan kefasikan suami,
dibandingkan rasa malu yang dia rasakan akibat kekurangan
nasabnya. Dia bukan orang yang sebanding bagi perempuan yang
baik (Wahbah Zuhayli, 2007: 223). Agama merupakan hal yang
pokok dalam mewujudkan perkawinan yang baik, kafâ`ah sangat
memperhatikan tentang agama, kesucian dan ketakwaan. Dalam
mencari calon pasangan hidup kita harus benar-benar mengetahui
tentang agamanya, apakah sama dengan kita.
b. Islam
Syarat yang diajukan oleh mazhab Hanafi dan berlaku bagi orang
selain Arab, dan pendapat ini bertentangan dengan jumhur fuqaha`.
Yang dimaksudkan madzhab hanafi adalah Islam asal-usulnya,
yaitu nenek moyangnya. Barang siapa yang memiliki dua nenek
moyang muslim sebanding dengan orang yang memiliki beberapa
nenek moyang Islam. Orang yang memiliki satu nenek moyang
Islam tidak sebanding dengan orang yang memiliki dua orang
nenek moyang Islam, karena kesempurnaan nasab terdiri dari
bapak dan kakek (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, 1986: 369).
c. Kemerdekaan
Budak laki-laki tidak sekufu` dengan perempuan merdeka. Budak
laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu` dengan perempuan
yang sudah merdeka dari asal. Laki-laki yang shaleh dan kakeknya
pernah menjadi budak, tidak sekufu dengan perempuan yang
kakeknya tak pernah menjadi budak. Sebab perempuan merdeka
bila kawin dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula
kawinnya laki-laki yang salah seorang kakeknya pernah menjadi
budak (Sayyid Sabiq, 2006: 45).
d. Harta dan Kemakmuran
Didapati dari salah satu mempelai memiliki kategori memiliki
harta dan kemakmuran. Golongan Syafi’i berbeda pendapat dalam
hal ini, Harta dan kemakmuran yang dimaksud adalah kemampuan
untuk memberikan mahar dan nafkah untuk istri, bukan kaya dan
kekayaan. Oleh sebab itu, orang yang miskin tidak sebanding
dengan perempuan kaya. Sebagian ulama mazhab Hanafi
menetapkan kemampuan untuk memberikan nafkah selama satu
bulan, sebagian ulama’ yang lainnya berpendapat cukup sekedar
kemampuan untuk mencari rizki untuknya. Mazhab Hanafi dan
Hambali mensyaratkan kemampuan sebagai unsur kafâ`ah. Karena
manusia lebih merasa bangga dengan harta dari pada kebanggaan
terhadap nasab. perempuan yang kaya dirugikan dengan
kemiskinan suaminya, akibat ketidak kemampuannya untuk
menafkahinya dan menyediakan makan untuk anak-anaknya. Oleh
karena itu, istri punya hak untuk membatalkan perkawinan akibat
kesulitannya memberikan nafkah (Wahbah Zuhayli, 2007: 228)
e. Nasab dan Kedudukan
Nasab di sini adalah hubungan seorang manusia dengan
asalusulnya dari bapak dan kakek. Sedangkan hasab adalah sifat
terpuji yang menjadi ciri asal-usulnya, atau menjadi kebanggaan
kakek moyangnya, seperti ilmu pengetahuan, keberanian,
kedermawanan, dan ketakwaan. (Tihami dan Sahrani, 2009: 57).
Sedangkan orang asing tidak memiliki perhatian terhadap nasab
mereka dan mereka juga tidak menjadikannya sebagai suatu
kebanggaan. Oleh karena itu, pada mereka dianggap kafâ`ah
hanyalah kemerdekaan dan Islam. Sedangkan yang paling sahih
dalam mazhab Hanafi yakni bahwa orang laki-laki asing tidak
setara dengan perempuan Arab, meskipun orang laki- laki tersebut
adalah seorang ilmuan maupun seorang pengusaha (Wahbah
Zuhayli, 2007: 226).
f. Pekerjaan, Profesi atau kedudukan
Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
seorang untuk mendapatkan rizkinya dan penghidupannya,
termasuk di antaranya adalah pekerjaan di pemerintah. Jumhur
fuqaha` selain mazhab Maliki memasukkan profesi ke dalam unsur
kafâ`ah, dengan menjadikan profesi suami atau keluarganya
sebanding dan setara dengan profesi isteri dan keluarganya. Oleh
sebab itu, orang yang pekerjaanya rendah seperti tukang bekam,
tukang tiup api, tukang sapu, tukang sampah, penjaga, dan
pengembala tidak setara dengan anak perempuan pemilik pabrik
yang merupakan orang elite, ataupun seperti pedagang, dan tukang
pakaian. Anak perempuan pedagang dan tukang pakaian tidak
sebanding dengan anak perempuan seorang ilmuan dan hakim,
berdasarkan tradisi yang ada. Sedangkan orang yang senantiasa
melakukan kejelekan lebih rendah dari pada itu semua. Orang kafir
sebagian mereka setara dengan sebagian yang lain. Kafâ`ah
dijadikan kategori untuk mencegah kekurangan, dan tidak ada
kekurangan yang lebih besar dari pada kekafiran (Muhammad
Jawad Mughniyah, 2009: 317)

B. Hikmah dan Tujuan Menikah


Menikah merupakan suatu ketentuan dari ketentuan-ketentuan Allah
didalamnya menjadikan dan menciptakan alam ini. Menikah bersifat
umum, menyeluruh, berlaku tanpa kecuali. Berbicara masalah hikmah
menikah Abdullah Nasekh Ulwan dalam (Ghazaly, 2003: 41-46)
menyatakan antara lain sebagai berikut:
a. Untuk memelihara jenis manusia; dengan menikah manusia dapat
melanjutkan kelangsungan hidupnya dari jenis keturunannya.
b. Untuk memelihara keturunan; dengan perkawinan sebagai mana telah
diatur oleh syariat Allah SWT kepada hamba-hambanya. Tampak jelas
bahwa garis keturunan bentuk pendidikan yang dapat mengekalkan
kemuliaan bagi setiap keturunan.
c. Menyelamatkan manusia dari kerusakan Akhlak; dengan menikah
masyarakat diselamatkan dari kerusakan akhlak dan mengamankan
dari setiap individu dan setiap kerusakan pergaulan.
d. Untuk menentramkan jiwa setiap pribadi; menikah dapat
menentramkan setiap jiwa cinta kasih yang dapat melembutkan
perasaan antar suami dan istri, tatkala suami selesai bekerja pada siang
hari dan kemudian kembali kerumahnya pada sore harinya ia dapat
berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Hal ini dapat melenyapkan
semua kelelehan dan deritanya pada siang hari. Begitu pula sebaliknya.
e. Untuk menjalin kerjasama suami istri dalam membina keluarga dan
mendidik anak-anak. Dengan kerjasama yang harmonis diantara suami
dan istri bahu membahu untuk mencapai hasil yang baik, mendidik
anak yang shaleh yang memiliki iman yang kuat dan ruh islam yang
kokoh lahirlah rumah tangga yang tentram dan bahagia. Yang
diharapkan dari perkawinan yaitu terciptannya jalinan Cinta yang
penuh mawaddah, rahmah, dan amanah Allah. sehingga kalau cinta
pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalaupun ini tidak
tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama,
amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan. (Shihab,
2007: 208)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa kriteria memilih pasangan hidup menurut


agama islam dengan cara melihat tingkah laku seseorang tersebut dalam
kesehariannya dan juga dengan melihat ibadah serta tanggung jawab yang besar
untuk rumah tangga yang bahagia. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa
memilih pasangan yang harus bertanggung jawab sebagai suami baik itu dari
rumah tangga terdiri dari istri, dan anak-anaknya, dengan tidak adanya rasa
tanggung jawab suami akan berdampak negatif dan muncul konflik-konflik yang
tidak baik.
DAFTAR PUSTAKA

Jannah, R. R. (2021). Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Hadits


Riwayat Imam Al-Bukhari dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Pranikah. Jurnal Riset Pendidikan Agama Islam, 51-56.

Najwah, N. (2018). Kriteria memilih pasangan hidup (Kajian


hermeneutika hadis). Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis, 17(1), 95-120.

Miftahuzzaman, M., Arif, S., & Sutisna, S. (2023). Konsep Kafa’ah Dalam
Memilih Pasangan Hidup Menurut Empat Imam Madzhab. As-Syar'i: Jurnal
Bimbingan & Konseling Keluarga, 5(1), 1-13.

Abdullah, A., Kusnadi, K., & Permana, A. K. (2022). Urgensi Kafa’ah


dalam Pemilihan Pasangan Hidup Perspektif M. Quraish Sihab. AT-TA'DIL:
Jurnal Hukum Keluarga Islam Pascasarjana STAI Syamsul'Ulum, 3(1), 50-62.

Fitriyati, L. (2022). DEKONTRUKSI KAFA’AH BAGI WANITA


PESANTREN DAN NON PESANTREN (Fenomena Memilih Pasangan Pada
Masyarakat Desa Karanganyar Kec. Ambulu). Mabahits: Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 3(1), 85-94.

Anda mungkin juga menyukai