Anda di halaman 1dari 14

Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 28

Ulama Fiqh

Kafaah Dalam Pernikahan Menurut Ulama’ Fiqh

Ahmad Dahlan
ahmaddahlan@stisabuzairi.ac.id
Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam STIS Abu Zairi Bondowoso

Mulyadi
ibramulyadi@gmail.com
Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam STIS Abu Zairi Bondowoso

Abstrak
Untuk mewujudkan Tujuan pernikahan, maka calon suami maupun
calon istri sebelum menentukan pilihan untuk membangun rumah tangga
diperlukan adanya kesetaraan dan kesamaan visi dan misi, minimal memiliki
kesetaraan dalam hal agama, keyakinan, status sosial, dan lain sebagainya.
Kesamaan dan kesetaraan antara suami dan istri dalam lingkup dan konteks
pernikahan disebut kafaah. Kafaah dalam pernikahan sangatlah penting
karena Kafaah sebagai pondasi dan penunjang utama tercapainya tujuan
pernikahan yaitu terbangunnya keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Kafaah bukanlah merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan, namun
Kafaah memiliki peran penting terbentuknya keluarga harmunis.
Kafaah dalam pernikahan adalah keseimbangan dan keserasian antara
calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon tidak merasa
berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan
calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan
sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Oleh sebab itu, maka bagi calon
suami maupun calon istri sebelum melangsungkan pernikahan dianjurkan
untuk saling mengenal dan mengetahui masing-masing pribadinya
termasuk kesamaan agamanya, kesamaan status sosialnya, maupun kondisi
kehidupannya.

Kata Kunci: Kafaah, Pernikahan, dan Pandangan Ulama’ Fiqh

A. PENDAHULUAN
Tujuan Pernikahan adalah membentuk dan membangun keluarga
harmunis, sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk mewujudkan Tujuan
pernikahan, maka calon suami maupun calon istri sebelum menentukan
pilihan untuk membangun rumah tangga diperlukan adanya kesetaraan
dan kesamaan visi dan misi, minimal memiliki kesetaraan dalam hal
agama, keyakinan, status sosial, dan lain sebagainya. Kesamaan dan
ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 29
Ulama Fiqh kesetaraan antara suami dan istri dalam lingkup dan konteks pernikahan
disebut kafaah. Kafaah dalam pernikahan sangatlah penting karena

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 30
Ulama Fiqh

Kafaah sebagai pondasi dan penunjang utama tercapainya tujuan


pernikahan yaitu terbangunnya keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah. Kafaah bukanlah merupakan syarat sahnya sebuah
pernikahan, namun Kafaah memiliki peran penting terbentuknya
keluarga harmunis.
Kafaah dalam pernikahan adalah keseimbangan dan keserasian
antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon tidak
merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding
dengan calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding dalam tingkat
sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.1 Oleh sebab itu, maka
bagi calon suami maupun calon istri sebelum melangsungkan pernikahan
dianjurkan untuk saling mengenal dan mengetahui masing-masing
pribadinya termasuk kesamaan agamanya, kesamaan status sosialnya,
maupun kondisi kehidupannya.
Hal ini sebagaimana sabda baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagai
berikut.
‫ ﺮﺗﺑﺖ‬،‫ ﺮﻔظاﻓ ﺗ اﺬﺑ ﺪﻟاﯾﻦ‬،‫ ﻟﻤاﻟﮭا ﻟوﺤﺒﺴاﮭ ﺟوﻤاﻟﮭا وﻟﺪﯾﻨﮭا‬:‫تﻜﻧﺢ ﺮﻤﻟاةأ رﻷﺑﻊ‬
‫ﯾﺪك ا‬

Arinya “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena


kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah
kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak
demikian, niscaya kamu akan merugi”.2

Hadits di atas, telah mengaskan pentingnya kesetaraan dalam


memilih dan menentukan calon istri atau calon suami dari aspek
kedududkannya, status sosialnya, dan setara agama dan keyakinannya

1
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap , (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008), 56.
2
Salim Bahreisi dan Abdullah bahreysi, Tarjamah Bulughul Maram Min adillatil Ahkam,
(Surabaya: Balai Buku), 494

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 31
Ulama Fiqh

(akhlaknya). Dengan pertimbangan kesetaraan (kafa’ah) dalam


pernikahan akan memiliki potensi lebih besar terbentuknya keluarga
yang sakinah, mawaddah, warahmah dibanding potensi sebaliknya.
Dalam proses penentuan pasangan dianjurkan untuk memilih yang
sefaham, seimbang, setingkat dan sederajat. Meskipun ini bukan suatu
keharusan, tetapi kesefahaman dimaksudkan agar menghasilkan
keserasian. Seringkali kegagalan dalam membina sebuah rumah tangga
disebabkan oleh perbedaan- perbedaan yang mencolok, baik perbedaan
dalam agama maupun dalam strata sosial. Perbedaan-perbedaan
tersebut dapat menjadi sumber perselisihan yang pada akhirnya
menyebabkan ketidakharmonisan keluarga.3 Namun konsep Kafaah
dalam pernikahan sepintas terkesan kurang adil, apabila
pertimbangannya adalah kedudukan dan status sosial. Oleh karena itu,
maka bagaimana pandangan para ‘ulama’ Fiqh tentang Kafaah dalam
penikahan.
B. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam Penelitian ini pendekatan kulitatif,
adapun jenis penelitiaannya kajian Pustaka (ibrary reasearch). Adapun
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kondensasi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
C. PEMBAHASAN
1. Konsep Dasar Kafaah
Mengutip pendapat Amir Syarifuddin, Ahamad Royani
menjelaskan dalam jurnalnya bahwa secara etimologi Kafa’ah berasal
dari bahasa Arab ‫ ﻲﻔك ء‬yang berarti sama atau setara. Kata ini

3
Ahmad Royani, Kafa’ah dalam Perkawinan Islam : Tela’ah Kesederajatan Agama dan Sosial
(Jurnal Al-Ahwal. Vol. 5, No. 1, April 2013), 105.

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 32
Ulama Fiqh

merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam
al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara.4 Kafaah berasal dari kata
asli al-Kufu’ diartikan al-Musawi (keseimbangan). Ketika dihubungkan
dengan nikah, Kafaah diartikan dengan keseimbangan antara suami
istri dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan semacmnya.5 Dalam
kamus bahasa Arab kafaah berasal dari kata ‫ اوﻟﻔﻜﻲةء‬,‫ واﻟﻜﻔﻲء‬,‫اﻟﻜﻔﻮء‬
artinya adalah yang menyamai.6 Adapun yang dimaksud adalah sama,
sepadan, dan setara.
Secara Terminologi, kafaah adalah kesesuaian atau kesepadanan
antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan
baik menyangkut agama, ilmu, akhlak, status sosial maupun
hartanya.7 Mengutip pendapat Abu Zahro, Siti Fatimah
mengemukakan bahwa kafaah adalah suatu kondisi di mana dalam
suatu perkawinan haruslah didapatkan adanya keseimbangan antara
suami dan istri mengenai beberapa aspek tertentu yang dapat
mengosongkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan
perkawinan.8 kafa’ah adalah adanya keseimbangan, keharmonisan
dan keserasian, terutama dalam hal agama yaitu ahklak dan ibadah.
Persoalan kafa’ah dalam perkawinan menjadi salah satu faktor penting
dalam rangka membinan keserasian kehidupan suami istri. Posisi yang
setara antara pasangan suami istri diharapkan mampu meminimalisir
perselisihan yang berakibat fatal bagi kelanggengan hubungan rumah

4
Ahmad Royani, Kafa’ah dalam Perkawinan Islam : Tela’ah Kesederajatan Agama dan Sosial
(Jurnal Al-Ahwal. Vol. 5, No. 1, April 2013), 106
5
Siti Fatimah, Konsep kafaah dalam pernikahan menurut Islam: kajian Normatif, sosiologis,
dan historis, (As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014), 110
6
Munawwir, , Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997),1216
7
Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Terjemahan Ansari Umar
Sitanggal (Semarang: Asy-Syifa, 1986), 369
8
Siti Fatimah, Konsep kafaah dalam pernikahan menurut Islam: kajian Normatif, sosiologis,
dan historis, (As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014), 110

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 33
Ulama Fiqh

tangga. Sehingga dengan adanya kafa’ah (kesederajatan), maka tidak


ada peluang untuk saling merendahkan.9
Mengacu pada beberapa definisi kafaah baik secara etimologi
maupun terminologi, maka dapat diambil pemahaman bahwa kafaah
adalah keseimbangan, kesetaraan, dan kesamaan baik dari aspek
kedudukan, status sosial, akhlak, agama, kekayaan, dan keyakinan
antara calon suami dan istri yang akan melangsungkan pernikahan.
Hal ini sesuai dengan hadits baginda nabi Besar Muhammad SAW.
Sebagai berikut.
‫ ﺮﺗﺑﺖ‬،‫ ﺮﻔظاﻓ ﺗ اﺬﺑ ﺪﻟاﯾﻦ‬،‫ ﻟﻤاﻟﮭا ﻟوﺤﺒﺴاﮭ ﺟوﻤاﻟﮭا وﻟﺪﯾﻨﮭا‬:‫تﻜﻧﺢ ﺮﻤﻟاةأ رﻷﺑﻊ‬
‫ﯾ ﺪك ا‬
Arinya “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah
kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak
demikian, niscaya kamu akan merugi”.10
Eksistensi Kafaah dalam pernikahan dimaksudkan untuk
mewujudkan tujuan pernikahan yaitu membentuk pasangan, rumah
tangga, dan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Ruum ayat 21
sebagai berikut.
‫ﻣوﻦ ﯾآاﮫﺗ أنﻠﺧ ﻖ ﻜﻟﻢﻣ ﻦ أﻧﻔﻜﺴﻢ أزواﺟاﻟ ﺘﻜﺴﻮﻨإ اﻟﯿﮭاﻌﺟو ﻞ ﺑﯿﻨﻜﻜﻢﻣ ﻮدة ورﺔﻤﺣ إن ﻓﻲذ ﻚﻟ‬
‫ﯾﻵ ات ﻟﻘمﻮ ﯾﻔﺘﻜوﺮن‬
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah.

9
Ahmad Royani, Kafa’ah dalam Perkawinan Islam : Tela’ah Kesederajatan Agama dan Sosial
(Jurnal Al-Ahwal. Vol. 5, No. 1, April 2013), 107
10
Salim Bahreisi dan Abdullah bahreysi, Tarjamah Bulughul Maram Min adillatil Ahkam,
(Surabaya: Balai Buku), 494

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 34
Ulama Fiqh

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-


tanda bagi kaum yang berpikir”.11 (Ar-Ruum; 21)
2. Landasan Hukum kafaah
a. Landasan Ayat al-Qur’an Tentang Kafaah dalam
Pernikahan
1) Surah An-Nur ayat 26
‫اﻟﺧﺛﯾﺑت ﻟﻠﺧﺑﯾﺛﯾن واﺧﻟﺑﺛﯾون ﻟﻠﺧﺛﯾﺑت واﻟطﺑﯾت ﻟﻠطﯾﯾﺑن واطﻟﯾﺑون ﻟﻠطﯾﺑت اوﻟﯨك‬

‫ﻣﺑوءرن ﻣﻣﺎ ﯾوﻘﻟون ﻟﮭم ﻣﻐﻔرة روزق ﻛمﯾر‬

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki


yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan
yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari
apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan
rezeki yang mulia (surga)”.12

2) Surah An-Nur ayat 3


‫زﻟااﻲﻧ ﻻ ﯾﻧﻛﺢ إﻻ زاﻧﯾﺔ أو ﺷﻣرﺔﻛ وازﻟاﻧﯾﺔ ﻻ ﯾﻧﮭﺣﻛﺎ إﻻ زان أو ﺷﻣرك‬
‫ﺣوﻣر ذكﻟ ﻋﻠﻰ ﻟاﻣؤﻣﻧنﯾ‬

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan


perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.13

3) Surah al-Baqarah ayat 221

‫وﻻ ﺗﻧﻛﺣوا ﺷﻣﻟارﻛﺎت ﺣﺗﻰ ﯾؤﻣن وﻷﻣﺔ ﻣؤﻣﻧﺔﺔ ﺧﯾر ﻣن ﺷﻣرﻛﺔ وﻟو‬
‫أﻋﺟﺑﺗﻛم وﻻ ﺗﻧﻛﺣوا ﺷﻣﻟارنﯾﻛ ﺣﺗﻰ ﯾؤﻣﻧوا وﻟﻌﺑد ﻣؤﻣن ﺧﯾر نﻣ ﺷﻣﻛ ر ووﻟ‬

11
Departemen Agama Republik Indonesia, al_Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Al-
Hidayah, 1971),644
12
Departemen Agama Republik Indonesia, al_Qur’an dan Terjemahannya,,,. 547
13 Departemen Agama Republik Indonesia, al_Qur’an dan Terjemahannya, 543

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 35
Ulama Fiqh

‫أﻋﺟﺑﻛم أوﻟﺋك ﯾوﻋدن إﻰﻟ رﺎﻧﻟا وا ﯾدﻋو إﻟﻰ ﻟاﺟﻧﺔ واﻐﻣﻟﻔرة ﺑﺈذﻧﮫ وﯾﺑﯾن‬
‫ﯾآﺎﺗﮫ ﻟﻠﻧﺎس ﻌﻟﻠﮭم ﯾﺗذﻛرون‬
Artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.14

Beberapa ayat al-Qur’an di atas, dengan tegas menjelaskan


dan memberikan pedoman serta panduan tentang pentingnya
Kafaah dalam pernikah terutama yang paling penting adalah kafaah
dalam hal agama. Kafaah dalam pernikahan pada dasarnya bukan
merupakan syarat sah pernikaha, namun kafaah memiliki peran
yang sangat penting bagi keberlangsungan rumah tangga yang
harmunis. Kafaah adalah bagian dari faktor penting terbentuknya
dan terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah warahmah.
b. Landasan Hadits tentang Kafaah dalam Pernikahan

،‫ ﺮﻔظاﻓ ﺗ اﺬﺑ ﺪﻟاﯾﻦ‬،‫ ﻟﻤاﻟﮭا ﻟوﺤﺒﺴاﮭ ﺟوﻤاﻟﮭا وﻟﺪﯾﻨﮭا‬:‫تﻧﻜﺢ ﺮﻤﻟاأة رﻷﺑﻊ‬


‫ﺮﺗﺑﺖ ﯾﺪاك‬
Artinya “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya,
karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya
(keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
merugi”.15

14
Departemen Agama Republik Indonesia, al_Qur’an dan Terjemahannya, 53
15
Salim Bahreisi dan Abdullah bahreysi, Tarjamah Bulughul Maram Min adillatil Ahkam,
(Surabaya: Balai Buku), 494

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 36
Ulama Fiqh

‫ﻻ ﺢﻛﻧﯾ ﻲﻧازﻟا ﻟاﻣدودﺣ ﻻإ ﺛﻣﻠﮫ‬


Artinya: “Orang yang berzina yang sudah dihukum Jald (dera)
tidak akan mengawini kecuali wanita yang sama dengan dia”.16

‫ ﻻإ ﺋﺎﺣك وأ ﺟﺣﺎم‬،‫ اوﻣﻟاوﻟﻲ مﮭﺿﻌﺑ أﻛءﺎﻔ ﺑﻌض‬،‫ﺑ رﻌﻟا ﺿﻌﺑﮭم ءﺎﻔﻛأ ضﻌﺑ‬
Artinya; “Orang Arab setengahnya pada setengahnya kufu’
(setara) dan turunan maula setengahnya pada setengahnya juga
setara, Kecuali penyimak kulit atau canduk”.17

Beberapa hadits di atas, secara tegas bahwa kufu’ atau kafaah


dalam pernikah sangatlah penting untuk dipertimbangkan dan bahkan
dalam memilih calon istri atau suami ditekankan untuk selekstif seperti
adanya kesetaraan terutama dalam hal agama dan keyakinan.
3. Macam-macam kafaah dalam Pernikahan
Mengacu pada hadits tentang alasan memilih calon istri atau
suami yang meliputi empat aspek, yaitu karena kecantikan atau
ketampanan, keturuanan, kekayaan/ststus sosial, dan agama atau
akhlaknya. mengutip beberapa pendapat, Otong Husni Taufik dalam
jurnalnya, mengemukakan macam-macam kafaah dalam pernikahan
diantaranya
a. Agama
Yang dimaksud adalah kebenaran dan kelurusan terhadap
hukum- hukum agama. Orang yang bermaksiat dan fasik tidak
sebanding dengan perempuan suci atau perempuan shalihah yang
merupakan anak salih atau perempuan yang lurus, dia dan
keluarganya memiliki jiwa agamis dan memiliki akhlak terpuji.
Kefasikan orang tersebut ditunjukan secara terang-terangan atau
tidak secara terang-terangan. Akan tetapi ada yang bersaksi bahwa

16
Ibnu hajar al-Asqolani, Bulughul Maram Min adillatil Ahkam, (Surabaya: Nurul Huda),
215
17
Syekh Abi abdillah Abdissalam, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulughul Maram, (Darul Fikri),
279

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 37
Ulama Fiqh

dia melakukan perbuatan kefasikan. Karena kesaksian dan


periwayatan orang yang fasik ditolak.
b. Kemerdekaan
Budak laki-laki tidak sekufu` dengan perempuan merdeka.
Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu` dengan
perempuan yang sudah merdeka dari asal. Laki-laki yang shaleh
dan kakeknya pernah menjadi budak, tidak sekufu dengan
perempuan yang kakeknya tak pernah menjadi budak. Sebab
perempuan merdeka bila kawin dengan laki-laki budak dianggap
tercela. Begitu pula kawinnya laki-laki yang salah seorang kakeknya
pernah menjadi budak
c. Nasab dan keddudukan
Nasab di sini adalah hubungan seorang manusia dengan asal-
usulnya dari bapak dan kakek. Sedangkan hasab adalah sifat terpuji
yang menjadi ciri asal-usulnya, atau menjadi kebanggaan kakek
moyangnya, seperti ilmu pengetahuan, keberanian,
kedermawanan, dan ketakwaan. Keberadaan nasab tidak pasti
diiringi dengan hasab. Akan tetapi keberadaan hasab mesti diiringi
dengan nasab. Yang dimaksud dengan nasab adalah seseorang
yang diketahui siapa bapaknya, bukannya anak pungut yang tidak
memiliki nasab yang jelas
d. Harta atau kemakmuran
Didapati dari salah satu mempelai memiliki kategori memiliki
harta dan kemakmuran. Golongan Syafi’i berbeda pendapat dalam
hal ini Sebagian ada yang menjadikan harta dan kemakmuran
sebagai ukuran kafâ`ah. Jadi orang fakir menurut mereka tidak
sekufu` dengan perempuan kaya. Sebagian lain berpendapat
bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kafâ`ah. Karena

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 38
Ulama Fiqh

kekayaan ini sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang


berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.18
4. Pandangan Ulama’ Fiqh tentang Kafaah dalam Pernikahan
Adapun pandangan para ulama Fiqh tentang kafaah dalam
pernikahan adalah sebagai berkut.
1. kafaah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah
merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga
keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak mengambilnya). Inilah
pendapat sebagian besar ulama, diantaranya Imam Malik, Imam
Asy-Syafi’i, dan para ulama Hanafiyah.19
2. Menurut pendapat yang paling zhahir dalam mazhab Syafi’i, bahwa
kafâ`ah adalah syarat lazim dalam perkawinan bukan syarat sahnya
dalam perkawinan. Jika seorang perempuan yang tidak setara maka
akad tersebut sah. Para wali memiliki hak untuk merasa keberatan
terhadapnya dan memiliki hak untuk dibatalkan pernikahannya,
untuk mencegah timbulnya rasa malu dari diri mereka. Kecuali jika
mereka jatuhkan hak rasa keberatan maka pernikahan mereka
menjadi lazim. Seandainya kafâ`ah adalah wujud syarat sahnya
pernikahan, pernikahanpasti tidak sah tanpanya, walaupun para
wali telah menanggalkan hak mereka untuk merasa keberatan.20
3. Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa kafaah adalah dalam
hal din dan nasab. Adapun yang dimaksud dengan din disini
bukanlah muslim atau non muslim, sebab sudah jelas bahwa
seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non
muslim. Tetapi yang dimaksudkan dengan din disini adalah
keistiqamahan tadayyun, keshalihan, dan kemampuan menjauhi

18
Otong Husni Taufik, Kafâah Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam, (Volume 5 No. 2
- September 2017), 174-177
19
http://menaraislam.com/fiqih-islam/kafaah-dalam-pernikahan, diakses pada tanggal 25
Agustus 2021
20
Wahbah Zuhayli, Fiqh Islam wa adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 218

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 39
Ulama Fiqh

hal-hal yang dilarang oleh syariat Islam. Jadi seorang laki-laki


dikatakan tidak sekufu dengan seorang wanita muslimah yang taat
jika laki-laki tersebut adalah seorang yang fasiq, yang mana
kesaksian dan periwayatannya tidak bisa diterima, tidak aman bagi
jiwa dan harta, serta tidak layak menjadi wali.21
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, maka dapat diambil
pemahaman bahwa kafaah bukanlah syarat sahnya nikah namun
kafaah penting untuk dipertimbangan dalam pernikahan karena dalam
membina rumah tangga dibutuhkan keserasian, kesetaraan, dan
kesamaan persepsi terutama kesamaan dalam hal agama dan
keyakinan, jumhur ‘Ulama Fiqh sepakat bahwa yang paling penting
untuk dipertimbangkan Kafaah dalam pernikahan adalah agama dan
nasab (keturunan).
D. KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa uraian dan keterangan mengenai
penadangan ulama’ Fiqh tentang Kafaah dalam pernikahan, maka dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa kafaah tidak termasuk syarat sahnya
akad nikah. Sebab, kafaah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga
walinya, sehingga keduanya bisa saja menggugurkannya (tidak
mengambilnya). Inilah pendapat sebagian besar ulama, diantaranya
Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan para ulama Hanafiyah.
Menurut pendapat yang paling zhahir dalam mazhab Syafi’i,
bahwa kafâ`ah adalah syarat lazim dalam perkawinan bukan syarat
sahnya dalam perkawinan. Jika seorang perempuan yang tidak setara
maka akad tersebut sah. Para wali memiliki hak untuk merasa keberatan
terhadapnya dan memiliki hak untuk dibatalkan pernikahannya, untuk
mencegah timbulnya rasa malu dari diri mereka. Kecuali jika mereka

21
http://menaraislam.com/fiqih-islam/kafaah-dalam-pernikahan, diakses pada tanggal 25
Agustus 2021

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 40
Ulama Fiqh

jatuhkan hak rasa keberatan maka pernikahan mereka menjadi lazim.


Seandainya kafâ`ah adalah wujud syarat sahnya pernikahan,
pernikahanpasti tidak sah tanpanya, walaupun para wali telah
menanggalkan hak mereka untuk merasa keberatan.
Imam Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa kafaah adalah
dalam hal din dan nasab. Adapun yang dimaksud dengan din disini
bukanlah muslim atau non muslim, sebab sudah jelas bahwa seorang
wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim.
Tetapi yang dimaksudkan dengan din disini adalah keistiqamahan
tadayyun, keshalihan, dan kemampuan menjauhi hal-hal yang dilarang
oleh syariat Islam. Jadi seorang laki-laki dikatakan tidak sekufu dengan
seorang wanita muslimah yang taat jika laki-laki tersebut adalah seorang
yang fasiq, yang mana kesaksian dan periwayatannya tidak bisa diterima,
tidak aman bagi jiwa dan harta, serta tidak layak menjadi wali., kafaah
bukanlah syarat sahnya nikah namun kafaah penting untuk
dipertimbangan dalam pernikahan karena dalam membina rumah tangga
dibutuhkan keserasian, kesetaraan, dan kesamaan persepsi terutama
kesamaan dalam hal agama dan keyakinan, jumhur ‘Ulama Fiqh sepakat
bahwa yang paling penting untuk dipertimbangkan Kafaah dalam
pernikahan adalah agama dan nasab (keturunan).

DAFTAR RUJUKAN

Bahreysi, Salim dan Abdullah bahreysi, Tarjamah Bulughul Maram Min


adillatil Ahkam. Surabaya: Balai Buku

Departemen Agama Republik Indonesia. 1971. al_Qur’an dan


Terjemahannya,. Surabaya: Al-Hidayah

Fatimah, Siti, Konsep kafaah dalam pernikahan menurut Islam: kajian


Normatif, sosiologis, dan historis. As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021
Dahlan, Mulyadi, Kafaah dalam Pernikahan Menurut 41
Ulama Fiqh

http://menaraislam.com/fiqih-islam/kafaah-dalam-pernikahan, diakses
pada tanggal 25 Agustus 2021

Ibnu hajar al-Asqolani, Bulughul Maram Min adillatil Ahkam. Surabaya:


Nurul Huda

Jamal, Ibrahim Muhammad. 1986. Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Terjemahan


Ansari Umar Sitanggal. Semarang: Asy-Syifa,

Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka


Progresif

Royani, Ahmad Kafa’ah dalam Perkawinan Islam: Tela’ah Kesederajatan


Agama dan Sosial. Jurnal Al-Ahwal. Vol. 5, No. 1, April 2013.

Syekh Abi abdillah Abdissalam, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulughul Maram.


Darul Fikri
Suwarno, Suparjo Adi (2019). Tradisi Kawin Culik Masyarakat Adat Sasak
Lombok Timur Perspektif Sosiologi Hukum Islam.(ASA : Jurnal Kajian
Hukum Keluarga Islam, 1(1), 29–48

Taufik, Otong Husni Kafâah Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam.


Volume 5 No. 2 - September 2017

Tihami dan Sohari Sahrani, 2008. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Zuhayli, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa adillatuhu. Jakarta: Gema Insani

ASA : Jurnal Pengembangan Hukum Keluarga Islam, Vol 2 Tahun 3, Agustus 2021

Anda mungkin juga menyukai