Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PEMBAHASAN

A. PERNIKAHAN ATAU PERKAWINAN

Pernikahan merupakan sunantullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-
Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang di pilih
oleh Allah Swt., sebagian jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan
hidupnya.1

Kata perkawinan menurut istilah hukum islam sama dengan kata “nikah” dan kata
“zawaj”. Dalam kamus besar bahasa indonesia kata “kawin” berarti membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.2 Nikah menurut bahasa
mempunyai arti yang sebenarnya (haqiqat) yakni “dham” yang berarti menghimpit, menindih,
atau berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “watha”yang berarti “setubuh” atau
“aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.3

Menurut “Ahli Ushul” arti nikah terdapat tiga macam pendapat yakni:

1. Menurut ahli ushul golongan hanafi, arti aslinya adalah setubuh dan menurut arti
majazi (metaphoric) adalah aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin
antara pria dan wanita.
2. Menurut ahli ushul golongan syafi’i nikah menurut arti aslinya adalah akad yang
dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan
menurut arti majazi adalah setubuh.
3. Menurut Abul QasimAzzaijjad, imam yahya, ibn hazm, dan sebagian ahli ushul dari
sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh. 4

Ulama golongan syafi’iyah memberikan definisi nikah melihat kepada hakikat dari akad
itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh
bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul.
Sebagaimana dikalangan ulama syafi’i merumuskan pengertian nikah adalah.

1
Tihami dan sohari sahrai, fikih munakahat; kajian fikih nikah lengkap (jakarta:rajawali pers, 2014) cet. Ke-4,
hlm.6.
2
Poerdarminta. Kamus besar bahasa indonesi, (jakarta:balai pustaka,1985), hlm
3
Abd. Shoma. Hukum islam, (jakarta:kencana prenada media group, 2012), hlm.258
4
Ibid, hlm.259

1
:“Akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan
menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja atau yang semakna dengan keduanya.

Sejalan dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga berpndapat :

:“Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang lakilaki menikmati kesenangang
dengan seorang perempuan secara sengaja.

Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki
pendapatnya sendiri antara lain :

1. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat


pernikahan menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan
perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah
kepuasan atau kenikmatan.
2. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal ‫ ُح حاكَكنِن‬, atau ‫ كَ ز كَ وا ُح ج‬, yang memiliki arti pernikahan
menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau
perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang
dibayar.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafal ‫ان ْن ن كَ كا ُح ح‬
ِ atau ‫ كَ ْن ِن و ْن ُح ج‬yang artinya pernikahan
membuat laki-laki dan perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.
5. Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara
laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati
yang lain dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat
yang bersih
6. Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan
bahwa nikah adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi
halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara
keduanya.

2
Pendapat para mujtahid sepakat bahwa menikah adalah suatu ikatan yang di anjurkan
syari’at. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam
perbuatan zina, sangat di anjurkan untuk melaksanakan menikah. Yang demikian adalah lebih
utama dari haji, sholat, jihad, dan puasa sunnah.5

Dr. Ali Yusuf As-subki dalam bukunya berkeluara dalam islam menyatakan bahwa
termasuk dari hakikat atas seorang muslim bahwa termasuk dari hakikat atas seorang muslim
bahwa pernikahan merupakan ikatan yang kokoh, mengikat hati, dan melembutkanya,
mencampur nasab, menumbuhkan hubungan kemasyarakatan, menjadi kemaslahatan
sehingga masnusia dapat menjaga hubungan antar individu dan golongan.6 Sungguh allah
swt, telah menjadikan hubungan semenda (hubungan kekeluargaan karna perkawinan)
menjadi dasar nasab, allah berfirman:

   


  
    
 

54. dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan
mushaharah[1070] dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

[1070] Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar,
mertua dan sebagainya.

Adapun menurut istilah, Dr. Wahba Az-Zuhaili mendefinisikan nikah adalah sebuah akad
yang mengandung pembolehan bersenang- senang dengan perempuan, dengan berhubungan
intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan
mahrom dari segi nasab, susuan, dan keluarga.7

5
Syakih al-allamah muhammad bin ‘abdurrahman ad-dimasyqi, fiqhempat mazhab,
(bandung:hasyim,2013),hlm. 270
6
Ali yusuf As-subki, fiqh keluarga; pedoman berkeluarga dalam islam,, terj. Nur khozin
(jakarta:amzah,2012)cet. Ke-2, hlm.98
7
Wahbah az-zuhaili, al-fiqh al-islami wa adillatuhu, terj. Abdul hayyi al-kattani, dkk (depok:gema insani,2011)
cet. Ke-1, hlm. 39.

3
Adapun menurut Abu Yahya Zakariya Al- anshary mendefinisikan nikah menurut istilah
syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan
lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengan nya.8

Dalam kaitan ini, muhammad Abu ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga
di kutip oleh Zakiah Darajat dan Abdul Rahman Ghazali menyebutkan bahwa nikah adalah
akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubngna keluarga (suami istri)
antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi
pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.9

Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan


perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan
pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama,
maka didalamnya terkandung adanya tujuan mengharapkan keridhoan allah swt.

Menurut undang-undang perkawinan RI. No. 1 tahun 1974 pasal 1 perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
yang maha Esa. Pernikahan hakikitnya bukan urusan dua pasangan semata, tapi melibatkan
seluruh keluarga terutama orang tua.10

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa : Perkawinan


menurut hukum Islam adalah “akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

B. HUKUM NIKAH

Pernikahan disyariatkan dengan dalil dari Al-Qur’an ,sunnah dan ijma’,Dalam Al-
Qur’an Allah SWT berfirman :

8
Ibid.
9
Ibid.
10
Undang-undang pokok perkawinan. (Jakarta:Sinar Grafika.cet-ke 6,2006), hlm. 1-2

4
  
  
    
   
    
   
    
   
    
 
32. dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi
buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di
dalamnya[32].

Segolongan Fuqaha’ Yakni Jumhur (Mayoritas Ulama) berpendapat bahwa nikah itu
hukumnya sunnah.Golongan Zhahariyyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama
malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat
untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut
mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.11

Perbedaan pendapat ini kata ibn rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk
kalimat perintah dalam ayat dan hadis-hadis yng berkenan dengan masalah ini, harus di
artikan wajib, sunnat atau mungkinkah mubah. Ulama syafi’iyah mengatakan bahwa hukum
asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan yang makruh.

Adapun mengenai jenis atau sifat pernikahan syar’i dari segi diminta di kerjakan atau
tidak, maka menurut para ahli fiqih bergantung pada keadaan masing-masing orang:12

1. Fardhu: Menurut kebanyakan para Ulama Fiqh, hukum pernikahan adalah wajib,
jika seorang yakin akan jatuh kedalam perzinaan seandainya tidak menikah,
sedangkan ia mampu untuk memberikan nafkah kepada isterinya berupa mahar
dan nafkah batin serta hak-hak pernikahan lainnya. ia juga tidak mampu untuk
menajaga diirnya untuk terjatuh kedalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan

11
Adur Rahman Ghazali, loc.cit.hlm.16.
12
Wahbah Az-Zuhaili,ter.Abdul Hyyi Al-Kattani, dkk, op. Cit. Hlm. 41-42, Abdurrahman Al-Jaziri, fiqh’ala
Madzahib Al-Arba’ah. (jilid 4). (Bairut : Darul Kutub Ilmiah, 2003) hlm.10.

5
lainnya. Segala sesuatu yang merupakan sarana untuk kesempurnaan sebuah
kewajiban maka ia hukumnya wajib pula. Caranya dengan menikah.Menurut
Jumhur Ulama antara wajib dan fardhu tidak ada perbedaan.
2. Haram :Nikah diharamkan jika seseorang yakin akan menzhalimi dan
membahayakan isterinya jika ia menikahnya, seperti dalam keadaan tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan pernikahan, atau tidak bisa berbuat adil kepada isteri-
isterinya. Karena segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalam
keharaman maka ia hukumnya haram. Jika terjadi benteruan anatar hal yang
mewajibkan seseorang menikah dan yang mengharamkan untuk melakukannya.
Itu seperti ia yakin akan terjerumus kedalam perzinaan seandainya tidak menikah
dan sekali gus yakin bahwa ia menzhalimi isterinya maka pernikahannya adalah
haram.
3. Makruh:pernikahan dimakruhkan jika seseorang khawatir terjatuh pada dosa dan
marabahaya.Kekhawatiran ini belum sampai derajat keyakinan jika ia menikah. Ia
khawatir tidak mampu memberi nafkah , berbuat jelek kepada keluarga atau
kehilangan keinganan kepada perempuan.Dalam madzhab hanafi,Makruh ada dua
macam : makruh tahrimi (mendekati haram) dan tanzihi (mendekati halal) sesuai
dengan kuat dan lemahnya kekhawatirannya. Sedangkan menurut para ulama
syafei,menikah makruh hukumnya bagi orang yang memiliki kelemahan ,seperti
tua renta ,penyakit abadi ,kesusahan yang berkepanjangan atau terkena gangguan
jin.menurut mereka juga dimakruhkan menikahi perempuan yang telah dikhitbah
orang lain dan diterima .juga pernikahan muhalil,jika tidak mesyaratkan di dalam
akad sesuatu yang dapat membatalkan maksudnya,pernikahan penipuan ,seperti
seorang suami menipu akan keislaman seorang perempuan atau
kemerdekaannya,atau dengan nasab tertentu.
4. Dianjurkan dalam kondisi stabil: menurut jumhur ulama pernikahan dianjurkan
jika seorang berada dalam kondisi stabil, sekiranya ia tidak khawatir terjerumus
kedalam perzinaan jika tidak menikah . juga tidk khawatir akan berbuat zhalim
kepada isterinya jika menikah. keadaan stabil ini merupakan fenemena umum.

C. DASAR HUKUM

6
Landasan dasar utama hukum nikah

   


    
   
   
    
     
    
    
  
     
    

Maksud dari ayat ini adalah bahwasanya bagi orang tidak mampu menikah sebaiknya
menjaga kesuciannya, sampai allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan
kuasanya. Dan jika seorang yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), dan
sebaiknya kamu membuat perjanjian kepada mereka, dan tidak boleh memaksa perempuan
untuk melakukan pelaacur, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, krena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Siapapun yang memaksa mereka, maka sungguh, Allah
maha pengampun, maha penyayang (kepada mereka) setelah mereka di paksa.

Nikah di syariatkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia di ciptakan oleh allah
yaitu memakmurkan dunia dengan jalan terpeliharanya perkembanganbiarkan umat manusia.
Para ulama sepakat bahwa nikah itu di syriatkan oleh agama, perselisihan mereka di
antaranya dalam hal hukum menikah.

    


   
   
    
    
   
   

7
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

  


  
   
   
    


32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.

Hukum menikah menurut imam hanafi dan syafei :

1. Menurut imam hanafi:


a. Wajib: hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
1. Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah
2. Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi kuasa nya tidak bisa menolak
terjadinya zina.
3. Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai ganti dari istri.
4. Mampu membayar mahar dan memberikan nafkah
b. Sunnah mukkadah: hukum nikah akan menjadi sunnah mukkadah apabila
terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Ada keinginan menikah
2. Memiliki biiaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah
3. Mampu untuk ijma’
c. Haram: apabila keyakinan kalau setelah menikah akan memenuhi kebutuhan
nafkah dengan jalan yang haram, seperti dengan berbuat zhalim pada orang lain.
d. Makruh tahrim. 13

13
Sayyid Sabiq. Fiqh sunnah, (Jakarta Timur. Tinta Abadi Gemilang, 2003), hlm.206

8
2. Menurut imam syafe’i
a. Wajib: hukum menikah menjadi wajib apabila:
1. Ada biaya (mahar, dan nafkah)
2. Khawatir berbuat zina bila tidak menikah
b. Haram: apabila memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak bisa untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban yang ada dalam pernikahan.
c. Sunnah: apabila ada keinginan menikah dan ada biaya (mahar dan nafkah) dan
mampu untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.
d. Makruh: apabila tidak ada keinginan untuk menikah, tidak ada biaya dan ia
khawatir tidak bisa melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.
e. Mubah: apabila ia menikah hanya semata-mata menuruti keinginan syahwatnya
saja.14
D. RUKUN DAN SYARAT NIKAH

Rukun adalah sesuatu yang harus ada, dan juga merupakan bagian integral dari suatu
ibadah ataupun mu’amalah.

Adapun syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk integral dari suatu
ibadah ataupun mu’amalah, seperti adanya dua saksi dalam nikah menurut mazhab Hanafi.
Berikut adalah rukun dan syarat nikah menurut madzahib al arba’ah.

1. Imam Hanafi
 Shighat (ijab dan qobul)

 Wali
 Pihak laki-laki
 ihak perempuan
 Dua saksi
2. Versi Imam Maliki
 Shighat (ijab dan qobul)
 Wali
 Pihak laki-laki
 Pihak Perempuan

14
Ibid.

9
 Mahar
 Dua saksi

3. Versi Imam Syafi’i

 Shighat (ijab dan qobul)


 Wali
 Pihak laki-laki
 Pihak perempuan
 Dua saksi

4. Versi Imam Hambali

 Shighat (ijab dan qobul)


 Wali
 Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu
 Perempuan dan laki-laki saaling ridlo
 Dua saksi.15

15
https://curutpurwosari13.blogspot.com/2017/05/makalah-fiqh-ibadah-pernikahan-lengkap.html pukul
21:39

10
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah
atau ziwajdiartikan dengan perkawinan. Para ulama masih memandang nikah hanya dari satu
segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
semula dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa nikah
merupakan akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan
dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka tak
memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan terdapat
pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat hukum yaitu
termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang
dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka
di dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.
Hukum perkawinan dalam Islam ada lima, diantaranya adalah:
1. Pernikahan yang wajib
2. Pernikahan yang Sunnah
3. Pernikahan yang Haram
4. Pernikahan yang Makruh
5. Pernikahan yang Mubah

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Munawwir. A.W, “fiqih munakahat: kajian fiqih:”, (jakarta:Rajawali.2014).


2. Shoma. Abd, “hukum islam”,(jakarta:Kencana prenada media group. 2012).
3. Al-allamah muhammad syakih bin Abdurrahman, “fiqh empat
mazhab”(bandung:hasyim).
4. Sabiq. Sayyid, “Fiqh Sunnah” (jakarta timur: Tinta abadi gemilang. 2003)
5. Rahman ghazali Abdul. “fiqh munakahat” (jakarta: Kencana prenadamedia
group.2012).
6. Rasjid. H Sulaiman, “ fiqh islam” (bandung: sinar baru algensindo. 2016)

12

Anda mungkin juga menyukai