PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Dalam terminologi Islam perkataan hadits maksudnya adalah perkataan dari Nabi
Muhammad SAW. Namun seringkali kata ini mengalami perluasaan makna sehingga
disinonimkan dengan sunnah, sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan
maupun persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum
dalam agama. Sehingga Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki
kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah al-Quran.
Akan tetapi setelah diadakan kajian yang begitu mendalam mengenai hadits-hadits
yang jumlahnya ribuan, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa tidak semua hadits-hadits
tersebut bisa dijadikan pedoman/dijadikan sebagai hujjah.
Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin lama zaman itu semakin jauh
dengan zaman Rasulullah, maka banyak sekali hadits yang keshahihannya masih diragukan.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan
kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
1. bagaimana pengertian hadits dhaif?
2. bagaimana hujjahan hadits dhaif?
3. bagaimana permasalah hadits dhaif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemgertian hadits dhaif
Pengertian Hadits Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua
macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah dhaif
maknawiyah.
Hadits dhaif menurut istilah adalah hidits yang didalamnya tidak didapati syarat
hadits shahih dan tidak pula didapati syarat hadits hasan.
Karena syarat diterimanya suatu hadits sangat banyak sekali, sedangkan lemahnya
hadits terletak pada hilangnya salah satu syarat tersebut atau bahkan lebih, maka atas dasar
ini hadits djaif terbagi menjadi beberapa macam, seperti Syadz, mudhtharib, maqlub,
muallal, munqathi, mudhal, dan lain sebagainya.1
definisi yang paling baik untuk hadits dhaif adalah sebagai berikut.
Hadits yang kehilangan salah satu syarat sebagai hadits makbul (yang dapat
diterima).2
Hadits dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan.
Dari segi keterputusan sanad, hadis dhoif terbagi menjadi lima macam :
a) Hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabiin dengan menyebutkan ia
menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabiin (pengerasi
setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan Nabi.
b) Hadits munqothi yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan
namanya) tidak saja pada sahabat namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah
atau di akhir;
1 Syaikh Manna Al-Qaththan, pengantar studi ilmu hadits, pustaka al-kautsar
Jakarta,2005,hlm.129.
2 Dr. Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Dar al-Fikr Damaskus Bandung, 2012,hlm.291.
2
c) Hadits al-muadhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya
setelah sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkain sanad;
d) Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari
orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari
yang bersangkutan;
e) Hadits mualla, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya
memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matanya.3
B. Kehujjahan hadits dhaif
Sebagian ulama menyatakan bahwa Abdullah bin Mubarrak (w. 181 /797 M.),
Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 /814 M.) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 /855 M.)
menerima hadis dhaif sebagai hujjah untuk Fadha-il al-Amal (Al-Khathib, 1975: 351 dan
Ash-Shalih, 1977: 210-211). Meskipun kemudian dibantah oleh ulama lainnya. Para ulama
yang membantah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis dhaif untuk hujjah fadhail
al-amal ialah hadis hasan yang mulai dibakukan pada zaman at-Tirmidzi sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah. (al-Jauziyah, 1973, I: 31 dan at-Tahawani, 1972: 98-99)
Ada sebagian ulama yang menerima hadis dhaif sebagai hujjah, namun hadis yang
bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni:
1) isinya tidak berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat al-Quran, hukum halal-haram dan yang
semacamnya;
2) ke-dhaifan-nya tidak parah;
3) ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi
hadis dhaif yang bersangkutan;
4) niat pengamalannya tidak bersandarkan atas hadis dhaif itu, tetapi atas dasar
kehati-hatian (Al-Khatib, 1975: 351 dan Itr, 1979: 293).
Seandainya diperhatikan dengan seksama syarat-syarat yang diajukan oleh para ulama
untuk menerima hadis dhaif sebagai hujjah, maka sebenarnya para ulama pada prinsipnya
menolak hadis dhaif untuk dijadikan sebagai hujjah. Hal itu bertambah jelas bila
diperhatikan syarat-syarat pada butir kedua dan ketiga; dengan dipenuhinya kedua syarat
3 Syamsul Rijal Hamid, Buku pintar agama islam, Cahaya salam Bogor,hlm.283.
3
tersebut, maka hadis dhaif yang bersangkutan sesungguhnya telah meningkat kualitasnya
menjadi hadis hasan li ghairih. (al-Qasimi, 1961: 102; ath-Thahhan, 1979: 45; dan alKhathib, 1975: 332) Pendirian para ulama tersebut dapat dipahami, sebab agama merupakan
keyakinan; dan keyakinan tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah atau meragukan.
Alasan tersebut semakin kuat bila dihubungkan dengan pernyataan Nabi saw yang
mengancam dengan siksaan neraka terhadap orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi.
(Al-Asqalani, tt, I: h202-203; dan al-Asqalani, tt, IV: 409; dan Nashif, 1962, I: 72)
Ancaman itu bersifat umum, tanpa membedakan apakah berkaitan dengan hukum, nasihatnasihat untuk beramal, ataukah lainnya. (al-Harawi, 1373 : 53)4
4 http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/kehujjahan-hadis-dha%E2%80%99if/
5 http://sulfiana22.blogspot.com/2014/04/hadis-dhoif-beserta-contohcontohnya.html
yang tidak berkaitan dengan perilaku bidahnya itu sebagai tidak menghalangi
kehujahannya.7
BAB III
7 Dr. Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Dar al-Fikr Damaskus Bandung, 2012,hlm.301.
6
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara bahasa Dhaif artinya ajiz atau lemah. Sedangkan menurut istilah adalah
hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih dan hadits
hasan. Sedangkan sebab hadits dhaif ditolak para ahli hadits mengemukakan ditolaknya
hadits ini ditinjau dari dua jalur, 1) dari segi sanad, yaitu karena ada kecacatan pada
perawinya dan Sanadnya tidak bersambung, 2) Matan hadits, yaitu matanya hanya
disandarkan kepada sahabat dan matanya hanya disandarkan pada tabiin.
Hadits dhaif itu sendiri dilklasifikasikan menjadi 5 kelompok:
1. Hadits Dhaif karena terputus sanadnya
2. Hadits dhaif karena ketidakadilan periwayatnya
3. Hadits dhaif karena ketidakdhabitan periwayatnya
A. Hadits dhaif karena kejanggalan dan kecacatan, dan
B. Hadits dhaif dari segi matan
Sedangkan mengenai kehujjahan hadits dhaif itu sendiri para ulama berbeda pendapat.
Pertama tidak memakai hadits dhaif secara mutlak, baik untuk fadlailul amal ataupun dalam
bidang hokum, kedua mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, dengan alasan hadits dhaif
itu masih lebih baik disbanding dengan pendapat manusia, dan ketigamengamalkan hadits
dhaif untuk fadlailul amal dan naasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
7