Anda di halaman 1dari 9

2. Sebab turunnya ayat 6 surah al-Hujurȃt.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Harits menghadap Rasulullah Saw.. Beliau
mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun berikrar menyatakan diri masuk Islam. Beliau juga
mengajakanya untuk membayar zakat, ia pun menyaggupi kewajjiban itu dan berkata: “Ya
Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan
menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajakanku, akan aku kumpulkan zakatnya.
Apabila telah tiba waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambil zakat yang telah
kumpulkan itu.”
Ketika al-Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu yang sudah ditetapkan pun
telah tiba, tak seorangpun utusan yang datang menemuinya. Al-Harits mengira telah terjadi
sesuatu yang menyebabkan Rasululllah marah kepadanya. Ia pun memanggil para hartawan
kaumnya dan berkata : “Sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan waktu untuk mengutus
seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah
menyalahi janji. Akan tetapi aku tida tahu kenapa belliau menangguhkan utusannya itu.
Mungkinkan beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah Saw..”
Rasulullah pada waktu yang telah ditetapkan mengutus al-Walid bin ‘Uqbah untuk
mengambil dan menerima zakat yang berada pada al-Harits. Ketika al-Walid berangkat, di
perjalanan hatinya mereasa gentar, lallu ia pun pulan sebellum sampai tempat yang dituju.
Ia melaporkan laporan palsu kepada Rasulullah Saw. Bahwa al-Harits tidak mau
menyerahkan zakat kepadanya, bahka mengancam akan membunuhnya.
Kemudian Rasulullah Saw. Mengirikan utusan yang lain kepada al-Harits. Di tengah
perjalanan utusan tersebut berpapasan dengan al-Harits dan sahabat-sahabatnya yang
sedang menuju kepada Rasulullah saw.. setelah berhadap – hadapan, al-Harits menayai
utusan itu : “ Kepada siapa engkau diutus?” Utusan itu menjawab: “Kami diutus kepadamu”.
Dia bertanya : “Mengapa?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. Telah
mengutus al-Walid bin ‘Uqbah. Namun ia mengatakan bahwa engkau tidak mau
menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al- Harits menjawab : “Demi Allah
yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak
ada yang datang kepadaku.”
Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah Saw., bertanyalah beliau: “Mengapa engkau
menahan zakat dan akan membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang
telah mengutus engkau dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka
turunlah ayat keenam surah al-Hujurȃt sebagai peringatan kepada kaum mukmin agar tidak
menerima keterangan dari sebelah pihak saja. Diriwayatkan dari Ahmad dan lainya dengan
sanad yang baik, yang bersumber dari al-Harits bin Dlirar al-Khuza’i. Para perawi dalam
hadits ini sangat dapat dipercaya.[7]
Tafsir Quran Surat Al-Hujurat Ayat 6 6. Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan
mengerjakan apa yang disyariatkan, jika seorang yang fasik datang kepadamu dengan
membawa kabar tentang suatu kaum maka periksalah kebenaran kabar berita tersebut dan
janganlah tergesa-gesa membenarkannya, karena dikhawatirkan kalian akan menimpakan
musibah kepada suatu kaum tanpa kalian ketahui yang sebenarnya apabila kalian
membenarkan kabar itu tanpa menelitinya terlebih dahulu, sehingga setelah menimpakan
musibah kepada mereka kalian menjadi menyesal ketika mengetahui kebohongan kabar itu.

Referensi: https://tafsirweb.com/9776-quran-surat-al-hujurat-ayat-6.html
Tafsir Ayat:

Ayat ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin
‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani
Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka
menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu, al-Walîd,
menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah mereka saling
bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan melapor kepada Nabi,
bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah akan menyerangnya. Rasul
saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan
mereka seraya menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan
surat al-Hujurat (49) ayat 6 ini.[1]

Konteks turunnya ayat ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan
kaidah: Al-‘ibrah bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan
berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat ini
berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian membuat kaidah
periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran Islam. Tidak hanya itu, secara
praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para politikus untuk mengambil keputusan
sehingga pantas jika Rasul saw. menyatakan:

ِ َ ‫ن الشَّ يْط‬
»‫ان‬ َ ‫م‬ ُ َ ‫جل‬
ِ ‫ة‬ َ َ‫ن اللهِ وَالْع‬
َ ‫م‬ ُ ُّ ‫«اَلتَّبَي‬
ِ ‫ن‬
Pembuktian itu berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan.
(Dikeluarkan at-Thabari). [2]

Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati
ketika ada orang fasik membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak
menelannya mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in
fatabayyanû). Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah syarthiyyah (kalimat
bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik] membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang
berbentuk sifat, fâsiqun (orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm
mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya hadis ahâd
yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik.[3] Hal yang sama juga berlaku untuk
pengetahuan yang disampaikan oleh seorang guru yang adil.
Fâsiq (fasik) sendiri mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan).
Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini adalah
dusta atau bohong.[4] Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang
melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[5]

Penggunaan kata naba’ (berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut
adalah berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita pada
dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang bisa menghasilkan
keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). [6] Di sisi lain, kata naba’ tersebut
merupakan bentuk nakirah (umum), yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita;
baik ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat
disimpulkan, jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya,
yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus diperiksa.
Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush (mengindentifikasi dan
memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan berita yang disampaikan. [7]

An tushîbû qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan keputusan kepada suatu
kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam kondisi kalian tidak mengetahui) adalah
keterangan hâl (keadaan yang menjelaskan perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni,
konteks bi jahâlatin tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak
mengetahui);[8] sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat
keputusan atau kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan
untuk mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu. Tindakan
yang sama juga dilarang oleh Allah dalam ayat lain:

]ً ‫سئُوال‬
ْ ‫م‬
َ ‫ه‬
ُ ْ ‫ن عَن‬ َ ِ ‫ل أُولَئ‬
َ ‫ك كَا‬ ُّ ُ ‫ص َر وَالْفُؤ َاد َ ك‬
َ َ ‫معَ وَالْب‬
ْ ‫س‬
َّ ‫ن ال‬ ٌ ْ ‫عل‬
َّ ِ ‫م إ‬ َ َ‫س ل‬
ِ ِ‫ك بِه‬ َ ْ ‫ما لَي‬ ُ ْ‫[وَال َ تَق‬
َ ‫ف‬

Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]:
36).

Fatushbihû ‘alâ mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang telah kalian
lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang dijatuhkan sebelumnya
ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain; termasuk pengambil keputusan.
Wacana Tafsir: Cara Menerima Berita

Untuk menerima berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang urgen.
Islam, melalui surat al-Hujurât (49) ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber berita tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) ‘âdil (Muslim dan tidak fasik); (2) fâsiq (tidak
adil). Jika sumber berita tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan
dosa kecil atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun
demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang asalnya adil
sehingga al-Qurthûbi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil keputusan (al-hâkim), baik
penguasa maupun bukan, tetap harus melakukan pengecekan terhadap berita yang
diterimanya, sekalipun dari orang Islam.[9] Ini seperti yang terjadi dalam kasus al-Walîd di
atas. Al-Walîd adalah utusan Nabi saw., yang tentu merupakan orang pilihan. Akan tetapi,
akibat kesalahpahamannya terhadap sambutan Bani Musthaliq, ia bisa melakukan
kesalahan, yang barangkali tidak sengaja ia lakukan.

Berbeda jika sumber berita tersebut orang fasik, maka Islam sangat tegas memerintahkan
agar beritanya dicek sehingga kita tidak terjebak dalam pengambilan keputusan
berdasarkan kebodohan yang akhirnya berujung pada penyesalan. Jika berita orang Islam
yang fasik saja perlu dicek, maka bagaimana dengan berita yang disampaikan orang kafir?
Tentu lebih perlu lagi. Misalnya, berita yang disampaikan CIA, bahwa Omar al-Farouq telah
mengaku mempunyai rencana untuk membunuh Megawati. Menurut berita yang sama, al-
Farouq juga diberitakan sebagai anggota jaringan al-Qaedah. Indonesia juga diberitakan
sebagai salah satu tempat berkembangnya jaringan al-Qaedah. Berita-berita tersebut
semuanya bersumber dari orang kafir, atau orang Islam yang bekerjasama dengan orang
kafir, alias orang fasik. Karena itu, berita tersebut harus diperiksa kebenarannya. Dalam
kasus seperti ini ada contoh menarik; Rasul langsung mengirim Khâlid bin al-Walîd untuk
memeriksa keadaan Bani Musthaliq mengenai benar dan tidaknya informasi
pembangkangan mereka sebagaimana yang dituturkan al-Walîd di atas.[10] Sebagaimana
Rasul tidak mengecek kepada al-Walîd, maka para pengambil keputusan di negeri ini, juga
tidak seharusnya melakukan klarifikasi kepada CIA, mengenai benar dan tidaknya informasi
tersebut. Lebih dari itu, karena merupakan manuver politik negara kafir, maka informasi
tersebut tidak bisa dilihat semata-mata sebagai informasi, tetapi harus dilihat sebagai
manuver politik dengan tujuan dan target tertentu yang hendak diraih oleh negara kafir,
seperti Amerika dan lain-lain.

Ini, misalnya, tampak ketika pemerintahan Bush Jr. menyatakan, bahwa al-Qaedah yang
dipimpin Usamah bin Laden merupakan aktor pengeboman Peristiwa 11 September 2001.
Informasi ini sesungguhnya bukanlah informasi biasa, melainkan manuver politik. Akan
tetapi, sayang, karena ketidakmampuan penguasa Taliban membaca informasi yang
sesungguhnya merupakan manuver politik Amerika ini, mereka tidak menyiapkan langkah-
langkah real untuk menghadapinya. Akibatnya, seperti yang bisa disaksikan, manuver
Amerika ini berjalan dengan gemilang dan hasilnya sangat fantastis. Taliban berhasil
dijatuhkan dengan sangat singkat, digantikan dengan kaki tangannya yang loyal, Hamid
Karzai; sistem imarah yang dibangun Taliban berhasil diruntuhkan, digantikan dengan
demokrasi ala Amerika; kemudian rancangan politik Amerika berhasil ditancapkan melalui
kaki tangan dan seluruh kinerjanya. Pada saat yang sama, monopoli Amerika atas wilayah
tersebut berhasil diwujudkan dengan berdirinya pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan.
Dengan demikian, Amerika telah berhasil mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa
tunggal dunia setelah menguasai jantung dunia, Afganistan dan Asia Tengah.

Karena itu, untuk merealisasikan manuver politiknya, negara-negara kafir seperti Amerika
dan Inggris, akan selalu menyebarkan informasi atau berita bohong untuk menutupi niat
jahatnya. Namun, jika umat Islam sadar, bahwa negara-negara kafir itu adalah musuh, dan
hubungan antara negeri-negeri kaum Muslim dengan mereka adalah hubungan
permusuhan, bukan persahabatan—sebagaimana yang mereka pertontonkan terhadap
Islam, umat, dan negeri-negeri mereka—maka seharusnya umat Islam berpegang teguh
pada sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Harayrah, sebagai berikut:

»‫ة‬
ٌ َ ‫خدْع‬
ِ ‫ب‬ َ ْ ‫«اَل‬
ُ ‫ح ْر‬

Peperangan itu merupakan tipudaya. (HR Muslim).

Karena itu, mereka tidak seharusnya menelan mentah-mentah informasi yang datang dari
musuh mereka. Karena itu pula, seperti yang dikatakan Ibn Hajar al-Asqalâni, perang yang
baik bagi pelakunya dengan niat dan tujuannya yang sempurna adalah Perang Tipudaya,
bukan berhadap-hadapan secara langsung.[11] Inilah yang dimainkan Amerika, Inggris, dan
negara-negara kafir lainnya, karena mereka tidak sanggup berperang berhadap-hadapan
secara langsung dengan umat Islam yang haus surga dan merindukan mati syahid.
Kesadaran yang sama seharusnya dimiliki oleh umat Islam supaya mereka juga bisa
memenangkan pertarungan ini.

Akan tetapi, sayangnya, umat Islam saat ini dipimpin oleh orang-orang yang lebih loyal
kepada musuhnya ketimbang kepada mereka. Akibatnya, ketika Amerika menabuh gendang
Perang Melawan Terorisme, yang target dan tujuannya jelas untuk memerangi Islam dan
umatnya, para penguasa itu justru menari mengikuti irama gendang yang ditabuh Amerika;
bak kata penyair:

‫ضارِبًا‬
َ ‫ف‬ ِ ْ ‫ب الْبَي‬
ِّ ُّ ‫ت بِالد‬ َ َ ‫إذ َا كا‬
ُّ ‫ن َر‬

ُ ْ‫الرق‬
‫س‬ َّ ‫م‬ُ ُ‫ت كُلُّه‬ ُ ْ‫ه أَه‬
ِ ْ ‫ل الْبَي‬ ُ ُ ‫مات‬ ِ َ‫ف‬
َ ْ ‫سي‬

Jika tuan rumah memukul gendang,

seluruh penghuninya tampak menari.

Wacana Tafsir: Tabayyun Berita melalui Kondisi yang Meliputinya

Ketika berita tidak dapat dipahami hanya dengan membaca makna kata (madlûl), misalnya
Perang Melawan Terorisme, yang berarti peperangan melawan individu atau kelompok yang
mengancam keselamatan umum dengan tujuan atau motif politik tertentu—padahal
peperangan tersebut dimaksud sebagai peperangan melawan Islam dan umatnya—dengan
tujuan untuk mengukuhkan hegemoni pelakunya atas dunia, maka berita tersebut harus di-
tabayyun dengan cara mengaitkannya dengan situasi dan kondisi (zhurûf)-nya. Penggulingan
Taliban dan pelantikan Hamid Karzai dengan pemerintahan barunya atas nama Perang
Melawan Terorisme adalah salah satu kondisi; pendirian pangkalan militer di Qirzistan dan
Pakistan atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain; penyusunan UU
Antiteroris di beberapa negara, seperti Pakistan dan Indonesia, serta ditandatanganinya
perjanjian regional atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain; kerjasama
intelijen dan penangkapan tokoh-tokoh Islam atas nama Perang Melawan Terorisme juga
merupakan kondisi lain; upaya penggulingan Saddam yang pro-Inggris untuk digantikan
dengan kaki tangan Amerika atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain.
Semua itu merupakan kondisi yang secara telanjang menjadi indikator, bahwa istilah Perang
Melawan Terorisme tidak dapat ditangkap hanya dengan memahami makna katanya,
melainkan harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Dari sanalah, baru
dapat disimpulkan bahwa Perang Melawan Terorisme tersebut sesungguhnya merupakan
peperangan untuk melawan musuh politis dan ideologis Amerika dengan tujuan
mengukuhkan hegemoninya atas dunia.
Berita mengenai Indonesia, bahwa Indonesia merupakan Sarang Teroris, juga tidak dapat
ditafsirkan secara terpisah dari berbagai kondisi, seperti penangkapan WNI yang membawa
bom di Filipina, 3 WNI yang ditangkap di Singapura dengan tuduhan sebagai anggota
Jamaah Islamiyah, penangkapan Omar al-Farouq di Indonesia, penangkapan 3 WNI di
Filipina dengan tuduhan terlibat pengeboman, pengeboman mes Kedubes Amerika,
pengeboman mal Cijantung, latihan ketentaraan di salah satu pulau di Jawa Timur, dan lain-
lain. Dengan adanya semua kondisi di atas, berita Indonesia merupakan Sarang Teroris
tersebut kemudian mempunyai impresi yang kuat di benak orang yang mendengarnya, dan
berita tersebut akhirnya dianggap benar adanya. Hanya tetap harus diperhatikan, bahwa
impresi tersebut tidak boleh dipisahkan dengan situasi dan kondisi politik di atas, juga
kondisi historis bangsa Indonesia. Dilihat dari situasi dan kondisi politik di atas, jelas bahwa
berita Indonesia merupakan Sarang Teroris itu bertujuan untuk mengukuhkan kembali
cengkeraman Amerika di negeri ini setelah sebelumnya pudar pasca dijatuhkannya
Soeharto. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk merealisasikan itu berbagai rekayasa di
atas harus dilakukan? Alasannya, secara historis, bangsa Indonesia tidak mudah
ditundukkan oleh Amerika, kecuali melalui berbagai kerusuhan, pemberontakan, dan
rekayasa di dalam negeri sehingga bangsa ini terpaksa menerima uluran tangan Amerika.
Setelah itu, barulah mereka tunduk di tangan Amerika. Realitas ini ditunjukkan oleh bangsa
ini pasca Perang Kemerdekaan hingga dekade 1950-an; Amerikalah yang memprovokasi
Perang Permesta, PRRI, termasuk DII/TII, dan terakhir pemberontakan G 30 S PKI, sampai
akhirnya negeri ini berhasil dicengkeram oleh Amerika melalui militer. Karena itu, kerjasama
militer Indonesia dengan Amerika yang dimulai September 2002 juga tidak dapat dipisahkan
dari skenario di atas. Kasus lain adalah Sudan, yang akhirnya tunduk di bawah ketiak
Amerika, setelah sebelumnya didera dengan tuduhan Teroris, hingga pengeboman gudang
farmasi yang diklaim Amerika sebagai pabrik pembuatan senjata pembunuh massal, dan
sebagainya, termasuk naiknya Jenderal Omar Bashir setelah digulingkannya Hassan at-
Turabi, padahal dia telah memenuhi keinginan Amerika, termasuk melakukan penangkapan
terhadap aktivis Muslim untuk dijebloskan dalam penjara.

Akankah negeri ini mengalami sejarah yang sama, dijajah kembali, yang berarti keluar dari
mulut buaya masuk ke mulut singa? Tentu semuanya kembali pada kearifan, kecerdasan,
dan kesadaran politik umat dan bangsa ini. Wallâhu a‘lam. []

Anda mungkin juga menyukai