Anda di halaman 1dari 5

Kaidah-Kaidah Tasawuf (bag.

1)
Wacana dalam Suatu Hal

Wacana tentang sesuatu adalah cabang datri proyeksi substansi, manfaat, dan materinya
melalui ungkapan rasa hati, baik melui upaya maupun intuisi, agar semuanya kembali
padanya dalam masing-masing apa yang terjadi, apakah menolak atau menerima, apakah
dalam rangka mencari asal usulnya atau cabangnya saja. Karena itu harus mengajukan
semua itu untuk didalami, untuk mengenal maupun menyeleksi, atau pun mencarai
isyarat dibalik materinya. Fahamilah ini.

Definisi tentang Materi, Hakikat dan Tasawuf


Substansi sesuatu adalah hakikatnya. Sedangkan hakikatnya adalah yang menunjukkan
totalitasnya. Untuk mendefinisikan semua itu harus dengan batasan yang lebih global,
atau perumusan, yang lebih jelas, atau melalui penafsiran yang lebih sempurna
penjelasannya, mudah difahaminya.

Tasawuf telah didefiniskan, dirumuskan, dan ditafsiri dengan berbagai dimensi, hingga
mencapai dua ribu definisi. Semuanya kembali kepada cara menghadap Allah Ta’ala
yang benar. Dan berbagai arah menghadap itu ada di dalamnya. Wallahu A’lam.

Perbedaan tentang Hakikat yang Satu dan Definisi Tasawuf


Perbedaan dalam hakikat yang satu, walau pun banyak jumlahnya, menunjukkan adanya
pemahaman yang jauh terhadap keseluruhannya.

Apabila dikembalikan pada asal prinsipnya yang satu, akan mengandung seluruh totalitas
jumlah itu menurut pemahaman terhadap prinsip tersebut. Keseluruhan wacana
berapresiasi dengan rincian-rincian masalahnya.
Pebngungkapan masing-masing tersebut menrut kadar tujuan yang diraihnya, baik secara
ilmiah, amaliyah, haal, rasa, dan sebagainya.

Perbedaan definisi tasawuf bermula dari itu semua, maka, Al-Hafidz Abu Nu’iam al-
Ashbahany, ra, -- menurut umumnya kaum Hilyahnya – mendefinisikan dunia Tasawuf
menurut pengalaman hilyah jiwanyanya masing-masing – mengaitkan dengan kondisi
ruhaninya, dengan mengatakan: “Dan disebutkan: Tasawuf adalah demikian…..”

Saya merasakan, bahwa setiap orang yang memiliki bagian yang benar dalam tawajuuh
(menghadap Allah Ta’ala), memiliki bagian dari Tasawuf, dan Ketasawufan masing-
masing diukur menurut kebenaran Tawajuhnya. Hendaknya anda memahami.

Kaidah-Kaidah Tasawuf (bag. 2)


Tawajjuh yang Benar
Tawajjuh yang benar disyaratkan adanya Ridho Allah Ta’ala atas pelaksanaannya,
dengan cara yang ridihoi pula. Dan yang disyarati tidak sah tanpa sah syaratnya.
FirmanNya, “Allah swt, tidak ridho dengan kufurnya para hambaNya.” Karena itu harus
mewujudkan Iman. FirmanNya, “Bila kalian bersyukur, maka Allah meridhoi kalian. “
(Az-Zumar, 7), maka harus mengamalkan Islam.

Tasawuf tidak sah tanpa fiqih, karena aturan-aturan Allah secara dzohir tidak bisa dikenal
kecuali dari fiqih. Fiqih tidak benar tanpa Tasawuf, karena tidak bias beramal dengan
benar dan menghadap Allah dengan benar tanpa Tasawuf.

Tidak ada hasrat yang benar kecuali dengan Iman, tanpa Tasawuf dan Fiqih, hasrat cita
tidak akan benar. Karena itu Tasawuf dan Fiqih harus berpadu karena adanya keharusan
lazim dalam aturan, sebagaimana lazimnya integrasi antara ruh dan jasad, dan ruh tidak
akan ada kecuali dalam jasad dan sebaliknya, sebagaimana tidak ada keghidupan tanpa
ruh pada jasad.

Ucapan Imam Malik ra, “Siapa yang bertasawuf tanpa berfiqih maka ia telah zindiq, dan
siapa yang berfiqih tanpa tasawuf maka ia fasiq. Siapa yang memadukan keduanya, ia
benar-benar mewujudkan kebenaran.”

Saya katakana: “Tindakan zindiq yang pertama, karena ia hanya pasrah pada takdir
karena menghilangkan hikmah dan hokum-hukum. Sedangkan kefasikan pada kalimat
ekdua, asdalah karena hilangnya amal demi menghadap Allah, dan tidak bias bersih dari
maksiat, tidak bias ikhlas, yang disyaratkan dalam beramal Lillah. Sedangkan
perwujudan kebenaran pada wacana ketiga, adalah karena penegakan terhadap hakikat
dalam kenyataan yang sebenarnya yaitu berpegang teguh pada Allah Ta’ala. Maka
kenailah semua itu…”

ASAL USUL TASAWUF


Penyandaran bukti sesuatu pada asal usulnya, dan penegakan bukti yang khusus padanya,
akan menolak ucapan orang yang mengingkari hakikat kebenarannya.

Asal usul Tasawuf adalah Maqom Al-Ihsan, yang ditafsirkan oleh Rasulullah saw,
dengan “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka
apabila kamu tidak bias melihatNya, sesungguhnya Allah swt, melihatmu.”.

Sebab, makna benarnya Tawajjuh kepada Allah kembali pada hadits tersebut, dan
kepadanyalah orientasi Tawajjuh itu terjadi, karena teksnya menunjukkan pada upaya
meraih Muroqobah yang dihaharuskan dalam amal ibadah.

Motivasi terhadap Al-Ihsan berarti anjuran pada pernyataannya, sebagaimana Fiqih


berkisar pada Maqom Islam, dan Ushul pada Maqom Iman.
Tasawuf merupakan salah satu sendi agama yang diajarkan oleh Jibril as, kepada Nabi
saw, agar diajarkan kepada para sahabatnya – semoga Allah meridhoi mereka semua –
(Dari Kitab Qowaidut Tashawwuf ‘ala Wajhin Yajma’u Bainasy Syari’ah
wal-Haqiqah, waYashilul Ushul wal-Fiqh bit-Thariqah)

Kaidah-Kaidah Tasawuf (bag. 3)


Oleh: Syeikh Ahmad Zarruq
Sumber Kata Tasawuf
Istilah bagi sesuatu adalah bagian dari petunjuk maknanya, dirasakan hakikatnya, dan
relevan dengan temanya, dan obyeknya menjadi

jelas tanpa ada kejumbuhan, tidak ada cacat yang menyimpang dari kaidah syari’at,
tradisi kebaikan, juga tidak menghilangkan kedudukan asli maupun tradisinya, juga tidak
kontra dengan cabang dan arah hukumnya, disertai dengan ulasan gramatika kosa
katanya, kebenaran tata aturannya, sehingga tidak ada arah sedikit pun untuk
mengingkarinya.

Nama Tasawuf muncul dari paradigma yang demikian itu, karena nama tersebut dari
bahasa Arab yang memiliki persepsi yang tersusun sempurna, tanpa keraguan maupun
kejumbuhan, dan tidak mengandung standar ganda.

Bahkan asal usul kata nama Tasawuf berkelindan dengan rasa di balik namanya,
sebagaimana nama Fiqih berkaitan dengan hukum-hukum Islam dan amal-amal lahiriyah
lainnya, sedangkan Ilmu Ushul untuk aturan-aturan Iman dan perwujudan maknanya.
Maka, secara lazim (niscaya) dalam soal syariat dan iman, berlaku pula dalam Tasawuf,
karena adanya kesamaan keduanya dalam soal prinsip dan dalil.

Ucapan-Ucapan Tasawuf: Darimana Sumbernya?


Sumber asal kata itu menentukan aturan menurut terapan makna sumber asli dan
cabangnya.Objek dari sumber asal usulnya memberikan pengertian makna dari katanya.
Bila berjumlah banyak, akan banyak pula pengertian maknanya. Apabila dimungkinkan
untuk dipadukan, maka akan terpadu secara keseluruhan. Bila tidak, masing-masing
memiliki kesan terapan makna sendiri-sendiri. Maka harus difahami, agar tidak kontra
dengan sumber asal-usulnya.

Banyak sekali wacana mengenai sumber nama Tasawuf, dan saya mengambil lima
sumber utamanya:
- Pertama: Ungkapan ash-Shoufah yang berarti wool. Karena ia bersama Allah seperti
bulu yang terhamparkan, yang tidak bias mengatur atas dirinya.
- Kedua: Dari kata Shufatul Qofa yang berarti bulu kuduk, karena seorang Sufi senantiasa
lemah lembut dan mulia.
- Ketiga: dari kata Shifat (sifat) , karena Sufi senantiasa berkarakter dengan sifat-sifat
bagus, dan meninggalkan sifat-sifat tercela.
- Keempat: Dari kata Shofa’ (bening), dan ungkapan ini dibernarkan, sehingga Abul Fath
al-Busty ra, (W. 400 H.) bersyair:

Orang-orang saling berseberangan dalam soal Sufi


Mereka menyangka bahwa Sufi bersumber dari Shuuf (wool)
Aku tidak berkenan dengan pendapat itu
Melainkan pada kata Shofa (bening)
Maka seseorang dibeningkan hatinya
Hingga ia disebut dengan Sufi.

- Kelima: Dinukil dari kata Shuffah (sahabat ahlus-shuffah), karena para pelaku Sufi
mengikuti jejaknya, atas karakter dan sifat yang ditetapkan oleh Allah swt:
“Dan janganlah engkau berpaling dari orang-orang yang berdoa kepada Tuhannya saat
pagi dan petang, (pagi hingga petang, petang hingga pagi) hanya demi mengharap
WajahNya…” (Al-An’aam: 52)
Dan kata ini dijadikan sebagai prinsip setiap kata yang kembali pada istilah tasawuf.
Wallahu A’lam.

Tasawuf Tidak Khusus Untuk Fakir dan Kaya


Hukum atas pengikut seperti aturan hukum yang diikuti, walaupun terkadang
pengikutnya lebih utama dibanding yang diikuti. Sahabat Ahlush Shuffah pada awalnya
adalah kaum fakir, sehingga mereka dikenal sebagai tamu-tamu Allah swt. Namun
diantara mereka ada yang kaya, ada penguasa, ada pengusaha dan ada yang fakir. Mereka
semuanya terus bersyukur atas apa yang diterimanya, sebagaimana mereka sabar manaka
mereka tidak punya. Sama sekali tidak mempengaruhi sifat mereka yang terus menerus
taqarrub kepada Tuhannya, dimana mereka disebutkan: “Senantiasa berdoa kepada
Tuhannya dari pagi dan petang, semata hanya demi berhasrat pada WajahNya…”

Sebagaimana, mereka itu tidak dipuji karena ketakpunyaan, namun mereka mulia karena
hasratnya terhadap Wajah Sang Maha Diraja, dan itu tidak terbatas bagi yang fakir
maupun yang cukup atau kaya.
Tasawuf tidak terbatas pada yang miskin maupun kaya, karena pelakunya senantiasa
hanya berhasrat kepada Allah Azza wa-Jalla. Fahamilah ini.

Perbedaan Nasab dan Thariqat Tidak Menunjukan Perbedaan Hakikat


Perbedaan nasab (hubungan thariqat) terkadang disebabkan karena perbedaan hakikat,
dan kadang-kadang karena perbedaan martabat dalam hakikat yang satu

Disebutkan: Sesungguhnya Tasawuf, Kefakiran, Malamah dan usaha Taqarrub muncul


dari hubungan thariqat. Namun juga ada yang mengatakan: Muncul dari perbedan
martabat dari hakikat yang satu. Dan inilah yang benar.

Hanya saja, yang disebut sebagai Sufi, adalah yang mengamalkan ajarannya dalam upaya
penjernihan dan pembersihan waktunya dari segala hal selain Allah Ta’ala. Apabila
selain Allah telah runtuh dari tangannya, maka ia disebut sebagai sang fakir. Sedangkan
yang disebut sebagai Al-Malamati adalah yang tidak menampakkan kebaikannya, juga
tidak menyembunyikan keburukannya, seperti kebiasaan mereka yang bekerja sehari-
hari, yang juga seorang penganut thariqat.

Orang yang taqarrub adalah orang yang perilaku ruhaninya sempurna, sehingga ia
bersama Tuhannya dan hanya bagi Tuhannya. Tak ada pengaruh apa pun selain dari
Tuhannya dan tidak satu pun tempat baginya kecuali hanya Allah Ta’ala. Maka, perlu
anda fahami.

Perbedaan Penempuhan Tidak Harus Berbeda Tujuan


Perbedaan penempuhan jalan Sufi tidak harus membuat berbedanya tujuan utama.
Bahkan kadang-kadang bertemu dalam satu kesatuan, walau jalan penempuhannya
berbeda, seperti ibadah dan kezuhudan.
Sedangkan ma’rifat merupakan metode dalam rangka mendekati Allah swt, untuk meraih
Jalan kemuliaan. Masing-masing saling berkaitan.
Karena itu bagi sang ‘arif harus disiplin ibadahnya, karena jika tidak tekun ibadahnya,
kema’rifatannya tidak ada nilainya, karena ia tidak beribadah kepada yang dima’rifati.
Begitu pula sang ‘arif harus menempuh jalan kezuhudan.

Anda mungkin juga menyukai