Anda di halaman 1dari 18

TRADISI MANDI SEMBILAN PADA PENYELENGGARAAN JENAZAH

MASYARAKAT SUKU BANJAR DALAM PERSPEKTIF ‘URF


(STUDI KASUS DI KABUPATEN PULANG PISAU)

Esai

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah: Hukum Adat
Dosen: Dr. Sadiani, M.H. & Dr. Abdul Khair, M.H.

Oleh
Fani Aditia
2210140172

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA (MHK)


PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
KEMENTERIAN AGAMA
TAHUN 1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tradisi Mandi Sembilan pada Penyelenggaraan Jenazah Masyarakat
Suku Banjar dalam Perspektif ‘Urf (Studi Kasus di Kabupaten Pulang Pisau)”
untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Hukum Adat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sadiani, M.H. &
Dr. Abdul Khair, M.H. selaku dosen pembimbing bidang studi dan teman-
teman yang turut memberikan semangat atas terbentuknya makalah ini karena
berkat bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, karena
keterbatasan pemikiran dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan pada masa
yang akan datang Semoga dengan adanya makalah ini membawa manfaat bagi
kita semua.

Palangka Raya, Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
A.Pendahuluan...........................................................................................1
B. Pembahasan...........................................................................................3
1. Proses Pelaksanaan Tradisi Mandi Sembilan pada Penyelenggaraan
Jenazah Masyarakat Banjar di Kabupaten Pulang Pisau..................3
2. Tinjauan ‘Urf pada Penyelenggaraan Jenazah Masyarakat Banjar di
Kabupaten Pulang Pisau...................................................................7
C. Penutup................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

iii
A. Pendahuluan
Permasalahan tentang agama selalu terkait dengan kitab yang menjadi
pegangan dan pedoman bagi umatnya. Dalam Islam, Al-Qur’an merupakan
sumber dan pedoman bagi umat penganutnya. Al-Qur’an merupakan kitab suci
yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
pentunjuk dan rahmat bagi manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam mempelajari Al-Qur’an, manusia juga harus bisa mempelajari beberapa
hal di sekitar Al-Qur’an, yang antara lain terkait seperti sejarahnya, dasar-dasar
sistem yang digunakan Al-Qur’an, kodifikasinya, mukjizatnya, fungsi dan
fadhilatnya, serta khasiat ayat-ayat Al-Qur’an.
Melihat dalam kenyataan atau fenomena di masyarakat, Al-Qur’an juga
memiliki fungsi dan peran dalam sistem kebudayaan masyarakat. Hal ini
dikarenakan persoalan atau perbincangan tentang agama dalam hal ini Al-
Qur’an, selalu merujuk pada dua realitas. Pertama, realitas yang menunjukkan
corak teologis. Kedua, realitas yang menunjukkan corak historis-sosiologis
atau sebagai fenomena kebudayaan.1 Jika dikaitkan kebudayaan di masyarakat
dengan fungsi, fadhilat, ataupun khasiat Al-Qur’an, maka tergambar jelas
peran ayat-ayat Al-Qur’an dalam berbagai tradisi kebudayaan masyarakat.
Begitu juga dalam tradisi di masyarakat Banjar, yang sekarang penduduknya
mayoritas beragama Islam.2
Dalam tradisi Banjar sedikit banyaknya masih berhubungan atau
terpengaruh agama nenek moyang yang memiliki kepercayaan animisme atau
percaya pada makhluk-makhluk ghaib.3 Namun, agama Islam tetap lebih
memiliki peran dalam kebanyakan tradisi masyarakat Banjar. Hal ini
dikarenakan dengan perkembangan zaman, agama dalam proses
penyebarannya selalu dihadapkan dengan keragaman budaya lokal setempat,
oleh karena itu menyiarkan agama Islam sebagai dakwah kerap kali
mengakomodasi budaya lokal dan memberikan spirit keagamaan terkhusus
1
Ridwan Lubis, Sosiologi Agama (Memahami Agama dalam Interaksi Sosial), (Jakarta:
Prenedamedia, 2017), hlm. 2.
2
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (Deskripsi & Analisis Kebudayaan
Banjar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 5.
3
Ibid, 47.

1
Islam. Dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan tradisi di masyarakat
Banjar, telah terjadi proses sintesis (pembentukan suatu budaya baru), asimilasi
(percampuran), dan akulturasi (budaya gabungan).4 Maka dari sini dapat
dipahami bahwa sebuah tradisi merupakan suatu hal yang berkembang dan
masuk ke dalam suatu kebudayaan di daerah tertentu sebagai wujud dari laku
ujaran, laku ritual dan hal lainnya yang juga merupakan simbol dari suatu yang
menjadi nilai substansial dari sebuah kebudayaan tersebut. 5 Salah satu tradisi
dalam masyarakat Banjar yang memuat unsur Islami dan unsur kebudaayaan di
masa lampau ialah tradisi bermandi-mandi.
Tradisi bermandi-mandi cukup banyak berkembang di kebudayaan
masyarakat Banjar. Banyak tradisi-tradisi mereka yang dalam pelaksanaannya
memasukkan upacara bermandi-mandi. Tradisi bermandi-mandi banyak
macamnya, antara lain mandi pengantin yang ditujukan pada prosesi calon
pasangan suami istri, mandi hamil yang ditujukan bagi wanita yang tian
mandaring, dan yang lainnya.6 Namun, diantara semua tradisi mandi yang
peneliti sebutkan, yang menarik dan akan diteliti oleh peneliti yaitu tentang
mandi sembilan dalam penyelanggaran jenazah di masyarakat Banjar.
Mandi sembilan merupakan tradisi masyarakat Banjar dalam
memandikan mayit pada prosesi penyelenggaraan jenazah. Dalam masyarakat
Banjar, adat mandi sembilan sering dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan.
Seringkali, ketika akan dilaksanakan penyelenggaraan jenazah maka biasanya
pelaksana atau pemandian yang melaksanakan mandi bagi mayit sudah
menyiapkan air untuk mandi sembilan bagi mayit tersebut. Di dalam syariat
Islam adat ataupun kebiasaan bisa dijadikan sebagai dasar hukum dengan
syarat kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Permasalahan ini telah diterangkan dalam kaidah:

‫العادة حمكمة‬

4
Wahyuni, Agama dan Pembentukan Struktur Sosial, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018), hlm. 114.
5
Mursal Esten, Kajian Transformasi Budaya, (Bandung: Angkasa, 1999), hlm. 22.
6
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (Deskripsi & Analisis Kebudayaan
Banjar), hlm. 263.

2
Artinya: “Adat (‘urf) itu bisa menjadi dasar hukum”
Masyarakat Banjar di Kabupaten Pulang Pisau pada fenomenanya juga
menjadikan prosesi mandi sembilan sebagai kebiasaan pada prosesi
penyelenggaraan jenazah yang dilaksanakan pada tiap RKM (Rukun Kematian
Muslim) yang mayoritas anggotanya masyarakat Banjar. Hal tersebut menarik
peneliti kaji lebih lanjut tentang bagaimana prosesi pelaksanaan tradisi mandi
sembilan pada penyelenggaraan jenazah dan tinjauan pelaksanaan mandi
sembilan pada penyelenggaraan jenazah masyarakat Banjar dalam perspektif
‘urf di Kabupaten Pulang Pisau.
B. Pembahasan
1. Proses Pelaksanaan Tradisi Mandi Sembilan Pada Penyelanggaraan
Jenazah Masyarakat Banjar di Kabupaten Pulang Pisau

Dalam sejarah kesultanan Banjar, mandi sembilan merupakan sebuah


ikhtiar dan kepasrahan seseorang yang masih hidup dalam menghadapi sakit
yang berkepanjangan dengan membersihkan diri berupa mandi dengan
bilangan ganjil sembilan kali siraman dan dengan harapan adanya mandi
sembilan memohon kepada Allah agar disehatkan dan kalaupun tidak
panjang umur maka ikhlas menerima takdir Allah berupa kematian.
Mandi sembilan awalnya memang biasa dilakukan sebagai ikthiar
sesorang berupa kepasrahan dan berserah diri kepada Allah orang yang
masih hidup dalam keadaan menerima cobaan berupa sakit yang tidak
sembuh-sembuh. Seiring berjalannya waktu, mandi sembilan tidak hanya
dilakukan bagi yang orang banjar yang hidup saja tetapi juga bagi orang
banjar yang meninggal dunia.
Di Kabupaten Pulang Pisau, warga muslim masyarakat Banjar yang
meninggal dan tinggal disana, dalam prosesi penyelenggaraan jenazah,
pihak RKM (Rukun Kematian Muslim) salah satunya menyiapkan
pemandian mayat dengan air yang digunakan dan dengan adat istiadat
mandi sembilan. Hal ini juga biasanya dilakukan di Kecamatan Kahayan
Kuala tepatnya di Desa Bahaur yang mayoritas masyarakatnya bersuku
Banjar. Mandi sembilan berlaku baik laki-laki maupun perempuan. Apabila

3
yang meninggal perempuan maka pihak pelaksana dari perempuan akan siap
juga memandikan jenazah perempuan tersebut dengan adat mandi sembilan.
Di daerah Bahaur terutama dari Bahaur Hulu sampai Pesisir Pantai Daerah
Cemantan juga biasa melaksanakan mandi sembilan bagi masyarakat Banjar
yang meninggal dunia. Prosesi tersebut baik itu diminta oleh keluarga
ataupun tidak, pelaksanaan mandi sembilan bagi masyarakat Banjar tersebut
tetap dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan atau adat istiadat
masyarakat Banjar.
Pelaksanaan mandi sembilan dalam praktiknya terdapat 3 macam cara
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banjar pada prosesi memandikan
jenazah. Tetapi sebelum memandikan mayat/jenazah mayat diletakkan
ditempat yang agak tinggi, atau tempat khusus untuk keperluan
memandikan, jenazah dihadapkan ke arah kiblat dan dipastikan seluruh
pakaian jenazah sudah dilepas dan ditutupi dengan kain bahalai satu/dua
lapis kain, kemudian jenazah mulai dibersihkan dengan menyiramkan air
sabun keseluruh badan jenazah, menggosok-gosok jasad mayit dengan
menggunakan sarung tangan atau kain penyeka, sambil mengurut-urut perut
jenazah pelan-pelan agar kotoran dalam perut keluar, begitu pula mulut,
gigi, telinga, bagian kuku, dan seluruh bagian tubuh dengan lembut dan
pelan-pelan. Untuk bagian samping dan belakang tubuh, jenazah
dimiringkan agar semua air merata mengenai tubuh jenazah, dan hal yang
perlu diperhatikan waktu membersihkan mayit bahwa memastikan tidak ada
orang lain ikut melihat kecuali keluarga dan orang-orang bagian pemandian
yang memang ditunjuk untuk memandikan jenazah.7
Setelah Selesai dibersihkan, barulah Mayit dimandikan. Memandikan
mayit itu hukumnya fardhu kifayah, berdasarkan hadits dari Abdullah bin
Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata:

‫ إ ْذ َوقَ َع عن راحلتِ ِه‬، َ‫عليه وسلَّ َم َبعَرفَة‬


ِ ‫واقف مع النيب صلَّى اهلل‬
ُ ِّ ٌ ‫رجل‬ ٌ ‫بينَا‬
ٍ ‫ ا ْغ ِسلوه‬: ‫عليه وسلَّم‬ ِ ‫فقال النيب صلَّى اهلل‬
‫مباء‬ ُ َ ُ ُّ َ ، ُ‫صْته‬ َ ‫ أو قال فَأ ْق َع‬، ُ‫صْته‬
َ َ‫َف َوق‬
7
Abu Daudi, Penyelenggaraan Jenazah, (Martapura: Yayasan Pendidikan Islam dalam
Pagar YAPIDA, 1997), hlm. 19.

4
‫ وال خُتَ ِّمروا‬، ُ‫ وال حُتَنِّطُوه‬، ‫ ثَ ْو َبْي ِه‬: ‫قال‬ ِ
َ ‫ أو‬، ِ ‫ و َكفِّنُوهُ يف ثَ ْو َبنْي‬، ‫وس ْد ٍر‬
ِ
‫القيامة يُلَيِّب‬ ‫يوم‬ َّ ، ُ‫رأسه‬
َ ُ‫فإن اهللَ ْيب َعثُه‬ َ
Artinya: “Ada seseorang laki-laki yang sedang wukuf di Arafah
berasama Nabi Sallahu’alaihi Wassalam. Tiba-tiba ia terjatuh dari
hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi Sallahu’alaihi
Wassalam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan baun bidara. Dan
kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan
jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari
Kiamat dalam keadaan bertalbiyah”. (HR. Bukhari no. 1849, Muslim
no. 1206).
Dalam prosesi pemandian jenazah inilah tradisi mandi sembilan
dilakukan. Berdasarkan tatanan praktiknya, pelaksanaan mandi sembilan
dalam penyelenggaraan jenazah terdapat 3 macam. Pertama, pada
prosesinya yaitu air sabun dua kali siraman, air biasa dua kali siraman, air
sabun dua kali siraman, air biasa dua kali siraman dan air kapur barus satu
kali siraman, berjumlah menjadi sembilan kali, dan niat memandikannya
diucapkan ketika siraman ke tujuh pada siraman air biasa. Kedua, pada
prosesinya yaitu air sabun tiga kali siraman diawali dengat niat mandi bagi
mayat, air biasa lima kali siraman, dan air kapur barus satu kali siraman,
berjumlah sembilan kali siraman. Ketiga, pada prosesinya yaitu air sabun
tiga kali siraman diawali dengan niat mandi, air biasa tiga kali siraman, dan
air kapur barus tiga kali siraman, berjumlah sembilan kali siraman.8
Perbedaan cara mandi sembilan tersebut pada dasarnya sama, yaitu
dilakukan penyiraman sebanyak sembilan kali dengan mengakumulasikan
tiga macam air yaitu air sabun, air mutlak, dan air kapur barus yang masing-
masing air disiramkan sebanyak tiga kali pada badan mayit. Namun, urutan
dalam penyiraman airnya ditentukan lagi oleh kebiasaan di masing-masing
daerah tersebut. Hal ini juga senada dengan pernyataan pengurus RKM
8
Jasriansyah, Penolong Pemandian (Penyelenggaraan Jenazah, Shalat Jenazah,
Penguburan, Talqin, Tahlil dan Doa Haul, (Martapura: Yayasan Pendidikan Islam dalam Pagar
YAPIDA, 1997), hlm. 22-27.

5
Nurul Iman Bagian Penyelenggaraan Jenazah di daerah Kabupaten Pulang
Pisau Bapak Khairil Anwar, beliau menjelaskan,
“Mandi sembilan sudah melekat pada masyarakat Banjar di
Kabupaten Pulang Pisau, sehingga setiap ada masyarakat Banjar yang
meninggal dunia, maka kami pihak yang memandikan pasti
memandikannya dengan cara mandi sembilan. Mandi sembilan yang
kami laksanakan khususnya di RKM Nurul Iman ini, umumnya juga
dilaksankan di RKM tempat lain. Adapun tata cara mandi sembilan
yang di laksanakan di RKM Nurul Iman ini, disiapkan tiga tempat
besar untuk Air. Pertama, tempat air sabun. Kedua, tempat air
munzilah/air mutlah. Ketiga, tempat air Qarah. Setelah semua
persiapan lengkap, maka dilanjutkan dengan memandikan jenazah
dengan mandi Sembilan. Ada 2 cara yang biasa di praktekkan di RKM
Nurul Iman, yaitu:9
Tabel 1.1
No Cara pertama Cara kedua
.
1 Air sabun 1x Air Sabun 1x
2 Air munzilah 1x Air Munzilah 1x
3 Air Qarah 1x Air Sabun 1x
4 Air Sabun 1x Air Munzilah 1x
5 Air munzilah 1x Air Sabun 1x
6 Air Qarah 1x Air Munzilah 1x
7 Air Sabun 1x Air Qarah 1x
8 Air munzilah 1x Air Qarah 1x
9 Air Qarah 1x Air Qarah 1x
Sumber: Wawancara Bapak Khairil Anwar, 2023.
Mandi Sembilan dilakukan apabila kondisi jenazah meninggal dalam
keadaan normal dan memungkinkan untuk dilakukan mandi sembilan. Ada

9
Wawancara dengan Bapak Khairil Anwar, selaku Pengurus RKM Nurul Iman bagian
Penyelenggaraan Jenazah di Kabupaten Pulang Pisau, pada tanggal 01 April 2023.

6
beberapa jenazah yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan mandi
sembilan yaitu jenazah yang meninggal karena kebakaran, tenggelam,
tabrakan, dan luka yang cukup parah sehingga tidak memungkinkan
dilakukan mandi sembilan.
2. Tinjauan ‘Urf pada Penyelanggaraan Jenazah Masyarakat Banjar di
Kabupaten Pulang Pisau

Setelah meninggalnya seorang muslim maka hendaknya jenazah


segera dimandikan sebagaimana mandi wajib karena zunub, baik itu kepada
jenazah laki-laki maupun jenazah perempuan. Memandikan jenazah
merupakan hal yang wajib dilakukan. Dengan kata lain, ini merupakan
perintah kepada setiap umat muslim untuk memandikan jenazah kecuali
orang-orang yang mati syahid. Memandikan jenazah bertujuan agar segala
bentuk hadas dan najis yang ada pada jenazah tersebut hilang dan bersih.
Sehingga, jenazah yang selanjutnya dikafankan dan dishalati dalam keadaan
suci atau terbebas dari hadas dan najis.10 Penyelenggaraan jenazah dalam
Hukum Islam sudah diatur dalam ilmu fiqih jenazah meliputi memandikan,
mengkafani, menshalatkan, dan mengubur jenazah.11 Dalam ketentuan
Hukum Islam, jika seorang muslim meninggal dunia, maka hukumnya
fardhu kifayah untuk orang-orang yang masih hidup menyelenggarakan 4
kewajiban tersebut. Fardu kifayah berarti kewajiban yang gugur jika telah
ada yang melaksanakannya dan sangat dianjurkan untuk menyelenggarakan
kewajiban tersebut kepada jenazah termasuk di dalamnya yang peneliti kaji
terkait pada proses pemandian jenazah.12
Mandi sembilan pada masyarakat Banjar dikategorikan sebagai adat
tradisi yang dipertahankan dan dilakukan secara terus-menerus dan
berulang-ulang sejak dulu kala hingga sekarang, sebagaimana penjelasan

10
Khawaja Muhammad Islam, Mati Itu Spektakuler, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2004), hlm. 81.
11
Abdul Gafur, “Praktek Pengurusan Jenazah di Masjid An-Nuur Kebun Raya,
Indralaya. Altifani Jurnal: International Journal Of Community Engagement, Vol. 1, No. 1,
(Desember 2020), hlm. 15.
12
Masrudin, “Pelatihan Kepengurusan Jenazah Untuk Remaja Masjid di Desa Sungai
Kupang Gambut Kabupaten Banjar”, Jurnal Pengabdian Masyarakat dan Riset Pendidikan, Vol,
1, No. 2, (Desember 2022), hlm. 92.

7
dari pihak pengurus RKM bahwa tradisi mandi sembilan ini dilaksanakan
setiap ada warga yang meninggal dunia baik itu laki-laki maupun
perempuan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh ibu Siti Rahmah selaku
pengurus bagian pemandian jenazah di RKM Langgar Misbahul Khair Desa
Sei Tinggiran Bahaur, beliau mengatakan:
“Mandi sembilan bagi jenazah laki-laki atau perempuan sudah
menjadi adat dan kebiasaan yang dilaksanakan orang Banjar di Daerah
Bahaur dan sekitarnya. Di Bahaur hampir setiap warga muslim yang
meninggal akan dimandikan dengan cara mandi sembilan dan tanpa
mengurangi sedikitpun tata cara mandi jenazah dalam ilmu fiqih,
karena mandi sembilan sebagai penguat dan tambahan dari mandi
yang sudah diajarkan agama (fiqih). Ada juga sebagian orang di
Bahaur mandi sembilan dilaksanakan pada orang yang masih hidup,
biasanya orang yang sudah udzur/tua dan sudah lama mengalami
sakit. Mandi sembilan bagi mereka yang masih hidup yang
membedakan adalah air yang dipakai, kalau orang yang masih hidup
hanya memakai air mutlak saja, sedangkan mandi Sembilan bagi
orang meninggal biasanya memakai tiga macam air yaitu air mutlak,
air sabun, dan air kapur barus serta juga bisa ditambah dengan air
daun bidara atau air kembang. Walaupun masyarakat Banjar yang ada
di Bahaur tidak semua tahu tentang sejarah dan asal muasal mandi
sembilan itu, mereka taunya kalau mandi Sembilan itu baik dilakukan
dan setiap siraman air itu diiringi dengan bacaan do’a bagi si mayit
yang dimandikan."13
Dari penjelasan tersebut menyatakan bahwa setiap masyarakat Banjar
dalam melaksanakan mandi sembilan sama sekali tidak memasukkan hal-hal
yang tidak disyariatkan dalam hukum Islam dan tidak dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Mandi sembilan bersifat memperkuat anjuran dan
memberikan dampak yang baik pada masyarakat dengan memahami mandi
13
Wawancara dengan Ibu Siti Rahmah, selaku Pengurus Bagian Pemandian Jenazah di
RKM Langgar Misbahul Khair Desa Sei Tinggiran Bahaur Kabupaten Pulang Pisau, pada tanggal
01 April 2023.

8
sembilan sebagai bentuk hal baik dan diiringi dengan bacaan do’a pada
setiap prosesi penyiraman air mandi sembilan. Hal ini juga didasari pada
sabda Rasulullah SAW dalam anjuran memandikan mayit, sebagaimana
hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah:

‫ ا ْغ ِس ْلنَها‬: ‫ فخرج فقال‬، ‫عليه وسلَّ َم‬ ِ ‫تُوفيت إحدى‬


ِ ‫بنات النيب صلَّى اهلل‬
ُ ِّ ْ
‫واجعلن يف‬ ٍ ، ‫ أو أكثر من ذلك إن رأي َّ ذلك‬، ‫ أو مخسا‬، ‫ثالثًا‬
، ‫مباء وسد ٍر‬
َ ‫نُت‬ َ ً
ِ
‫ فإذا فرغنُت َّ فآذنَّيِن فلما فرغنا آذناه فألقى‬،‫ أو شيًئا من كافو ٍر‬، ‫كافورا‬ ‫اآلخر ِة‬
ً
‫إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثالثة قرون وألقيناها خلفها‬
Artinya: “Salah seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda:
“Mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian
menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah
siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit
kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”.
Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada
beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan
kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan
ke belakangnya” (HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939).
Dalam redaksi lain dikatakan: “Mandikanlah ia secara ganjil, tiga,
lima, tujuh, atau melebihi dari itu menurut pertimbangan kalian”. Jika
memandang perlu penambahan mandi dari tiga kali karena tidak bersih atau
keraguan lainnya, hendaknya memandikan sampai tujuh kali atau lebih.
Kalau jenazah tersebut perempuan, maka dianjurkan untuk menguraikan
rambut, membasuh, dan mengikatnya kembali serta dilipat ke belakang
kepalanya. Setelah selesai dimandikan badan jenazah dikeringkan agar tidak
basah lalu memberikan wewangian tanpa alkohol di badannya.14 Pada
anjurannya juga dalam memandikan jenazah, penyiraman dilakukan
menggunakan air bersih secukupnya, air sabun, dan diiringi dengan air
bersih kemudian diakhiri dengan air bercampur kapur barus sedikit saja agar
14
Sulaiman Rasjid , Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 168.

9
melawan bau amis jenazah, setelahnya jangan ditambah lagi dengan air
bersih seolah-olah air bersih yang terakhirnya.15
Mandi sembilan memang tidak dijelaskan secara langsung ketentuan
hukumnya, maka dari itu untuk mengetahui hukum melaksanakan tradisi
mandi sembilan pada penyelenggaraan jenazah masyarakat Banjar, peneliti
mengkajinya dengan perspektif ‘urf. Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan
bahwa:

‫ٔيس انعادة‬ ‫ٔأ‬ ٍ


ً ‫ ّن‬,‫عهي ي ٕقل ٔا فعم حشك‬
ّ ‫ٔساسا‬
ٔ ‫حعاسف انُاس‬
ّ ‫انعشف ْٕ يا‬
‫ ال فشق ٍيب انعشف ٔانعادة‬:‫ٔف نساٌانششعي ٍي‬
Artinya: “Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak
dan dikerjakan oleh mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau
sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan adat. Dan menurut
para ahli hukum Islam tidak ada perbedaan antara al-‘urf dengan
al-‘adah”.16
‘Urf juga berarti sesuatu yang tidak baru lagi dalam suatu masyarakat
karena sudah menjadi kebiasaan dan menyatu dalam masyarakat tersebut
berupa perkataan maupun perbuatan.17 ‘Urf merupakan kebiasaan baik yang
dikerjakan oleh orang banyak dalam masyarat dan dilakukan secara
berulang-ulang. Dasar penggunaan ‘urf juga ada pada Firman Allah SWT
dalam Q.S. Al-Araf ayat 199:
ِ ِ ِ
َ ‫ض َع ِن ٱجْلَٰ ِهل‬
‫ني‬ ْ ‫ُخذ ٱلْ َع ْف َو َوْأ ُم ْر بِٱلْعُ ْرف َو‬
ْ ‫َأع ِر‬
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Ayat diatas menunjukkan dengan jelas bahwa Allah menyuruh supaya
kita menggunakan ‘urf. Kata ‘urf dalam ayat diatas dimaknai dengan suatu
perkara yang dinilai baik oleh masyarakat. Ayat tersebut dapat dipahami

15
Neila, “Analisis Hadis-Hadis Tentang Memandikan Jenazah”, Jurnal Darul ‘Ilmi,
Vol. 07. No. 01, (Juni 2019), hlm. 78.
16
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 119.
17
Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 153.

10
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
sehingga menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. seruan ini didasarkan
pada pertimbangan kebiasaan yang baik dan dinilai berguna bagi
kemaslahatan mereka. Begitu juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ahmad dari Ibnu Masud bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda yang
artinya, “Segala sesuatu yang dipandang oleh (orang-orang Islam) umum itu
baik, maka baik pulalah di sisi Allah dan segala sesuatu yang dipandang
oleh (orangorang Islam) umum itu jelek, maka jelek pulalah di sisi Allah”.
Secara ekplisit, hadits diatas menunjukkan bahwa persepsi positif umat
muslim pada suatu persoalan, bisa dijadikan sebagai salah satu dasar bahwa
hal tersebut juga bernilai positif disisi Allah. Melalui demikian hal tersebut
tidak boleh ditentang atau dihapus, akan tetapi bisa dijadikan pijakan untuk
mendisain produk hukum, karena pandangan umum itu hakikatnya tidak
bertentangan dengan apa yang telah dikehendaki Allah.18
Adapun kaidah yang menyatakan bahwa ‘urf dapat dijadikan sandaran
untuk menetapkan hukum yaitu:

‫العادة حمكمة‬
Artinya: “Adat kebiasaan dapat menjadi hukum”
Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa kebiasaan yang
dilaksanakan oleh suatu masyarakat yang tidak menyimpang dari syari’at
Islam dan tidak menghalalkan yang haram serta diterima oleh masyarakat
tersebut maka dapat ditetapkan sebagai hukum.
Berdasarkan ‘urf yang peneliti sandingkan dengan dalil hadits dan
kaidah tersebut, dapat dijelaskan bahwa tradisi mandi sembilan merupakan
suatu adat yang sudah melekat dan menjadi kebiasaan di masyarakat Banjar.
Jika ditinjau dari segi objeknya maka tradisi mandi sembilan termasuk
dalam kategori ‘urf al-‘amaliy yaitu tradisi atau kebiasaan yang berupa
perbuatan tertentu. Dalam hal ini, tradisi mandi sembilan merupakan
tindakan atau perbuatan masyarakat Banjar yang dilaksanakan ketika
18
Neni Hardiati, “Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah”, Jurnal
JIM FH, Vol. 6, No. 1, (Januari 2023), hlm. 18.

11
memandikan mayit pada penyelenggaraan jenazah warga muslim Banjar
yang meninggal dunia sehingga tidak dikategorikan sebagai ‘urf al-qauly
atau tradisi yang berupa perkataan.
Kemudian jika dilihat dari segi ruang lingkup, maka tradisi mandi
sembilan termasuk dalam kategori ‘urf al-khash yaitu merupakan tradisi
berlaku secara khusus karena tradisi mandi sembilan hanya dilaksanakan
oleh masyarakat yang bersuku Banjar secara turun menurun yang dalam
penelitian ini berlokasikan di Kabupaten Pulang Pisau, sehingga tidak
dikategorikan sebagai ‘urf al-‘amm atau kebiasaan yang berlaku secara
umum karena hanya dilakukan pada masyarakat Banjar.
Sedangkan dari keabsahannya menurut pandangan syara’, maka ‘urf
terbagi menjadi dua bagian, yaitu ‘urf al-shahih dan ‘urf al-fasid. ‘Urf al-
shahih yaitu adat atau kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara terus-
menerus dan sejalan dengan agama Islam. Adapun ‘urf al-fasid yaitu adat
atau kebiasaan masyarakat dan tidak sesuai dengan dalil-dalil syara’.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, hanya ‘urf yang shahih sajalah yang
dapat dijadikan istinbath hukum selama tidak bertentangan dengan hukum
syara’.
Mengkaji hal tersebut, dapat dilihat dari prosesi mandi sembilan dan
nilai tradisi Islam di dalamnya. Dalam hukum Islam ada syarat-syarat dan
ketentuan dalam memandikan jenazah. Adapun syarat-syarat dalam
memandikan jenazah yaitu; Pertama, mayitnya orang Islam; Kedua, ada
tubuhnya walaupun sedikit; Ketiga, mayitnya bukan mati syahid. Dan dalam
memandikan jenazah dalam Islam memiliki ketentuan yaitu; Pertama,
memandikan dengan air yang dicampur dengan sedikit daun bidara, air
kapur barus, dan air murni tanpa dicampur apapun; Kedua, wajib bersegera
dalam prosesi pemandian jenazah tersebut khawait jenazahnya rusak dan
berubah baunya; Ketiga, yang memandikan disyariatkan merupakan
muslim, sudah baligh, berakal, dan mengetahui persoalan yang terkait
dengan mandi jenazah; Keempat, jika jenazah meninggal karena mati syahid
di medan perang maka jenazahnya tidak dimandikan meskipun diketahui

12
sebelum peperangan jenazah dalam keadaan zunub.19
Berdasarkan observasi dan wawancara peneliti, tradisi mandi sembilan
pada penyelenggaraan jenazah masyarakat Banjar di Kabupaten Pulang
Pisau merupakan bentuk kebiasaan di masyarakat Banjar ketika melakukan
pemandian mayit yang sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang
disyariatkan oleh Islam. Namun, memiliki keunikan pada prosesi pemandian
mayitnya berupa penyiraman sebanyak sembilan kali dengan
mengakumulasikan tiga macam air yaitu air sabun, air mutlak, dan air kapur
barus yang masing-masing air disiramkan sebanyak tiga kali pada badan
mayit. Masyarakat Banjar menerima dan memandang mandi sembilan
sebagai hal yang baik dilakukan.
Mengkaji dari hadits dan kaidah yang berlaku terkait adat atau tradisi
pemandian jenazah, tidak ada hal dalam praktik mandi sembilan yang
melenceng dan bahkan menguatkan nilai yang terkandung dalam dalil
tersebut. Dalam redaksi hadits disebut bahwa Nabi Muhammad SAW
menganjurkan untuk memandikan mayit sebanyak tiga kali, lima kali, tujuh
kali, dan boleh lebih tergantung pada keyakinan yang memandikan. Pada
tradisi mandi sembilan mayit dilakukan penyiraman sembilan kali yang
bertujuan agar menjamin kebersihan dan menghilangkan keraguan pada
prosesi pemandian mayit tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa tradisi
mandi sembilan dalam penyelenggaraan jenazah masyarakat Banjar
termasuk dalam kategori ‘urf al-shahih. Hal ini dikarenakan dalam tradisi
mandi sembilan tidak terdapat hal yang melanggar serta melenceng daripada
syariat Islam. Sifatnya hanya menguatkan dan menjamin kebersihan mayit
yang dimandikan tanpa terlepas dari syarat dan ketentuan memandikan
jenazah dalam hukum Islam. Sehingga mandi sembilan tidak dikategorikan
sebagai ‘urf al-fasid.

19
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Menyelenggarakan Jenazah Antara Sunnah dan
Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), hlm. 110.

13
C. Penutupan
Proses pelaksanaan mandi sembilan pada penyelenggaraan jenazah
masyarakat Banjar di Kabupaten Pulang Pisau sudah menjadi tradisi turun-
temurun yang dilaksanakan oleh tiap-tiap RKM (Rukun Kematian Muslim) di
daerah tersebut dengan tata cara penyiraman sebanyak sembilan kali pada
badan mayit. Penyiraman diakumulasikan dari tiga macam air yaitu air sabun,
air mutlak, dan air kapur barus yang masing-masing air disiramkan sebanyak
tiga kali pada badan mayit. Urutan dalam penyiraman airnya ditentukan lagi
oleh kebiasaan di masing-masing daerah tersebut. Berdasarkan tinjauan ‘urf
yang disandingkan dengan hadits dan kaidah, tradisi mandi sembilan dilihat
dari segi ruang lingkupnya termasuk dalam kategori ‘urf al-khash yaitu
merupakan tradisi berlaku secara khusus karena tradisi mandi sembilan hanya
dilaksanakan oleh masyarakat yang bersuku Banjar. Sedangkan, dilihat dari
segi keabsahannya, tradisi mandi sembilan termasuk dalam kategori ‘urf al-
shahih. Hal ini dikarenakan dalam tradisi mandi sembilan tidak terdapat hal
yang melanggar serta melenceng daripada syariat Islam. Sifatnya hanya
menguatkan dan bertujuan menjamin kebersihan mayit yang dimandikan tanpa
terlepas dari syarat dan ketentuan memandikan jenazah dalam hukum Islam.

14
DAFTAR PUSTAKA

al-Albani, Nashiruddin Muhammad. Menyelenggarakan Jenazah Antara Sunnah


dan Bid’ah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.

Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar (Deskripsi & Analisis Kebudayaan
Banjar). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Daudi, Abu. Penyelenggaraan Jenazah. Martapura: Yayasan Pendidikan Islam


dalam Pagar YAPIDA, 1997.

Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2015).

Esten, Mursal. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa, 1999.

Gafur, Abdul. “Praktek Pengurusan Jenazah di Masjid An-Nuur Kebun Raya,


Indralaya, Altifani Jurnal: International Journal Of Community
Engagement, Vol. 1, No. 1, Desember 2020.

Hardiati, Neni. “Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah”,
Jurnal JIM FH, Vol. 6, No. 1, Januari 2023.

Islam, Muhammad Khawaja. Mati Itu Spektakuler. Jakarta: Serambi Ilmu


Semesta, 2004.

Jasriansyah. Penolong Pemandian (Penyelenggaraan Jenazah, Shalat Jenazah,


Penguburan, Talqin, Tahlil dan Doa Haul. Martapura: Yayasan Pendidikan
Islam dalam Pagar YAPIDA, 1997.

Khalaf, Wahhab Abdul. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Lubis, Ridwan. Sosiologi Agama (Memahami Agama dalam Interaksi Sosial).


Jakarta: Prenedamedia, 2017.

Masrudin. “Pelatihan Kepengurusan Jenazah Untuk Remaja Masjid di Desa


Sungai Kupang Gambut Kabupaten Banjar”, Jurnal Pengabdian
Masyarakat dan Riset Pendidikan, Vol, 1, No. 2, Desember 2022.

Neila. “Analisis Hadis-Hadis Tentang Memandikan Jenazah”, Jurnal Darul ‘Ilmi,


Vol. 07. No. 01, Juni 2019.

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.

Sholahudin, Umar. “Pendekatan Sosiologi Hukum dalam Memahami Konflik


Agraria”, Jurnal Dimensi, Vol. 10, No. 2. November 2017.

Wahyuni. Agama dan Pembentukan Struktur Sosial. Jakarta: Prenadamedia


Group, 2018.

Anda mungkin juga menyukai