Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FIQIH

MUNAKAHAT/PERNIKAHAN

Dosen Pengampu :

Siti Mahmadatun, S.SY.,M.H

Disusun oleh:

Aninda Nurfadilah : 12230224070

Anisa : 12230220609

Anisa : 12230220722

FAKULTAS USHULUDDIN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur kehadirat Allah Subhana wa ta’ala,


yang telah memberikan kita semua kesehatan dan kesempatan dalam rangka
menyelesaikan kewajiban kami sebagai mahasiswa, yakni dalam bentuk tugas
yang diberikan oleh Ibuk Dosen dalam rangka menambah ilmu pengetahuan dan
wawasan kami.
Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar
Muhammad Shallallahu a’laihi wasallam, yang telah mengantarkan umat nya dari
zaman kebodohan kepada zaman yang berilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih kepada ibuk selaku dosen pengampu pada mata kuliah
FIQIH yang telah memberikan bimbingan serta arahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “MUNAKAHAT/PERNIKAHAN” ini selesai
tepat waktu.
Adapun dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam rangka perbaikan terhadap makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua dan dapat membantu membangun Pendidikan yang
baik bagi negeri kita Indonesia.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Telah maklum diketahui, agama islam datang dimuka bumi tidak hanya
mengatur terkait urusannya dengan Allah, akan tetapi juga mengatur berbagai
hal terkait urusan-urusannya didunia untuk mencapai maslahat didunia dan
akhirat, kekurangan pada salah satunya mengakibatkan kekurangan pada sisi
yang lain.

Sebagaimana telah dirumuskan oleh para ulama, syariat islam memiliki lima
tujuan utama, yakni menjaga agama, jiwa/diri, keturunan/kehormatan, akal dan
harta. Kita akan jumpai dalam khazanah hukum islam, bahwa siapapun yang
melanggar secara langsung lima perkara utama yang dilindungi syariat tersebut
akan mendapat hukuman yang cukup berat. Misalnya orang yang murtad
terancam dibunuh, yang membunuh terancam qishash, yang berzina terancam
dirajam, orang yang mencuri akan dipotong tangannya dan seterusnya.

Sedangkan pernikahan dan semua hukum-hukum yang terkait dengannya


seperti khitbah dan mahar termasuk dalam salah satu maqashid syari’ah yang
lima, yakni menjaga nasab dan kehormatan/martabat manusia. Sehingga
kemudian terpeliharalah keturunan manusia, jelas nasabnya, dan terjagalah
harta warisannya. Maka dari itu, pembahasan tentang hukum-hukum terkait
dengan pernikahan sangat penting untuk diketahui. Disamping juga dalam
syariat ada anjuran untuk menikah.

Diantara cabang fikih pernikahan adalah masalah pelamaran(khitbah) dan


mahar. Pembahasan ini menjadi penting karena ia adalah pembuka suatu
pernikahan, tidak terjadi pernikahan kecuali sebelumnya ada lamaran, selain itu
juga masih didapati kekurangan pada sebagian orang dalam memahami khitbah
dan mahar. Entah terkait batasan waktu lamaran, batasan-batasannya, maupun
pada permasalahan apakah mahar termasuk rukun nikah atau tidak dan apakah
ada kadar batasannya.
B. RUMUSAN MASALAH

Dari berbagai permasalahan yang telah dipaparkan diatas, makalah ini


bertujuan menjelaskan ulang bagaimana nash-nash syar’i dan penjelasan dari para
ulama terkait khitbah dan mahar, meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1. Apa pengertian nikah atau munakahat
2. Bagaimana tatacara dan ketentuan pelaksanaan khitbah?
3. Bagaimana hukum dan ketentuan penunaian mahar?
4. Bagaimana penjelasan para mufassir dan fuqaha dalam permasalahan ini?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan di bentuknya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tatacara dan ketentuan pelaksanaan khitbah?
2. Bagaimana hukum dan ketentuan penunaian mahar?
3. Bagaimana penjelasan para mufassir dan fuqaha dalam permasalahan ini?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pernikahan (Munakahat)
1. Pengertian Nikah
Hukum pernikahan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam sebab
hukum pernikahan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti
kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Hukum pernikahan
merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan
sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasul.1

Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata, zawaj. Dalam Kamus al-

Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikâh ( ‫ ) النكاح‬dan az-ziwâj/az-zawj

atau az-zîjah (‫الزجيه‬- ‫الزواج‬ -‫)الزواج‬. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u (

‫)الوطء‬, adh-dhammu ( ‫) الضم‬, dan al-jam’u ( ‫) اجلمع‬. Al-wath'u berasal dari

kata wathi'a - yatha'u - wath'an ( ‫وطأ‬-‫يطأ‬-‫ ) وطأ‬artinya berjalan di atas, melalui,

memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau


bersenggama.2

Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary dalam kitabnya mengupas


tentang pernikahan dan tentang wali. Pengarang kitab tersebut menyatakan
nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan
dengan menggunakan lafadz menikahkan. Kata nikah itu sendiri secara hakiki
bermakna persetubuhan.3

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 1-2.
2
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997, h. 1461.
3
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h.
72.
Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-
Ghazzi menerangkan pula tentang masalah hukum-hukum pernikahan di
antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu
kumpul, wattî, jimak dan akad. Adapun diucapkan menurut pengertian syara’
yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.4

Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari


1974 dinyatakan; "Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa".5

Di antara pengertian-pengertian tersebut tidak terdapat pertentangan satu


sama lain, bahkan jiwanya adalah sama dan seirama, karena pada hakikatnya
syari'at Islam itu bersumber kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Hukum
pernikahan merupakan bahagian dari hukum Islam yang, memuat ketentuan-
ketentuan tentang bhukum, bagaimana cara memelihara ikatan lahir batin yang
telah diikrarkan dalam akad pernikahan sebagai akibat yuridis dari adanya akad
itu, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang mengancam ikatan
lahir batin antara suami isteri, bagaimana proses dan prosedur berakhirnya
ikatan pernikahan, serta akibat yuridis dari berakhirnya pernikahan, baik yang
menyangkut hubungan hukum antara bekas suami dan isteri, anak-anak mereka
dan harta mereka. Istilah yang lazim dikenal di kalangan para ahli hukum Islam
atau Fuqaha ialah Fiqih Munakahat atau Hukum Pernikahan Islam.

Fiqh munakahat terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Munakahat. Fiqh Al-
fiqh secara bahasa adalah al-fahmu (faham yang mendalam). Alfiqh diartikan
juga sebagai pengetahuan terhadap sesuatu dan memahaminya secara

4
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-lhya at-
Kutub al-Arabiyah, tth, h. 48.
5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (INPRES No 1 Tahun
1991), pernikahan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Lihat Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977, h. 76.
mendalam, Al-fiqh pada umumnya pengetahuan tentang ilmu agama karena
keagungannya, kemuliaannya, dan keutamaannya diatas segala macam
pengetahuan, menurut Ibn Al-Astir bahwa kebiasaan dijadikannya khusus
untuk ilmu syari'ah karena Allah swt memuliakannya dan dikhususkan dari
padanya bagi ilmu furu'.

Menurut pendapat lain bahwa asal arti Al-fiqh adalah Al-fahm (faham yang
mendalam). Dikatakan bahwa fulan diberikan pemahaman terhadap ilmu
agama artinya faham secara mendalam. Allah Azza Wajalla berfirman supaya
mereka memahami dalam masalah agama, artinya supaya mereka menjadi
ulama pada bidang agama dan maka Allah memahamkan, dan Nabi mendoakan
bagi Ibn Abbas, maka beliau bersabda: Berilah dia ilmu agama dan berilah dia
fiqh dalam masalah takwil artinya fahamkan dia pada takwilnya dan
maknanya, kemudian Allah mengabulkan doanya dan keberadaannya (Ibnu
Abas) orang yang paling alim kitabullah pada zamannya. Dan fiqh artinya
seorang mengetahui.6

Sedangkan Istilah nikah diambil dari bahasa Arab, nikah. 7 Dikalangan


ulama madzab Hanafi, seperti yang disampaikan oleh Muhamad Ibn Ahmad
Abi Sahl dalam kitabnya Al-mabsuth lisarakhsi mengatakan bahwa Nikah
secara bahasa adalah ibarotul anil wath (ibarat hubungan sexual).

Masing-masing orang yang akan melaksanakan pernikahan, hendaklah


memperhatikan inti sari dari sabda Rasulullah SAW. yang menggariskan,
bahwa semua amal perbuatan itu disandarkan atas niat dari yang beramal itu,
dan bahwa setiap orang akan memperoleh hasil dari apa yang diniatkannya.

Oleh karenanya maka orang yang akan melangsungkan akad pernikahan


hendaklah mengetahui benar-benar maksud dan tujuan pernikahan. Maksud
dan tujuan itu adalah sebagai berikut:

6
Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Abdulqodir Al-Razi, Mukhtar Al-shiyakh, Bairut:
Maktabah Libanon Nasyirun, 1995, juz. 1.203, ibn Mandzur Muhammad Ibn Makrum Al-Afriki
Al-misri, Lisan Al-Arab, Darushodir, t.t, 13, h. 522
7
Mahmud Yunus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1990),
h. 467, Luwis Ma’luf , Al-Munjid fi al-lughoti wa al-a’lam, Bairut: Darulmasyruq, 1998, h.837
a. Mentaati perintah Allah SWT. dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul,
terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup
beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk 'Sunnah beliau.

b. Memelihara pandangan mata, menenteramkan jiwa, memelihara nafsu


seksualitas, menenangkan fikiran, membina kasih sayang serta menjaga
kehormatan dan memelihara kepribadian.

c. Melaksanakan pembangunan materiil dan spirituil dalam kehidupan


keluarga dan rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera
dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa.

d. Memelihara dan membina kualitas dan kuantitas keturunan untuk


mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam
rangka pembinaan mental spirituil dan fisik materiil yang diridlai Allah
Tuhan Yang Maha Esa.

e. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami


dan keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang
aman dan sejahtera lahir batin di bawah naungan Rahmat Allah Subhanahu
Wa Ta'ala.8

2. Landasan Hukum Nikah

Landasan hukum melaksanakan akad pernikahan sebagai berikut: Pada


dasarnya pernikahan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan dianjurkan
oleh Syara'. Beberapa firman Allah yang bertalian dengan disyari'atkannya
pernikahan ialah:

a. Al-Qur’an, banyak ayat yang menjadi dasar untuk istinbat hukum Fiqh
Munakahat, menurut penelitian Muhammad Fuad al-Baaqii dalam kitabnya
al-Mu’jam al-Mufahras li al-faadz al-Qur’an al-kariim bahwa kata nakaha
berikut tashrifnya terdapat di 23 tempat dalam 5 surat yaitu :

8
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, h. 2.
• Al-baqarah ayat 221, 230, 232, 235 dan 237
• An-nisaa’ ayat 3, 6, 22, 25, dan 127 , surat al-Nur ayat 3, 23,32 dan 60
• Al-qoshosh ayat 27,
• Al- Ahzab ayat 50 dan 53
• Al-Mumtahanah ayat 10
Sedangkan kata zawaja berikut tashrifnya terdapat di 81 tempat dalam
41 surat.

b. Al-Hadits, banyak hadits yang menjadikan dasar istinbat hukum fiqh


munakahat, diantaranya :

‫ال َح َّدثَِِن عُ َم َارةُ َع ْن َعْب ِد‬ ِ ِ ِ ‫َحدَّثَنَا عُ َمَر بْ ُن َح ْف‬


ُ ‫ص بْ ِن غيَاث َحدَّثَنَا أَِِب َحدَّثَنَا األ َْع َم‬
َ َ‫ش ق‬
َِّ ‫ال عب ُد‬ َِّ ‫ال دخلْت مع علْ َقمةَ و ْاألَسوِد علَى عب ِد‬ َ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن يَِز‬
‫اَّلل َكنَا َم َع النَِ ِي‬
‫ب‬ َْ َ ‫اَّلل فَ َق‬ َْ َ َ ْ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ‫يد ق‬ َّ

‫اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ََي َم ْع َشَر‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ال لَنَا رسوَل‬ ِ َِّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬ ْ ُ َ َ ‫اَّلل عليه َو َسلَّ َم َشبَ ااًب ََل ََن ُد َشْي ئاا فَ َق‬ َ
‫ص ُن لِْل َف ْرِج َوَم ْن ََلْ يَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَْي ِه‬ ِ ُّ ‫اب من اِستطَاع الْباءةَ فَ ْلي ت زَّوج فَإِنَّه أَ ْغ‬
ْ ‫ص ِر َوأ‬
َ ‫َح‬ َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ ِ َ‫الشب‬ َ

‫ص ْوِم فَإِنَّهُ لَهُ َو َجاء‬


َ ْ‫ًَبل‬
Artinya: “Telah diberitakan kepada kami Ibn Hafash hiyast Ibn Ghiyas
telah diberitakan kepada kami Bapaku telah diberitakan kepada kami al-
A’masy dia berkata telah diberitakan kepada kami Umarah dari
Abdurahman Ibn Yazid ia berkata masuk kepadaku beserta Alqomah dan
Aswad pada Abdullah, Maka Abdullah berkata Kami berserta Nabi SAW
juga pemuda yang tidak menemukan sesuatu maka Rsulullah SAW bersabda
kepada kami: “hai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah
sanggup untuk kawin maka hendaklah ia kawin. Maka kawin itu
menghalangi pandangan (kepada yang di larang oleh agama ) dan lebih
menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak sanggup, hendaklah ia
berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu merupakan perisai baginya.”9

3. Hukum Nikah

Menurut Abdurahman al-Jaziri dalam fiqh ala madzab al-Arba’ah bahwa


hukum nikah dikembalikan ke hukum syarah yang lima yaitu wajib, haram,
sunnah, mubah dan makruh.10 Dibawah ini hukum nikah menurut empat
madzab:
a. Madzab Hanafiyah, mereka berpendapat bahwa hukum nikah itu adalah:
• Fardhu apabila memenehuni empat syarat, yaitu : Pertama, seseorang
menyakini apabila tidak nikah akan terjerumus dalam perbuatan zina,
kedua tidak mampu untuk berpuasa sebagai alat untuk peredah yang
bisa terhindar dari perbuatan zina, Ketiga tidak akan mampu
mengambil umat, juga bebas untuk memilih, keempat mampu
mambayar mahar, dan memberi nafaqah dengan usaha halal.
• Wajib bukan fardhu, apabila bagi seseorang sangat berkeinginan
untuk nikah dan takut jatuh keperbuatan zina, adapun syarat-syaratnya
seperti dalam hukum fardhu
• Sunnah Muakadah adalah apabila bagi seseorang yang berkeinginan
untuk nikah, ia adalah orang yang adil dan menyakini akan terjerumus
dalam perbuatan zina dan tidak takut berbuat zina jika tidak nikah
• Haram apabila diyakini bercari hartanya dengan cara yang haram dan
menazalimi mereka karena di syari’atkannya nikah adalah untuk
kemashlahatan manusia
• Makruh tahrim apabila takut sampainya kedzaliman dan aniaya tapi
tidak menyakininya

9
Muhammad ibn ismail al-Bukhori, Shahih Bukhori, Riyad Dar al-aslam, 1419,juz 12,
h.539. hadis ini juga terdapat di beberapa kitab hadits seperti Shahih muslim, Sunan Al-Darimi,
Sunan ibn Hiban, Sunan al-Nasa’I, Sunan al-thirmidzi.
10
Abdurrahman al-jaziri, Op. cit,juz,4, h.10
• Mubah bagi orang yang menginginkan nikah tetapi tidak kawatir
terjerumus dalam perbuatan zina dan tidak meyakininya namun
malakukan nikah karena kebutuhan syahwat.
b. Madzab Malikiyah
• Fardhu nikah bagi orang yang berkeinginan nikah dan takut bagi
terjerumus dalam perbuatan zina, jika tidak nikah ia tidak mampu
menahan dirinya dengan puasa, walaupun dirinya lemah untuk
mencari rizki yang halal maka difardhukan nikah dengan tiga syarat,
pertama ia takut pada dirinya terjerumus dalam perbuatan zina, kedua
ia tidak kuat untuk berpuasa yang dapat menahan dari perbuatan zina
atau mampu untuk berpuasa tetapi tidak cukup untuk menahan dari
perbuatan zina, ketiga ia lemah untuk mengambil umat yang dapat
memenuhinya.
• Haram nikah bagi orang yang tidak takut terjerumus perbuatan zina
dan lemah untuk memberi nafaqah pada istrinya dari usaha yang halal
atau lemah untuk wathi (hubungan suami istri).
• Sunah nikah bagi orang yang tidak berkeinginan nikah tetapi
mengharapkan keturunan dengan syarat ia mampu melakukan
kewajibannya mencari rizki yang halal dan mampu untuk malakukan
wathi (hubungan suami istri).
• Makruh nikah bagi orang tidak berkeinginan nikah akan tetapi takut
untuk melaksanakn sebagian kewajiban yang dibebankan kepadanya
dan tidak mampu untuk melakukan kebaikan.11
• Mubah nikah bagi orang yang tidak berkeinginan nikah dan tidak
mengharapkan keturunan dan ia mampu serta dapat berbuat baik.
c. Madzab Syafi’iyyah

Menurut madzab syafi’iyyah bahwa hukum asal dari nikah adalah


mubah, maka bagi seseorang dimubahan melakukan pernikahan untuk
tujuan mencari kesenangan dan kenikmatan.

11
Abdurrahman al-jaziri, Op. cit,juz 4, h.10-11
• Wajib nikah untuk tujuan mencegah perbuatan haram seperti seorang
takut pada dirinya terjerumus dalam berbuat dosa tidak bisa dicega
kecuali dengan nikah, maka baginya wajib nikah.
• Makruh nikah bagi seseorang yang takut tidak bisa melaksanakan hak-
hak suami istri seperti seorang yang tidak ingin nikah dan tidak
mampu untuk membayar mahar serta memberi nafaqah.
• Sunah apabila seseorang berkeinginan nikah dan mampu untuk
menanggung biaya hidup.
c. Madzab Hanabilah
• Fardhu nikah bagi orang yang takut terjerumus dalam perbuatan zina
• Haram nikah bagi orang yang berada di daerah peperangan kecuali
dalam kondisi darurat.
• Mubah Jika dalam suatu daerah peperangan kondisinya tidak sulit
untuk melakukan pernikahan
• Sunnah nikah bagi orang yang berkeinginan nikah tapi jika tidak nikah
tidak takut terjerumus dalam perbuatan zina.12

B. Pinangan (Khitbah)
1. Pengertian Pinangan (Khitbah)

Ditinjau dari segi etimologis, Khitbah bersumber dari kosa kata bahasa Arab
ِ yang memiliki arti meminang, yang berasal dari kata dasar
yakni (‫)خطْبَة‬

Khataba (‫ب‬
َ َ‫ ) َخط‬yakni berpidato

Menurut bahasa, meminang atau melamar artinya antara lain adalah


meminta wanita dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut
istilah, peminangan ialah kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki

12
Abdurrahman al-jaziri,Op.cit,juz 4, h.8
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara
yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.13

Ditinjau dari akar kata ini, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan
dengan lamaran atau permintaan untuk nikah.Peminangan merupakan
pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri.

2. Syarat-Syarat Peminangan (Khitbah)

Meminang dimaksudkan untuk mendapatkan atau memperoleh calon istri


yang ideal atau memenuhi syarat menurut syari’at Islam. Selain itu untuk
syarat-syarat wanita yang boleh dipinang terdapat pada pasal 12 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:

a. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih


perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang.

c. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari
pihak wanita.

d. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang


putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang telah
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang

3. Landasan Hukum Pinangan (Khitbah)

Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadis nabi yang
membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan
terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana

13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2009), cet.ke- 2, h. 24
perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam
Al-Qur’an maupun dalam hadis nabi.

Oleh karena itu dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama
yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Berkenaan dengan
landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang menjelaskan bahwa
peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh. Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan oleh perantara
yang dipercaya.

Agama Islam membenarkan bahwa sebelum terjadi perkawinan boleh


diadakan peminangan (khitbah) dimana calon suami boleh melihat calon istri
dalam batas-batas kesopanan Islam yaitu melihat muka dan telapak tangannya,
dengan disaksikan oleh sebagian keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan,
dengan tujuan untuk saling kenal mengenal.

Sebagaimana ulama’ berpendapat bahwa peminang boleh melihat wanita


yang akan dinikahi itu pada bagian-bagian yang dapat menarik perhatian
kepada pernikahan yang akan datang untuk mengekalkan adanya suatu
perkawinan kelak tanpa menimbulkan adanya suatu keragu-raguan atau merasa
tertipu setelah terjadi akad nikah.

Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan boleh


dengan ucapan langsung maupun secara tertulis. Meminang perempuan
sebaiknya dengan sindiran. dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa
melihat wajahnya, juga dapat melihat wanita yang dipinangnya. Dalam hal ini
Al-Qur’an menegaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 235:
ۤ
ِ ِ ْٓ ِ ‫اَو اَ ْكنَ ْن تُم‬
‫ف اَنْ ُفس ُك ْم ۗ َعل َم هي‬
‫اَّللُ اَنَّ ُك ْم‬ ْ ْ ْ ‫ضتُ ْم بِهٖ ِم ْن ِخطْبَ ِة النيِ َسا ِء‬
ْ ‫اح َعلَْي ُك ْم فِْي َما َعَّر‬
َ َ‫َوََل ُجن‬
ِ ‫َستَ ْذ ُك ُرْوََنُ َّن َوهلكِ ْن ََّل تُ َواعِ ُد ْوُه َّن ِسًّرا اََِّلْٓ اَ ْن تَ ُق ْولُْوا قَ ْواَل َّم ْع ُرْوفاا ۗ َوََل تَ ْع ِزُم ْوا عُ ْق َدةَ النيِ َك‬
‫اح َح هيّت يَْب لُ َغ‬

‫اَّللَ غَ ُف ْور َحلِْيم‬


‫اح َذ ُرْوهُ ۚ َو ْاعلَ ُمْْٓوا اَ َّن هي‬
ِ ْٓ ِ ‫الْكِتهب اَجلَهٖ ۗ و ْاعلَمْٓوا اَ َّن هاَّلل ي علَم ما‬
ْ َ‫ف اَنْ ُفس ُك ْم ف‬
ْ َ ُ ْ َ َ‫ي‬ ُْ َ َ ُ
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut- nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf
dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum
habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun”.14

4. Tata Cara Pinangan (Khitbah)


Salah satu hal yang dapat membawa kesegaran bagi kehidupan rumah
tangga sakinah yang akan diliputi rasa kasih sayang dan kebahagiaan ialah
terbukanya kesempatan bagi pria untuk melihat calon istrinya pada waktu
peminangan. Sehingga dapat diketahui kecantikannya yang bisa jadi faktor
menggalakkan dia untuk mempersuntingnya, atau untuk mengetahui cacat-
celanya yang bisa jadi penyebab kegagalannya sehingga berganti mengambil
orang lain.
Melihat wanita yang dipinang itu dianjurkan oleh agama. Tujuannya adalah
supaya laki-laki itu dapat mengetahui keadaan wanita itu sebetulnya, tidak
hanya mendengar dari orang lain.
Mengenai bagian tubuh mana saja yang boleh dilihat oleh peminang pada
saat peminangan tidak diterangkan secara jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun
dalam hadits, oleh karena itu ada beberapa pendapat yang berbeda dikalangan
para ulama fiqh:
a. Sebagian besar ulama fuqoha berpendapat bahwa laki-laki yang
meminang seorang wanita hanya boleh melihat muka dan telapak
tangannya saja. Karena dengan melihat muka dapat dilihat cantik

14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV. Asy Syifa’), h.22
tidaknya orang itu, sedangkan dari telapak tangannya dapat diketahui
subur atau tidaknya wanita itu.
b. Imam Daud dan para ulama dari mazhab dhahiri berpendapat bahwa laki-
laki yang meminang seorang wanita boleh melihat seluruh bagian
tubuhnya.15 Namun dalam melihat seluruh tubuhnya mazhab dhahiri
berpendapat dengan melihat seluruh tubuhnya harus satu muhrim atau
melalui perantara.

C. Mahar
1. Defenisi Dan Hukum Mahar
Mahar dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata maskawin. Mahar
dalam bahasa Arabnya adalah shadaq, yang diambil dari kata “ ash-Shidqu”
yang juga diartikan sebagai kesungguhan atau kebenaran.16 Menurut Hamka
kata mahar, maskwain, sadaq atau saduqat berasal dari rumpun kata “sidiq,dan
juga sadaq” bercabang juga dengan kata sahadaqah yang berarti pemberian.
Arti yang mendalam dari makna maskawin itu ialah laksana cap atau stempel,
bahwa nikah itu telah di materaikan.
Sedangkan secara istilah mahar ialah pemberian wajib dari calon suami
untuk memuliakan calon istrinya. Dan mahar ini nantinya akan menjadi hak
mutlak bagi istri dikarenakan suami tersebut benar-benar ingin menikahi istri
yang diinginkannya. Jumlah dan bentuk mahar disepakati berdua karena
pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Mahar ini menjadi lambang
penghalalan hubungan suami istri dan tanggung jawab suami terhadap istri.17
Sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT:

15
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992)
h. 27
16
Nurhayati Zein, Fikih Munakahat, (Pekanbaru: Cv Mutiara Pesisir Sumatera. 2015), h
53.
17
Ibid., h 53-54.
‫سا فَ ُكلُ ْوهُ َه ِّن ۤ ْيـًٔا‬
ً ‫ش ْيءٍ ِّم ْنهُ َن ْف‬
َ ‫ع ْن‬ َ ‫س ۤا َء‬
َ ‫صد ُٰق ِّت ِّه َّن نِّحْ لَةً ۗ فَا ِّْن ِّطبْنَ لَ ُك ْم‬ ِّ ‫َو ٰاتُوا‬
َ ‫الن‬
‫َّم ِّر ۤ ْيـًٔا‬
Artinya : “ Dan berikanlah maskawin(mahar) kepada perempuan ( yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati,
maka terimalah dan nimatilah pemberian itu dengan senang hati”. (Qs An-
Nisa:4)

Pernikahan tidak sah apabila tidak disertai dengan pemberian mahar.


Hukumnya adalah wajib, walaupun kedua pasangan sepakat untuk tidak
memberikan mahar. Pemberian ini sebagai pertanda dimulainya kehidupan
berumah tangga. Hadis yang menjadi dasar hukum mahar diriwayatkan oleh
banyak perawi hadits, salah satunya oleh Imam Bukhari yang artinya:

“Menceritakan kepadaku Hasan Ibn Ali Al-Khallal, mengkhabarkan


kepadaku Ishaq Ibn Isa dan Abdullah Ibn Nafi’ Al-Soigh, Nafi’ berkata:
memberi kabar kepadaku Malik Ibn Anas dari Abi Hazim Ibn Dinar dari Sahal
Ibn Sa’di As-Sa’idi: Bahwasanya Rasulallah pernah didatangi seorang
perempuan, lalu perempuan itu berkata: Ya Rasulallah, sesungguhnya aku
menyerahkan diriku untukmu, lalu perempuan itu berdiri lama, seorang
laki-laki berkata: Ya Rasulallah, kawinkanlah aku dengannya jika engkau
sendiri tidak berhajat kepadanya, kemudian Rasulallah bertanya: Apakah
engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau pergunakan sebagai mahar
untuknya?‛ Ia menjawab: aku tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini,
lalu Nabi bersabda, jika engkau berikan pakaianmu itu kepadanya maka
engkau tidak berpakaian lagi, maka carilah sesuatu yang lain, Ia berkata,
aku tidak mendapatkan sesuatu-pun. Rasulullah berkata, Carilah walau
cincin dari besi. Ia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa.
Lalu Rasulallah berkata lagi, Apakah kamu menghafal Alquran? Laki-laki
itu menjawab, Ya surat ini dan itu sambil menyebutkan surat yang
dihafalnya. Nabi bersabda, ‚sungguh aku telah menikahkan engkau dengan
apa yang engkau miliki dari Alquran”.

Hadis di atas di latar belakangi oleh seorang wanita yang datang pada Nabi
Muhammad SAW dan menghibahkan dirinya kepada Nabi untuk dinikahi.
Menurut al-Hafidz wanita itu adalah putrinya Thalla’ namanya Haulah.
Menurut riwayat fadlil Ibn Saliman wanita itu mendatangi Rasulallah ketika
beliau duduk di sebuah majlis. Wanita itu menghibahkan dirinya tanpa
meminta mahar namun para ulama berbeda pendapat ada sebagian ulama yang
mengatakan bahwa wanita itu menghibahkan dirinya tanpa mahar hanya untuk
Rasulallah Saw, ketika akad maharnya hanya dengan lafal hibbah.

Hadis di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit.


Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau
meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andai kata mahar itu tidak wajib
tentu Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya
yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah
meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajiban.

2. Syarat- Syarat Mahar


a. Sesuatu yang berharga

Mahar tidak diwajibkan dengan harga mahal, tetapi merupakan barang


yang bernilai dimata istrinya. Contohnya adalah uang, pakaian, tanah, dll.
Tidak sah jika jumlahnya sedikit sehingga tidak ada nilainya, seperti biji-
bijian, dan tidak ada batasan dalam jumlah banyak dan jumlah sedikitnya
dan apabila dikawinkannya dengan mahar yang sedikit seperti segenggam
makanan dari gandum atau tepung, maka yang demikian itu tidak sah, tetapi
disunnahkan mahar itu tidak kurang dari dari 10 Dirham.

Walaupun dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW bersabda: “ Sebaik-baiknya


wanita yaitu yang mempermudah mahar diantara mereka”.18 Pernah

18
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2002), h. 173
dicontohkan oleh Rasulallah SAW, dalam hadits yang diriwayatkan dari
Abu Salamah bin Abdurrahman, yang bertanya kepada Aisyah tentang
jumlah mahar Rasulallah SAW untuk istri-istrinya, Aisyah r.a menjawab:

Artinya: “ Mahar beliau untuk istri-istrinya adalah dua belas Uqiyyah


dan satu Nasy. Tahukah engkau apa itu Nasy? Abu Salamah menjawab:
“Tidak”, Aisyah berkata, Nasy adalah setengah Uquyyah. Maka semuanya
berjumlah lima ratus Auqiyah. Itulah mahar Rasulallah SAW. untuk istri-
istrinya. (HR. Muslim) 19

Dan Syaikh Islam rahimahullah berkata: “Sunnahnya yaitu meringankan


mahar, dangar tidak lebih dari istri-istri Nabi SAW dan anak perempuan
beliau.” Telah diriwayatkan oleh Aisyah RA, dari Nabi SAW, beliau
bersabda:

ٌ‫س َر هُن َم ُؤنَة‬


َ ‫ظ َم النِساءِ بَ َر َكةٌ أ َ ْي‬
َ ‫اِن أ َ ْع‬

“ Sesungguhnya wanita yang paling besar mendapatkan berkah, yaitu


yang paling pemurah diantara mereka.”

Dan juga telah dijelaskan sebelumya dari Umar RA, bahwa “ mahar
putri-putri Rasulallah SAW sebesar itu jumlahnya. Barangsiapa
memberikan mahar melebihi mahar Putri-putri Rasulallah, padahal beliau
adalah wanita-wanita yang paling sempurna di muka bumi, serta sebaik-
baiknya ciptaan Allah, maka ia termasuk orang yang bodoh dan dungu”.20

b. Barang yang suci dan bermanfaat

Mahar tidak boleh menggunakan barang yang tidak suci atau haram,
seperti menjadikan barang curian .Maka tidak sah mahar dengan
khamar,babi, darah, bangkai, karena barang-barng ini tidak ada manfaatnya
dalam pandangan syariat islamiyah. Manfaat dari mahar harus diperlu

19
Nurhayati Zein, Fikih Munakahat, (Pekanbaru: CV Mutiara Pesisir Sumatera. 2015), h.
55.

20
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2002), h. 175.
diperhatikan, apabila mahar yang diberikan tidak ada manfaatnya, maka
barang tersebut tidak sah digunakan sebagai mahar.21

c. Bukan barang hasil ghasab

d. Barang yang jelas keadaanya

3. Macam-Macam Mahar
a. Mahar musamma
Yaitu mahar yang telah disetujui oleh kedua pihak serta disebutkan atau
dijanjikan bentuk, kadar, jumlah, dan besarnya ketika pelaksanaan akad
nikah. Seperti menjadikan “ seperangkat alat sholat dan sebuah Al-Quran”
sebagai mahar pada pernikahan tersebut.22
b. Mahar mitsli
Yaitu mahar yang telah disetujui oleh kedua pihak tetapi tidak disebutkan
bentuk, kadar, jumlah, dan besarnya ketika pelaksanaan akad nikah. Mahar
ini dinilai dan disamakan dengan mahar orang-orang terdahulu, yaitu
kebiasaan mahar yang diterima atau yang diberikan oleh pihak keluarganya.
Apabila kebiasaan keluarga terdahulu menerima” seperangkat pakaian
dan perhiasan wanita” sebagai mahar pada pernikahan mereka, maka mahar
tersebut tidak disebut lagi dalam akad, tetapi cukup dengan menyebutkan “
mahar mitsli”.23 Apabila dilihat dari kapan waktu pembayaran mahar, maka
suami dapat memilih antara dua waktu yang dibenarkan:
• Mahar yang dibayar lunas atau tunai
Ketika melafalkan ijab qabul, dijelaskan jumlah dan bentuk mahar
yang akan dibayar secara tunai /langsung. Suami berkewajiban untuk
membayar mahar yang dibayar tunai kepada istri sebelum melakukan
jima’. Apabila istri belum memdapatkan mahar yang akan dibayar

21
Nurhayati Zein, Fikih Munakahat, (Pekanbaru: CV Mutiara Pesisir Sumatera. 2015), h.
56.
22
Ibid., h. 58.
23
Ibid., h. 58-59.
tunai tersebut dari suami, maka istri berhak dan boleh untuk menolak
jima’.
• Mahar dibayar hutang/ ditunda
Perjanjian dan kesepakatan keduah belah pihakn sangat penting
apabila mahar yang akan diberikan kepada istri adalah mahar dibayar
tunda.suami istri boleh melakukan jima’, meskipun maharnya boleh
ditunaikan, apabila sesuai dengan perjanjian dan terpenuhinya syarat
berikut:
o Waktu pembayaran mahar jelas dan pasti, seperti sampai”
tangal…,bulan…,tahun…”
o Waktu yang disepakati tidak boleh terlalu lama, karena mahar
merupakan lambing penghalalan hubungan suami istri dan
tanggung jawab suami kepada istri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata, zawaj. Dalam Kamus al-

Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikâh ( ‫ ) النكاح‬dan az-ziwâj/az-zawj

atau az-zîjah (‫الزجيه‬- ‫ الزواج‬-‫)الزواج‬. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u ( ‫الوطء‬

), adh-dhammu ( ‫) الضم‬, dan al-jam’u ( ‫) اجلمع‬. Al-wath'u berasal dari kata

wathi'a - yatha'u - wath'an ( ‫وطأ‬-‫يطأ‬-‫وطأ‬ ) artinya berjalan di atas, melalui,

memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau


bersenggama.

Dalam pasal 1 Bab I Undang-undang No. : 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari


1974 dinyatakan; "Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut bahasa, meminang atau melamar artinya antara lain adalah meminta
wanita dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut istilah,
peminangan ialah kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum
berlaku ditengah-tengah masyarakat
Mahar dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata maskawin. Mahar dalam
bahasa Arabnya adalah shadaq, yang diambil dari kata “ ash-Shidqu” yang juga
diartikan sebagai kesungguhan atau kebenaran. Menurut Hamka kata mahar,
maskwain, sadaq atau saduqat berasal dari rumpun kata “sidiq,dan juga sadaq”
bercabang juga dengan kata sahadaqah yang berarti pemberian. Arti yang
mendalam dari makna maskawin itu ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah
itu telah di materaikan.

Sedangkan secara istilah mahar ialah pemberian wajib dari calon suami untuk
memuliakan calon istrinya. Dan mahar ini nantinya akan menjadi hak mutlak
bagi istri dikarenakan suami tersebut benar-benar ingin menikahi istri yang
diinginkannya. Jumlah dan bentuk mahar disepakati berdua karena pemberian itu
harus dilakukan dengan ikhlas.

B. Saran

Dengan tesusunnya makalah ini, dapat kita ketahui bahwasanya pernikahan,


khiitbah dan mahar adalah perkara yang perlu dipelajari dan di dalami dengan
baik. Maka dari itu, mari kita memperbanyak literatur untuk menambah wawasan
dan pengetahuan mengenai perkara-perkara ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Taimiyah. 2002. Majmu Fatawa tentang Nikah. Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam.
Zein Nurhayati. 2015. Fiqih Munakahat. Pekanbaru : CV Mutiara Pesisir
Sumatera.
Kosim. 2019. Fikih Munakahat. Depok: PT Rajagranindo Persada.
Ahmad Azhar Basyir. 2004. Hukum Pernikahan Islam. Yogyakarta: UII Press.

Ahmad Warson Al-Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia


Terlengkap.
Yogyakarta : Pustaka Progressif.

Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Abdulqodir Al-Razi.1995. Mukhtar Al-shiyak.


Bairut: Maktabah
Libanon Nasyirun.

Mahmud Yunus. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Hidayakarya


Agungh. Bairut: Darulmasyruq, 1998.

Zahry Hamid. 1978. Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang


Pernikahan di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta.

Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada..

Anda mungkin juga menyukai