MUNAKAHAT/PERNIKAHAN
Dosen Pengampu :
Disusun oleh:
Anisa : 12230220609
Anisa : 12230220722
2022/2022
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Telah maklum diketahui, agama islam datang dimuka bumi tidak hanya
mengatur terkait urusannya dengan Allah, akan tetapi juga mengatur berbagai
hal terkait urusan-urusannya didunia untuk mencapai maslahat didunia dan
akhirat, kekurangan pada salah satunya mengakibatkan kekurangan pada sisi
yang lain.
Sebagaimana telah dirumuskan oleh para ulama, syariat islam memiliki lima
tujuan utama, yakni menjaga agama, jiwa/diri, keturunan/kehormatan, akal dan
harta. Kita akan jumpai dalam khazanah hukum islam, bahwa siapapun yang
melanggar secara langsung lima perkara utama yang dilindungi syariat tersebut
akan mendapat hukuman yang cukup berat. Misalnya orang yang murtad
terancam dibunuh, yang membunuh terancam qishash, yang berzina terancam
dirajam, orang yang mencuri akan dipotong tangannya dan seterusnya.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan di bentuknya makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tatacara dan ketentuan pelaksanaan khitbah?
2. Bagaimana hukum dan ketentuan penunaian mahar?
3. Bagaimana penjelasan para mufassir dan fuqaha dalam permasalahan ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pernikahan (Munakahat)
1. Pengertian Nikah
Hukum pernikahan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam sebab
hukum pernikahan mengatur tata-cara kehidupan keluarga yang merupakan inti
kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Hukum pernikahan
merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan
sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasul.1
Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata, zawaj. Dalam Kamus al-
atau az-zîjah (الزجيه- الزواج -)الزواج. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u (
1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 1-2.
2
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1997, h. 1461.
3
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h.
72.
Kitab Fath al-Qarib yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-
Ghazzi menerangkan pula tentang masalah hukum-hukum pernikahan di
antaranya dijelaskan kata nikah diucapkan menurut makna bahasanya yaitu
kumpul, wattî, jimak dan akad. Adapun diucapkan menurut pengertian syara’
yaitu suatu akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.4
Fiqh munakahat terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Munakahat. Fiqh Al-
fiqh secara bahasa adalah al-fahmu (faham yang mendalam). Alfiqh diartikan
juga sebagai pengetahuan terhadap sesuatu dan memahaminya secara
4
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Indonesia: Maktabah al-lhya at-
Kutub al-Arabiyah, tth, h. 48.
5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (INPRES No 1 Tahun
1991), pernikahan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Lihat Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Surabaya: Arkola, 1977, h. 76.
mendalam, Al-fiqh pada umumnya pengetahuan tentang ilmu agama karena
keagungannya, kemuliaannya, dan keutamaannya diatas segala macam
pengetahuan, menurut Ibn Al-Astir bahwa kebiasaan dijadikannya khusus
untuk ilmu syari'ah karena Allah swt memuliakannya dan dikhususkan dari
padanya bagi ilmu furu'.
Menurut pendapat lain bahwa asal arti Al-fiqh adalah Al-fahm (faham yang
mendalam). Dikatakan bahwa fulan diberikan pemahaman terhadap ilmu
agama artinya faham secara mendalam. Allah Azza Wajalla berfirman supaya
mereka memahami dalam masalah agama, artinya supaya mereka menjadi
ulama pada bidang agama dan maka Allah memahamkan, dan Nabi mendoakan
bagi Ibn Abbas, maka beliau bersabda: Berilah dia ilmu agama dan berilah dia
fiqh dalam masalah takwil artinya fahamkan dia pada takwilnya dan
maknanya, kemudian Allah mengabulkan doanya dan keberadaannya (Ibnu
Abas) orang yang paling alim kitabullah pada zamannya. Dan fiqh artinya
seorang mengetahui.6
6
Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Abdulqodir Al-Razi, Mukhtar Al-shiyakh, Bairut:
Maktabah Libanon Nasyirun, 1995, juz. 1.203, ibn Mandzur Muhammad Ibn Makrum Al-Afriki
Al-misri, Lisan Al-Arab, Darushodir, t.t, 13, h. 522
7
Mahmud Yunus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1990),
h. 467, Luwis Ma’luf , Al-Munjid fi al-lughoti wa al-a’lam, Bairut: Darulmasyruq, 1998, h.837
a. Mentaati perintah Allah SWT. dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul,
terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW., karena hidup
beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk 'Sunnah beliau.
a. Al-Qur’an, banyak ayat yang menjadi dasar untuk istinbat hukum Fiqh
Munakahat, menurut penelitian Muhammad Fuad al-Baaqii dalam kitabnya
al-Mu’jam al-Mufahras li al-faadz al-Qur’an al-kariim bahwa kata nakaha
berikut tashrifnya terdapat di 23 tempat dalam 5 surat yaitu :
8
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, h. 2.
• Al-baqarah ayat 221, 230, 232, 235 dan 237
• An-nisaa’ ayat 3, 6, 22, 25, dan 127 , surat al-Nur ayat 3, 23,32 dan 60
• Al-qoshosh ayat 27,
• Al- Ahzab ayat 50 dan 53
• Al-Mumtahanah ayat 10
Sedangkan kata zawaja berikut tashrifnya terdapat di 81 tempat dalam
41 surat.
3. Hukum Nikah
9
Muhammad ibn ismail al-Bukhori, Shahih Bukhori, Riyad Dar al-aslam, 1419,juz 12,
h.539. hadis ini juga terdapat di beberapa kitab hadits seperti Shahih muslim, Sunan Al-Darimi,
Sunan ibn Hiban, Sunan al-Nasa’I, Sunan al-thirmidzi.
10
Abdurrahman al-jaziri, Op. cit,juz,4, h.10
• Mubah bagi orang yang menginginkan nikah tetapi tidak kawatir
terjerumus dalam perbuatan zina dan tidak meyakininya namun
malakukan nikah karena kebutuhan syahwat.
b. Madzab Malikiyah
• Fardhu nikah bagi orang yang berkeinginan nikah dan takut bagi
terjerumus dalam perbuatan zina, jika tidak nikah ia tidak mampu
menahan dirinya dengan puasa, walaupun dirinya lemah untuk
mencari rizki yang halal maka difardhukan nikah dengan tiga syarat,
pertama ia takut pada dirinya terjerumus dalam perbuatan zina, kedua
ia tidak kuat untuk berpuasa yang dapat menahan dari perbuatan zina
atau mampu untuk berpuasa tetapi tidak cukup untuk menahan dari
perbuatan zina, ketiga ia lemah untuk mengambil umat yang dapat
memenuhinya.
• Haram nikah bagi orang yang tidak takut terjerumus perbuatan zina
dan lemah untuk memberi nafaqah pada istrinya dari usaha yang halal
atau lemah untuk wathi (hubungan suami istri).
• Sunah nikah bagi orang yang tidak berkeinginan nikah tetapi
mengharapkan keturunan dengan syarat ia mampu melakukan
kewajibannya mencari rizki yang halal dan mampu untuk malakukan
wathi (hubungan suami istri).
• Makruh nikah bagi orang tidak berkeinginan nikah akan tetapi takut
untuk melaksanakn sebagian kewajiban yang dibebankan kepadanya
dan tidak mampu untuk melakukan kebaikan.11
• Mubah nikah bagi orang yang tidak berkeinginan nikah dan tidak
mengharapkan keturunan dan ia mampu serta dapat berbuat baik.
c. Madzab Syafi’iyyah
11
Abdurrahman al-jaziri, Op. cit,juz 4, h.10-11
• Wajib nikah untuk tujuan mencegah perbuatan haram seperti seorang
takut pada dirinya terjerumus dalam berbuat dosa tidak bisa dicega
kecuali dengan nikah, maka baginya wajib nikah.
• Makruh nikah bagi seseorang yang takut tidak bisa melaksanakan hak-
hak suami istri seperti seorang yang tidak ingin nikah dan tidak
mampu untuk membayar mahar serta memberi nafaqah.
• Sunah apabila seseorang berkeinginan nikah dan mampu untuk
menanggung biaya hidup.
c. Madzab Hanabilah
• Fardhu nikah bagi orang yang takut terjerumus dalam perbuatan zina
• Haram nikah bagi orang yang berada di daerah peperangan kecuali
dalam kondisi darurat.
• Mubah Jika dalam suatu daerah peperangan kondisinya tidak sulit
untuk melakukan pernikahan
• Sunnah nikah bagi orang yang berkeinginan nikah tapi jika tidak nikah
tidak takut terjerumus dalam perbuatan zina.12
B. Pinangan (Khitbah)
1. Pengertian Pinangan (Khitbah)
Ditinjau dari segi etimologis, Khitbah bersumber dari kosa kata bahasa Arab
ِ yang memiliki arti meminang, yang berasal dari kata dasar
yakni ()خطْبَة
Khataba (ب
َ َ ) َخطyakni berpidato
12
Abdurrahman al-jaziri,Op.cit,juz 4, h.8
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara
yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.13
Ditinjau dari akar kata ini, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan
dengan lamaran atau permintaan untuk nikah.Peminangan merupakan
pendahuluan perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri.
b. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj’iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang.
c. Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang orang lain
selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari
pihak wanita.
Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadis nabi yang
membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan
terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana
13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2009), cet.ke- 2, h. 24
perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam
Al-Qur’an maupun dalam hadis nabi.
Oleh karena itu dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama
yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Berkenaan dengan
landasan hukum dari peminangan, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang menjelaskan bahwa
peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari
pasangan jodoh. Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan oleh perantara
yang dipercaya.
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV. Asy Syifa’), h.22
tidaknya orang itu, sedangkan dari telapak tangannya dapat diketahui
subur atau tidaknya wanita itu.
b. Imam Daud dan para ulama dari mazhab dhahiri berpendapat bahwa laki-
laki yang meminang seorang wanita boleh melihat seluruh bagian
tubuhnya.15 Namun dalam melihat seluruh tubuhnya mazhab dhahiri
berpendapat dengan melihat seluruh tubuhnya harus satu muhrim atau
melalui perantara.
C. Mahar
1. Defenisi Dan Hukum Mahar
Mahar dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata maskawin. Mahar
dalam bahasa Arabnya adalah shadaq, yang diambil dari kata “ ash-Shidqu”
yang juga diartikan sebagai kesungguhan atau kebenaran.16 Menurut Hamka
kata mahar, maskwain, sadaq atau saduqat berasal dari rumpun kata “sidiq,dan
juga sadaq” bercabang juga dengan kata sahadaqah yang berarti pemberian.
Arti yang mendalam dari makna maskawin itu ialah laksana cap atau stempel,
bahwa nikah itu telah di materaikan.
Sedangkan secara istilah mahar ialah pemberian wajib dari calon suami
untuk memuliakan calon istrinya. Dan mahar ini nantinya akan menjadi hak
mutlak bagi istri dikarenakan suami tersebut benar-benar ingin menikahi istri
yang diinginkannya. Jumlah dan bentuk mahar disepakati berdua karena
pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Mahar ini menjadi lambang
penghalalan hubungan suami istri dan tanggung jawab suami terhadap istri.17
Sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT:
15
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1992)
h. 27
16
Nurhayati Zein, Fikih Munakahat, (Pekanbaru: Cv Mutiara Pesisir Sumatera. 2015), h
53.
17
Ibid., h 53-54.
سا فَ ُكلُ ْوهُ َه ِّن ۤ ْيـًٔا
ً ش ْيءٍ ِّم ْنهُ َن ْف
َ ع ْن َ س ۤا َء
َ صد ُٰق ِّت ِّه َّن نِّحْ لَةً ۗ فَا ِّْن ِّطبْنَ لَ ُك ْم ِّ َو ٰاتُوا
َ الن
َّم ِّر ۤ ْيـًٔا
Artinya : “ Dan berikanlah maskawin(mahar) kepada perempuan ( yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati,
maka terimalah dan nimatilah pemberian itu dengan senang hati”. (Qs An-
Nisa:4)
Hadis di atas di latar belakangi oleh seorang wanita yang datang pada Nabi
Muhammad SAW dan menghibahkan dirinya kepada Nabi untuk dinikahi.
Menurut al-Hafidz wanita itu adalah putrinya Thalla’ namanya Haulah.
Menurut riwayat fadlil Ibn Saliman wanita itu mendatangi Rasulallah ketika
beliau duduk di sebuah majlis. Wanita itu menghibahkan dirinya tanpa
meminta mahar namun para ulama berbeda pendapat ada sebagian ulama yang
mengatakan bahwa wanita itu menghibahkan dirinya tanpa mahar hanya untuk
Rasulallah Saw, ketika akad maharnya hanya dengan lafal hibbah.
18
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2002), h. 173
dicontohkan oleh Rasulallah SAW, dalam hadits yang diriwayatkan dari
Abu Salamah bin Abdurrahman, yang bertanya kepada Aisyah tentang
jumlah mahar Rasulallah SAW untuk istri-istrinya, Aisyah r.a menjawab:
Dan juga telah dijelaskan sebelumya dari Umar RA, bahwa “ mahar
putri-putri Rasulallah SAW sebesar itu jumlahnya. Barangsiapa
memberikan mahar melebihi mahar Putri-putri Rasulallah, padahal beliau
adalah wanita-wanita yang paling sempurna di muka bumi, serta sebaik-
baiknya ciptaan Allah, maka ia termasuk orang yang bodoh dan dungu”.20
Mahar tidak boleh menggunakan barang yang tidak suci atau haram,
seperti menjadikan barang curian .Maka tidak sah mahar dengan
khamar,babi, darah, bangkai, karena barang-barng ini tidak ada manfaatnya
dalam pandangan syariat islamiyah. Manfaat dari mahar harus diperlu
19
Nurhayati Zein, Fikih Munakahat, (Pekanbaru: CV Mutiara Pesisir Sumatera. 2015), h.
55.
20
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2002), h. 175.
diperhatikan, apabila mahar yang diberikan tidak ada manfaatnya, maka
barang tersebut tidak sah digunakan sebagai mahar.21
3. Macam-Macam Mahar
a. Mahar musamma
Yaitu mahar yang telah disetujui oleh kedua pihak serta disebutkan atau
dijanjikan bentuk, kadar, jumlah, dan besarnya ketika pelaksanaan akad
nikah. Seperti menjadikan “ seperangkat alat sholat dan sebuah Al-Quran”
sebagai mahar pada pernikahan tersebut.22
b. Mahar mitsli
Yaitu mahar yang telah disetujui oleh kedua pihak tetapi tidak disebutkan
bentuk, kadar, jumlah, dan besarnya ketika pelaksanaan akad nikah. Mahar
ini dinilai dan disamakan dengan mahar orang-orang terdahulu, yaitu
kebiasaan mahar yang diterima atau yang diberikan oleh pihak keluarganya.
Apabila kebiasaan keluarga terdahulu menerima” seperangkat pakaian
dan perhiasan wanita” sebagai mahar pada pernikahan mereka, maka mahar
tersebut tidak disebut lagi dalam akad, tetapi cukup dengan menyebutkan “
mahar mitsli”.23 Apabila dilihat dari kapan waktu pembayaran mahar, maka
suami dapat memilih antara dua waktu yang dibenarkan:
• Mahar yang dibayar lunas atau tunai
Ketika melafalkan ijab qabul, dijelaskan jumlah dan bentuk mahar
yang akan dibayar secara tunai /langsung. Suami berkewajiban untuk
membayar mahar yang dibayar tunai kepada istri sebelum melakukan
jima’. Apabila istri belum memdapatkan mahar yang akan dibayar
21
Nurhayati Zein, Fikih Munakahat, (Pekanbaru: CV Mutiara Pesisir Sumatera. 2015), h.
56.
22
Ibid., h. 58.
23
Ibid., h. 58-59.
tunai tersebut dari suami, maka istri berhak dan boleh untuk menolak
jima’.
• Mahar dibayar hutang/ ditunda
Perjanjian dan kesepakatan keduah belah pihakn sangat penting
apabila mahar yang akan diberikan kepada istri adalah mahar dibayar
tunda.suami istri boleh melakukan jima’, meskipun maharnya boleh
ditunaikan, apabila sesuai dengan perjanjian dan terpenuhinya syarat
berikut:
o Waktu pembayaran mahar jelas dan pasti, seperti sampai”
tangal…,bulan…,tahun…”
o Waktu yang disepakati tidak boleh terlalu lama, karena mahar
merupakan lambing penghalalan hubungan suami istri dan
tanggung jawab suami kepada istri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata, zawaj. Dalam Kamus al-
atau az-zîjah (الزجيه- الزواج-)الزواج. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u ( الوطء
Sedangkan secara istilah mahar ialah pemberian wajib dari calon suami untuk
memuliakan calon istrinya. Dan mahar ini nantinya akan menjadi hak mutlak
bagi istri dikarenakan suami tersebut benar-benar ingin menikahi istri yang
diinginkannya. Jumlah dan bentuk mahar disepakati berdua karena pemberian itu
harus dilakukan dengan ikhlas.
B. Saran
Ibnu Taimiyah. 2002. Majmu Fatawa tentang Nikah. Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam.
Zein Nurhayati. 2015. Fiqih Munakahat. Pekanbaru : CV Mutiara Pesisir
Sumatera.
Kosim. 2019. Fikih Munakahat. Depok: PT Rajagranindo Persada.
Ahmad Azhar Basyir. 2004. Hukum Pernikahan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada..