Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH THAHARAH

Dosen pengampu

SITI MAHMADATUN, S.SY.,M.H

Penulis

ADEK AHMAD DONI

AGUNG PRATAMA

AHMAD FADIL MUZAKI

FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
TAHUN AJARAN 2022/2023

0
KATA PENGATAR

Alhamdulillah puji syukur marilah kita serahkan kepada allah swt, yang
telah memberikan kesempatan kepada kita semua,untuk dapat hadir
mendengarkan dan menyimak makalah yang akan sampaikan.yang di berikan oleh
bapak dosen dalam rangka menambah ilmu dan wawasan kami.

Kemudian bersholawat kita kepada jujungan kita yakni nabi muhammad


shallallahu alaihi wa salam,yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan
menuju zaman penuh dengan ilmu pengetahuan ini.

Ucapan terimaksih kepada bapak dosen pengampu pada mata kuliah Fiqih
yang telah memberikan bimbingan serta arhan sehingga dapat menyelesaikan
makalah dengan judul konsep thaharah, najis, istinja’, wudhu’, mandi, dan
tayammum.

Adapun dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak kekurangan dan


jauh dari kesempurnaan,oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bermanfaat bagi kita semua.

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani


selain rohani. Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim
selalu bersuci sebelum mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada
hakikatnya tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau
debu yang menempel di badan sehinggasecara sadar atau tidak sengaja
membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.

Namun, yang terjadi sekarang adalah, banyak umat muslim hanya tahu
saja bahwa bersuci itu sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan
rukun-rukun bersuci lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau istilah dalam istilah
Islam yaitu “Thaharah”mempunyai makna yang luas tidak hanya berwudhu saja.

B. RUMUSAN MASALAH

1.Jelaskan pengertian thaharah?

2.Jelaskan ketentuan tentang thaharah ?

3.Jelaskan macam-macam najis dan ukuran najis?

4.Jelaskan arti, alat-alat, syarat-syarat,dan hal-hal yang disunnahkan istinja’

5.Jelaskan Tentang wudhu, mandi, dan tayamum?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan makalah ini agar pemateri dan pembaca dapat memahami
pengertian thaharah, ketentuan thaharah, alat-alat bersuci, macam-macam najis
dan tata cara mensucikannya, penjelasan dari istinja’ dan adab buang air besar,
serta mempraktekan cara wudhu, mandi, dan tayamum dengan benar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. THAHARAH

Thaharah menurut arti bahasa adalah bersih dan suci dari kotoran atau
najis hissi (yang dapat terlihat) seperti kencing atau lainnya, dan najis ma'nawi
(yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan maksiat. Adapun menurut istilah
syara', thaharah ialah bersih dari najis baik najis haqiqi, yaitu khabats
(kotoran) atau najis hukmi, yaitu hadats1. Khabats ialah sesuatu yang kotor
menurut syara'. Adapun hadats ialah sifat syara' yang melekat pada anggota
tubuh dan ia dapat menghilangkan thaharah (kesucian). Imam an-Nawawi
mendefinisikan thaharah sebagai kegiatan mengangkat hadats atau
menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua kegiatan itu, dari segi
bentuk atau maknanya. Tambahan di akhir definisi yang dibuat oleh ulama
Madzhab Hanafi bertujuan supaya hukum-hukum berikut dapat tercakup,
yaitu tayamum, mandi sunnah, memperbarui wudhu, membasuh yang kedua
dan ketiga dalam hadats dan najis, mengusap telinga, berkumur, dan
kesunnahan thaharah, thaharah wanita mustahadhah, dan orang yang
mengidap kencing berterusan.

Definisi yang dibuat oleh ulama Madzhab Maliki dan Hambali adalah
sama dengan definisi ulama Madzhab Hanafi. Mereka mengatakan bahwa
thaharah adalah menghilangkan apa yang menghalangi shalat, yaitu hadats
atau najis dengan menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan
tanah. Secara bahasa, thaharah artinya membersihkan kotoran, baik kotoran
yang berwujud maupun kotoran yang tidak berwujud.Adapun secara istilah,
thaharah artinya menghilangkan hadats, najis, dan kotoran dengan air atau
tanah yang bersih. Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran

1
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 5. terj. Abdul Hayyie Jakarta: Gema
Insani.

3
yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah
lain.

Dan adapun air yang di gunakan untuk thaharah(Bersuci) itu ada 7 macam
air yaitu :

1.Air langit(maksudnya yang turun dari langit)


2.Air laut
3.Air sungai
4.Air sumur
5. Air mata air

6.Air salju
7.Air es
Dari definisi di atas, maka thaharah dapat dibagai menjadi dua ienis, yaitu
thaharah hadats (menyucikan hadats) dan thaharah khabats [menyucikan
kotoran). Menyucikan hadats adalah khusus pada badan. Adapun menyucikan
kotoran adalah merangkumi badan, pakaian, dan tempat. Menyucikan hadats
terbagi kepada tiga macam, yaitu hadats besar dengan cara mandi,
menyucikan hadats kecil dengan cara wudhu, dan ketiga adalah bersuci
sebagai ganti kedua jenis cara bersuci di atas, apabila memang tidak dapat
dilakukan karena ada udzur yaitu tayamum. Menyucikan kotoran (khabats)
juga dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu membasuh, mengusap, dan
memercikkan.

Oleh sebab itu, thaharah mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis,


tayamum, dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya. Menurut
kedokteran, cara yang paling baik untuk mengobati penyakit berjangkit dan
penyakit-penyakit lain ialah dengan cara menjaga kebersihan. Menjaga
kebersihan adalah suatu Iangkah untuk mengantisipasi diri dari terkena
penyakit. Sesungguhnya antisipasi lebih baik daripada mengobati.

4
Allah swt memuji orang-orang yang suka bersuci (mutathahhirin), berdasarkan
firman-Nya.

َ َ ‫ب ا ْل ُمت‬
َ‫ط ِه ِر ْين‬ ُّ ‫ب الت َّ َّوا ِب ْينَ َويُ ِح‬ َ ‫اِنَّ ه‬
ُّ ‫ّٰللا يُ ِح‬

Artinya : "... Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang
yang menyucikan diri " (al-Baqarah 222)

1. JENIS JENIS AIR


Air terbagi kepada tiga jenis: air yang menyucikan; air suci, tetapi tidak
menyucikan; air mutanajjis (air yang terkena najis).

A. Air Mutlak, ialah air yang suci dan dapat menyucikan benda lain, yaitu
setiap air yang jatuh dari langit atau yang bersumber dari bumi, yang
keadaan asalnya tetap, satu dari tiga sifatnya (warna, rasa dan bau) tidak
berubah, atau berubah namun penyebabnya tidak sampai menghilangkan
sifat menyucikan yang terdapat padanya, seperti disebabkan oleh tanah
yang suci, garam, atau tumbuhan air. Dan juga, air itu belum musta'mal
yaitu belum digunakan untuk bersuci seperti air hujan, air yang mengalir
di antara dua bukit, mata air air telaga, air sungai, air laut, air salju, dan
lainlain, baik air tawar atau asin. Termasuk juga air beku (es), air yang
menjadi garam atau air yang menjadi uap, karena semuanya itu adalah air
yang sebenarnya. Air mutlak ini suci dan dapat menyucikan menurut ijma
ulama, dan ia dapat digunakan untuk menghilangkan najis, dan dapat juga
digunakan untuk berwudhu dan mandi (sunnah atau wajib), berdasarkan
firman Allah SWT
َ ُ‫س َم ۤا ِء َم ۤا ًء ِلي‬
... ‫ط ِه َركُ ْم ِبه‬ َّ ‫علَ ْيكُ ْم ِمنَ ال‬
َ ‫ويُنَ ِز ُل‬....
َ
".,dan Allah menurunkan air (hujan) langit kepodamu untuk menyucikan
kamu ngan (hujan) itu...." (al-Anfaal: 11).
B. Air yang suci tetapi tidak mensucikan, Menurut pendapat ulama Syafi'i,
benda yang dapat menghilangkan sifat menyucikan yang dimiliki air;

5
sehingga menyebabkan air tersebut tidak dapat digunakan untuk
mengangkat hadats dan menghilangkan najis, ialah semua benda suci
yang bercampur dengan air yang tidak diperlukan oleh air itu, jika
memang benda itu menyebabkan berubahnya salah satu sifat air [warna,
bau, dan rasa) dengan perubahan yang banyak dan juga menyebabkan
berubahnya nama air itu, dan benda yang mengubah itu bukan debu atau
garam laut, meskipun sengaja dimasukkan ke dalam air. Benda-benda
tersebut adalah seperti , air pohon, garam bukit, buah kurma, tepung dan
lumut yang dibuang ke dalam air; dan juga linen atau akar liquorice yang
direndam di dalam air; dan tar yang bukan untuk menyamak. Begitu juga
air yang bercampur dengan daun bidara atau sabun. Oleh sebab itu, tidak
sah berwudhu dengan air tersebut sebagaimana air daging dan air kacang.
C. Air yang najis,najis ialah rasa najis, warnanya, atau baunya. Oleh sebab
itu, air mutanajiis (air yang menjadi najis) terbagi menjadi dua jenis.
Pertama, air sedikit yang mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan
najis meskipun salah satu sifatnya tidak berubah. Kedua, air yang
mempunyai sifat menyucikan, dan kejatuhan najis serta berubah salah
satu sifatnya [warna, bau dan rasa) . Ulama Syafi'i dan Hambali se
pendapat dengan ulama Hanafi yang mengatakan bahwa air jenis pertama
adalah najis. Namun, ulama Syafi'i mengecualikan najis yang dimaafkan
seperti bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya seperti lalat dan
lebah apabila terjatuh atau ditiup angin, dan jatuh ke dalam air tersebut

B. NAJIS
Perkataan an-najaasah adalah lawan kata dari perkataan ath-thahqarah, dan
perkataan an-najas juga kebalikan kata ath-thahir. Kata al-anjaas merupakan
bentuk jamak dari kata najis, yaitu nama bagi benda yang kotor menurut
pandangan syarat Najis ada dua jenis, najis hukmi dan najis haqiqi. Kotoran
[alkhubuts) khusus bagi najis haqiqi, sedangkan hadats adalah sebutan khusus
bagi najis. Kata an-najas jika huruf jim nya dibaca fathah, maka ia menjadi isim.
Tetapi jika dibaca dengan kasrah (an-najis), maka ia menjadi kata sifat. Najis

6
terbagi kepada dua jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi. Dari segi bahasa,
naiis haqiqi ialah benda-benda yang kotor seperti darah, air kencing, dan tahi.
Menurut syara', ia adalah segala kotoran yang menghalangi sahnya shalat. Najis
hukmi ialah najis yang terdapat pada beberapa bagian anggota badan yang
menghalangi sahnya shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang dapat
dihilangkan dengan wudhu dan hadats besar (janabah) yang dapat dihilangkan
dengan mandi. Najis haqiqi terbagi kepada beberapa jenis mughallazah (najis
berat) , mukhaffafah [ringan), najis yang keras, najis yang cair; najis yang dapat
dilihat, dan najis yang tidak dapat dilihat. Hukum menghilangkan najis yang tidak
dimaafkan dari pakaian, badan, dan juga tempat shalat bagi orang yang hendak
mengerjakan shalat adalah wajib. Ini menurut pendapat jumhur fuqaha kecuali
ulama Madzhab Maliki,

1. MACAM MACAM NAJIS


Para fuqaha telah bersepakat mengenai najisnya perkara-perkara berikut :
 Babi dan anjing
Babi adalah najis meskipun disembelih secara syarat karena ia
dihukumi sebagai najis 'ain (najis pada dirinya) melalui nash Al
Qur'an. Maka, daging dan juga semua bagian badannya seperti bulu,
tulang, dan kulit dihukumi najis meskipun kulitnya disamak.
 Darah
Darah manusia selain darah orang yang mati syahid, dan darah
binatang selain binatang laut, yang mengalir keluar dari tubuhnya baik
semasa hidupnya ataupun sesudah matinya, jika memang ia mengalir
banyak, maka darah tersebut dihukumi najis. Oleh sebab itu, darah
orangyang mati syahid selama darahnya masih berada di badannya
tidaklah termasuk najis. Begitu juga darah ikan, jantung, limpa, dan
hati dan semua darah yang berada dalam saraf binatang sesudah ia
disembelih selama ia tidak mengalir, juga tidak termasuk ke dalam
hukum najis. Begitu juga darah kutu dan kepinding.
 Air kencing, muntah dan tahi manusia

7
Semuanya dihukumi najis kecuali air kencing anak-anak lelaki yang
masih menyusu. Karena menurut pendapat ulama Madzhab Syafi'i dan
Hambali, cara membersihkannya adalah cukup dengan memercikkan
air ke atasnya saja. Air kencing binatang yang tidak dimakan
dagingnya, tahi, dan juga muntah binatang juga dihukumi najis.
Kecuali tahi burung, air kencing tikus, dan kelelawar menurut
pendapat ulama Madzhab Hanafi. Karena, air kencing tikus amat sulit
untuk dielakkan, sementara kelelawar juga sering kencing di udara
[semasa ia terbang). Oleh sebab itu, kedua-duanya digolongkan ke
dalam najis yang dimaafkan jika terkena pakaian ataupun ketika masuk
ke dalam makanan. Tetapi tidak dimaafkan, jika masuk ke dalam air
dalam bejana. Selain itu, apa saja yang keluar dari dubur binatang
hukumnya adalah najis.
 Arak
Arak adalah najis menurut pendapat kebanyakan fuqaha berdasarkan
firman Allah SWT,
َ ْ ‫َاب َو‬
ٌ ْ‫اْل ْز َْل ُم ِرج‬
‫س ِم ْن ع ََم ِل‬ َ ْ ‫ي ٰٰ ْٰٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْْٓوا اِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َو‬
ُ ‫اْل ْنص‬
َٰ‫ح ْون‬ ُ ‫شي ْٰط ِن فَاجْ تَنِبُ ْوهُ َلعَ َّلكُ ْم ت ُ ْف ِل‬
َّ ‫ال‬
"wahai orang-orang beriman Bahwa sesungguhnya arak dan judi dan
pemujaan berhala dan mengundi nasib dengan batang-batang anak
panah adalah kotor (keji) dari perbuatan setan." (al-Ma'idah: 90).
 Daging bangkai binatang darat yang berdarah mengalir
Yang dimaksud dengan binatang tersebut adalah segala jenis binatang
darat baik yang boleh dimakan dagingnya ataupun yang tidak seperti
anjing, kambing, kucing, burung-burung kecil, dan seumpamanya.
Kulit bangkai yang belum disamak juga disamakan hukumnya. Ini
adalah menurut pendapat ulama Madzhab Hanafi. Ulama selain
mereka mengatakan bahwa semua bagian bangkai selain mayat
manusia seperti tulang, bulu, dan lain-lainnya dihukum najis, karena
setiap bagian itu merupakan bagian yang hidup (sebelum ia menjadi
bangkai)

8
2. UKURAN NAJIS YANG DIMAAFKAN
Ulama madzhab Syafi'i berpendapat bahwa tidak ada najis yang
dimaafkan kecuali najis-najis berikut. Najis yang tidak dapat dilihat oleh
mata normal seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing yang
sedikit. Dimaafkan juga-baik banyak atau sedikit-darah jerawat atau
bintik-bintik darah. Menurut ulama madzhab Maliki, kadar darah binatang
darat yang sedikit adalah dimaafkan. Ash-shadid dan al-qaih yang sedikit
juga dimaafkan yaitu jika ukurannya sekadar satu dirham al-bighali.
Artinya sekadar suatu bulatan hitam yang terdapat pada kaki depan
binatang bighal ataupun kurang dari kadar itu. Ketetapan ini tetap berlaku
meskipun darah atau yang semacamnya itu keluar dari tubuh orang itu
sendiri ataupun dari orang Iain, dan baik darah atau yang semacamnya itu
keluar dari manusia ataupun binatang, meskipun dari babi. Begitu juga
sama saja baik tempat yang terkena darah itu pakaian ataupun badan
ataupun tempat lainnya.
Ulama madzhab Hanafi telah menentukan najis yang dimaafkan
berdasarkan kepada jenis najis itu sendiri, baik dari jenis najis
mughallazhah ataupun dari jenis mukhaffafah. Mereka mengatakan bahwa
naiis mughallazhah ataupun mukhaffafah yang dimaafkan adalah jika
kadarnya sedikit. Menurut madzhab Hambali, kadar najis yang sedikit
meskipun ia tidak dapat dilihat oleh mata seperti najis yang melekat pada
kaki lalat dan yang seumpamanya adalah tidak dimaafkan.
Karena, firman Allah SWT dalam surah al-Muddatstsir menyebutkan,
"Dan bersihkanlah pakaianmu." Dan juga berdasarkan perkataan Ibnu
Umar, "Kami disuruh membasuh najis sebanyak tujuh kali" dan juga dalil
lainnya.

C. ISTINJA’
Perkataan istinja' menurut bahasa adalah perbuatan yang dilakukan untuk
menghilangkan najis, yaitu tahi. Adapun menurut istilah syara' istinja' adalah

9
perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda
seperti air atau batu. ladi, istinja' berarti 'menggunakan batu atau air. Istinja 'dapat
diartikan juga sebagai tindakan menghilangkan najis yang kotor meskipun najis
tersebut jarang keluar seperti darah, air madzi, dan air wadi. Pembersihan itu juga
bukan dilakukan begitu saja, melainkan dilakukan ketika ada keperluan saja, yaitu
dengan menggunakan air ataupun batu.

1. ALAT ALAT UNTUK BERISTINJA’


Istinja' hendaklah dilakukan dengan menggunakan air, batu, atau yang
semacamnya, yaitu benda-benda yang keras, suci, dan mampu
menghilangkan kotoran, dan juga barang tersebut bukanlah barang yang
berharga (terhormat) menurut syara'. Di antara alat yang bisa dugunakan
untuk ber-istinja' adalah kertas, potongan kain, kayu, dan kulit kayu.
Dengan menggunakan alat-alat ini, maka tuiuan istinja' akan tercapai sama
seperti ketika menggunakan batu. Cara yang paling baik adalah dengan
menggunakan bahan yang keras dan juga air sekaligus. Yaitu, dengan
mendahulukan menggunakan kertas dan yang semacamnya, kemudian
diikuti dengan menggunakan air, karena benda najis itu akan hilang
dengan kertas ataupun batu, dan bekasnya akan hilang dengan
menggunakan air.

2. SYARAT-SYARAT BERISNTINJA’ DENGAN BATU


 Hendaklah najis yang keluar itu belum kering. Jika ia sudah kering,
maka wajib menggunakan air ketika membersihkannya.
 Jangan sampai najis itu berpindah tempat dari tempat keluarnya dan
melekat pada tempat yang lain itu.
 Janganlah najis itu bercampur dengan benda lain yang basah, baik
benda itu najis ataupun suci. Jika ia bercampur dengan benda lain yang
kering, maka tidaklah mengapa.
 Hendaklah najis yang keluar itu melewati saluran yang biasa. Oleh
sebab itu, penggunaan batu atau seumpamanya tidak cukup apabila

10
najis yang keluar itu tidak melewati saluran biasa, seperti keluar
melewati jalur bekam, ataupun melewati satu lubang yang terbuka di
bawah usus meskipun saluran yang asal tersumbat secara kebetulan.

3. HAL HAL YANG DISUNNAHKAN KETIKA BERISTINJA’


 Ketika ber-istinja' hendaklah dengan menggunakan batu ataupun
kertas yang lembut: tidak kasar seperti batu bata dan tidak pula licin
seperti batu akik. Karena, tujuannya adalah supaya dapat digunakan
untuk membersihkan najis.
 Menggunakan tiga batu ataupun kertas dan yang seumpamanya adalah
sunnah menurut pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki, dan
wajib menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i dan juga Hambali.
 Bersembunyi dan tidak membuka aurat di hadapan pandangan orang
lain adalah wajib ketika ber-istinja’ dan juga ketika membuang air.
 Orang yang beristinja' dengan air hendaklah menggosok tangannya
dengan tanah, kemudian membasuhnya selepas ber-istinja' baik
menggosoknya itu dengan tanah ataupun sabun, garam halus dan yang
seumpamanya.

D. WUDHU’
Menurut bahasa, kata wudhu-dengan membaca dhammah pada huruf wawu
(wudhu')-adalah nama untuk suatu perbuatan yang memanfaatkan air dan
digunakan untuk membersihkan) anggota-anggota badan tertentu. Definisi wudhu
inilah yang dimaksud pada pasal ini. Ia diambil dari kata berbahasa arab al-
wadha'ah, al-hasan, dan an-nazhafah.Jika dikatakan wadha'a ar-rajul dalam
ungkapan Arab, maka ia berarti "lelaki itu telah bersih/baik/suci." Jika kata
wudhu’ dibaca dengan fathah pada huruf wawu (wadhu'), maka ia berarti air yang
digunakan untuk berwudhu. Wudhu menurut istilah syara' adalah kegiatan
kebersihan yang khusus.

11
Hukum asal wudhu’ [yang diniatkan untuk digunakan melaksanakan shalat)
adalah fardhu, karena ia merupakan syarat sah shalat. Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT,

ِ ِ‫سلُ ْوا ُو ُج ْو َهكُ ْم َوا َ ْي ِديَكُ ْم اِلَى ا ْل َم َراف‬


‫ق‬ ْ ‫ٰيْٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْْٓوا اِذَا قُ ْمت ُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا‬
ِ ‫غ‬
‫سكُ ْم َوا َ ْر ُجلَكُ ْم اِلَى ا ْل َك ْعبَي ِْن‬
ِ ‫س ُح ْوا بِ ُر ُء ْو‬
َ ‫ام‬
ْ ‫َو‬
Artinya: "Wahai orang-orong yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan shalat, maka basuhloh wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
sapulah kepadamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki...." (al
Ma'idah: 6)

1. RUKUN RUKUN WUDHU’


 Niat
 Membasuh muka
 Membasuh kedua tangan hingga ke siku dengan sekali basuh
 Mengusap kepala
 Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki.
 Tertib

2. SYARAT-SYARAT SAH WUDHU’


 Meratakan air yang suci ke atas kulit, yaitu meratakan air ke
seluruh anggota yang wajib dibasuh,
 Menghilangkan apa saja yang menghalangi air sampai ke anggota
wudhu’
 Tidak terdapat perkara-perkara yang menafikan wudhu atau
berhentinya perkaraperkara yang membatalkan wudhu
 Masuk waktu untuk tayamum menurut pendapat jumhur ulama
selain ulama madzhab Hanafi

12
3. SUNNAH-SUNNAH WUDHU’
 Membaca bismillah
 Membasuh kedua telapak tangan
 Berkumur
 Menghirup air ke hidung
 Mengusap seluruh bagian kepala
 Menyisir jenggot yang tebal
 Membasuh sela-sela jari
 Menyucikan masing-masing 3x
 Muwalat (tidak terputus)

E. MANDI
ini akan membahas ciri-ciri mandi, yang menyebabkan wajib mandi, fardhu-
fardhu mandi, kesunnahan mandi, kemakruhan dan hal yang diharamkan bagi
orang yang berjunub, mandi-mandi sunnah, juga masalah hukum yang
berhubungan dengan masjid dan tempat mandi umum.

1. CIRI-CIRI MANDI
Lafal al-ghusl atau'al-ghaslu dalam Islam menunjukkan arti perbuatan
mandi itu sendiri, ataupun air yang digunakan untuk mandi. Dari segi
bahasa, ia berarti mengalirkan air ke atas sesuatu secara mutlak. Kalimah
al'ghislu juga digunakan untuk menyebutkan bahan yang digunakan untuk
membersihkan sesuatu seperti sabun, sampo, dan sebagainya.
Menurut istilah syarai arti mandi (al- ghaslu) adalah meratakan air ke
seluruh tubuh dengan cara tertentu.Ulama Syafi'i mendefinisikannya
dengan mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat.
Ulama Maliki mendefinisikan al-ghaslu dengan menyampaikan air
serta menggosokkannya ke seluruh badan dengan niat supaya boleh
melakukan shalat.

13
2. PERKARA-PERKARA YANG MENYEBABKAN MANDI
 Keluar mani, Yaitu, apabila air mani keluar dari kemaluan Ielaki
ataupun wanita, disertai rasa nikmat-menurut kebiasaan-dan
keluarnya memuncrat, meskipun keluarnya sewaktu tidur ataupun
sewaktu terjaga.
 Bertemu alat kelamin meskipun tidak mengeluarkan mani,
Maksudnya adalah berjunub, yaitu dengan memasukkan kepala
zakar atau kemaluan lelaki atau kadarnya-bagi yang zakarnya
terpotong-ke dalam kemaluan wanita yang dapat disetubuhi baik
qubul atau dubur; lelaki ataupun perempuan, secara suka rela
ataupun dipaksa, dalam keadaan tidur ataupun terjaga'
 Haid dan nifas, Ulama sepakat bahwa kedua hal ini juga menjadi
sebab wajibnya mandi. Hukum mandi sebab berhenti haid adalah
berdasarkan firman Allah SWT,

ِ ‫س ۤا َء ِفى ا ْل َم ِحي‬
‫ْض‬ ْ ‫فَا‬...
ِ ‫عت َ ِزلُوا‬
َ ‫الن‬
"...karena itu jauhilah istri pada waktu haid.... " (al-Baqarah: 222)

Juga, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. yang


diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi
Muhammad saw. bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaysh
"Apabila mulai datang haid, hendaklah kamu meninggalkan
shalat. Apabila ia telah berhenti, maka hendaklah kamu mandi dan
mengerjakan shalat"
 Muslim yang mati selain mati syahid, Ulama sepakat bahwa orang
Islam diwajibkan secara kifayah dan secara ta'abbudi, untuk
memandikan jenazah seorang Muslim yang meninggal dunia selain
Muslim yang mati syahid dan yang mati dalam keadaan tidak
menanggung janabah. Hukum ini berdasarkan sabda Nabi
Muhammad saw. tentang seorang sahabat yang meninggal dunia
karena terjatuh dari tunggangannya,

14
 Orang kafir yang masuk islam, Ulama Maliki dan Hambali
mewajibkan mandi kepada orang kafir yang memeluk Islam. Hal
ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan
oleh Qais bin Ashim yang mengatakan bahwa dia telah memeluk
Islam, lalu Rasulullah saw. memerintahkannya supaya mandi
dengan air dan bidara.

F. TAYAMMUM
Tayamum menurut arti bahasa adalah al-qashd (niat),dalam firman Allah
SWT,
َ ‫ َو َْل تَيَ َّم ُموا ا ْل َخ ِبي‬...
َٰ‫ْث ِم ْنهُ ت ُ ْن ِفقُ ْون‬
Artinya:..Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan..’’(al-
Baqarah:267)
Adapun dari segi istilah, para ahli fiqih memberi definisi tayamum dengan
beberapa ungkapan yang hampir sama. Ulama Hanafi mendefinisikan tayamum
dengan mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang suci. Al-qashd menjadi
syarat dalam tayamum. Sebab ia adalah niat, yaitu qashd menggunakan debu yang
suci dengan sifat yang tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
[ibadah). Ulama Maliki mendefinisikan tayamum sebagai satu bentuk cara bersuci
dengan menggunakan debu yang suci dan digunakan untuk mengusap muka dan
dua tangan dengan niat. Ulama Syafi'i mendefinisikan tayamum sebagai
mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai ganti wudhu, mandi, atau
salah satu anggota dari keduanya dengan syarat-syarat yang tertentu. Ulama
Hambali mendefinisikan tayamum sebagai mengusap muka dan kedua tangan
dengan debu yang suci dengan cara yang tertentu.

1. HADATS-HADATS YANG BOLEH DITAYAMMUMI


Tayamum dibolehkan untuk mengangkat hadats kecil, junub, haid,
dan nifas. Hal ini berdasarkan hadits yang menceritakan bahwa satu kaum
telah datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Kami adalah satu
kaum yang tinggal di tempat yang berpasir. Kadangkadang sebulan atau

15
dua bulan kami tidak mendapati air. Di antara kami ada yang berjunub,
ada yang haid, dan ada yang nifas." Lalu Rasulullah saw. bersabda kepada
mereka, "Hendaklah kamu menggunakan debu”.
2. WAKTU-WAKTU TAYAMMUM
Ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa tayamum adalah bersuci
yang mutlak (taharah mutlaqah). Oleh sebab itu, mereka membolehkan
tayamum sebelum masuk waktu shalat. Satu tayamum boleh digunakan
untuk lebih daripada satu shalat fardhu dan boleh digunakan untuk
beberapa shalat sunnah. Hal ini disebabkan tayamum menjadi pengganti
secara mutlak ketika tidak ada air. Ia dapat mengangkat hadats sehingga
orang itu mendapat air. Ia bukanlah pengganti darurat yang boleh
dilakukan, namun kewujudan hadats tetap ada, seperti yang dikatakan oleh
jumhur. Oleh karena itu menurut jumhur, tayamum tidak boleh dilakukan
sebelum masuk waktu shalat dan tayamum tidak boleh digunakan untuk
Iebih daripada satu shalat fardhu. Dalil ulama Hanafi adalah menentukan
waktu pelaksanakan ibadah harus dengan menggunakan dalil sam'i,
padahal dalil sam’i dalam masalah ini tidak ada.
3. SEBAB-SEBAB TAYAMMUM
 Tidak Adanya Air yang Mencukupi untuk Wudhu ataupun Mandi
 Tidak Ada Kemampuan untuk Menggunakan Air
 Sakit atau Lambat Sembuh jika seseorang mengkhawatir
 Ada Air, Tapi la Diperlukan untuk Sekarang ataupun untuk Masa
yang akan Datang
 Khawatlr Hartanya Rusak Jlka Dia Mencari Air
 lkllm yang Sangat Dingin atau Alr Menjadi Sangat Dingin.
4. RUKUN-RUKUN TAYAMMUM
 Niat Ketlka Mengusap Muka
 Mengusap Muka dan Kedua Tangan serta Meratakannya
 Tertib adalah Fardhu Menurut Ulama Syafi'i dan Hambali Selain
dalam Hadats Besar.

16
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Thaharah memiliki pengertian bersuci dan membersihkan diri dari kotoran


najasah dan hadats sekaligus membersihkan diri dari perbuatan perbuatan dosa,
maksiat, keji, hina dan segala sesuatu selain Allah swt. Spiritual Quotient merupakan
kemampuan seseorang untuk mengintegrasikan antara akal, pikiran dan emosi
dengan memandang segala sesuatu dari berbagai sudut sehingga dapat memberikan
suatu makna dari hal tersebut, dapat juga dilihat dari bagaimana seseorang dapat
menempatkan perilaku atau tindakan dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Korelasi yag terjadi antara thaharah dan spiritual quotient adalah proses untuk
mengembalikan jati diri seseorang kepada Allah swt. Thaharah dilakukan dengan
cara membersihkan diri dari segi ruhani dan jasmani, sedangkan Spiritual Quotient
dilakukan dengan cara mengintegrasikan seluruh aspek dalam jiwa baik bersumber
dari akal, pikiran dan emosi manusia agar selalu tertuju kepada Sang Maha Kuasa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jilid 5. terj. Abdul Hayyie Jakarta:
Gema Insani.

Al-Arabiy. 1995. Fikih Sunnah. Lebanon: Beirut Dar al-Fath Lili’lami

Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira

18

Anda mungkin juga menyukai