Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................. i

Daftar Isi...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang....................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thaharah............................................................................................... 2

2.2 Thaharah Dari Najis Dan Hadas............................................................................ 2

2.3 Cara Thaharah Dari Hadas..................................................................................... 4

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 10

3.2 Saran....................................................................................................................... 10

Daftar Pustaka.............................................................................................................. 11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam hukum islam terdapat suatu hal dimana segala seluk beluknya termasuk bagian ilmu
dan amalan yang sangat penting yakni bersuci, atau dalam fiqih disebut dengan thaharah.
Yang dimaksud dengan thaharah ini tidak hanya suci secara lahiriyah, namun dapat juga
membersihkan secara batiniyah.
Thaharah lebih sering dimaknai sebagai suatu hal yang dilakukan sebelum beribadah kepada
Allah SWT saja, ataupun suatu cara untuk menghilangkan hadas dan juga najis. Tetapi
thaharah juga berkaitan erat dengan kebersihan dalam menjaga kesehatan diri dan keindahan
lingkungan. Sering kali kita sebagai manusia lalai dalam hal menjaga kebersihan.
Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah kehidupan, dimana dengan
kebersihan hidup akan terasa nyaman dan aman. Kebersihan sendiri juga merupakan wujud
nyata dari ibadah thaharah. Maka dari itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui lebih
dalam lagi mengenai thaharah. Terlebih-lebih kita adalah sebagai orang muslim, dan di dalam
agama kita dikatakan bahwa islam menuntut pemeluknya untuk senantiasa dalam keadaan
suci, baik itu suci secara lahiriyah maupun suci secara batiniyah. Karena Allah SWT sangat
mencintai orang-orang yang memelihara kesucian dirinya
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN THAHARAH


Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata
ataupun yang tidak kasat mata, seperti aib dan dosa (Azzam dan Hawwas, 2009:3). Kata
thatharah sendiri berasal dari kata thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci.
Pengertian tersebut digambarkan dari firman Allah SWT:
Artinya:
“Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah.” (QS. Al Maidah [5]:6)
Kemudian secara terminologi ath thaharah adalah bersih atau suci dari najis baik najis faktual
semisal tinja maupun najis secara hukmi, yaitu hadats. Dalam buku Fiqih Ibadah yang ditulis
oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas juga menyebutkan
definis lain bahwa thaharah adalah sifat hukmiyyah yang diperbolehkan karenanya segala
sesuatu yang dicegah oleh hadast atau yang mengandung hukum menjijikkan(Azzam dan
Hawwas, 2009:3).
Menurut istilah fiqih, thaharah adalah menghilangkan hadast atau najis yang menghalangi
shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadast dan
najis) dengan tanah. Dengan kata lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat
hilangnya hadats atau kotoran (Ritonga, 1997:17).

2.2 THAHARAH DARI NAJIS DAN HADAS


Seperti yang sudah dibahas sebelumnya pada pengertian thaharah, yakni suci atau suatu
kedaan dimana hadas dan kotoran sudah hilang. Selanjutnya adalah pemahaman mengenai
najis najis dan hadas, dimana kedua hal tersebut merupakan hal yang menjadi penyebab
wajibnya thaharah atau bersuci.
Najis adalah suatu kotoran seperti darah, tinja, atau kotoran hewan. Sedang hadas adalah
keadaan yang menghalangi seseorang dalam melakukan sesuatu yang diwajibkan Allah, dan
juga sunnah Rasul.
Secara garis besar najis dibagi menjadi dua macam, yaitu najis hakiki dan najis hukmi. Najis
hakiki adalah kotoran yang menghalangi keabsahan sholat tanpa ada keringanan, seperti
darah dan kotoran manusia. Sedangkan najis hukmi adalah hadas kecil yang harus
dihilangkan dengan wudlu’ dan hadas besar dihilangkan dengan mandi (Ritonga, 1997:24).
Media atau alat yang digunakan untuk bersuci banyak sekali. Diantaranya adalah :
1. Air (al-ma’)
2. Alat untuk menyamak (ad dibqh)
3. Debu (at turab), menggosok (ad dalk)
4. Menggaruk (al fark)

Air (Al Ma’)


Air terbagi menjadi beberapa macam, yakni : air mutlak, air musta’mal, air yang berubah
karena benda suci, dan air yang bertemu dengan najis (Azzam dan Hawwas, 2009:3).
1. Air Mutlak
Air mutlak status hukumnya adalah suci mensucikan. Maksudnya adalah air tersebut suci di
dalam dirinya sendiri dan mensucikan yang lain. Berikut adalah termasuk air mutlak :
 Air Hujan,
 Air Salju
 Air Embun.
 Air laut
 Air zam-zam
 Air yang berubah-ubah (Mutaghayyir)
Air yang terlalu lama mengendap atau dikarenakan lokasinya, atau karena tercampur sesuatu
yang umumnya tidak dapat dipisahkan darinya, seperti eceng gondok dan daun pohon.
 
1. Air Musta’mal
Merupakan air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudlu dan
mandi. Status hukum air musta’mal adalah suci, sama halnya dengan air mutlak. Status
kesucian ini ditetapkan berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Ia
berkata “Rasulullah datang menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri, kemudian
beliau wudhu lalu meneteskan bekas air wudhunya kepadaku, kemudian aku sadar.” Menuut
Imam Malik dan Imam Syafi’i, tidak ada alasan untuk menjadikan air kehilangan
kesuciannya hanya karena air itu digunakan. Sebab tujuannya adalah bertemunya sesuatu
yang suci dengan sesuatu yang suci pula, dan pertemuannya itu tidak menimbulkan efek
ataupun dampak sama sekali.
Namun Imam Malik memakruhkan bersuci dengan air musta’mal jika memang ada air
selainnya, dan memakruhkan tayammum jika ada air musta’mal. Dalam buku Fiqih Ibadah
dinyatakan pendapat yang tepat dari segolongan ulama salaf dan khalaf bahwasannya air
musta’mal tetap suci lagi mensucikan (Azzam dan Hawwas, 2009:3).
1. Air yang Berubah Karena Benda Suci
Adalah air yang tercampur dengan benda yang suci, misal sabun, minyak zaitun, dan air
bunga mawar (Azzam dan Hawwas, 2009:7). Selama masih terjaga kemutlakannya dan tidak
dikalahkan oleh benda suci yang mencampurinya maka air tersebut tetap suci mensucikan.
1. Air yang Bertemu dengan Najis.
Air yang demikian mempunyai dua kondisi yaitu, pertama, benda najis tidak mengubah
warna, rasa, dan bau air. Dan yang kedua air tetap dalam kemutlakannya.
1. As Su’r (Sisa atau Bekas Air Minum Hewan)
Berarti air yang yang tersisa di dalam wadah setelah diminum hewan. Ada beberapa macam
As Su’r, diantaranya adalah sebagai berikut:
 Air bekas minum manusia
 Air bekas hewan yang dimakan dagingnya
 Air bekas hewan peranakan keleda dan kuda (al baghl), keledai, hewan buas dan
burung-burung predator.
 Air bekas minum kucing
 Air bekas minum anjing dan babi (haram, wadahnya harus dicuci 7 kali
Bersuci ada dua bagian:
1. Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untyk badan seperti mandi, berwudlu’, dan
tayammum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat (Rasjid,
1986:13).
Hadas dibagi menjadi dua yakni hadas besar dan hadas kecil. Hadas besar yaitu seperti
keluarnya darah haid, nifas, junub, wiladah, dan sperma.kemudian hadas kecil seperti
kencing, buang air besar, bersentuhan lawan jenis, dan lain lain.
 
2.3 CARA THAHARAH DARI HADAS
1. Hadas besar cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib
2. Hadas kecil cara mensucikannya sukup dengan berwudlu’ atau tayammum
Najis berlaku pada pakaian, badan, dan tempat, untuk mencuci benda yang terkena najis,
terlebih dahulu harus kita ketahui macam-macam najis:
1. Najis mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah
dibasuh tujuh kali, dan salah satu diantaranya hendaklah dibasuh dengan air yang
dicampur dengan tanah (Rasjid, 1986:21)
2. Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum makan
makanan lain selain ASI. Cara mencucinyapun sukup memercikkan air pada benda
yang terkena najis tersebut meskipun airnya tidak mengalir. Adapun kencingnya anak
perempuan yang belum makan makanan lain selain ASI, cara mencucinya dibasuh
dengan air yang mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan
sifat-sifatnya.
3. Najis mutawassitah (pertengahan), najis ini terbagi menjadi dua macam yaitu najis
hukmiyah dan ainiyah.
4. Najis hukmiyah: najis yang kita yakini adanya , meskipun zat, bau, rasa dan warnanya
sudah hilang. Cara mencucinya cukup mengalirkan ir diatas benda tersebut.
5. Najis ainiyah, najis yang masih ada zat, bau, rasa dan warnanya. Cara mencucinya
pun dengan menghilangkan zat, bau, rasa, dan warnanya.

1. Istinja’
Istinja’ juga merupakan salah satu cara thaharah dari hadas kecil. Istinja’ berarti mencuci
tempat keluar kotoran dari satu jalan, qubul (depan) dan dubur (belakang), atau mengusap
dengan batu dan semisalnya (Azzam dan Hawwas, 2009:23). Menuru tiga imam, istinja’
wajib dilakukan sebelum melakukan sholat.
Menurut Rahman Ritonga,  dalam bukunya, beliau menyatakan bahwa istinja’ adalah
membasuh dengan air atau menyapu dengan batu (Ritonga, 1997:26). Secara khusus
membersihkan najis dengan batu atau benda-benda keras lainnya disebut dengan istijmar, dan
hukum keduanya adalah wajib menurut jumhur ulama.
Tidak diperbolehkan membersihkan najis tinja maupun air kencing menggunakan media
tulang, kotoran hewan yang sudah mengeras (membatu), dan batu yang dimuliakan (Azzam
dan Hawwas, 2009:25)
Menurut Asy Syafi’i, tidak ada keharusan beristinja’ menggunakan batu atau air kecuali
setelah dirinya keluar kotoran, baik dari jalan depan atau jalan belakang (Muchtar, 2014:18).
Secara ringkasnya thaharah dari najis dapat dilakukan dengan istinja’, memercikkan air,
mencuci atau membasuh dengan air dan menyamak (untuk najis berat). Untuk thaharah dari
hadas dapat dilakukan dengan wudlu’ tayammum, dan mandi besar.
 
2. Wudhu, Tayamum Dan Mandi Besar
a. Wudhu
Perintah wajib wudlu’ bersamaan dengan perintah wajib shalat lima waktu. Secara etimologis
berarti kebersihan (annadhofah). Kamil Musa mendefinisikan wudlu secara terminologi yakni
sifat yang nyata (suatu perbuatan yang dilakukan dengan anggota-anggota badan yang
tertentu) yang dapat menghilangkan hadas kecil yang ada hubungannya dengan shalat atau
ibadah yang lain yang berhubungan dengan Allah (Ritonga, 1997:29).
Syarat-syarat Wudhu
 Islam
 Mumayiz
 Tidak berhadas besar
 Air suci mensucikan
 Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit
Rukun Wudhu
 Niat
 Membasuh muka
 Membasuh dua tangan sampai siku
 Menyapa sebagian kepala
 Membasuh dua telapak kaki
 Tertib
Sunah Wudhu
 Membaca basmalah
 Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan sebelum berkumur
 Berkumur
 Memasukkan air ke hidung
 Menyapu seluruh kepala
 Menyapu kedua telinga luar dan dalam
 Menyela-nyela jari kedua tangan dan menyela-nyela jari kedua kaki
 Mendahulukan anggota kanan
 Membasuh setiap anggota tiga kali
 Jangan bercakap-cakap
Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu
 Keluar sesuatu dari dua jalan atau salah satunya
 Hilang akal
 Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan
 Menyentuh kemaluan dngan telapak tangan.
 Tidur (Mulkhan,1994:221)

b. Tayamum
Tayamum ialah mengusapkan tanah ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa
syarat. Tayamum adalah pengganti wudlu atau mandi sebagai rukhsah (keringanan) untuk
orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa udzur:
 Udzur karena sakit, kalau ia memakai air bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya
menurut keterangan dokter
 Karena dalam perjalanan
 Karena tidak ada air
Syarat tayamum
 Sudah masuk waktu shalat, tayamum disyariatkan untuk orang yang terpaksa,
sebelum masuk waktu shalat maka belum terpaksa
 Sudah berusaha mencari air tetapi tidak dapat sedangkan waktu shalat sudah masuk
 Dengan tanah yang suci dan berdebu. Menurut imam syafi’i tidak sah tayamum selain
dengan tanah akan tetapi menurut pendapat imam yang lain boleh (sah) tayamum
dengan tanah pasir atau batu
Fardu ( tayamum)
 Niat
Orang yang akan melaksanakan tayamum hendaknya berniat karena akan mengerjakan shalat
dan sebagainya, bukan semata mata menghilangkan hadats sebab sifat tayamum tidak dapat
menghilangkan hadats, hanya diperbolehkan untuk melakukan shalat karena darurat
 Mengusap muka dengan tanah
 Mengusap kedua tangan sampai siku dengan tangan
 Menertibkan rukun rukun, artinya mendahulukan muka dengan tangan
Sunah tayamum
 Membaca bismillah
 Mengembus tanah dari dua telapak tangan supaya tanah yang diatas tangan menjadi
tipis
 Membaca dua kalimat syahadat sesudah tayamum
Hal Hal Yang Membatalkan Tayamum
 Tiap hal yang membatalkan wudlu juga membatalkan tayamum
 Ada air. Mendapatkan air sebelum shalat maka batal lah tayamum bagi yang tayamum
karena tidak ada air bukan karena sakit
Menurut asy syafi’i dalam surat Al maidah [5]:6
Ketentuan hukum yang memperbolehkan tayamum adalah ketika dalam kondisi berikut :
 Dalam perjalanan dan sulit mendapat air
 Orang yang sedang sakit baik ditempat pemukiman atau dalam perjalanan
Cara Bertayamum
Allah berfirman : maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajahmu dan
tanganmu dengan debu itu ( surat almaidah 5:6). Hadits riwayat ibnu shammah menjelaskan
sesungguhnya Rasulullah bertayamum lalu menyapu mukanya dan kedua lengannya.
Asy syafi’i mengatakan bahwa seseorang tidak dinamakan bertayamum kecuali telah
mengusap bagian wajah dan kedua lengan sampai dua siku dengan debu. Siku merupakan
bagian yang wajib disapu. Apabila ia meninggalkan salah satunya baik yang ditinggalkan itu
besar atau kecil lalu mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak sah.

Bahan Untuk Bertayamum


Tanah (sho’idan) yang tidak bercampur dengan najis adalah tanah yang baik (sho’idan
thayyiban) dan boleh dipakai untuk bertayammum. Sebaliknya, tanah yang tidak baik tidak
diperbolehkan untuk dipakai bertayammum. Kata sho’idan digunakan hanya untuk tanah
yang berdebu.
Apabila debu itu bercampur dengan kapur, jerami halus, tepung gandum, atau yang lainnya,
maka diperbolehkan bertayammum dengan debu tersebut sampai debu itu benar-benar tidak
tercampur dengan suatu apapun.Ababila batu, tembikar, atau marmer yang hancur ditumbuk
halus menjadi debu tetap tidak sah digunakan bertayammum. Karena benda-benda tersebut
mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan kulit, dan sudah jelas dalam ayat Al
qur’an juga diterangkan untuk bertayammum dengan debu dari tanah.

c. Mandi Besar (Wajib)


Allah mewajibkan mandi disebabkan janabah. Menurut lisan arab bahwa janabah identik
dengan bersetubuh (jima’) sekalipun dalam bersetubuh tidak disertai keluarnya sperma. Abu
Musa Al Asy’ari bertanya kepada Aisyah tentang bertemunya kemaluan laki-laki dan
perempuan, lalu Aisyah memberi jawaban berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Apabila
kemaluan laki-laki dan perempuan bertemu maka wajib mandi.”
Beberapa hal yang dipandang wajib melakukan mandi besar menurut para ahli fiqih adalah
sebagai berikut :
 Jima’ (bersetubuh)
Allah mewajibkan mandi bagi seseorang yang sedang junub. Aisyah r.a berkata: bahwa
apabila Rasulullah  mandi janabah, beliau membasuh kedua tangannya lalu berwudlu seperti
wudlu untuk melaksanakan shalat. Kemudian beliau memasukkan jemari tangannya ke dalam
air. Lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jemari itu. Kemudian beliau menuangkan
ke atas kepalanya dua ember air dengan kedua tangannya lalu beliau meneteskan air ke
seluruh kulitnya (Mulkhan,1994:225).
 Keluar mani (sperma)
Para ahli fiqih dari golongan Hanabilah menetapkan bahwa kewajiban mandi itu semata-mata
disebabkan keluarnya mani tanpa mempertimbangan apakah keluar karena persetubuhan atau
dengan sendirinya (Ritonga,1997:65).
 Bermimpi keluar mani
 Darah haid atau nifas
 Meninggal dunia seorang muslim
 
 
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata
ataupun yang tidak kasat mata, seperti aib dan dosa. Kata thatharah sendiri berasal dari kata
thahara-yathhuru-thahuran-thaharatan yang berarti suci. Secara terminologi ath thaharah
adalah bersih atau suci dari najis baik najis faktual semisal tinja maupun najis secara hukmi,
yaitu hadats. Dengan kata lain, thaharah adalah keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya
hadats atau kotoran.
Cara thaharah dari hadas
1. Hadas besar cara mensucikannya yaitu dengan mandi wajib
2. Hadas kecil cara mensucikannya sukup dengan berwudlu’ atau tayammum
Bersuci ada dua bagian :
1. Bersuci dari hadas. Bagian ini khusus untyk badan seperti mandi, berwudlu’, dan
tayammum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

3.2 SARAN
Demikian makalah tentang “Thaharah” ini kami buat. Semoga makalah ini dapat diterima dan
dipahami oleh para pembaca, dan juga membawa manfaat barokah untuk kehidupan yang
selanjutnya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna, dan masih
memerlukan kritik dan juga saran dari para pembaca. Maka dari itu kritik dan saran akan
kami tunggu dan akan kita jadikan sebagai pelajaran dan juga bekal untuk kedepannya.
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA

 https://firdajeka.wordpress.com/2018/01/08/contoh-makalah-thaharah/

Anda mungkin juga menyukai