FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA JAKARTA SELATAN 2022 A. Hikmah Thaharah Dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji’ala Madzhabil Imam asy-Syafi’i karya Musthafa al- khin, Musthafa al-Bugha, dan ‘Ali asy-Asyarbaji, hikmah thaharah terbagi menjadi empat diantaranya yaitu sebagai berikut: 1) Bersuci merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap fitrah manusia. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk hidup bersih dan menghindari sesuatu yang kotor dan jorok. Karena Islam adalah agama fitrah maka ia pun memerintahkan hal-hal yang selaras dengan fitrah manusia. 2) Menjaga kemuliaan dan wibawa umat Islam. Orang Islam mencintai kehidupan bermasyarakat yang aman dan nyaman. Islam tidak menginginkan umatnya tersingkir atau dijauhi dari pergaulan lantaran persoalan kebersihan. 3) Menjaga kesehatan. Kebersihan merupakan bagian paling penting yang memelihara seseorang dari terserang penyakit. Ragam penyakit yang tersebar umumnya disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Karena itu tidak salah pepatah mengungkapkan, “kebersihan adalah pangkal kesehatan”. 4) Menyiapkan diri dengan kondisi terbaik saat menghadap Allah: tidak hanya bersih tapi juga suci. Dalam shalat, doa, dan munajatnya, seorang hamba memang seyogianya suci secara lahir dan batin, bersih jasmani dan rohani, karena Allah yuhhibbut tawwâbîna yayuhibbul mutathahhirîna (mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri). B. Pengertian Thaharah Thaharah menurut Bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik yang nyata seperti Najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah para fuqaha’ berarti membersihkan diri dari hadast dan Najis, seperti mandi, berwudhu dan bertayammum Suci dari hadastialah dengan mengerjakan wudhu, mandi dan tayammum. Suci dari Najis ialah menghilangkan Najis yang ada di badan, tempat dan pakaian. Dalam bersuci meliputi beberapa hal seperti berikut: a) Alat bersuci seperti air, tanah dan sebagainya b) Kaifiat (cara) bersuci c) Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan d) Benda yang wajib disucikan Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci. Allah SWT. Berfirman dalam Al – Qur’an : َل َۖ ْالمحيضَ عنَ وَيسْألُونك َْ ُط ُه ْرنَ حتىَ ت ْقربُوهُنَ ولَ َۖ ْالمحيضَ في النساءَ فاعْتزلُوا أذًى هُوَ ق ْ تطه ْرنَ فإذا َۖ ي َن فأْتُوهُن َ َۖ َْال ُمتطهرينَ ويُحبَ التوابينَ يُحبَ ّللاَ إن َُ ّللا ُ أمر ُك َُم حي َْ ْث م Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Al – Baqarah : 222) Thaharah mempunyai kedudukan penting dalam islam. Thaharah menentukan boleh dan sah atau tidak boleh dan tidak sahnya suatu pelaksanaan ibadah mahdhah dan beberapa aktivitas lainnya. Seseorang yang misalnya terkena badannya najis, ia tidak boleh melakukan shalat sebelum mencucinya; seorang istri yang haid, ia tidak boleh melakukan shalat dan hubungan seksual (jima’) dengan suaminya sebelum bersuci (mandi wajib).
C. Dasar Hukum Thaharah
Dasar hukum thaharah yaitu sebagai berikut : 1) Al – Qur’an adalah sumber hukum utama dalam Islam. Beberapa ayat Al – Qur’an memiliki kerelevansian terhadap thaharah yaitu dalam firman Allah SWT. Dalam Al – Qur’an surat Al – Mai’dah (5:6), di mana dalam surat tersebut tertera mengenai wudhu (ablusi) dan dalam Q.S Al – Baqarah (2:222) yang mencakup pernyataan mengenai mandi besar(ghusl) dalam konteks thaharah. 2) Hadist merupakan catatan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Hadist mencakup rincian mengenai tata cara thaharah dan berbagai situasi yang memerlukan bersuci. Hadist-hadist dari Nabi Muhammad SAW menjadi sumber hukum penting dalam pemahaman thaharah. Dalam hadist Rasulullah bersabda “Kunci salat adalah bersuci” dan dalam hadist lain Rasulullah Saw bersabda, “shalat tanpa wudhu tidak diterima.” (HR Muslim) serta dalam hadist lain juga Raasulullah Saw. Bersabda, “Kesucian adalah Sebagian dari iman.”(HR Muslim) 3) Penafsiran Ulama, ulama islam seperti Imam al-Shafi’i, Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali, telah memberikan penafsiran dan pandangan hukum yang mendalam tentang Thaharah dalam kitab-kitab fiqih mereka. Mereka memperjelas aturan-aturan Thaharah dan tata cara pelaksanaanya.
D. Pengertian Najis, Macam-Macam Najis dan Cara Membersihkan
Pengertian najis dari segi bahasa ialah benda yang kotor, sedangkan dari segi syarak pula najis merupakan benda kotor yang menghalangi sahnya shalat, termasuklah najis hukmi dan hakiki. Terdapat dua jenis bentuk najis, yaitu Najis ‘Aini dan Najis Hukmi. a) Najis ‘Aini merupakan najis yang apat dilihat atau dirasa ataupula dapat dihirup aromanya. Contohnya seperti air kencing dan darah. b) Najis Hukmi merupakan najis yang sudah hilang kesannya seperti sudah hilang aroma dan warnanya. Contohnya air kencing yang sudah kering. Jenis najis sendiri terbagi menjadi tiga jenis diantaranya yaitu sebagai berikut. 1) Najis Mughallazah (najis berat), najis ini disebut najis Mughallazah dalam bahasa arab yaitu sebagai najis yang berat untuk menyucikannya. Jenis-jenis najis mughallazah yaitu air liur anjing dan air liur babi. Apabila najis terkena pada pakian, badan atau tempat hendaklah dibersihkan dengan tujuh basuhan. Salah satu dari tujuh basuhan tersebut hendaknya menggunakan air bercampur tanah (1 air tanah + 6 kali air mutlak = 7 basuhan) 2) Najis Mutawassitah (najis pertengahan), najis muatawassitah merupakan najis pertengahan yang d]perlu dibasuh dengan air mutlak. Najis sederhana ini tidak perlu dibasuh berulang kali seperti najis berat dan tidak memadai dengan hanya dipercikkan air ke atasnnya seperti najis kecil. Jenis-jenis najis mutawassitah yaitu arak, darah, dan bangkai.jika terkena najis mutawassitah pertama, yang harus dilakukan ialah membersihkannya hingga warna, wujud, bau atau rasanya hilang dan kedua, dilanjutkan dengan menggunakan air. 3) Najis Mukhaffafah (najis ringan), najis mukhaffafah merupakan najis yang boleh dibersihkan dengan renjisan air. Jenis najisnya yaitu air kencing anak bayi laki-laki. Untuk membersihkan najis mukhaffafah adalah dengan menggunakan air bersih. Rasulullah bersabda: "Barang yang terkena air kencing anak perempuan harus dicuci, sedangkan bila terkena air kencing laki-laki cukup dengan memercikan air padanya,” (HR Abu Daud dan Nasa’i). Cara membersihkan menggunakan air, yaitu air harus mengenai seluruh tempat atau tubuh yang terkena najis ini. Air yang digunakan juga harus lebih banyak dari air kencing yang mengenainya. Setelah itu, barulah benda yang sudah dibersihkan, lalu diperas dan dikeringkan. Dalam syarat ini tidak diwajibkan menggunakan air yang mengalir. E. Pengertian Hadas, Macam-Macam Hadas dan Cara Membersihkan Hadas merupakan suatu keadaan tidak suci pada ornag yang telah balig dan berakal sehat. Hadas dibedakan menjadi hadas besar dan hadas kecil. hadas kecil yang sudah disepakati para ahli fikih diantaranya adalah keluar air kencing, air besar (tinja), angin, mazi (air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau sedang bercanda), dan wadi (semacam cairan putih kental yang keluar dari alat kelamin mengiringi air kencing) yang semuanya terjadi dalam keadaan sehat. Hadas kecil bisa dihilangkan dengan melakukan thaharah syar’iyyah yang disebut wudhu. Hal ini dikuatkan firman Allah SWT yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,.. (QS Al Maa’idah:6) juga sabda Nabi SAW yang artinya: “Allah tidak menerima sholat tanpa bersuci...” (HR Muslim). Hadas besar terjadi pada orang yang dalam keadaan janabah (orangnya disebut junub) dan wanita dalam keadaan haid. Untuk mensucikan diri, seorang junub atau wanita haid wajib melakukan mandi. Dasar hukumnya ada pada firman Allah SWT yang artinya:... dan jika kamu junub maka mandilah... (QS.Al Maa’idah [5]: 6) dan firman lainnya yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘haid itu adalah suatu kotoran.’... (QS Al Baqarah [2]: 222). F. Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu dan Tayamum Tayamum disyariatkan bagi orang yang tidak menemukan air setelah berusaha semaksimal mungkin mencarinya. Atau bisa juga dia menemukannya, namun dia tidak bisa menggunakan air tersebut karena beberapa hal seperti sakit dan cuaca dingin yang akut. Sedangkan bagi seseorang yang hanya menemukan sedikit air, tetapi air itu tidak cukup untuk membersihkan seluruh tubuhnya, hendaklah ia membersihkan sebagian dari anggota tubuh dengan air tersebut. Kemudian dia bertayamum untuk anggota tubuhnya yang tersisa. Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab Minhaj al-Muslim menjelaskan perkara yang membatalkan dan dibolehkan dalam tayamum. Ada dua hal yang dapat membatalkan tayamum, yakni setiap yang membatalkan wudhu karena tayamum itu adalah penggantinya wudhu. Kedua, adanya air bagi orang yang bertayamum karena alasan tidak ada air sebelum memulai shalat atau pada saat menunaikannya.