Anda di halaman 1dari 12

THAHARAH, SHALAT, DAN PUASA

A. Thaharah
Thaharah secara bahasa berarti bersuci atau bersih dan membebaskan diri dari kotoran
dan najis. Sementara menurut istilah (syara'), Thaharah berarti menghilangkan hukum hadats
untuk menunaikan shalat atau ibadah lainnya yang mensyaratkan untuk bersuci dengan air atau
pengganti air, tayammum.
Secara umum, Thaharah berarti menghilangkan kotoran dan najis yang dapat mencegah
sahnya shalat, baik najis atau kotoran yang menempel di badan maupun pakaian. Menjaga
kebersihan dalam sebuah hadits disebut sebagian dari iman.
Thaharah juga memiliki kedudukan yang paling utama dalam ibadah. Apabila seseorang
sudah memahami dan menjalankan dengan baik, maka ibadahnya akan berjalan dengan lebih
baik. Sementara bagi yang belum paham, ibadahnya bisa jadi tidak sah.
Bersuci ini lebih lanjut dibagi menjadi dua, lahiriah (fisik) dan batiniah (hati).
Thaharah ma'nawiyah atau thaharah hati, yaitu bersuci dari syirik dan maksiat. Segala
perbuatan dosa atau maksiat yang berhubungan dengan hati seperti sombong, angkuh, takabbur,
dendam, dan iri harus dihilangkan.
Cara menghilangkannya dengan bertauhid dan beramal sholeh. Umat diharap bisa
bertaubat, berjanji tidak mengulangi lagi, dan memperbanyak ibadah seperti berdzikir, membaca
Alquran, dan shalat malam atau tahajjud.
Thaharah lahiriah dinilai tidak akan terlaksana tanpa bersihnya hati seseorang. Dalam
surat at-Taubah ayat 28 Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis."
Selanjutnya dalam surat al-Maidah ayat 41 Allah juga berkata, "Mereka itu adalah orang-orang
yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan didunia dan
diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar." Wajib bagi seorang muslim yang berakal untuk
mensucikan dirinya dari syirik, penyakit hati, dan keraguan kepada Allah.
Thaharah kedua yaitu yang bersifat fisik. Mensucikan diri dari hadats dan anjis adalah
bagian dari iman kedua. Allah mensyariatkan thaharah badan ini dengan wudhu dan mandi
wajib. Penghilangan najis dan kotoran ini tidak hanya fisik manusia tapi juga yang melekat
seperti pakaian hingga tempat ibadah.Dalam praktiknya, thaharah harus dilakukan karena dua
asbab, yakni adanya najis dan hadats.
Najasah atau najis secara bahasa artinya kotoran. Najasah atau najis dalam istilah
syariat adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat. Dalam Ar Raudhatun
Nadiyyah (1/12) disebutkan,

‫ و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا‬,‫النجاسات جمع نجاسة‬
‫أصابهم كالعذرة و البول‬

“Najasat adalah bentuk jamak dari najasah, ia adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh
orang-orang yang memiliki fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha menjauhinya dan
membersihkan pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran manusia dan air seni”. 1
1
Dinukil dari Al Wajiz fi Fiqhissunnah wal Kitabil Aziz (23)

1
Dalam Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (1/35) disebutkan,

‫ هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها‬:‫النجاسة‬

“Najasah adalah setiap hal yang dianggap kotor yang diperintahkan oleh syariat untuk
menjauhinya”

Dari penyataan “dianggap kotor oleh syariat” dalam definisi-definisi yang disebutkan
para ulama menunjukkan bahwa tidak semua yang kotor menurut manusia itu adalah najis
dalam istilah syar’i, dan juga menunjukkan bahwa menentukan najis atau tidaknya sesuatu itu
harus dilandasi dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya sesuatu tersebut, maka ia
suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:

‫يجب أن يعلم أن األصل في جميع األشياء الطهارة فال تنجس و ال ينجس منها إال ما دل عليه الشرع‬

“wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh
mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat”.2

Maka najis tidak bisa ditentukan dengan akal atau perasaan seseorang bahwa sesuatu itu najis,
melainkan harus berdasarkan dalil. Dan yang dituntut dari kita terhadap najis adalah kita
diperintahkan untuk menjauhinya dan membersihkan diri darinya jika terkena najis.

Agar lebih menyempurnakan pemahaman, perlu diketahui bahwa najis dibagi menjadi tiga 3:

1. Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah, yaitu najis dari anjing dan babi.
2. Najasah mukhaffafah (ringan), misalnya yaitu air kencing anak laki-laki yang belum
memakan makanan dan muntahnya, madzi juga termasuk jenis ini
3. Najasah mutawashitah (pertengahan), adalah yang bukan termasuk kedua jenis di atas,
misalnya air kencing secara umum, kotoran manusia (feces), bangkai, dll.4

Hadas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan tidak suci pada
diri seorang muslim yang menyebabkan ia tidak boleh salat, tawaf dan lain sebagainya.[1] Senada
dengan pengertian pada KBBI, pada Ensiklopedia Indonesia juga dijelaskan hadas
merupakan ketidaksucian yang dipandang tidak suci oleh sarat dan menghalangi sarat sahnya
suatu ibadah.[2] Hadas menurut cara mensucikan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hadas besar
dan kecil.[2] Hadas besar adalah hadas yang harus disucikan dengan cara mandi sedangkan hadas
kecil adalah hadas yang dapat disucikan dengan cara berwudu atau tayamum saja.[2] Tayamum
dapat dipilih untuk bersuci dengan catatan apabila sedang berhalangan memakai air.[2] Contoh
hadas besar adalah haid, junub, nifas dan keluar mani.[1] Mandi untuk membersihkan diri dari
hadas dinamakan mandi wajib atau mandi besar.[3] Mandi wajib atau mandi besar dilakukan
2
Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi (19-21)
3
Lihat Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi (19-
21)
4
https://muslim.or.id/28432-perbedaan-najasah-hadats-nawaqidhul-wudhu-dan-qadzarah.html

2
dengan cara meratakan seluruh air ke semua bagian tubuh. [3] Contoh hadas kecil adalah buang air
kecil, besar, atau keluar udara dari dubur.[2]

Hadats secara bahasa artinya: terjadinya sesuatu. Sedangkan secara


istilah, hadats adalah keadaan yang mewajibkan wudhu atau mandi jika seseorang hendak
shalat. Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

‫ َو ِإَذا‬، ‫ َو َح َدٌث َأْص َغُر‬، ‫ َح َدٌث َأْك َبُر‬: ‫ َفُيَق اُل‬.‫ َو َعَلى َم ا ُي وِج ُب اْلُغْس َل‬،‫اْلَح َدُث ُيْطَل ُق َعَلى َم ا ُي وِج ُب اْلُو ُض وَء‬
‫ َك اَن اْلُمَر اُد اَأْلْص َغَر َغاِلًبا‬، ‫ُأْطِلَق‬

“Hadats dimutlakkan kepada makna: segala keadaan yang mewajibkan wudhu dan dan
mandi. Disebutkan oleh para ulama bahwa hadats itu terbagi menjadi: hadats
akbar dan hadats ashghar. Dan jika dimutlakkan, yang dimaksud adalah hadats asghar“4.

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As Saniyyah disebutkan:

‫ مَّم ا ُتشتَر ُط له الَّطهارُة‬،‫ وصٌف قائٌم بالَبَد ِن يمَنُع ِم َن الصالِة ونحِو ها‬:‫الحَدُث اصطالًح ا‬
“Hadats secara istilah maknanya suatu keadaan yang terjadi pada badan yang membuat
seseorang terlarang untuk melakukan shalat dan ibadah lainnya yang disyaratkan harus
dalam keadaan suci”5.

Para ulama membagi hadats menjadi 2 macam: hadats akbar (besar) dan hadats asghar (kecil):

‫ وخروِج‬، ‫ والغائ ِط‬، ‫ وهو ما يِج ُب به الوضوُء؛ كالبوِل‬، ‫ الحَد ث األصغُر‬:‫الَّنوع األَّو ل‬: ‫ينقِس ُم الحَدُث إلى َنوعيِن‬
. ‫ِّر يِح‬ ‫ال‬
‫ وهو ما يِج ُب به الُغسُل؛ كَم ن جاَمَع أو أنَز َل‬،‫ الحَد ث األكبر‬:‫والَّنوع الَّثاني‬

“Hadats terbagi menjadi 2 macam:

1. Hadats asghar. Yaitu segala yang mewajibkan wudhu, seperti: buang air kecil, buang
air besar dan buang angin.
2. Hadats akbar. Yaitu yang mewajibkan mandi, seperti: jima‘ (bersenggama) atau keluar
mani”6.

Dari sini bisa kita ketahui bahwa istilah hadats adalah suatu keadaan bukan suatu benda
atau zat. Berbeda dengan najis yang merupakan benda atau zat.

Wudhu

3
Apabila seseorang mngalami hadats kecil, seperti buang air besar, buang air kecil,
buang angin, maka baginya diwajibkan berwudhu sebelum melakukan ritual ibadah seperti
shalat, ataupun membaca quran. Adapun dalil disyariatkannya wudhu adalah sebagai berikut:

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

‫َيا َأُّيَه ا اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذا ُقْم ُتْم ِإىَل الَّصاَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُوُج وَه ُك ْم َو َأْيِد َيُك ْم ِإىَل اْلَمَر اِفِق َو اْم َس ُح وا ِبُرُءوِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإىَل‬
‫ِئِط‬ ‫ِم ِم‬ ‫ِإ‬ ‫ِنْي ِإ‬
‫اْلَك ْع َب ۚ َو ْن ُك ْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّه ُر واۚ َو ْن ُك ْنُتْم َمْر َضٰى َأْو َعَلٰى َس َف ٍر َأْو َج اَء َأَح ٌد ْنُك ْم َن اْلَغا َأْو اَل َمْس ُتُم الِّنَس اَء‬
‫َٰلِك‬ ‫ِم‬ ‫ِل‬ ‫ِد ِم‬ ‫ِب ِه‬ ‫ِع‬ ‫ِجَت‬
‫َفَلْم ُد وا َم اًء َفَتَيَّم ُم وا َص يًد ا َطِّيًبا َفاْم َس ُح وا ُو ُج و ُك ْم َو َأْي يُك ْم ْنُهۚ َم ا ُيِر ي ُد الَّل ُه َيْجَع َل َعَلْيُك ْم ْن َح َر ٍج َو ْن‬
‫ُيِر يُد ِلُيَطِّه َر ُك ْم َو ِلُيِتَّم ِنْع َم َتُه َعَلْيُك ْم َلَعَّلُك ْم َتْش ُك ُر وَن‬
Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur." (QS. Al-Maidah: 6)

Adapun rukun wudhu adalah sebagai berikut:

1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh tangan sampai siku
4. Menyapu kepala
5. Membasuh kaki sampai mata kaki
6. Tertib (urut)

Apabila kita dalam keadaan berhadats, tetapi tidak menemukan air, maka disyariatkan untuk
bertayammum, sebagaimana firman Allah surat al-Maidah ayat 6 di atas.

Tayammum secara bahasa diartikan sebagai Al Qosdu (‫ )الَقْص ُد‬yang berarti maksud.
Sedangkan secara istilah dalam syari’at adalah sebuah peribadatan kepada Allah berupa
mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan sho’id yang bersih.5 Sho’id adalah
seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum baik yang terdapat tanah
di atasnya ataupun tidak. 6

5
Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rohimahullah hal. 231/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.

4
Dalil Disyari’atkannya Tayammum

Tayammum disyari’atkan dalam islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan


Ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa
Jalla,

‫َو ِإْن ُكْنُتْم َم ْر َض ى َأْو َع َلى َس َفٍر َأْو َج اَء َأَح ٌد ِم ْنُك ْم ِم َن اْلَغاِئِط َأْو اَل َم ْس ُتُم الِّنَس اَء َفَلْم َتِج ُدوا َم اًء َفَتَيَّمُم وا َص ِع يًدا َطِّيًب ا َفاْم َس ُحوا‬
‫ِبُو ُج وِه ُك ْم َو َأْيِد يُك ْم ِم ْنُه‬

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah [5] : 6).

Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari
sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,

» ‫« َو ُج ِع َلْت ُتْر َبُتَها َلَنا َطُهوًرا ِإَذ ا َلْم َنِج ِد اْلَم اَء‬

“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam ) permukaan
bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk besuci (tayammum) jika kami tidak
menjumpai air”.

Media yang dapat Digunakan untuk Tayammum

Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi
yang bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul
Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,

‫ُج ِع َلِت اَألْر ُض ُك ُّلَها ِلى َو ُألَّمِتى َم ْس ِج دًا َو َطُهورًا‬

“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam)
dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”.

Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits Hudzaifah ibnul
Yaman Nabi mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ash
Shon’ani rohimahullah, “Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah
pengkhususan”. Hal ini merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik,
Imam Abu Hanifah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Amir Ashon’ani, Syaikh Al
Albani, Syaikh Abullah Alu Bassaam –rohimahumullah-, Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al
Fauzan dan Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahumallah.

6
Lisanul ‘Arob oleh Muhammad Al Mishriy rohimahullah hal. 251/III, terbitan Darush Shodir, Beirut,
Lebanon.

5
Keadaan yang Dapat Menyebabkan Seseorang Bersuci dengan Tayammum

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang
dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,

1. Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak[15].
2. Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang
memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.
o Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau
semakin lama sembuh dari sakit.
o Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak
mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang
mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya
waktu sholat.
o Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat
menghangatkan air tersebut.

Tata Cara Tayammum Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam

Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin
Yasir rodhiyallahu ‘anhu,

، ‫ َفَتَم َّر ْغ ُت ِفى الَّص ِع يِد َك َم ا َتَم َّر ُغ الَّد اَّب ُة‬، ‫ َفَلْم َأِج ِد اْلَم اَء‬، ‫َبَع َثِنى َر ُسوُل الَّلِه – صلى الله عليه وسلم – ِفى َح اَج ٍة َف َأْج َنْبُت‬
‫ َفَض َر َب ِبَك ِّف ِه َض ْر َبًة َع َلى اَألْر ِض ُثَّم‬. » ‫َفَذ َكْر ُت َذ ِلَك ِللَّنِبِّى – صلى الله عليه وسلم – َفَقاَل « ِإَّنَم ا َك اَن َيْك ِفيَك َأْن َتْص َنَع َهَك َذ ا‬
‫ ُثَّم َم َسَح ِبِهَم ا َو ْج َهُه‬، ‫ َأْو َظْه َر ِش َم اِلِه ِبَك ِّفِه‬، ‫ ُثَّم َم َسَح ِبَها َظْه َر َك ِّفِه ِبِش َم اِلِه‬، ‫َنَفَض َها‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku
mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah
sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal
tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan,
“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan
telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau
mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap
punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya
dengan kedua tangannya.

Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,

‫َو َم َسَح َو ْج َهُه َو َك َّفْيِه َو اِح َد ًة‬

“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.

Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu
‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.

6
 Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali
pukulan kemudian meniupnya.
 Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
 Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
 Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan
saja.
 Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan
tangan saja atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu[17].
 Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah, demikian juga untuk
hadats kecil.
 Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.

Pembatal Tayammum

Pembatal tayammum sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak


dibolehkan lagi apa bila telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena
ketidakadaan air dan telah adanya kemampuan menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi
orang yang bertayammum karena ketidakmampuan menggunakan air. Akan tetapi shalat atau
ibadah lainnya yang telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu,

، ‫ ُثَّم َو َج َدا اْلَم اَء ِفي اْل َو ْقِت‬، ‫ َفَص َّلَيا‬، ‫ َفَح َض َر ْت الَّص اَل ُة – َو َلْيَس َم َع ُهَم ا َم اٌء – َفَتَيَّم َم ا َص ِع يًدا َطِّيًب ا‬، ‫َخ َر َج َر ُج اَل ِن ِفي َس َفٍر‬
: ‫ َفَقاَل ِلَّل ِذ ي َلْم ُيِع ْد‬، ‫ ُثَّم َأَتَيا َر ُسوَل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَذ َك َر ا َذ ِلَك َلُه‬، ‫ َو َلْم ُيِع ْد اآْل َخ ُر‬، ‫َفَأَعاَد َأَح ُدُهَم ا الَّص اَل َة َو اْلُو ُضوَء‬
‫ َلك اَأْلْج ُر َم َّرَتْيِن‬: ‫َأَص ْبت الُّس َّنَة َو َأْج َز َأْتك َص اَل ُتك َو َقاَل ِلآْل َخ ِر‬

Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di
sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu
keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu
yang dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka
berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya.
Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka
alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak
mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu
telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi
shalatnya, “Untukmu dua pahala”.

Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu
‘anhu,

‫َفِإَذ ا َو َج َد اْلَم اَء َفْلَيَّتِق الَّلَه َو ْلُيِم َّسُه َبَش َر َتُه‬. ‫ َو ِإْن َلْم َيِج ْد اْلَم اَء َع ْش َر ِس ِنيَن‬، ‫الَّص ِع يُد ُو ُض وُء اْلُم ْس ِلِم‬

“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak
menemukan air selama sepuluh tahun (kiasan bukan pembatasan angka), apabila ia telah

7
menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk
besuci”.7

B. Shalat
Setelah membahas thoharoh, maka kita akan masuk pada salah satu ibadah yang
berkaitan dengan nya, yaitu shalat. Shalat merupakan salah satu dari tanda keimanan seseorang.
Yang membedakan antara mukmin dan kafir adalah terkait dengan shalat.
Secara bahasa salat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, ibadah. Sedangkan,
menurut istilah, salat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai
dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad telah memberikan peringatan keras kepada orang yang
suka meninggalkan salat wajib, mereka akan dihukumi menjadi kafir[2] dan mereka yang
meninggalkan salat maka pada hari kiamat akan disandingkan bersama dengan orang-orang,
seperti Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.[3]
Hukum salat dapat dikategorisasikan sebagai berikut:

 Fardu, Salat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk mengerjakannya. Salat fardhu terbagi
lagi menjadi dua, yaitu:
o Fardu ain adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf langsung berkaitan dengan
dirinya dan tidak boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain, seperti salat
lima waktu, dan salat Jumat (fardhu 'ain untuk pria).
o Fardu kifayah adalah kewajiban yang diwajibkan kepada mukalaf tidak langsung
berkaitan dengan dirinya. Kewajiban itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang yang
mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang mengerjakannya maka kita wajib
mengerjakannya dan menjadi berdosa bila tidak dikerjakan, seperti salat jenazah.
 Salat sunah (salat nafilah) adalah salat-salat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi
tidak diwajibkan. Salat nafilah terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
o Nafil muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir
mendekati wajib), seperti salat dua hari raya, salat sunah witir dan salat sunah thawaf.
o Nafil ghairu muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat,
seperti salat sunah Rawatib dan salat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu
dan keadaan, seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

1. Syarat Sah Sholat


Syarat sahnya shalat ini adalah sesuatu yang mana sebelum shalat, harus terpenuhi
terlebih dahulu. Macam-macam dari syarat-syarat sah shalat ini adalah sebagai berikut:
a. Suci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Hadats kecil ini adalah segala
sesuatu yang membatalkan wudhu, seperti kentut, buang air kecil dan besar . Adapun
hadats besar adalah ketika mimpi basah atau junub (untuk laki-laki dan perempuan) dan
haid, nifas, dan setelah melahirkan (khusus perempuan), dan untuk mensucikan-nya
adalah dengan mandi besar atau mandi junub

7
https://muslim.or.id/1918-panduan-tata-cara-tayammum.html

8
b. Suci seluruh anggota badan, pakaian dan tempat dari najis. Seperti yang dijelaskan
dalam QS. al-Muddatssir (74): 4

‫َو ِثَياَبَك َفَطِّهۡر‬


Artinya:
“Dan pakaianmu bersihkanlah”
c. Menutup aurat. Bagi laki-laki, aurat wajibnya adalah antara pusar dan dua lutut kaki.
Sedangkan bagi perempuan aurat adalah seluruh anggota badan (tubuh), kecuali wajah
dan dua belah telapak tangan.
d. Masuk waktu shalat ( yang telah ditentukan pada waktu shalat di wilayah masing-masing
negara)
e. Menghadap ke arah kiblat .

2. Syarat – Syarat Wajib-nya Shalat


Syarat wajib shalat adalah syarat-syarat dimana, seseorang sudah atau harus
berkewajiban untuk melakukan shalat ketika syarat-syarat wajib ini sudah atau telah
terpenuhi semuanya. Adapun syarat-syarat yang menyebabkan seseorang terkena hukum
wajib shalat adalah sebagai berikut ini:
a. Beragama Islam
b. Baligh. Maksudnya, sudah cukup umur untuk melakukan segala sesuatu yang sifatnya
wajib.Batas baligh bagi seorang anak laki-laki adalah ketika anak tersebut mengalami
mimpi basah atau ketika anak tersebut berusia kurang lebih 15 tahun. Sedangkan bagi
anak perempuan batas balighnya adalah ketika keluarnya darah haid atau sekitar umur 9
tahun.
c. Berakal sehat. Tidak dalam keadaan gila, atau kehilangan akal.
Orang yang gila atau mabuk, yang menyebabkan hilangnya akal, tidak diwajibkan untuk
shalat. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’ (4) ayat 43, berikut ini:
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا اَل َتۡق َر ُبوْا ٱلَّص َلٰو َة َو َأنُتۡم ُس َٰك َر ٰى َح َّتٰى َتۡع َلُم وْا َم ا َتُقوُلوَن‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu (mendekati) shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….”
d. Mumayyiz, mampu membedakan antara yang baik dan benar, yang benar dan salah serta
yang halal dan yang haram.

3. Rukun Shalat
Rukun salat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat
salat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka salat pun tidak teranggap secara syar’i dan
juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

1. Berdiri bagi yang mampu.


2. niat dalam hati
3. Takbiratul ihram.
4. Membaca surat Al Fatihah pada tiap rakaat.
5. Rukuk dan tuma’ninah.

9
6. Iktidal setelah rukuk dan tumakninah.
7. Sujud dua kali dengan tumakninah.
8. Duduk antara dua sujud dengan tumakninah.
9. Duduk tasyahud akhir
10.membaca tasyahud akhir.
11.Membaca salawat nabi pada tasyahud akhir.
12.Membaca salam yang pertama.
13.Tertib melakukan rukun secara berurutan.

C. Puasa
1. Pengertian
Secara bahasa Shaum (puasa) bermakna “imsaak” yaitu menahan. Secara istilah
syar’i maka puasa adalah beribadah kepada Allah subahanahu wata’ala dengan cara menahan
diri dari makan, minum dan dari segala yang membatalkannya, sejak terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari.
Niat puasa tempatnya adalah dalam hati, tidak boleh melafalkan niat ini secara lisan,
sebab melafalkannya secara lisan adalah perkara bid’ah. Niat ini boleh diniatkan pada waktu
kapanpun dalam malam hari itu, walaupun sudah dekat waktu fajar. Ketentuan puasa wajib
adalah wajib berniat puasa sebelum fajar. Tentang sifat niat ini, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Setiap orang yang tahu bahwa keesokan harinya
adalah awal Ramadhan dan ia (dalam hatinya) berkeinginan untuk berpuasa besoknya, maka
sudah dianggap sebagai niat, dan ini merupakan amalan seluruh kaum muslimin”.
Adapun puasa sunat maka boleh diniatkan sebelum waktu zawal (yaitu waktu dimana
matahari tepat berada ditengah langit = sekitar 15 menit sebelum azan zuhur) dengan syarat
pada pagi hari itu anda belum makan/minum (sejak fajar), sebagaimana yang sering
dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Adapun puasa sunat yang dikhususkan pada waktu tertentu seperti puasa hari Asyura
atau puasa Arafah maka sebagian ulama mensyaratkan agar berniat pada malam harinya
sebelum fajar.
Puasa atau saum adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan,
minuman, atau keduanya, perbuatan buruk dan dari segala hal yang membatalkan puasa
untuk periode waktu tertentu. Puasa mutlak biasanya didefinisikan sebagai berpantang dari
semua makanan dan minuman untuk periode tertentu, biasanya selama satu hari (24 jam),
atau beberapa hari. Puasa lain, membatasi makanan tertentu atau zat. Praktik puasa dapat
menghalangi aktivitas seksual dan lainnya serta makanan. Puasa, sering dilakukan dalam
rangka menunaikan ibadah, juga dilakukan di luar kewajiban ibadah untuk meningkatkan
kualitas hidup spiritual seseorang yang melakukannya. Hal semacam ini sering ditemukan
dalam diri pertapa atau rahib. Inti dari maksud dan tujuan puasa itu adalah pengekangan diri
dari sebuah keinginan untuk mencapai sebuah tujuan. Oleh karenanya, puasa dapat
didefinisikan sebagai usaha pengekangan diri dari sebuah keinginan yang dilarang untuk
mencapai sebuah tujuan.

10
2. Syarat Wajib Puasa Ramadhan
Syarat wajib adalah ketentuan yang mesti dipenuhi seorang muslim sebelum
melaksanakan suatu ibadah. Orang yang belum memenuhi syarat wajib puasa, maka
kewajiban puasanya gugur dan ia tidak diharuskan menjalankan puasa. Agus Arifin dalam
buku Step By Step Fiqih Puasa (2013: 87-88) menuliskan beberapa syarat wajib puasa
sebagai berikut:
a. Bertatus muslim Karena puasa termasuk rukun Islam, hanya orang muslim dan muslimah
yang wajib menunaikan ibadah puasa. Jika seseorang murtad, keluar dari Islam,
kewajiban puasa baginya gugur dan ia tidak memenuhi syarat wajib puasa. Syarat
keislaman ini dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin 'Umar bin
Khattab Ra yang berkata: saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: "Islam didirikan
dengan 5 hal, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah
utusan-Nya, didirikannya sholat, dikeluarkannya zakat, dikerjakannya haji di Baitullah
[Ka’bah], dan dikerjakannya puasa di bulan Ramadan,” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Balig atau mencapai masa pubertas Syarat wajib puasa yang kedua ialah telah mencapai
status balig atau pubertas. Bagi laki-laki, ia ditandai dengan keluarnya sperma dari
kemaluannya, baik dalam keadaan tidur ataupun terjaga. Sementara itu, bagi perempuan,
status balig ditandai dengan menstruasi. Dalam uraian "Syarat Wajib dan Rukun Puasa
Ramadhan" yang ditulis Ustaz Syaifullah Amin di NU Online, syarat keluar mani pada
laki-laki dan haid pada perempuan ada di batas usia minimal 9 tahun. Di sisi lain, bagi
laki-laki dan perempuan yang belum keluar sperma dan belum menstruasi, batas minimal
dikatakan balig jatuh pada usia 15 tahun dari usia kelahiran.
c. Berakal sehat Syarat wajib puasa yang ketiga bagi seorang muslim dan balig, adalah ia
harus memiliki akal yang sehat, sempurna, dan tidak gila. Selain itu, ia juga tidak
mengalami gangguan mental dan tidak hilang kesadarannya karena mabuk. Seorang
muslim yang mabuk tidak terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa. Namun,
terdapat pengecualian pada orang mabuk dengan sengaja, misalnya karena konsumsi
minuman keras. Jika sengaja mabuk, ia wajib mengganti (qadha) puasanya di hari selain
bulan Ramadan. Syarat kebalig-an dan akal sehat ini bersandar pada sabda Nabi
Muhammad SAW: "Tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur
sapai ia terbangun, orang yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh,”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
d. Kemampuan menunaikan puasa Setelah terpenuhi tiga syarat wajib di atas, yang keempat
ialah kemampuan menjalankan ibadah puasa. Jika seorang muslim tidak mampu
menjalankan puasa karena sebab tertentu, ia diwajibkan mengganti di bulan berikutnya
atau membayar fidyah. Ketidakmampuan berpuasa ini bisa terjadi karena perjalanan yang
memberatkan (musafir), sakit, hamil dan menyusui, dan berusia sangat tua atau sudah
renta.
e. Mengetahui awal Ramadan Syarat wajib yang terakhir adalah mengetahui awal Ramadan
dan hari pertama puasa hingga sebulan penuh. Untuk menetapkan pengetahuan mengenai
awal Ramadan, dapat bersumber pada salah seorang terpercaya atau adil yang
mengetahui awal bulan Ramadan dengan melihat hilal. Orang tersebut dipercaya karena
melihat hilal secara langsung dengan mata biasa tanpa peralatan bantu. Kemudian,

11
kesaksian orang itu dapat dipercaya, dengan terlebih dulu diambil sumpahnya. Setelah
mengetahui kesaksian itu, umat Islam di satu wilayah wajib menunaikan puasa Ramadan.
Di Indonesia, ketetapan awal Ramadan dapat bersandar kepada sidang isbat atau
penentuan awal puasa yang digelar Kementerian Agama (Kemenag). Sidang isbat biasanya
menentukan posisi hilal dari Tim Falakiyah oleh Kementerian Agama. Jikalau hilal tidak
dapat dilihat karena tebalnya awan, untuk menentukan awal bulan Ramadan bisa dengan
menyempurnakan hitungan tanggal bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Rujukannya adalah hadis
Nabi Muhammad SAW: “Berpuasa dan berbukalah karena melihat hilal, dan apabila hilal
tertutup awan maka sempurnakanlah hitungannya bulan menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari).
Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat penentuan awal Ramadhan bisa
dilakukan tanpa metode rukyatul hilal (melihat bulan), yang dengan cara hisab. Hisab adalah
metode perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan pada
awal kalender hijriyah, termasuk bulan Ramadhan. Rukun Puasa Ramadhan Setelah
terpenuhinya syarat wajib, orang yang menjalankan ibadah puasa harus memenuhi rukun
puasa agar ibadahnya sah dan diterima Allah SWT.

3. Rukun Puasa
Dilansir dari NU Online, rukun puasa hanya ada dua.
a. Niat puasa Niat adalah penegasan status fardu dari ibadah puasa Ramadhan. Hal ini
menunjukkan kejelasan adanya ibadah, bukan hanya sekadar kehendak menunaikannya.
Menurut ulama Mazhab Syafi'i, setiap orang yang hendak berpuasa disunahkan untuk
melafalkan bacaan niatnya. Bacaan niat puasa Ramadan adalah sebagai berikut:
‫َنَو ْيُت َص ْو َم َغ ٍد َع ْن َأَداِء َفْر ِض َشْهِر َر َم َض اِن هِذِه الَّسَنِة ِهلِل َتَع اَلى‬
Artinya: "Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadan tahun
ini, karena Allah Ta'ala."
b. Menahan diri dari pembatal-pembatal puasa Rukun kedua dalam ibadah puasa
sebagaimana definisinya, yakni menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan
sejak terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib) dengan niat
karena Allah SWT. Terdapat beberapa hal yang membatalkan puasa, seperti makan-
minum, hubungan suami-istri di siang hari, muntah disengaja, keluar mani disengaja,
haid, nifas, serta murtad keluar dari Islam.

12

Anda mungkin juga menyukai