Anda di halaman 1dari 162

THAHARAH

Pengertian Thaharah
Thaharah menurut pengertian bahasa, berarti suci/kesucian atau bersih/kebersihan. Kata ini
mengandung pengertian yang lebih luas,yaitu mencangkup kebersihan atau kesucian dari
segala kotoran yang bersifat fisik (material), seperti najis, kotoran, kencing dan lain-lain.
maupun yang bersifat spiritual, yaitu kebersihan dari aib dan kejahatan.
Sedangkan menurut ilmu fiqih thaharah ialah bersuci berarti menghilangkan segala najis, baik
yang abstrak (hadast) ataupun yang konkret/terlihat (khabats) dengan menggunakan air atau
debu suci.
Dalil yang menunjukkan bahwa islam sangat mementingkan kebersihan, diantaranya:
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang bersih.
Jenis-jenis thaharah
Ada dua jenis thaharah, yakni:
Thaharah dari hadast, yang disebut dengan mandi wajib, berwudhu atau bertayamum.
Thaharah dari khabats, yaitu membersihkan segala kotoran/najis yang tampak oleh
mata yang terdapat pada badan, pakaian, dan tempat ibadah
Syarat wajib thaharah
Kewajiban thaharah diwajibkan atas setiap orang yang dikenai kewajiban untuk melakukan
shalat. Dalam kaitan ini ada 10 syarat wajib Thaharah yaitu :
Islam (bukan kafir), berakal (tidak gila), baligh (bukan dibawah umur), berhentinya darah
haid dan nifas, masuknya waktu, tidak tidur, tidak lupa, tidak dalam keadaan dipaksa, ada air,
ada kesanggupan untuk melakukannya.
Alat-alat thaharah
Berdasarkan atas dalil yang pasti dan jelas, ulama sepakat bahwa kebersihan secara syari
wajib hukumnya. Para ulama sepakat bahwa alat-alat yang paling popular yang dapat
digunakan untuk membersihkan diantaranya ialah air dan tanah. Air dipergunakan untuk
berwudhu dan mandi dari junub, haid, dan nifas. Tanah digunakan apabila tidak ada air, atau
karena uzur menggunakannya, atau menghilangkan najis.
Macam-macam air dan hukumnya
Air merupakan alat pembersih utama yang telah disiapkan oleh Allah SWT Untuk manusia.
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam QS. Al-anfal [8]:
Artinya:
Allah telah menurunkan kepadamu air dari langit yang dapat digunakan untuk
membersihkan.
Air murni dalam istilah fiqih disebut dengan air muthlaq, yaitu air yang tidak dapat ditambah
dan dicampur oleh apa pun. Ia dapat dipakai untuk bersuci atau kebutuhan sehari-hari yaitu
Air hujan baik langsung atau dari cucuran genting, Air sungai yang masih jernih dan
mengalir, Air mata air, Air sumur, Air laut, Air es, Semacamnya baik yang asin maupun yang
tawar.
1. Air yang bercampur dengan zat yang suci. Air jenis ini dibagi menjadi dua, yaitu:
campuran suci yang ada tidak mungkin dipisahkan dari air, seperti paralon, tanah, besi
dan sejenisnya. Air jenis ini bisa dipakai untuk bersuci. Ia dapat mensucikan benda
lain karena tambahan yang masuk kedalamnya adalah suci
Misalnya air kolam yang bercampur dengan pasir, tanah dan lainnya.
Campuran suci yang mungkin dipisahkan dari air, seperti teh, kopi, gula, kembang
dan lainnya. Air jenis ini suci, tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan.
2. Air yang bercampur dengan zat najis
Air ini adalah air yang bercampur dengan najis
Misalnya : air seni, khamar, kotoran hewan dan sebagainya
Jika airnya sangat banyak mencapai 2 qulah dan tidak terkontaminasi oleh najis, air ini tidak
menjadi najis. Adapun jika kadar air tersebut dan najisnya sama serta terkontaminasi, maka
air itu najis dan tidak bisa dipakai untuk bersuci atau kebutuhan sehari-hari.
a. Air mustamal
Mustamal artinya terpakai. Air mustamal artinya air yang terpakai yaitu air sisa basuhan
atau cucian anggota wudhu. Ukuran air yang telah digunakan terdapat perbedaan pendapat
para ulama.
Menurut Hanafiyah, air mustamal ialah air yang telah digunakan untuk
membersihkan hadas (kecil maupun besar). air yang mustamal ialah air yang secara
langsung berhubungan dengan anggota badan.
Menurut Malikiyah, air mustamal ialah air yang telah digunakan untuk
membersihkan hadas (kecil maupun besar) dan kotoran, dan telah digunakan untuk
berwudhu kedua dan ketiga kalinya, apabila penggunaannya tidak merubah sifatnya.
Menurut Syafiiyah, air mustamal yang sedikit itu adalah air yang telah digunakan
untuk niat bersuci, seperti mandi dan wudhu.
Menurut Hanabilah, air mustamal ialah air yang telah digunakan untuk mandi dan
berwudhu, atau menghilangkan kotoran, serta tidak berubah sifat-sifatnya. Juga
dipandang mustamal oleh golongan ini ialah:
Air yang telah digunakan untuk mandi mayat
Air yang sedikit yang di dalamnya sudah tuga kali digunakan untuk mensucikan
tangan orang yang baru bangun dari tidur malam.
Air yang digunakan di dalamnya untuk mencuci tangan seluruhnya.
b. Air musyammas (air yang terkena sinar matahari)
Air musyammas adalah air yang suci dengan sendirinya dan mensucikan lainnya, tetapi
makruh penggunaannya karena diriwayatkan dari Asy-Syafiiyah dari Umar bahwa ia
menyebabkan belang. Daruquthni meriwayatkannya dari Umar dengan isnad sahih dan
mensyaratkan dua hal untuk menghukumkannya makruh:
1. Penjemuran itu berlangsung dalam bejana-bejana yang dicetak seperti tembaga, besi
dan timah, karena apabila matahari itu berpengaruh padanya, keluarlah semacam
minyak di permukaan air yang menimbulkan penyakit belang.
2. Penjemuran itu dilakukan di negeri yang sangat panas.
Najis
Najis dalam fiqih Islam adalah kotoran yang wajib dijauhi dan dibersihkan jika mengenai
badan, pakaian, dan tempat ibadah seorang muslim.
Macam-macam najis
Najis dapat dibedakan menjadi:
Najis hakiki, yaitu benda-benda yang terlihat kotornya, seperti darah, air seni, tinja dan lain-
lain. Najis hakiki ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Najis mughalladzoh (berat) adalah suatu materi yang kenajisannya ditetapkan
berdasarkan dalil yang pasti (qathi). yang termasuk dalam kelompok ini adalah
anjing dan babi. Najis kelompok ini dapat dicuci/dibersihkan sebanyak tujuh kali, satu
diantaranya dengan tanah.
2. Najis metawassithah (sedang) diantaranya adalah kotoran manusia, kencing dan
kotoran hewan. Najis-najis kelompok ini dapat dicuci dengan air.
3. Najis mukhaffafah (ringan) diantarannya ialah kencing bayi yang belum makan apa
pun selain ASI. Najis kelompok ini dapat dicuci dengan memercikkan air di atasnya
yaitu :
a. Najis hukmi artinya secara hukum keadaan seseorang yang dianggap sebagai bernajis
hingga wajib dibersihkan.
Dalam menentukan najis hukmi ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Mazhab SyafiI
menyatakan bahwa najis hukmi adalah sesuatu yang keadaannya dianggap najis yang
tidak mempunyai tubuh, yaitu tidak mempunyai warna dan bau serta tidak berupa
makanan (seperti kencing yang sudah kering). Dengan demikian, sebenarnya
seseorang dianggap bernajis secara hukum apabila ada unsure lain yang melekat pada
dirinya. Artinya, keadaan orang tersebutlah yang dianggap bernajis sehingga, ia tidak
dibenarkan shalat sebelum keadaannya tersebut dibersihkan.
Pengertian wudhu
Secara etimologi wudhu artinya bercahaya, bersih, dan bagus. Namun, secara terminology
wudhu berarti bersuci dengan menggunakan air pada bagian tubuh tertentu dan dengan cara
tertentu. Sedangkan menurut (Ahmad Thib Raya, wudhu adalah suatu cara untuk
menghilangkan hadas kecil yang dilakukan ketika akan mengerjakan shalat dan ibadah-
ibadah lainnya.
Rukun wudhu
Wudhu juga harus dilakukan mengikuti rukun-rukun sebagai berikut:
1. Niat berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil yang pelaksanaannya bersamaan
dengan permulaan membasuh muka.
2. Membasuh muka. Batas muka: panjangnya dari puncak kening sampai daku dan
lebarnya sampai batas telinga kiri dan kanan.
3. Membasuh kedua tangan sampai siku.
4. Menyapu kepala, sebagian atau seluruhnya.
5. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
6. Tertib.
Sunnah wudhu
Hal-hal yang sunah dalam wudhu
1. Membaca basmalah saat memulai wudhu
2. Berkumur tiga kali.
3. Menghirup air kedalam hidung, lalu mengembusnya keluar tiga kali
4. Bersiwak/menggosok gigi.
5. Menyela jenggot jika lebat.
6. Menggosok sela-sela jari.
7. Mencuci tiga kali pada seluruh anggota wudhu.
8. Memulai dari yang kanan.
9. Menggosok anggota wudhu agak kuat.
10. Muwalat, yaitu tidak menyelakan pekerjaan lain dalam berwudhu.
11. Membasuh dua telinga.
12. Berhemat dalam penggunaan air.
13. Membaca doa saat dan setelah wudhu.
14. Shalat sunah dua rakaat setelah wudhu.
Hal-hal yang membatalkan wudhu
Wudhu bisa rusak/batal disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Keluar sesuatu dari kubul atau dubul
2. Tidur nyenyak hingga hilang kesadaran
3. Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk, ayan, dan lain-lain
4. Memegang kemaluan tanpa ada batas penghalang.
Yang tidak termasuk membatalkan wudhu ialah:
1. Keluar darah dari jalan yang tidak lazim, seperti hidung, mulut, dan telinga, baik
banyak maupun sedikit
2. Muntah
3. Makan daging kerbau, sapi, unta, dan lain-lain
4. Kebimbangan orang yang telah berwudhu mengenai hadas
5. Tertawa terbahaj-bahak di waktu shalat
6. Memandikan mayat
Tatacara wudhu bagi pemilik uzur/halangan tetap
Halangan tetap yang dimaksud adalah istihadhah, kelur angin tidak terkontrol, kelur kencing
tidak terkontrol. Adapun tatacara wudhu mereka adalah:
1. Membersihkan najis yang keluar saat akan berwudhu.
2. Berwudhu setiap kali masuk waktu shalat
3. Menyumbat kelur tempat keluar najis setelah dibersihkan
4. Wudhu hanya berlaku untuk satu shalat wajib
5. Menyegerakan shalat setelah berwudhu.
Pekerjaan yang tidak boleh dilakukan tanpa berwudhu
1. Shalat, baik wajib maupun sunnah.
2. Tawaf di Baitullah.
3. Menyentuh atau membaca musyaf (Al-Quran), bagi mazhab malikiyah dan
syafiiyah.
Pengetian tayamum
Secara etimologi, tayamum berarti qasdu atau kesengajaan/tujuan.sedangkan secara
terminology tayamum adalah bersuci menggunakan tanah pada wajah dan kedua tangan
dengan niatistibahatul al-shalah. Dasar dari kebolehannya adalah Al-Quran dan Sunnah serta
ijma umat. Allah SWT berfirman:
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam berpergian atau dating dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), usaplah mukamu dan tanganmu. An-
Nissa:43
Sebab-sebab dibolehkannya tayamum
1. Tidak adanya air yang cukup untuk berwudhu atau mandi.
2. Tidak mampu menggunakan air yang ada.
3. Menggunakan air akan menjadikannya sakit atau lambat sembuh.
4. Terbenturnya dua kepentingan pokok.
5. Tidak mampu menjangkau air karena bahaya mengancam.
6. Cuaca sangat dingin yang membahayakan.
7. Sempitnya waktu shalat, menurut Hanafiyah dan Malikiyah.
Rukun tayamum
1. Berniat agar dibolehkan shalat dan yang lainnya.
2. Mengusap wajah dan kedua tangan dengan sempurna.
Syarat tayamum
1. Tanah yang suci dari najis.
2. Sudah berusaha untuk mencari air.
3. Melakukan tayamum setelah masuk waktu shalat.
4. Adanya halangan menggunakan air.
Hal-hal yang membatalkan tayamum
Segala hal yang membatalkan wudhu dan mewajibkan mandi karena ia hanya sebagai
pengganti saja.
Hilangnya halangan/alasan yang membolehkan tayamum, seperti air, mampu menggunakan
air kembali dan lain sebagainya.
Pengetian Khuff
Kata Khuff di dalam bahasa arab, yaitu sesuatu yang membungkus kaki sampai menutupi
mata kaki. Membasuh Khuff adalah rukhsah yang diberikan sebagai pengganti dari mencuci
kedua kaki saat berwudhu. Kita dapat mengambil rukhsah pada saat:
Kita melakukan perjalanan panjang (safar) dengan jarak kurang lebih 89 km.
Cuaca sangat dingin dan membahayakan diri kita walaupun bepergian.
Seseorang selalu bekerja menggunakan sepatu (Khuff).
Tatacara Membasuh Khuff
1. Membahasahi tangan dengan air.
2. Memulai basuhan dari ujung jari kaki memanjang hingga ujung sepatu bagian atas.
3. Bagian atas yang dibasuh dapat sebagiannya (Hanafiyah) atau keseluruhannya
(Malikiyah).
4. Disunnahkan memulai dari kaki kanan.
5. Tidak membasuh bagian bawah sepatu khuff.
Syarat-Syarat Membasuh khuff
1. Pemakai khuff : ia harus suci dari hadats kecil dan besar.
2. Sepatu khuff
3. Sepatu telebih dahulu harus suci dari najis.
4. Sepatu menutup kedua mata kaki
5. Sepatu mampu dipakai untuk perjalanan safar.
6. Sepatu dalam kondisi baik dan tidak berlubang
Hukum membasuh kaos kaki
Menurut ulama kontemporer menyatakan bahwa membasuh kaos kaki saja boleh dilakukan
dengan syarat khuff diatas, ditambah syarat-syarat berikut ini:
c. Kaos kaki terbuat dari bahan yang tebal, tidak memperlihatkan kulit.
d. Kaos kaki dapat dipakai berjalan dan tidak turun kebawah mata kaki.
Jangka waktu membasuh khuff bersifat terbatas
Bagi orang yang melakukan safar, ia boleh membasuh khuff-nya selama tiga hari dan
malamnya atau maksimal lima belas waktu shalat, selama ia tidak mengalami junub.
Bagi seseorang yang bermukim (tidak safar), ia boleh melakukan khuff-nya selama satu hari
dan malamnya atau maksimal lima waktu shalat, selama ia tidak mengalami junub.
Hal yang membatalkan rukhsah membasuh khuff
1. Terkena junub bagi wanita dan pria
2. Mencopot salah satu sepatu atau keduanya
3. Sepatu robek atau berlubang saat dipake berjalan
4. Habisnya tempo pembasuhan.
Mandi wajib
Mandi di dalam bahasa arab disebut dengan al-ghuslu, yang berarti mengguyur badan dengan
air. Dalam istilah syariat mandi adalah menyampaikan air keseluruh anggota tubuh tanpa
kecuali dengan niat tertentu.
Rukun mandi
1. Berniat. Artinya sengaja menghilangkan hadats besar karena Allah SWT. Niat ini
sekurang-kurangnya harus ada ketika permulaan membasuh makan.
2. Menghilangkan najis, yang sekira ada dibadan .
3. Meratakan air (membasuh) keseluruh kulit tubuh, beserta rambut-rambutnya.
Sunnah-sunnah dalam mandi wajib
1. Membaca basmallah.
2. Berwudhu sebelum mandi.
3. Menggosok badan dengan tangan.
4. Menyela-nyela pada rambut yang tebal.
5. Meniga kalikan membasuh.
6. Berturut-turut. Yakni antara membasuh satu anggota dengan anggota lainnya.
7. Mendahulukan anggota yang kanan dan mengakhiri yang kiri.
8. Menutup aurat (memakai basahan).
Larangan syariat sebelum mandi wajib
1. Melakukan shalat
2. Melakukan tawaf
3. Memegang dan membaca Al-Quran secara sengaja.
4. Beriktikaf dan berdiam di dalam masjid.
Yang menyebabkan orang mandi wajib
1. Keluarnya air mani dari pria ataupun wanita baik dalam kondisi terjaga ataupun tidur
dengan syahwat atau tidak.
2. Selesainya masa haid dan nifas wanita
3. Islamnya orang kafir.
4. Meninggal dunia, kecuali syahid.

SHALAT
Pengertian Shalat
Shalat menurut bahasa arab adalah Doa. Sedangakan menurut istilah adalah ibadah yang
tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam, menurut syarat-syarat yang telah di tentukan dalam hukum syara.
Shalat fardu (shalat lima waktu) adalah shalat yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang
dewasa dan berakal.
Firman Allah Swt:
Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji
dan mungkar. (Al-Ankabut : 45).
Waktu shalat fardhu
1. Shalat dzuhur awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengahan
langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan
panjangnya
2. Shalat asyar waktunya mulai dari habisnya waktu lohor; bayang-bayang sesuatu
lebih daripada panjangnya selain dari baying-bayang yang ketika matahari sedang
menonggak, sampai terbenam matahari
3. Shalat maghrib waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq (teja)
merah
4. Shalat isya waktunya mulai dari terbenam syafaq merah (sehabis waktu maghrib)
sampai terbit fajar
5. Shalat subuh Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari

Sunah-sunah shalat
Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram sampai tinggi ujung jari sejajar
dengan telinga, telapak tangan setinggi bahu, keduanya dihadapkan ke kiblat.
Mengangkat kedua tangan ketika akan rukuk, ketika berdiri dari rukuk, dan tatkala
berdiri dari tasyahud awal dengan cara yang telah diterangkan pada takbiratul ihram.
Meletakkan telapak tangan kanan diatas punggung tangan kiri. Dan keduanya
diletakkan di bawah dada.
Melihat ke arah tempat sujud, selain pada waktu membaca.
Membaca doa iftihah sesudah takbiratul ihram, sebelum membaca Al-Fatihah.
Membaca auzubillah sebelum membaca bismillah .
Membaca amin sehabis membaca Fatihah. Sebelum membaca amin disunatkan pula
membaca:
Membaca surat atau ayat Quran bagi imam atau orang shalat sendiri sesudah
membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama dan kedua dalam tiap-tiap shalat.
Surat yang pertama hendaklah yang lebih panjangdaripada yang dibaca dalam rakaat
kedua.
Sunat bagi makmum mendengarkan bacaan imamnya.
Mengeraskan bacaaan pada shalat subuh dan pada dua rakaat yang pertama pada
shalat maghrib dan isya. Dan shalat-shalat yang lainnya.
Takbir tatkala turun dan bangkit.
Ketika bangkit dari rukuk, membaca:
Tatkala Itidal membaca:
Meletakkan dua tapak tangan di atas lutut ketika rukuk.
Membaca tasbih tiga kaliktika rukuk. Lafadznya:
Membaca tasbih tiga kali ketika sujud. Lafadznya:
Membaca doa ketika duduk di antara dua sujud. Lafadznya:
Duduk iftirasy (bersimpuh) pada semua duduk dalam shalat, kecuali duduk akhir.
Duduk tawarruk di duduk akhir.
Duduk istirahat (sebentar) sesudah sujud kedua ,sebelum berdiri.
Bertumpu pada tanah tatkala hendak berdiri dari duduk.
Memberi salam yang kedua, hendaklah menoleh kesebelah kiri sampai pipi yang kiri
kelihatan dari belakang.
Ketika memberi salam hendaklah diniatkan memberi salam kepada yang disebelah
kanan dan kirinya, baik terhadap manusia maupun malaikat.

Perbedaan tatacara untuk orang laki-laki dan perempuan dalam mengerjakan shalat
Untuk orang laki-laki
Hendaknya direnggangkan dua sikut tangan dari lambungnya ketika rukuk dan sujud
Waktu rukuk dan sujud perut di angkat dari pahanya
Menyaringkan bacaan ketika shalat subuh,maghrib dan isya ,dirakaat pertama
Jika memberitahu imam yang lupa dengan mengucapkan subhanallah
Aurat laki-laki di antara pusat dan lutut

Untuk orang perempuan


Merapatkan tangan pada lambungnya waktu rukuk dan sujud
Merapatkan perutnya ke dada dan ke pahanya ketika rukuk aatu sujud
Tidak perlu menyaringkan bacaannya dalam shalat subuh,maghrib, dan isya
Jika memberitahu imam yang lupa cukup dengan tepukan tangan kanan
Auratnya harus tertutup semua.
Sujud sahwi
Sebab-sebab sujud sahwi adalah: ketinggalan tasyahud pertama atau ketinggalan qunut,
kelebihan rakaat, rukuk, atau sujud karena lupa, karena syak (ragu) tentang jumlah rakaat
yang telah dikerjakan, dan apabila kurang rakaat shalat karena lupa.
Sujud tilawah
Sujud tilawah artinya sujud bacaan. Disunahkan sujud bagi orang yang membaca ayat-ayat
sajadah, begitu juga orang yang mendengarnya.
Bacaan sujud tilawah:
Aku sujud kepada Tuhan yang menjadikan diriku, Tuhan yang membukakan pendengaran
dan penglihatan dengan kekuasaannya. (Riwayat Tirmizi).
Sujud syukur
Sujud syukur artinya sujud terima kasih karena mendapat nimat (keuntungan) atau karena
terhindar dari bahaya kesusahan yang besar. Hukumnya adalah sunat.
Hukum masbuq
Masbuq ialah orang yang mengikuti kemudian, ia tidak sempat membaca fatihah beserta
imam di rakaat pertama. Hukumnya yaitu: jika ia takbir sewaktu imam belum rukuk,
hendaklah ia membaca fatihah sedapat mungkin. Apabila masbuq mendapati imam sebelum
rukuk atau sedang rukuk dan ia dapat rukuk yang sempurna bersama imam, maka ia
mendapat satu rakaat.
Shalat qashar
Shalat qashar artinya shalat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu diantara shalat
fardhu yang lima. Yang mestinya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Shalat lima waktu yang boleh
di qashar hanya dzuhur, asyar dan isya. Hukumnya mubah (boleh).
Syarat syah shalat qashar adalah: Perjalanan yang di lakukan itu bukan perjalanan
maksiat.seperti pergi haji, perjalanan itu berjarak jauh, sekurang-kurangnya 80,640 km atau
perjalanan sehari semalam, shalat yang di qashar itu ialah shalat tunai, bukan shalat qada, dan
berniat qashar ketika takbiratul ihram.
Shalat jamak
Shalat jamak artinya shalat yang dikumpulkan. Atau shalat dzuhur dan asyar itu,dikerjakan
dalam satu waktu. Hukumnya Boleh bagi orang yang dalam perjalanan.
Syarat jamak taqdim
Hendaklah dimulai dengan shalat yang pertama (dzuhur sebelum asyar, atau maghrib
sebelum isya) karena waktunya adalah waktu yang pertama.
Berniat jamak agar berbeda dari shalat yang terdahulu karena lupa.
Berturut-turut, sebab keduanya seolah-olah satu shalat.
Syarat jamak takhir adalah: Pada waktu yang pertama hendaklah berniat akan melakukan
shalat pertama itu diwaktu yang kedua, supaya ada maksud bersungguh-sungguh akan
mengerjakan shalat pertama itu dan tidak ditinggalkan begitu saja.
Shalat orang sakit
Orang sakit wajib juga melakasanakan shalat semampunya selama akal atau ingatan nya
masih tetap. Kalau tidak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk, kalau tidak mampu
duduk, bisa berbaring kesebelah kanan menghadap kiblat, apabila belum mampu juga boleh
menelantang kedua kakinya kearah kiblat, dan kepalanya di beri bantal agar mukanya
menghadap kiblat.

Shalat jumat
Shalat jumat ialah shalat dua rakaat sesudah khotbah pada waktu dzuhur pada hari jumat.
Hukumnya adalah fardhu ain. Artinya wajib atas setiap laki-laki yang beragama islam.
Syarat-syarat wajib jumat. Antara lain: islam, baligh, berakal, laki-laki, sehat, dan tetap
didalam negeri, tidak wajib jumat atas orang yang dalam perjalanan.
Macam-macam Shalat Sunah
Shalat sunah ialah shalat yang dikerjakan selain shalat fardhu, diantaranya:[4]
1.Shalat hari raya
Hari raya idul fitri, yaitu pada setiap tanggal 1 syawal, Hari raya idul adha, yaitu pada setiap
tanggal 10 dzulhijjah, Waktu pelaksanaannya dari terbit matahari sampai tergelincirnya
matahari.hukumnya sunah muakkad bagi laki-laki dan perempuan, mukmin atau
musafir,boleh dilakukan sendirian atau berjamaah.
2. Shalat gerhana bulan dan matahari(kusufain)
Hukum shalat gerhana adalah sunat istimewa, boleh berjamaah dan boleh juga tidak.
Waktu pelaksanaanya: dari timbul gerhana itu sampai matahari/bulan kembali sebagaimana
biasanya.
Cara pelaksanaan sholat gerhana adalah: Sekurang-kurangnya 2 rakaat,. Hendaklah takbir
dengan niatshalat gerhana, membaca fatihah, rukuk, berdiri kembali, dan membaca fatihah,
kemudian rukuk sekali lagi, Itidal, lalu sujud 2 kali. Ini terhitung 1 rakaat.dan diteruskan 1
rakaat lagi, Cara yang ketiga adalah seperti yang kedua, hanya berdirinya agak lama dengan
membaca surat yang panjang, dan rukuknya lama pula. Dan bacaannya harus nyaring (keras).
3. Shalat minta hujan (istisqa)
Yaitu shalat untuk memohon diturunkannya hujan. Hukumnya sunah ketika ada hajat.
Caranya ada tiga : Sekurang-kurangnya berdoa saja, baik sendiri-sendiri ataupun
berjamaah.dengan suara yang nyaring atau lemah,. Berdoa di dalam khotbah jumat
Yang lebih sempurna hendaklah dengan shalat 2 rakaat yang disertai dengan khutbah
4. Shalat sunat rawatib
Shalat sunat Rawatib ialah shalat sunat yang mengikuti shalat fardhu yang lima. Dikerjakan
sebelum mengerjakan shalat fardhu yang lima atau sesudahnya.
Sunat Rawatib muakkad (penting) : 2 rakaat sebelum subuh, 2 rakaat sebelum shalat
dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Maghrib, 2 rakaat sesudah
shalat isya
5. Shalat Tahiyatul masjid
Tahiyatul masjid ialah shalat menghormati masjid. Shalat ini di sunatkan bagi orang yang
masuk ke masjid, sebelum ia duduk, yaitu sebanyak 2 rakaat. Baik itu pada hari jumat
maupun lainnya .diwaktu siang dan malam.
6. Shalat tatkala akan bepergian
Orang yang akan bepergian disunatkan shalat 2 rakaat tatkala ia hendak keluar rumahnya.
Begitu juga orang yang baru datang dari bepergian.
7. Shalat sunat wudhu
Apabila selesai dari berwudhu, disunatkan shalat 2 rakaat.
8. Shalat duha
Shalat duha adalah shalat sunat 2 rakaat atau lebih, sebanyak-banyak 12 rakaat. Dikerjakan
ketika matahari naik setinggi tombak. Kira-kira pukul 8 atau 9 sampai tergelincir matahari.
9. Shalat Tahajud
Shalat Tahajud ialah shalat sunat pada waktu malam , lebih baik jika di kerjakan sesudah larut
malam, dan sesudah tidur. Bilangan rakaatnya tidak di batasi, boleh sekuatnya. Lafadz
10.Shalat witir
Shalat witir artinya shalat ganjil (1 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat, atau 11 rakaat).
Boleh memberikan salam setiap 2 rakaat, dan yang terakhir boleh dilakukan satu atau tiga
rakaat. Waktunya setelah shalat isya hingga terbit fajar. Memakai doa qunut didalam witir
pada separuh yang terakhir di bulan ramadhan.
11.Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah shalat malam pada bulan ramadhan, hukumnya sunat muakkad penting
bagi laki-laki dan perempuan. Boleh dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah.
12. Shalat istikharah
Shalat istikharah artinya shalat meminta petunjuk yang baik. Misalnya: seseorang akan
mengerjakansuatu pekerjaan yang penting, sedangkan ia masih ragu-ragu , apakah pekerjaan
itu baik untuk dia atau tidak. Maka ia disunatkan shalat istikharah 2 rakaat, sesudah itu
berdoa.
13.Shalat sunat muthlaq
Shalat sunat muthlaq artinya shalat sunat yang tidak ditentukan waktunya dan tidak ada
sebabnya. Jumlah rakaatnya tidak terbatas. Caranya seperti shalat sunat yang lain. Asalkan
jangan dilaksanakan pada waktu yang haram.
14.Shalat tahajud
Shalat tahajud adalah shalat yang wajib dikerjakan oleh nabi. Sebelum ada perintah shalat
lima waktu. Tapi sekarang shalat tahajud adalah shalat malam yang sangat dianjurkan.yang
dikerjakan ketika malam hari.sesudah tidur.
15.Shalat sunah tasbih
Yaitu shalat yang dianjurkan mengamalkannya. Kalau bisa tiap-tiap malam, kalau tidak bisa
tiap minggu, kalau tidak bisa tiap bulan, kalau tidak bisa tiap tahun,dan kalau tidak bisa juga
minimal sekali seumur hidup.
16. Shalat sunah awwabin
Yaitu shalat yang dikerjakan bada maghrib, disunahkan pula bagi siapa saja yang
mengerjakan dua sampai enam rakaat.
17.Shalat sunah hajat
Yaitu shalat sunnah yang dikerjakan karena mempunyai hajat agardiperkenankan
hajatnyaoleh tuhan.dikerjakan dua rakaat saja.kemudian berdo.\a sesuai dengan hajat yang
dimintanya.
18. Shalat ghaib
Yaitu shalat bila ada keluarga atau handai tolan yang meninggal yang jauh dari sanak
saudaranya.

KHUTBAH JUMAT
PENGERTIAN KHUTBAH JUMAT
Secara etimologis (harfiyah), khuthbah artinya : pidato, nasihat, pesan (taushiyah).
Sedangkan menurut terminologi Islam (istilah syara); khutbah (Jumat) ialah pidato yang
disampaikan oleh seorang khatib di depan jamaah sebelum shalat Jumat dilaksanakan
dengan syarat-syarat dan rukun tertentu, baik berupa tadzkiroh (peringatan, penyadaran),
mauidzoh (pembelajaran) maupun taushiyah (nasehat).
Berdasarkan pengertian di atas, maka khutbah adalah pidato normatif, karena selain
merupakan bagian dari shalat Jumat juga memerlukan persiapan yang lebih matang,
penguasaan bahan dan metodologi yang mampu memikat perhatian.
Selain khutbah Jumat, ada pula khutbah yang dilaksanakan sesudah sholat, yaitu: khutbah
Idul Fitri, Idul Adha, khutbah sholat Gerhana (Kusuf dan Khusuf). Sedangkan khutbah
nikah dilaksanakan sebelum akad nikah. Dalam makalah ini yang akan dikaji adalah khusus
tentang khutbah Jumat

DALIL-DALIL TENTANG KHUTBAH JUMAT


1. Firman Allah SWT dalam surat Al-Jumuah ayat 9 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat
(shalat Jumat), maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah urusan jual beli
(urusan duniawi). Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. (QS. Al-
Jumuah : 9)
2. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a.: Adalah Nabi SAW. berkhutbah pada
hari Jumat dengan berdiri, kemudian beliau duduk dan lalu berdiri lagi sebagaimana
dijalankan oleh orang-orang sekarang.
3. Riwayat Bukhari, Nasai dan Abu Daud dari Yazid bin Said r.a.: Adalah seruan pada hari
Jumat itu awalnya (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, hal demikian itu berlaku
pada masa Rasulullah SAW. hingga masa khalifah Umar r.a. Setelah tiba masa khalifah
Usman r.a. dan orang semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga (karena adzan
dan iqomah dipandang dua seruan) di atas Zaura (nama tempat di pasar), yang mana pada
masa Nabi SAW. hanya ada seorang muadzin.
4. Riwayat Muslim dari Jabir r.a.: Pada suatu ketika Nabi SAW. sedang berkhutbah, tiba-tiba
datang seorang laki-laki, lalu Nabi bertanya kepadanya: Apakah Anda sudah shalat? Hai
Fulan! Jawab orang itu : Belum wahai Rasulullah! Sabda beliau: Berdirilah! Shalatlah lebih
dahulu (dua rakaat) (HR. Muslim).
Rukun dua khotbah jumat
1.Mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt
2.Membaca shalawat atas Rasulullah Saw
3.Mengucapkan syahadat
4.Berwasiat (bernasihat) dengan bertaqwa dan mengajarkan apa-apa yang perlu kepada
pendengar ,sesuai dengan keadaan tempat dan waktu
5.Membaca ayat Al-Quran pada salah satu dari kedua khotbah
6.Berdoa untuk mukminin dan mukminat pada khotbah yang kedua
PERSYARATAN KHATIB
Ikhlas, terhindari dari pamrih, riya dan sumah (popularitas). Perhatikan firman Allah SWT.
dalam menceritakan keikhlasan Nabi Hud AS: Hai kaumku, aku tidak meminta upah
kepadamu bagi seruanku ini, ucapanku tidak lain hanyalah dari Allah yang menciptakan aku.
Tidakkah kamu memikirkannya?. (QS. Hud:51).
Amilun biilmihi (mengamalkan ilmunya), Allah SWT. berfirman: Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar kemurkaan
di sisi Allah terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Shaf :
2-3).
Kasih sayang kepada jamaah, Rasulullah SAW. bersabda: Bahwa sesungguhnya aku
terhadap kamu semua laksana seorang ayah terhadap anaknya. (HR. Abu Dawud, An-Nasai,
Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Wara (menghindari yang syubhat), perhatikan sabda Nabi SAW: Jadilah kamu sebagai
seorang yang wara, maka kamu adalah manusia yang paling tekun beribadah. (HR. Baihaqi
dari Abi Hurairah).
Izzatun Nafsi (tahu harga diri untuk menjadi khairunnas), Allah SWT. berfirman: Dan Kami
jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran), dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah : 24).
FUNGSI KHUTBAH
Tahdzir (peringatan, perhatian)
Taushiyah (pesan, nasehat)
Tadzkir/mauidzoh (pembelajaran, penyadaran)
Tabsyir (kabar gembiran, harapan)
Bagian dari syarat sahnya sholat Jumat
Berkenaan dengan fungsi khutbah tersebut di atas, maka khutbah disampaikan dengan
bahasa yang mudah difahami oleh jamaah (boleh bahasa setempat), kecuali rukun-
rukun khutbah. Allah SWT. berfirman: Dan tidaklah Kami mengutus Rasul,
melainkan dengan bahasa yang difahami oleh kaumnya, agar ia dapat memberi
penjelasan kepada mereka. (QS. Ibrahim : 4).

SYARAT SAHNYA KHUTBAH


Dilaksanakan sebelum sholat Jumat. Ini berdasarkan amaliyah Rasulullah SAW.
Telah masuk waktu Jumat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Anas bin Malik r.a. ia
berkata: Sesungguhnya Nabi SAW. melaksanakan shalat Jumat setelah zawal (matahari
condong ke Barat). (HR. Bukhari).
Tidak memalingkan pandangan
Rukun khutbah dengan bahasa Arab, ittiba kepada Nabi SAW.
Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat
Khatib suci dari hadats dan najis, karena berkhutbah merupakan syarat sahnya shalat
Jumat.
Khatib menutup aurat, sama dengan persyaratan shalat Jumat.
Dilaksanakan dengan berdiri kecuali darurat, berdasarkan hadits Nabi SAW. Dari Ibnu Umar
r.a: Sesungguhnya Nabi SAW. apabila keluar pada hari Jumat, beliau duduk yakni di atas
mimbar hingga muadzin diam, kemudian berdiri lalu berkhutbah. (HR. Abu Daud).
Duduk antara dua khutbah dengan tumaninah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu
Umar r.a. ia berkata: Adalah Nabi SAW. berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, dan
berdiri lagi sebagaimana kamu semua melakukannya sekarang ini. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Terdengar oleh semua jamaah
Khatib Jumat adalah laki-laki
Khatib lebih utama sebagai Imam sholat
RUKUN KHUTBAH
Hamdalah, yakni ucapan Alhamdulillah , berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir r.a.:
Sesungguhnya Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jumat, maka (beliau) memuji Allah
(dengan mengucap Alhamdulillah) dan menyanjung-Nya. (HR. Imam Muslim).
Syahadat (Tasyahud), yaitu membaca Asyhadu anla ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu
wa Asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu, berdasarkan hadits Nabi SAW: Tia-
tiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong. (HR.
Ahmad dan Abu Dauwd).
Shalawat, Wasiyat Taqwa, antara lain ucapan Ittaqullah haqqa tuqaatih.
Membaca ayat Al-Quran, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir bin Samurah r.a.:
Adalah Rasulullah SAW. berkhutbah (dalam keadaan) berdiri dan duduk antara dua khutbah,
membaca ayat-ayat Al-Quran serta memberikan peringatan kepada manusia. (HR. Jamaah,
kecuali Bukhari dan Tirmidzi).
Berdoa, Semua rukun khutbah diucapkan dalam bahasa Arab)
Empat rukun yang pertama (Hamdalah, Syahadat, Shalawat dan wasiyat) diucapkan pada
khutbah yang pertama dan kedua, sedangkan ayat Al-Quran boleh dibaca pada salah satu
khutbah (pertama atau kedua) dan doa pada khutbah yang kedua.

SUNNAH-SUNNAH KHUTBAH
Berdiri di tempat yang tinggi (mimbar)
Memberi salam, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir ra.: Sesungguhnya Nabi
SAW. apabila telah naik mimbar, (beliau) memberi salam. (HR. Ibnu Majah).
Menghadap Jamaah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Adi bin Tsabit dari ayahnya
dari kakeknya: Adalah Nabi SAW. apabila telah berdiri di atas mimbar, shahabat-
shahabatnya menghadapkan wajah mereka ke arahnya. (HR. Ibnu Majah).
Suara jelas penuh semangat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir r.a: Adalah
Rasulullah SAW. apabila berkhutbah kedua matanya menjadi merah, suaranya
lantang/tinggi, berapi-api bagaikan seorang panglima (yang memberi komando
kepada tentaranya) dengan kata-kata Siap siagalah di waktu pagi dan petang. (HR.
Muslim dan Ibnu Majah).
Singkat, padat, akurat dan memikat, Rasulullah SAW. bersabda :
Adalah Rasulullah SAW. biasa memanjangkan shalat dan memendekkan
khutbahnya. (HR. Nasai dari Abdullah bin Abi Auf).
Gerakan tangan tidak terlalu bebas, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Abdurrahman
bin Saad bin Ammar bin Saad ia berkata: Adalah Nabi SAW. apabila berkhutbah
dalam suatu peperangan beliau berkhutbah atas anak panah, dan bila berkhutbah di
hari Jumat belaiu berpegangan pada tongkat. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Seusai khutbah kedua segera turun dari mimbar, berdasarkan hadits Nabi SAW.
Adalah shahabat Bilal itu menyerukan adzan apabila Nabi SAW. telah duduk di atas
mimbar, dan ia iqomah apabila Nabi SAW. telah turun. (HR. Imam Ahmad dan
Nasai).
Tertib dalam membacakan rukun-rukun khutbah, yaitu: Hamdalah, Syahadat,
Shalawat, wasiyat, Ayat Al-Quran dan Doa.

HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM KHUTBAH


Membelakangi Jamaah
Terlalu banyak bergerak
Meludah
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIAKAN OLEH KHOTIB
Melakukan persiapan, mental, fisik dan naskah khutbah
Memilih materi yang tepat dan up to date
Melakukan latihan seperlunya
Menguasai materi khutbah
Menjiwai isi khutbah
Bahasa yang mudah difahami
Suara jelas, tegas dan lugas
Pakaian sopan, memadai dan IslamiWaktu maksimal 15 menit
Bersedia menjadi Imam shalat Jumat
MATERI KHUTBAH
Tegakkan akidah, murnikan ibadah, perluas ukhuwwah
Evaluasi amaliah (ummat) mingguan
Kaji masalah secara cermat dan singkat
Berikan solusi yang tepat
Tema-tema lokal peristiwa keseharian lebih diutamakan
Hindari materi yang menjenuhkan atau persoalan tanpa pemecahan
Tahjizul Jenazah
Setiap makhluk di bumi ini pasti mengalami kematian, tak seorang pun yang dapat
mengelaknya, karena kematian adalah kewajiban dan merupakan salah satu takdir mubram
bagi makhluk hidup. Allah SWT telah berfirman:

Artinya: tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..(QS. Ali Imran: 185)
Kita dilarang untuk menangisi jenazah secara berlebihan karena ketika kita menangisinya
maka mayyit sedang di siksa di dalam kubur. Dalam hadits disabdakan : ketika Rasulullah
Saw melewati mayyit seorang yahudi yang familinya menangisinya dan Rasulpun bersabda
Engkau menangisinya dan ia sedang di siksa di dalam kubur. [7]Dalam kahidupan sehari-
hari, tentulah diantara kita ada yang meninggal mendahului kita, entah teman, saudara, atau
pun keluarga kita. Orang yang meninggal disebut jenazah, kita harus memperlakukan jenazah
sebaik mungkin, entah dari memandikan, mengkafankan, menyolatkan, dan
menguburkannya. Berikut ini akan dijelaskan hal-hal yang terkait tentang jenazah.
5.1 Halhal yang harus dilakukan terhadap jenazah
Matanya hendaklah dipejamkan, menyebut yang baik-baik, mendoakakn, dan memintakan
ampun atas dosanya.
Seluruh badannya hendaklah ditutup dengan kain.
Tidak ada halangan untuk mencium jenazah bagi keluarganya atau sahabat-sahabatnya yang
sangat sayang dan berduka cita karena kematiannya.
Keluarga jenazah hendaklah segera membayar hutang si jenazah.[8]
5.2 Beberapa kewajiban yang berhubungan dengan jenazah
Memandikan jenazah
Hukum memandikan jenazah fardu kifayah, syarat wajib mandi: (a) jenazah orang Islam (b)
ada tubuhnya walaupun sedikit (c) jenazah bukan mati syahid. Untuk melepaskan kewajiban
sekurang-kurangnya memandikan jenazah satu kali asalkan merata hingga najisnya hilang,
ketika mandi pun tubuh jenazah harus ditutup dengan kain, air untuk mandi jenazah
sebaiknya air dingin, kecuali jika berhajat pada air panas karena sangat dingin atau susah
menghilangkan kotorannya. Memandikan jenazah baik juga menggunakan sabun dan untuk
air pembasuh penghabisan sebaiknya dicampur dengan sedikit kapur barus atau wangi-
wangian. Yang berhak memandikan jenazah adalah yang berjenis kelamin sama dengan
jenazah, namun jika yang memandikan istri (jika jenazahnya suaminya) dan suami (jika
jenazahnya istrinya) atau mahramnya, maka walaupun berbeda jenis kelaminnya boleh.
Mengafani jenazah
Hukum mengafani jenazah adalah fardu kifayah, untuk jenazah laki-laki dibutuhkan tiga kain
lapis, caranya dihamparkan sehelai-sehelai, dan di atas tiap-tiap lapis itu ditaburkan wangi-
wangian (kapur barus). Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya, tangan kanan di atas
tangan kiri. Untuk jenazah perempuan sebaiknya dikafani dengan lima lembar kain, yaitu
basahan, baju, tutup kepala, kerudung, dan kain yang menutupi seluruh badan. Cara
mengafaninya mula-mula dipakaikan kain basahan, baju, tutup kepala, lalu kerudung
kemudian dimasukkan ke dalam kain yang meliputi seluruh badannya, diantara lapisan kain
tadi sebaiknya diberi wewangian. Kecuali jenazah meninggal ketika sedang dalam ihram haji
atau umrah, ia tidak boleh diberi harum-haruman dan jangan pula ditutup kepalanya. Kain
kafan yang baik untuk jenazah ialah yang baik sifatnya, baik cara memakainya, serta terbuat
dari bahan yang baik, jangan sampai berlebih-lebihan memilih yang mahal harganya.[9]
Menyalatkan jenazah
Sebelum menyalatkan jenazah, ada beberapa hal yang harus kita ketahui diantaranya:
Syarat- syarat sholat jenazah
a) Sholat jenazah sama halnya dengan sholat lain, yaitu harus menutup aurat, suci dari
hadast besar dan kecil, suci badan, pakaian, dan tempatnya serta menghadap kiblat.
b) Jenazah harus sudah dimandikan dan dikafani.
c) Letak jenazah sebelah kiblat orang yang menyalatinya, kecuali kalau shalat dilakukan di
atas kubur atau shalat ghaib.
Rukun dan cara mengerjakan sholat jenazah
Shalat jenazah tidak dengan ruku dan sujud serta tidak dengan adzan dan iqomat, caranya
sebagai berikut:
Setelah berdiri sebagaimana mestinya akan mengerjakan sholat, maka:
)a Niat, menyengaja melakukan shalat atas jenazah dengan empat takbir, menghadap
kiblat karena Allah. Lafadz niatnya:
( ) /
)b Setelah takbiratul ihram, yakni setelah mengucapkan Allahu akbar bersamaan dengan
niat, sambil meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas perut (sedakep), kemudian
membaca surat fatihah (tidak membaca surat yang lain). Setelah membaca surat fatihah terus
takbir membaca Allahu akbar.
)c Setelah takbir yang kedua, lalu membaca shalawat atas Nabi SAW:


)d Setelah takbir yang ketiga, kemudian membaca doa:
( ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) (
( ) ( ) (
) ( ) ( ) ( ) (
(
Keterangan: untuk jenazah perempuan lafadz lahu diganti menjadi lahaa, jika jenazah anak-
anak, maka doanya seperti di bawah ini:


)e Selesai takbir keempat, kemudian membaca doa:


)f Kemudian memberi salam sambil memalingkan muka ke kanan dan ke kiri dengan
ucapan:

)g Setelah salam, kemudian bersama-sama membaca surat alfatihah, dan imam membaca
doa sebagai berikut:

) x ( (
) ( ) ) (

5.3 Sholat Ghaib
Sholat ghaib dilakukan bila ada keluarga atau handai tolan kita yang meninggal di tempat
yang jauh dari kita, maka disunahkan melakukan sholat ghaib atas jenazah itu, walaupun
sudah lewat seminggu atau lebih, sholat ghaib pada jenazah itu adalah sah, sebagaimana
sholat jenazah biasa. Bacaannya sama dengan sholat jenazah yang bukan ghaib, hanya
niatnya saja disebutkan atas mayyit ghaib, yakni sebagai berikut:[10]
/
DOA dan DZIKIR
6.1 Doa sholat istikharah




- -
.


- : -
- : -


Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu
pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan
kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung,
sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku
tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah,
apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya
menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku atau
-Nabi Shallallahualaihi wasallam bersabda: di dunia atau akhirat- sukseskanlah untukku,
mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui
bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya
kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan
kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu
kepadaku.
6.2 Bacaan Doa Qunut
6.3 Doa Sunat Sembahyang Tasbih
6.4 Doa Solat Witir
6.5 Doa Solat Ististiqa

.




Segala puji bagi Allah pemelihara alam semesta, Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Raja hari kiamat, tiada Tuhan selain Allah, Yang berbuat menurut kehendak-
Nya. Ya Allah, Engkaulah Allah yang tiada Tuhan selain-Mu. Engkaulah Maha Kaya,
sedangkan kami adalah papa, turunkanlah kepada kami hujan, dan jadikanlah apa yang
Engkau turunkan itu menjadi bekal sampai beberapa lama. Riwayat Abu Daud.

Ya Allah siramilah kami, Ya Allah siramilah kami, Ya Allah siramilah kami Riwayat
Muslim


Ya Allah siramilah kami dengan hujan yang menyuburkan dan yang baik kesudahannya
yang bertapis-tapis yang memberi manafaat tidak memberi mudharat segera tidak
berlambat-lambat Riwayat Abu Daud.



Ya Allah siramilah hambaMu dan haiwan-haiwan ternakanMu dan sebarkanlah rahmatMu
dan hidupkanlah negeriMu yang matiRiwayat Malik dan Abu Daud.
6.6 Doa Sholat Taubat












6.7 Doa sholat hajat
Dilakukan apabila selesai solat, terus sujud kepada Allah dan membaca tasbih ini
kemudian bacalah doa dan mintalah apa yang kita hajatkan.
,
, ,


,
,
,
,
,
,


6.8 Doa iftitah

.



.

.
6.9 Doa Setelah Sholat Dhuha
6.10 Doa Setelah Salat Tahajud




















.





6.11 Doa Sehari -hari
Doa ketika akan tidur
Doa ketika bangun tidur
Doa ketika hendak berpakaian
Doa ketika hendak membuka pakaian
Doa ketika masuk dan keluar rumah
Doa ketika masuk kamar kecil / wc
Doa ketika keluar kamar kecil / wc
Doa ketika mendapat berita gembira
Doa menghilangkan rasa marah
Doa ketika melihat diri di cermin
Doa ketika melihat barang yang di suka
Doa ketika sulit tidur
Doa ketika merasa ketakutan/terkejut
Doa ketika menghadapi kecelakaan/musibah
Doa ketika sulit menghadapi segala urusan
Doa ketika mendengar berita kematian
Doa ketika hendak makan[11]
DZIKIR
Kata dzikr menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertia syariat
adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya. Kita
diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah untuk selalu mengingat akan kekuasaan dan
kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit sombong dan takabbur.
Berdzikir dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dalam keadaan bagaimamanapun,
kecuali ditempat yang tidaksesuai dengan kesucian Allah. Seperti bertasbih dan bertahmid di
WC.
Bentuk dan Cara Berdzikir
a. Dzikir dengan hati, yaitu dengan cara bertafakur, memikirkan ciptaan Allah sehingga
timbul di dalam fikiran kita bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa. Semua yang ada di
alam semesta ini pastilah ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Dengan melakukan dzikir
seperti ini, keimanan seseorang kepada Allah SWT akan bertambah.
b. Dzikir dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara mengucapkan lafazh-lafazh yang di
dalammya mengandung asma Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya.
Contohnya adalah : mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, sholawat, membaca Al-
Quran dan sebagainya.
c. Dzikir dengan perbuatan, yaitu dengan cara melakukan apa yang diperintahkan Allah dan
menjauhi larangan-laranganNya. Yang harus diingat ialah bahwa semua amalan harus
dilandasi dengan niat. Niat melaksanakan amalan-amalan tersebut adalah untuk mendapatkan
keridhoan Allah SWT. Dengan demikian menuntut ilmu, mencari nafkah, bersilaturahmi dan
amalan-amalan lain yang diperintahkan agama termasuk dalam ruang lingkup dzikir dengan
perbuatan.
Manfaat Berdzikir
Kita akan menjadi dekat kepada allah SWT, sehingga kita terhindar dari perbuatan-pert-
buatan maksiat.
Kita akan menjadi tenang dan tentram, sebagaimana firman allah SWT.
Artinya :
Hanya dengan mengingat allah hati menjadi tentram (Q.S Ar-rad:28)
Dimana pun kita berada dan kemana pun kita pergi selalu dilindungi allah SWT.
Akan terhindar dari pikiran-pikiran kotor karna pikiran kita selalu mengingat allah SWT.
Di akhirat kelak, kita akan diberi tempat yang sangat menyenangkan yaitu surga.
Sholat Jenazah

A. PENGERTIAN SHOLAT JENAZAH

Sholat Jenazah adalah merupakan shalat yang tidak perlu ruku dan sujud. Yang kita lakukan
hanyalah berdiri, takbir sebanyak empat kali dengan diselingi bacaan dan doa tertentu lalu
salam.

B. HUKUM SHOLAT JENAZAH


Hukum Sholat Jenazah adalah Fardhu Kifayah artinya jika tidak ada yang menshalati,
semua akan berdosa.

C. DALIL SHOLAT JENAZAH


Nabi Muhamad shallallahualaihi wasallam pernah bersabda,
Barangsiapa yang menghadiri jenazah hingga ikut menshalatkannya, maka dia mendapatkan
satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga ikut mengantar ke kubur, maka
mendapatkan dua qirath. Ditanyakan, Apakah yang dimaksudkan dengan dua qirath itu?
Beliau menjawab, Seperti dua gunung yang besar. (HR. Muttafaq alaih)

D. CARA MENGERJAKAN SHOLAT JENAZAH

Syarat penyelenggaraan Shalat Jenazah

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan salat ini adalah:
Yang melakukan salat harus memenuhi syarat sah salat secara umum (menutup aurat,
suci dari hadas, menghadap kiblat dst)
Jenazah/Mayit harus sudah dimandikan dan dikafani.
Jenazah diletakkan disebelah mereka yang menyalati, kecuali dilakukan di atas kubur
atau salat ghaib

Imam berdiri tepat di bagian kepala mayit, jika jenazah adalah seorang laki-laki atau di
bagian tengah badan (perut) jika jenazah seorang wanita. Kemudian makmum berdiri di
belakangnya, sebagaimana dalam shalat yang lain, kemudian bertakbir sebanyak empat
(rukun sholat jenazah)

E. RUKUN SHOLAT JENAZAH


Salat jenazah tidak dilakukan dengan ruku, [sujud] maupun iqamah, melainkan dalam posisi
berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam. Berikut adalah urutannya:
1. Berniat, niat salat ini, sebagaimana juga salat-salat yang lain cukup diucapkan di dalam
hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk
melafalkan niat. Niat salat jenazah
o Untuk jenazah laki-laki : Ushalli alaa haadzal mayyiti arba a takbiiraatin fardhu
kifaayati mamuumam/imaaman lillahi taaalaa, Allahu akbar
o Untuk jenazah perempuan : Ushalli alaa haadzihil mayyiti arba a takbiiraatiin fardhu
kifaayati mamuuman/imaaman lillahi ta aalaa, Allaahu akbar
2. Takbiratul Ihram (takbir yang pertama) kemudian membaca surat Al Fatihah
3. Takbir kedua kemudian membaca shalawat atas Rasulullah SAW minimal :Allahumma
Shalli alaa Muhammadin artinya : Yaa Allah berilah salawat atas nabi Muhammad
4. Takbir ketiga kemudian membaca doa untuk jenazah minimal:Allahhummaghfir lahu
warhamhu waaafihi wafu anhu yang artinya : Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat,
kesejahteraan dan maafkanlah dia.Apabila jenazah yang disalati itu perempuan, maka
bacaan Lahuu diganti dengan Lahaa. Jadi untuk jenazah wanita bacaannya menjadi:
Allahhummaghfir laha warhamha waaafiha wafu anha. Jika mayatnya banyak maka
bacaan Lahuu diganti dengan Lahum. Jadi untuk jenazah banyak bacaannya menjadi:
Allahhummaghfir lahum warhamhum waaafihim wafu anhum
5. Takbir keempat kemudian membaca doa minimal:Allahumma laa tahrimnaa ajrahu
walaa taftinna badahu waghfirlanaa walahu.yang artinya : Yaa Allah, janganlah kiranya
pahalanya tidak sampai kepadanya atau janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya,
dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia.
Jika jenazahnya adalah wanita, bacaannya menjadi: Allahumma laa tahrimnaa ajraha walaa
taftinna badaha waghfirlanaa walaha.
6. Mengucapkan salam

F. DOA SHOLAT JENAZAH






]
[
[Alloohummaghfir lahu Warhamhu Wa Aafihi Wafu ahu, Wa Akrim Nuzulahu, Wa Wassi
Madkholahu, Waghsilhu Bil Maai WatsTsalji Wal Barodi, Wa Naqqihi Minal Khothooyaa
Kamaa Naqqaitats Tsaubal Abyadho Minad Danasi, Wa Abdilhu Daaron Khoiron Min
Daarihi, Wa Ahlan Khoiron Min Ahlihi, Wa Zaujan Khoiron Min Zaijihi, Wa Adkhilhul
Jannata, Wa Aidhu Min Adzaabil Qabri]
Ya Allah, Ampunilah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempat-
kanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan
air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang
putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga
(atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang
lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari
siksa kubur dan Neraka. (HR. Muslim 2/663)
.

.

[Alloohumaghfir Lihayyinaa Wa Mayyitinaa Wa Syaahidinaa Wa Ghooibinaa Wa
Shoghiirinaa Wa Kabiirinaa Wa Dzakarinaa Wa Untsaanaa. Alloohumma Man Ahyaitahu
Minnaa Fa Ahyihi Alal Islaam, Wa Man Tawaffaitahu Minnaa Fatawaffahu Alal Iimaan.
Alloohumma Laa Tahrimna Ajrahu Wa Laa Tudhillanaa Badahu]
Ya Allah! Ampunilah kepada orang yang hidup di antara kami dan yang mati, orang yang
hadir di antara kami dan yang tidak hadir ,laki-laki maupun perempuan. Ya Allah! Orang
yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkan dengan memegang ajaran Islam, dan orang
yang Engkau matikan di antara kami, maka matikan dengan memegang keimanan. Ya Allah!
Jangan menghalangi kami untuk tidak memper-oleh pahalanya dan jangan sesatkan kami
sepeninggalnya. ( HR. Ibnu Majah 1/480, Ahmad 2/368, dan lihat Shahih Ibnu Majah 1/251)

.



.
[Alloohumma Inna Fulaanabna Fulaanin Fii Dzimmatika, Wa Habli Jiwaarika, Fa Qihi Min
Fitnatil Qobri Wa Adzaabin Naari, Wa Anta Ahlal Wafaai Wal Haqqi. Faghfirlahu
Warhamhu, Innaka Antal Ghofuurur Rohiim]
Ya, Allah! Sesungguhnya Fulan bin Fulan dalam tanggunganMu dan tali perlindunganMu.
Peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksa Neraka. Engkau adalah Maha Setia dan Maha
Benar. Ampunilah dan belas kasihanilah dia. Sesungguhnya Engkau, Tuhan Yang Maha
Pengampun lagi Penyayang. (HR. Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/251 dan Abu
Dawud 3/21)



.
[Alloohumma Abduka Wabnu Amatikahtaaja Ilaa Rohmatika, Wa Anta Ghoniyyun An
Adzaabihi, In Kaana Muhsinan, Fa Zid Fii Hasanaatihi, Wa In Kaana Musiian Fa Tajaawaz
Anhu]
Ya, Allah, ini hambaMu, anak ham-baMu perempuan (Hawa), membutuh-kan rahmatMu,
sedang Engkau tidak membutuhkan untuk menyiksanya, jika ia berbuat baik tambahkanlah
dalam amalan baiknya, dan jika dia orang yang salah, lewatkanlah dari kesalahan-nya. (HR.
Al-Hakim. Menurut pendapatnya: Hadits ter-sebut adalah shahih. Adz-Dzahabi
menyetujuinya 1/359, dan lihat Ahkamul Janaiz oleh Al-Albani, halaman 125)

G. YANG DISUNNAHKAN DALAM SHOLAT JENAZAH


Disukai (mustahab) membentuk 3 shof di belakang imam berdasarkan hadits:
Abu Umamah r.a. berkata: Suatu ketika Rasulullah saw. menshalati jenazah dan bersamanya
7 orang makmum seraya menjadikan shaf pertama 3 orang, kemudian 2 orang dan
dibelakangnya lagi 2 orang (H.R. Thabarani)
dan hadits :
Malik bin Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, Tidaklah seorang muslim
meninggal kemudian dishalati oleh 3 shaf orang islam kecuali wajiblah atasnya. (dalam
riwayat lain Kecuali pastilah diampuni dosa-dosanya)
Gerakan dan Bacaan Sholat

Sholat yang benar adalah seperti sholat yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sudahkah kita
sholat seperti itu? berikut adalah dalil-dalil yang menerangkan tentang tata cara Sholat yang
dilakukan oleh rasulullah saw.
BERDIRI
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau sunnah berdiri karena
memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah : 238. Apabila bepergian, beliau melakukan
sholat sunnah di atas kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan
sholat khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika
kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam
keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang
mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut). (QS. Al Baqarah : 238).
MENGHADAP KIBLAT
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah,
beliau menghadap Kabah. Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya
kepada orang yang sholatnya salah:
Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadaplah ke
kiblat, lalu bertakbirlah.
(HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman Allah dalam Surah Al Baqarah : 115:
Kemana saja kamu menghadapkan muka, disana ada wajah Allah.
Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi
sebelum turunnya firman Allah:
Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami palingkan kamu ke
kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil
Haram. (QS. Al Baqarah : 144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Kabah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang tinggal di Quba kedatangan seorang utusan
Rasulullah untuk menyampaikan berita, ujarnya,
Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mendapat wahyu,
beliau disuruh menghadap Kabah. Oleh karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana.
Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar
(imam mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat). (HR.
Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Saad. Baca Kitab Al Irwa, hadits No.
290).
MENGHADAP SUTRAH
Sutrah (pembatas yang berada di depan orang sholat) dalam sholat menjadi keharusan imam
dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di masjid besar, demikian pendapat Ibnu Hani
dalam Kitab Masail, dari Imam Ahmad.Beliau mengatakan, Pada suatu hari saya sholat
tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid kami,
Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, Pasanglah sesuatu sebagai
sutrahmu! Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah.Syaikh Al Albani
mengatakan, Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di
masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya.Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan
seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di
depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan.
(HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya
sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya.
(HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan
Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Nabi shallallahu alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara
beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta.
(HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke
tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan
lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
NIAT
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Taala semata, serta
menguatkannya dalam hati.Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai
dengan niatnya.
(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa, hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan tidak pula dari salah
seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, Apakah orang sholat mengatakan
sesuatu sebelum dia takbir? Imam Ahmad menjawab, Tidak. (Masaail al Imam Ahmad hal
31 dan Majmuu al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi berkata, Yang termasuk perbuatan bidah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu
berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam maupun
para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain
hanya lafadz takbir.
Asy Syafii berkata, Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan
terhadap syariat atau membingungkan akal. (Lihat al Amr bi al Itbaa wa al Nahy an al
Ibtidaa).
TAKBIRATUL IHROM
Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan hanya sekali ketika
hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar ( )
di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang sholatnya
salah. Beliau bersabda kepada orang itu:
Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu dan melakukan
wudhu sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar.
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhumu terlebih
dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom.
(Muttafaqun alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa
menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut
dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut.
An Nawawi berkata, adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak
mengeraskan suara ketika membaca lafadz tabir, baik apakah dia sedang menjadi makmum
atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan,
seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh
dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca
ayat-ayat al Qur-an, takbir, membaca tasbih ketika ruku, tasyahud, salam dan doa-doa dalam
sholat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah beliau melanjutkan, Demikianlah nash
yang dikemukakan Syafii dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafii berkata dalam al
Umm, Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya.
Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.. (al Majmuu III/295).
MENGANGKAT KEDUA TANGAN
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setentang bahu ketika bertakbir dengan
merapatkan jari-jemari tangannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang bahu
jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku dan setiap kali bangkit dari
rukunya.
(Muttafaqun alaihi).
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga, berdasarkan hadits riwayat Malik bin
Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga
setiap kali bertakbir (didalam sholat).
(HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan
Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengangkat kedua
tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak
pula menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).
BERSEDEKAP
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya
(bersedekap). Beliau bersabda:
Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta
meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat.
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini
meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian
orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu
Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya,
pergelangan dan lengan kirinya berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan
kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya.
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasai, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad
yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,
berdasarkan hadits Nasai dan Daraquthni:
Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.
(sanad shahih).
Bersedekap di dada
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan
hadits:
Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya.
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin
Hujur).
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi
dalam Kitab Masail, halaman 222 berkata: Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara
mutawatir kepada kami. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdoa qunut dan
melakukan qunut sebeluim ruku. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan
teteknya. Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi Iyadh al Maliki dalam
bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al Ilam, beliau berkata: Dia meletakkan tangan
kanan pada punggung tangan kiri di dada.
MEMANDANG TEMPAT SUJUD
Pada saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menundukkan
kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal ini didasarkan pada hadits
yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud
(di dalam sholat).
(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang
terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga
pandangan mata mereka.
(HR. Muslim, Nasai dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau
bersabda:
Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa
menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke
kanan atau ke kiri.
(HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Maaad ( I/248 ) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang
sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, Jumhur ulama
mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat
yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding
yang bergambar dan sebagainya.
MEMBACA DOA ISTIFTAH
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam bermacam-macam. Dalam
doa istiftah tersebut beliau shallallahu alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan
kalimat keagungan untuk Allah.Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang
salah melakukan sholatnya dengan sabdanya:
Tidak sempurna sholat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan
kalimat keagungan (doa istiftah), dan membaca ayat-ayat al Qur-an yang dihafalnya (HR.
Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam diantaranya
adalah:
ALLAHUUMMA BAID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAAADTA
BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN
KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS.
ALLAAHUMMAGHSILNII BIL MAAI WATS TSALJI WAL BARADI
artinya:
Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau
menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku
sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-
kesalahanku dengan air, salju dan embun. (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
Atau kadang-kadang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga membaca dalam sholat
fardhu:
WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA
HANIIFAN [MUSLIMAN] WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLATII
WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAHI RABBIL ALAMIIN. LAA
SYARIIKALAHU WABIDZALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIIN.
ALLAHUMMA ANTAL MALIKU, LAA ILAAHA ILLA ANTA [SUBHAANAKA WA
BIHAMDIKA] ANTA RABBII WA ANA ABDUKA, DHALAMTU NAFSII,
WATARAFTU BIDZAMBI, FAGHFIRLII DZAMBI JAMIIAN, INNAHU LAA
YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA. WAHDINII LI AHSANIL AKHLAAQI LAA
YAHDII LI AHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF ANNII SAYYI-AHAA LAA
YASHRIFU ANNII SAYYI-AHAA ILLA ANTA LABBAIKA WA SADAIKA, WAL
KHAIRU KULLUHU FII YADAIKA. WASY SYARRULAISA ILAIKA. [WAL
MAHDIYYU MAN HADAITA]. ANA BIKA WA ILAIKA [LAA MANJAA WALAA
MALJA-A MINKA ILLA ILAIKA. TABAARAKTA WA TA'AALAITA ASTAGHFIRUKA
WAATUUBU ILAIKA"
yang artinya:
"Aku hadapkan wajahku kepada Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan
dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku
semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya.
Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim. Ya
Allah, Engkaulah Penguasa, tiada Ilah selain Engkau semata-mata. [Engkau Mahasuci dan
Mahaterpuji], Engkaulah Rabbku dan aku hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku dan aku
mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah
yang berhak mengampuni semua dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling baik,
karena hanya Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan
jauhkanlah diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu, sedang segala keburukan tidak
datang dari-Mu. [Orang yang terpimpin adalah orang yang Engkau beri petunjuk]. Aku
berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, [tiada tempat memohon
keselamatan dan perlindungan dari siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata]. Engkau
Mahamulia dan Mahatinggi, aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah)
MEMBACA TAAWWUDZ
Membaca doa taawwudz adalah disunnahkan dalam setiap rakaat, sebagaimana firman
Allah taala:
Apabila kamu membaca al Qur-an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
syaitan yang terkutuk. (An Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafii dan diperkuat oleh Ibnu
Hazm (Lihat al Majmuu III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
Nabi biasa membaca taawwudz yang berbunyi:
AUUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA
NAFKHIHI WANAFTSIHI
artinya:
Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang
menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan
kerusakan akhlaq).(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni,
Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan:
AUUZUBILLAHIS SAMIIIL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM
artinya:
Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang
terkutuk
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).
MEMBACA AL FATIHAH
Hukum Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun sholat, jadi kalau dalam
sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya berdasarkan perkataan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya):
Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Jamaah: yakni Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).
Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya
buntung, sholatnya buntungtidak sempurna
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan Abu Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al-
Fatihah, begitu pun pada sholat jamaah ketika imam membacanya secara sirr (tidak
diperdengarkan) yakni pada sholat Dhuhur, Ashr, satu rokaat terakhir sholat Mahgrib dan
dua rokaat terakhir sholat Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah
tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum
membaca surat dibelakang imam kecuali surat Al-Fatihah:
Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam kalian? Kami menjawab: Ya, tapi
dengan cepat wahai Rasulallah. Berkata Rasul: Kalian tidak boleh melakukannya
MEMBACA AMIN
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat.
Dari Abu hurairah, dia berkata: Dulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, jika selesai
membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin.
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni dan Ibnu
Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang
berkualitas shahih)
Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan amiin dengan
suara keras dan panjang.
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits tersebut mensyariatkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang
menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafii, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih
lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari membuat suatu bab dengan judul baab jahr al-imaan
bi al-ta-miin (artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin).
Didalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca amin bersama para
makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin dengan
suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah
mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal itu.
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan
para ulama.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Jika imam membaca amiin maka
hendaklah kalian juga membaca amiin.
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat
ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh
makmum. Mereka baru diwajibkan membaca amiin ketika imam juga membacanya. Adapun
bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul
Authaar, II/262).
Bila imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi alaihim waladhdhooolliin, ucapkanlah
amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam
riwayat lain: (apabila imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin)
barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan:
bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat bersamaan dengan malaikat
dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi)
Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan
dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini
adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul
Minnah hal. 178)
BACAAN SURAT SETELAH AL FATIHAH
Membaca surat Al Qur-an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat hukumnya sunnah karena
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membolehkan tidak membacanya. Membaca surat
Al-Qur-an ini dilakukan pada dua rokaat pertama. Banyak hadits yang menceritakan
perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang itu.
Panjang pendeknya surat yang dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca surat-surat yang
panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan
dengan kondisi makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan
diperpendek).Rasulullah berkata:
Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku
mendengar suara tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa
gelisah ibunya karena tangis bayi itu.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Cara membaca surat
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua rokaat, kadang pula surat
yang sama dibaca pada rokaat pertama dan kedua. (berdasar hadits yang dikeluarkan oleh
Al-Imam Ahmad dan Abu Yala, juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu
Dawud dan Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, disahkan
oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam satu rokaat.(Berdasar
hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, dinyatakan oleh At-
Tirmidzi sebagai hadits shahih)
Tata cara bacaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan jumlah ayat yang
berimbang antara rokaat pertama dengan rokaat kedua. (berdasar hadits shahih dikeluarkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada
sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib pada rokaat ketiga ataupun dua rokaat
terakhir sholat isya Nabi membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi
sedang membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan
bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits
yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering membaca suatu surat dari awal sampai selesai
selesai. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata:
Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (rokaat) ruku dan sujud.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan:
Untuk setiap satu surat (dibaca) dalam satu rokaat.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Nashr dan At-Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani: Seyogyanya kalian membaca satu surat utuh dalam setiap
satu rokaat sehingga rokaat tersebut memperoleh haknya dengan sempurna. Perintah
dalam hadits tersebut bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al-Qur-an Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukannya
dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan
beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih
panjang dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang
yang membaca Al-Qur-an kelak akan diseru:
Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena
kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-
Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca surat Al-Qur-an dengan suara yang bagus,
maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:
Perindahlah/hiasilah Al-Qur-an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah
keindahan Al-Qur-an].
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari , Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan
Tamam Ar-Razi)
Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur-an.
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan
disetujui oleh Adz-Dzahabi)
RUKU
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al-Qur-an
kemudian berhenti sejenak, terus mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti
ketika takbiratul ihrom (setentang bahu atau daun telinga) kemudian rukuk (merundukkan
badan kedepan dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai).
Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya adalah:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya,
hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit)
dari ruku .(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari, Muslim dan Malik)
Cara Ruku
> Bila Rasulullah ruku maka beliau meletakkan telapak tangannya pada lututnya, demikian
beliau juga memerintahkan kepada para shahabatnya.
Bahwasanya shallallahu alaihi wa sallam (ketika ruku) meletakkan kedua tangannya pada
kedua lututnya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
> Menekankan tangannya pada lututnya.
Jika kamu ruku maka letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu dan bentangkanlah
(luruskan) punggungmu serta tekankan tangan untuk ruku.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud)
> Merenggangkan jari-jemarinya.
Beliau merenggangkan jari-jarinya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Hakim dan dia menshahihkannya, Adz-Dzahabi dan At-
Thayalisi menyetujuinya)
> Merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.
Beliau bila ruku, meluruskan dan membentangkan punggungnya sehingga bila air
dituangkan di atas punggung beliau, air tersebut tidak akan bergerak.
(Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani, Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah)
> Antara kepala dan punggung lurus, kepala tidak mendongak tidak pula menunduk tetapi
tengah-tengah antara kedua keadaan tersebut.
Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Bukhari)
Sholat seseorang sempurna sebelum dia melakukan ruku dan sujud dengan meluruskan
punggungnya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh
Ad-Daraquthni)
> Thuma-ninah/Bersikap Tenang
Beliau pernah melihat orang yang ruku dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung
mematuk, lalu berkata: Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati diluar agama
Muhammad [sholatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku tidak
sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji kurma yang
tidak mengenyangkan.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Yala, Al-Ajiri, Al-Baihaqi, Adh-Dhiya dan Ibnu
Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
> Memperlama Ruku
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikan ruku, berdiri setelah ruku dan sujudnya juga
duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Yang Dibaca Ketika Ruku
Doa yang dibaca oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada beberapa macam, semuanya
pernah dibaca oleh beliau jadi kadang membaca ini kadang yang lain.
1. SUBHAANA RABBIYAL ADHZIM 3 kali atau lebih (Berdasar hadits yang dikeluarkan
oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Yang artinya:
Maha Suci Rabbku, lagi Maha Agung.
2. SUBHAANA RABBIYAL ADHZIMI WA BIHAMDIH 3 kali (Berdasar hadits yang
dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daroquthni dan Al-Baihaqi).
Yang artinya:
Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya.
3. SUBBUUHUN QUDDUUSUN RABBUL MALA-IKATI WAR RUUH (Berdasar hadits
yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu Awwanah).
Yang artinya:
Maha Suci, Maha Suci Rabb para malaikat dan ruh.
4. SUBHAANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII
Yang artinya:
Maha Suci Engkau ya, Allah, dan dengan memuji-Mu Ya, Allah ampunilah aku.
Berdasarkan hadits dari A-isyah, bahwasanya dia berkata:
Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam memperbanyak membaca Subhanakallahumma
Wa Bihamdika Allahummaghfirlii dalam rukunya dan sujudnya, beliau mentakwilkan Al-
Qur-an.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim).
Doa ini yang paling sering dibaca. Dikatakan bahwa ada riwayat dari A-isyah yang
menunjukkan bahwa Rasulullah sejak turunnya surat An-Nashr -yang artinya: Hendaklah
engkau mengucapkan tasbih dengan memuji Rabbmu dan memohon ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. (TQS. An-Nashr 110:3)-, waktu ruku dan sujud
beliau shallallahu alaihi wa sallam selalu membaca doa ini hingga wafatnya.
5. Dan lain-lain sesuai dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Yang Dilarang Ketika Ruku
Larangan disini adalah larangan dari Rasulullah bahwa sewaktu ruku kita tidak boleh
membaca Al-Qur-an. Berdasarkan hadits:
Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang membaca Al-Qur-an dalam ruku
dan sujud.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu Awwanah)
Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku dan sujud
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu Awwanah).
ITIDAL DARI RUKU
Cara itidal dari ruku
Setelah ruku dengan sempurna dan selesai membaca doa, maka kemudian bangkit dari ruku
(itidal). Waktu bangkit tersebut membaca (SAMIALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai
dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu takbiratul ihrom. Hal ini berdasarkan
keterangan beberapa hadits, diantaranya:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya,
hal itu dilakukan ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit )
dari ruku sambil mengucapkan SAMIALLAAHU LIMAN HAMIDAH
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Malik).
Yang Dibaca Ketika Itidal dari Ruku
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika bangkit (mengangkat kepala) dari ruku itu membaca:
(SAMIALLAHU LIMAN HAMIDAH)
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai bacaan tersebut disahut dengan bacaan:
RABBANAA LAKAL HAMD (Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
RABBANAA WA LAKAL HAMD (Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
atau
ALLAAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku, segala puji kepada-
Mu)
atau
ALLAAHUMMA RABBANAA WA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku dan segala puji
kepada-Mu)
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah:
Apabila imam mengucapkan SAMIALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah oleh
kalian ALLAHUMMA RABBANA WA LAKALHAMD, barangsiapa yang ucapannya tadi
bertepatan dengan ucapan para malaikat diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Ztirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu
Majah dan Malik)
Kadang ditambah dengan bacaan:
MIL-ASSAMAAWAATI, WA MIL-ALARDHL, WA MIL-A MAA SYI-TA MIN SYAI-IN
BAD
(Mencakup seluruh langit dan seluruh bumi dan segenap yang Engkau kehendaki selain dari
itu)
berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Dan Doa lain-lain
Cara Itidal
Adapun dalam tata cara itidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama
mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya. Tapi
yang rajih menurut kami adalah pendapat pertama. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat
yang pertama tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua
tidak mengapa.
Keterangan untuk pendapat pertama: Kembali meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri
atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri.
Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam An-Nasa-i yang artinya: Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: Saya
melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam sholat, beliau
memgang tangan kirinya dengan tangan kanannya.
Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sad
ia berkata: Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu alaihi wa
sallam ) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat.
Komentar Abu Hazm: Saya tidak mengetahui perintah tersebut kecuali disandarkan kepada
Nabi shallallahu alaihi wa sallam .
Komentar dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang
dimuat dalam majalah Rabithah Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M,
tahun XI): Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas
tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik sebelum ruku
maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para shahabat diperintahkan
untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti
bahwa Sunnah (Nabi) menjelaskan orang sholat dalam ruku meletakkan kedua telapak
tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya
pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan keddua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan
duduk antara dua sujud begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya
dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian Sunnah tersebut tidak
tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya
maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyariatkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat
agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku
maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam
membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah
menunjukkan dalilnya.
Disamping itu ada pula ketetapan dari hadits Wa-il bin Hujr pada riwayat An-Nasa-i dengan
sanad yang shahih: Bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri
dalam sholat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.
Wallaahu alamu bishshawab.
Thuma-ninah dan Memperlama Dalam Itidal
Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas
tulang belakangmu kembali pata tempatnya]. (dalam riwayat lain disebutkan: Jika kamu
berdiri itidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang
punggungmu mapan ke tempatnya).
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi,
Al-Hakim, As-Syafii dan Ahmad)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh shahabat: Dia telah
lupa [karena saking lamanya berdiri].
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
SUJUD
Sujud dilakukan setelah itidal thuma-ninah dan jawab tasmi (Rabbana Lakal Hamddst).
Caranya
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan mengangkat kedua tangan (setentang pundak atau
daun telinga) seraya bertakbir, badan turun condong kedepan menuju ke tempat sujud,
dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu baru kemudian meletakkan kedua tangan pada
tempat kepala diletakkan dan kemudian meletakkan kepala kepala dengan
menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke lantai (tangan sejajar dengan
pundak atau daun telinga).
Dari Wail bin Hujr, berkat, Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika
hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit
mengangkat dua tangan sebelum kedua lututnya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasai, Ibnu Majah dan Ad-
Daarimy)
Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasai dan Daraquthni)
Terkadang Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangannya [dan membentangkan]
serta merapatkan jari-jarinya dan menghadapkannya ke arah kiblat.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi)
Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasai)
Cara Sujud
> Bersujud pada 7 anggota badan, yakni jidat/kening/dahi dan hidung (1), dua telapak tangan
(3), dua lutut (5) dan dua ujung kaki (7). Hal ini berdasar hadits:
Dari Ibnu Abbas berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata: Aku diperintah untuk
bersujud (dalam riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota
badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan),
dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut
kepala.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Jamaah)
> Dilakukan dengan menekan
Apabila kamu sujud, sujudlah dengan menekan.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan
telapak kaki ke tanah.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi)
> Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada lantai, tapi diangkat dan dijauhkan dari sisi
rusuk/lambung.
Dari Abu Humaid As-Sadiy, bahwasanya Nabi shalallau alaihi wasallam bila sujud maka
menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi
perutnya, tangannya ditaruh sebanding dua bahu beliau.
(Diriwayatkan oleh Al Imam At-Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau alaihi wasallam bersabda:
Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti
anjing menghamparkan kakinya.
(Diriwayatkan oleh Al-Jamaah kecuali Al Imam An-Nasa-i, lafadhz ini bagi Al Imam Al-
Bukhari)
Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari lambungnya
sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari belakang
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
> Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat Rasulillah shallallahu alaihi wa sallam berkata:
Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang
perutnya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
> Merapatkan jari-jemari
Dari Wa-il, bahwasanya Nabi shalallau alaihi wasallam jika sujud maka merapatkan jari-
jemarinya.
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim)
> Menegakkan telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara dua tumit
Berkata A-isyah isteri Nabi shalallau alaihi wasallam: Aku kehilangan Rasulullah shalallau
alaihi wasallam padahal beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah
sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat,
aku dengar
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Ibnu Huzaimah)
> Thuma-ninah dan sujud dengan lama
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti dikerjakan dengan thuma-ninah. Juga Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam kalau bersujud baiasanya lama.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikan ruku, berdiri setelah ruku dan sujudnya juga
duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Sujud Langsung Pada Tanah atau Boleh Di Atas Alas
Para shahabat sholat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada
cuaca yang panas. Bila ada yang tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka
membentangkan kainnya kemudian sujud di atasnya
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
Bacaan Sujud
Rasulullah membaca
SUBHAANA RABBIYAL ALAA 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dll)
atau kadang-kadang membaca
SUBHAANA RABBIYAL ALAA WA BIHAMDIH, 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dll)
atau
SUBHAANAKALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA
ALLAAHUMMAGHFIRLII
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Bacaan Yang Dilarang Selama Sujud
Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku dan sujud
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu Awwanah).
BANGUN DARI SUJUD PERTAMA
Setelah sujud pertama -dimana dalam setiap rokaat ada dua sujud- maka kemudian bangun
untuk melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan
takbir dan kadang mengangkat tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
DUDUK ANTARA DUA SUJUD
Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada rokaat pertama
sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, duduk iftirasy (duduk dengan
meletakkan pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan) dan duduk iqak (duduk
dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit). Hal ini berdasar hadits:
Dari A-isyah berkata: Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau
yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan.
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
*Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan
kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan dilantai.
Dari Rifaah bin Rafi -dalam haditsnya- dan berkata Rasul shallallahu alaihi wa sallam :
Apabila engkau sujud maka tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas
pahamu yang kiri.
(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkadang duduk iqak, yakni [duduk dengan menegakkan
telapak dan tumit kedua kakinya].
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan ke
kiblat:
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al-Bukhari)
Menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat (An-Nasa-i)
Bacaannya
RABBIGHFIRLII, RABBIGHFIRLII
Dari Hudzaifah, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan dalam
sujudnya (dengan doa): Rabighfirlii, Rabbighfirlii.
(Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan lafadhz Ibnu Majah)
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WA AAFINII WAHDINII WARZUQNII
(Abu Dawud)
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARZUQNII WARFANII
(Ibnu Majah)
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAHDINII WARZUQNII
(At-Tirmidzi)
Thuma-ninah dan Lama
Lihat tata cara ruku Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sholat.
MENUJU ROKAAT BERIKUTNYA
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi, yaitu bangkit menuju rokaat berikut dari posisi
sujud kedua -pada akhir rokaat pertama dan ketiga- dan bangkit dari posisi duduk tasyahhud
awal -pada rokaat kedua.> Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri (dari akhir rokaat
pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau tanpa duduk istirahat, bangkit
berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan. Ketika bangkit bisa dengan tangan
bertumpu pada lantai atau bisa juga bertumpu pada pahanya.
Tangan bertumpu pada satu pahanya
Dari Wail bin Hujr dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ,berkata (Wa-il); Maka tatkala
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai sebelum
meletakkan kedua tangannya; Berkata (Wa-il): Bila sujud maka ..dan apabila bangkit dia
bangkit atas kedua lututnya dengan bertumpu pada satu paha.
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Tangan bertumpu pada lantai (tempat sujud)
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertumpu pada lantai ketika bangkit ke rokaat
kedua.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
Diselai duduk istirahat
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di malihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam sholat,
maka bila pada rokaat yang ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan
lurus.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari rokaat kedua) dengan mengangkat kedua tangan
seraya bertakbir seperti pada takbiratul ihram.
Mengangkat tangan ketika takbir
Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir,
kemudian berdiri
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Yala)
DUDUK TASYAHHUD AWWAL DAN TASYAHHUD AKHIR
Tasyahhud awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam sholat
Tempat dilakukannya
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya pada sholat yang jumlah rokaatnya lebih dari dua
(2), pada sholat wajib dilakukan pada rokaat yang ke-2. Sedang duduk tasyahhud akhir
dilakukan pada rokaat yang terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud yang kedua.
Cara duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir
Waktu tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas telapak kaki kiri)
sedang pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk dengan kaki kiri dihamparkan
kesamping kanan dan duduk diatas lantai), pada masing-masing posisi kaki kanan
ditegakkan.
Dari Abi Humaid As-Saidiy tentang sifat sholat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia
berkat, Maka apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk dalam dua rokaat (-
tasyahhud awwal) beliau duduk diatas kaki kirinya dan bila duduk dalam rokaat yang akhir
(-tasyahhud akhir) beliau majukan kaki kirinya dan duduk di tempat kedudukannya (lantai
dll).
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Letak tangan ketika duduk
Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan sambil berisyarat
dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan penglihatan ditujukan kepadanya, sedang
tangan kirinya ditaruh/terhampar di paha kiri.
Dari Ibnu Umar berkata Rasulullahi shallallahu alaihi wa sallam bila duduk didalam shalat
meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu
berdoa dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan
padanya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i).
Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak
Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir, berisyarat dengan
telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya. Kadang pada suatu sholat digerakkan
pada sholat lain boleh juga tidak digerak-gerakkan.
Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya yang kiri dan menaruh tangannya
yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri dan ujung sikunya diatas paha kanannya,
kemudian beliau menggenggam jari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian
mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak-gerakkannya berdoa dengannya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i).
Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakannya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).
Membaca doa At-Tahiyyaat dan As-Sholawaat
Doa tahiyyat ini ada beberapa versi, untuk hendaklah dipilih yang kuat dan lafadhznya
belum ditambah-tambah. Salah satu contoh riwayat yang baik adalah sebagai berikut:
Berkata Abdullah : Kami apabila shalat di belakang nabi shallallahu alaihi wa sallam
keselamatan atas jibril dan mikail keselamatan atas si fulan dan si fulan maka rasulullah
berpaling kepada kami. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata : sesungguhnya
Allah itu As-salam maka apabila shalat hendaklah kalian itu mengucapkan:
AT-TAHIYYAATU LILLAHI WAS SHOLAWATU WAT THAYYIBAAT, AS-
SALAMUALAIKA AYYUHAN NABIY WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUHU,
AS-SALAAMU ALAINA WA ALAA IBAADILLAHIS SHALIHIN. ASYHADU ALLAA
ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WA
RASULUHU
artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan
terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan
tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila
kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi-
Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan aku bersaksi
bahwasanya Muhammmad itu hamba daan utusan-Nya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari).
Dari Kaab bin Ujrah berkata : Maukah aku hadiahkan kepadamu sesuatu ? Sesungguhnya
Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang kepada kami, maka kami berkata : Ya Rasulullah
kami sudah tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, lantas bagaimana kami
harus bershalawat kepadamu? Beliau berkata : ucapkanlah:
ALLAAHUMMA SHALLI ALA MUHAMMAD WA ALAA AALI MUHAMMAD
KAMAA SHALLAITA ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.
ALLAAHUMMA BAARIK ALAA MUHAMMAD WA ALAA AALI MUHAMMAD
KAMAA BARAKTA ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.
artinya: Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga
Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau
Maha Terpuji dan Maha Agung.
Berdoa berlindung dari empat (4) hal.
Hal ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja.
Agar tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam- ini maka dalam
tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai membaca sholawat pada Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, sedang taawudz (berlindung dari 4 hal) ini dibaca hanya ketika tasyahhud akhir.
Dari Abu Hurairah berkata; berkata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : Apabila kamu
telah selesai bertasyahhud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, dia
berkata:
ALLAAHUMMA INNII AUUDZUBIKA MIN ADZAABI JAHANNAMA WA MIN
ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN FITNATIL
MASIIHID DAJJAAL.
artinya: Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnahnya
hidup dan mati serta fitnahnya Al-Masiihid Dajjaal.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
Berdoa dengan doa/permohonan lainnya
kemudian (supaya) dia memilih doa yang dia kagumi/senangi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Al-Bukhari)
SALAM
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan sholat, dilakukan dalam posisi duduk tasyahhud
akhir setelah membaca doa minta perlindungan dari 4 fitnah atau tambahan doa lainnya.
Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya (yaitu sholat) adalah
mengucapkan salam.
(Hadits dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Caranya
Dengan menolehkan wajah ke kanan seraya mengucapkan doa salam kemudian ke kiri.
Dari Amir bin Saad, dari bapaknya berkata: Saya melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memberi salam ke sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah)
Dari Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku sholat bersama Nabi shallallahu
alaihi wa sallam maka beliau membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): As
Salamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh. Dan kesebelah kiri: As Salamualaikum
Wa Rahmatullahi.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Macam-macam Bacaan Salam
Kadang-kadang beliau membaca:
As Salamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh As Salamualaikum Wa Rahmatullahi
Wa Barakatuh
atau
As Salamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh As Salamualaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
atau
As Salamualaikum Wa Rahmatullahi As Salamualaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
atau
As Salamualaikum Wa Rahmatullahi As Salamualaikum
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan An-Nasa-i)
atau
As Salamualaikum dengan sedikit menoleh ke kanan tanpa menoleh ke kiri
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)
Gerak yang dilarang
Sering terlihat orang yang mengucapkan salam ketika menoleh ke-kanan dibarengai dengan
gerakan telapak tangan dibuka kemudian ketika menoleh ke kiri tangan kirinya di buka.
Gerakan tangan ini dilarang oleh shallallahu alaihi wa sallam.
Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit
dikejar binatang buas? Bila seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia
berpaling kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya. [Ketika mereka sholat
lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan:
Seseorang diantara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia
mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan
saudaranya di sebelah kiri).
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim, Abu Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-
Thabrani).
Diantara gerakkan bidah yang dilakukan saat salam adalah gerakkan yang dilakukan oleh
orang syiah dengan menepukkan kedua tangannya di atas paha tiga kali, sebagai pengganti
salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hal seperti ini dilakukan oleh syiah Iran dan
sekitarnya. Maksud dari gerakan itu adalah melaknat malaikat Jibril karena mereka
mengatakan Jibril telah salah menyampaikan wahyu.
Home SHOLAT Sholat Dalam Al-Quran (Dalil/Dasar Hukum Kewajiban Sholat Bagi
Muslim)
Sholat Dalam Al-Quran (Dalil/Dasar Hukum Kewajiban Sholat Bagi Muslim)
Tulis Komentar SHOLAT
Sahabat Edukasi yang berbahagia...

Sholat : , adalah sebuah istilah penting dalam agama Islam yang mulai saya kenal dan
dapatkan pelajarannya setahap demi setahap khususnya tentang sholat wajib 5 waktu yang
terdiri dari sholat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya semenjak mulai kecil hingga
beranjak tua saat ini baik dari lingkungan keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat
(mushola/masjid), maupun dari media massa dan elektronik.

Semakin bertambah usia, semakin bertambah pula pemahaman saya akan pentingnya
memahami hakikat dari sholat ini, sehingga dalam menjalankannya benar-benar dapat
menjadi sebuah amal ibadah yang tidak sia-sia di sisi Allah SWT.

Pada akhirnya, saya mulai memahami bahwa kewajiban untuk senantiasa melaksanakan
sholat ini benar-benar-benar tidak bisa ditinggalkan oleh seluruh umat Islam yang sudah
baligh (dewasa), berakal atau sadar (tidak sedang gila/pingsan), dan suci (tidak sedang haid
ataupun nifas) bagi wanita. Saking pentingnya kewajiban sholat ini, bahkan saat kita sakit
parahpun, kewajiban sholat tidak akan pernah gugur karenanya.

Dalil (dasar hukum) dalam Al-Quran tentang Sholat, Allah SWT berfirman :

1. QS. Al-Ankabut ayat 45;





Artinya: Kerjakanlah sholat sesungguhnya sholat itu bisa mencegah perbuatan keji dan
munkar.

2. QS. Al-Baqarah ayat 43;




Artinya: Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang
yang ruku.
3. QS. Al-Baqarah ayat 110;


Artinya : "Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu
usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya pada sisi Allah
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan."

4. QS. An-Nuur ayat 56;




Artinya : "Dan kerjakanlah sholat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul, agar supaya
kalian semua diberi rahmat."

Semoga dengan artikel kali ini, benar-benar dapat membangkitkan kembali kesadaran
manusiawi kita untuk senantiasa menyempurnakan penghambaan diri kita hanya untuk Allah
SWT semata, salah satunya dengan mendirikan sholat wajib (fardhu) 5 waktu secara terus-
menerus baik dalam keadaan apapun, di manapun, dan kapanpun.

Dalil Tentang Shalat Sholat Secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti
yakni doa. Sedangkan, Shalat menurut istilah, shalat mempunyai arti serangkaian kegiatan
ibadah tertentu atau khusus yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Hukum Salat
labbaik.id
Dalam banyak hadist Nabi, Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam telah memberikan
peringatan keras kepada orang-orang yang suka meninggalkan salat wajib, mereka akan
dihukumi menjadi seorang kafir dan mereka yang meninggalkan salat, pada hari kiamat kelak
akan disandingkan bersama dengan orang-orang, seperti Firaun, Qarun, Ubay bin Khalaf,
Haman.
Hukum Shalat dapat dikategorisasikan sebagai berikut:

madinatuliman.com
Fardu, Shalat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk mengerjakannya setiap waktu Shalat.
Shalat fardhu terbagi lagi menjadi dua, yakni:
Fardu ain yaitu kewajiban yang diwajibkan kepada seorang mukallaf langsung yang berkaitan
dengan dirinya dan tidak boleh ditinggalkan atau dilaksanakan oleh orang lain, seperti Shalat
lima waktu, dan Shalat Jumat (fardhu ain untuk pria).
Fardu kifayah yaitu kewajiban yang diwajibkan kepada seorang mukallaf tidak langsung
berkaitan dengan dirinya. Kewajiban tersebut menjadi sunnah setelah ada sebagian orang
yang mengerjakannya. Namun bila tidak ada orang yang melaksanakannya maka kita wajib
mengerjakannya dan menjadi berdosa jika tidak dikerjakan, seperti salat jenazah.
Shalat sunnah (salat nafilah) adalah Shalat yang dianjurkan atau disunnahkan akan tetapi
tidak diwajibkan. Salat nafilah terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
Nafil muakkad yaitu Shalat sunnah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir
mendekati wajib), seperti misalkan Shalat dua hari raya, Shalat sunah witir dan Shalat sunah
thawaf.
Nafil ghairu muakkad yaitu salat sunah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti
Shalat sunah Rawatib dan salat sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan,
seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

Rukun salat
pdmjogja.org
Berdiri bagi orang yang mampu.
Takbiratul ikhram.
Membaca surah Al Fatihah pada setiap rakaat.
Rukuk secara tumaninah.
Itidal setelah rukuk secara tumaninah.
Sujud dua kali secara tumaninah.
Duduk antara dua sujud secara tumaninah.
Duduk serta membaca tasyahud akhir.
Membaca shalawat nabi pada tasyahud akhir.
Membaca salam untuk yang pertama.
Tertib melakukan rukun secara berurutan.

Dalil Tentang Shalat


ummi-online.com/
Rasulullah SAW bersabda,


:
:



.

345 :1 .
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya
pertama-tama perbuatan manusia yang dihisab pada hari qiyamat, adalah shalat wajib. Maka
apabila ia telah menyempurnakannya (maka selesailah persoalannya). Tetapi apabila tidak
sempurna shalatnya, dikatakan (kepada malaikat), Lihatlah dulu, apakah ia pernah
mengerjakan shalat sunnah ! Jika ia mengerjakan shalat sunnah, maka kekurangan dalam
shalat wajib disempurnakan dengan shalat sunnahnya". Kemudian semua amal-amal yang
wajib diperlakukan seperti itu". [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 345]


Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan
masuk surga." (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)
Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan
shalat." (HR. Muslim no. 257)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,






Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan
sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah
menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan
akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam." (HR. Muslim no. 163)

Bahaya Meninggalkan Shalat (1): Dalil Al Quran


Muhammad Abduh Tuasikal, MSc December 8, 2013 Shalat Leave a comment 6,583 Views

Meninggalkan shalat adalah perkara yang teramat bahaya. Di dalam berbagai dalil disebutkan
berbagai ancaman yang sudah sepatutnya membuat seseorang khawatir jika sampai lalai
memperhatikan rukun Islam yang mulia ini. Tulisan kali ini akan mengutarakan bahaya meninggalkan
shalat menurut dalil-dalil Al Quran secara khusus.
Dalil Pertama
Firman Allah Taala,
(35)
Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa
(orang kafir) ? (Q.S. Al Qalam [68] : 35)
hingga ayat,
( 42)


(43)
Pada hari betis disingkapkandan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa,
(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan
sejahtera. (Q.S. Al Qalam [68] : 43)
Dari ayat di atas, Allah Taala mengabarkan bahwa Dia tidak menjadikan orang muslim seperti orang
mujrim (orang yang berbuat dosa). Tidaklah pantas menyamakan orang muslim dan orang mujrim
dilihat dari hikmah Allah dan hukum-Nya.
Kemudian Allah menyebutkan keadaan orang-orang mujrim yang merupakan lawan dari orang
muslim. Allah Taala berfirman (yang artinya),Pada hari betis disingkapkan. Yaitu mereka (orang-
orang mujrim) diajak untuk bersujud kepada Rabb mereka, namun antara mereka dan Allah terdapat
penghalang. Mereka tidak mampu bersujud sebagaimana orang-orang muslim sebagai hukuman
karena mereka tidak mau bersujud kepada-Nya bersama orang-orang yang shalat di dunia.
Maka hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang meninggalkan shalat akan bersama dengan orang
kafir dan munafik. Seandainya mereka adalah muslim, tentu mereka akan diizinkan untuk sujud
sebagaimana kaum muslimin diizinkan untuk sujud.
Dalil Kedua
Firman Allah Taala,
(42) ( 41) ( 40) ( 39) ( 38)
( 46)
( 45)
( 44)
( 43)
(47)
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan,
berada di dalam surga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa,
Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: Kami dahulu
tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang
miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang
membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami
kematian. (QS. Al Mudatstsir [74] : 38-47)
Setiap orang yang memiliki sifat di atas atau seluruhnya berhak masuk dalam neraka saqor dan
mereka termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa). Pendalilan hal ini cukup jelas. Jika memang
terkumpul seluruh sifat di atas, tentu kekafiran dan hukumannya lebih keras. Dan jika hanya memiliki
satu sifat saja tetap juga mendapatkan hukuman.
Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa tidaklah disiksa dalam saqor kecuali orang yang
memiliki seluruh sifat di atas. Akan tetapi yang tepat adalah setiap sifat di atas patut termasuk orang
mujrim (yang berbuat dosa). Dan Allah Taala telah menjadikan orang-orang mujrim sebagai lawan
dari orang beriman. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat termasuk orang mujrim yang
berhak masuk ke neraka saqor. Allah Taala berfirman,

( 47)
(48)
Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (bedosa) berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam
neraka. (Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada
mereka): Rasakanlah sentuhan api neraka!. (QS. Al Qomar [54] : 47-48)

(29)
Sesungguhnya orang-orang yang mujrim (berdosa), adalah mereka yang menertawakan orang-
orang yang beriman. (QS. Al Muthaffifin [83] : 29). Dalam ayat ini, Allah menjadikan orang mujrim
sebagai lawan orang mukmin.
Dalil Ketiga
Firman Allah Taala,


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.
(QS. An Nur [24] : 56)
Pada ayat di atas, Allah Taala mengaitkan adanya rahmat bagi mereka dengan mengerjakan perkara-
perkara pada ayat tersebut. Seandainya orang yang meninggalkan shalat tidak dikatakan kafir dan
tidak kekal dalam neraka, tentu mereka akan mendapatkan rahmat tanpa mengerjakan shalat. Namun,
dalam ayat ini Allah menjadikan mereka bisa mendapatkan rahmat jika mereka mengerjakan shalat.
Dalil Keempat
Allah Taala berfirman,

( 4)
(5)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
(QS. Al Maaun [107] : 4-5)
Saad bin Abi Waqash, Masyruq bin Al Ajda, dan selainnya mengatakan, Orang tersebut adalah
orang yang meninggalkannya sampai keluar waktunya.
Ancaman wail dalam Al Quran terkadang ditujukan pada orang kafir seperti pada ayat,
(7) ( 6)
Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS. Fushshilat [41] : 6-
7)
( 8)
( 7)


(9)
Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia
mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-
akan dia tidak mendengarnya. Maka beri khabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. Dan
apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-
olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Al Jatsiyah [45] : 7-9)

(2)
Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (QS. Ibrahim [14] :
2)
Terkadang pula ditujukan pada orang fasik (tidak kafir), seperti pada ayat,

(1)
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (QS. Al Muthaffifin : 1)
(1)
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (QS. Al Humazah [104] : 1)
Lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat (dengan sengaja)? Apakah ancaman wail
tersebut adalah kekafiran ataukah kefasikan?
Jawabannya : bahwa lebih tepat jika ancaman wail tersebut adalah untuk orang kafir. Kenapa
demikian?
Hal ini dapat dilihat dari dua sisi :
1) Terdapat riwayat yang shohih, Saad bin Abi Waqqash mengatakan tentang tafsiran ayat ini (surat
Al Mauun ayat 4-5), Seandainya kalian meninggalkan shalat maka tentu saja kalian kafir. Akan
tetapi yang dimaksudkan ayat ini adalah menyia-nyiakan waktu shalat.
2) Juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat,
sebagaimana yang akan disebutkan.
Dalil Kelima
Firman Allah Azza wa Jalla,
( 59)




Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal saleh. (QS. Maryam : 59)
Ibnu Masud radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa ghoyya dalam ayat tersebut adalah sungai di
Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini yaitu bagian neraka yang paling dasar- sebagai tempat
bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka
paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan
bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mumin, tentu dia tidak
dimintai taubat untuk beriman.
Dalil Keenam
Firman Allah Taala,


Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. (QS. At Taubah [9] : 11)
Dalam ayat ini, Allah Taala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Jika shalat
tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Mereka bukanlah mumin sebagaimana Allah Taala
berfirman,

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Dalil Wajib Shalat

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (thaaha: 14)

Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-
ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al ankabut: 45)

Al-Hadits

Hadis riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah, mendirikan
salat dan mengeluarkan zakat. Barang siapa melaksanakannya berarti ia telah melindungi diri dan
hartanya dariku kecuali dengan sebab syara, sedang perhitungannya (terserah) pada Allah Taala. (HR.
Bukhori no.25 Muslim no.22)

) : - -

"
(

Dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sholatlah dengan berdiri jika tidak mampu maka dengan duduk jika tidak mampu maka dengan
berbaring dan jika tidak mampu juga maka dengan isyarat." Diriwayatkan oleh Bukhari.
Shalat (Bahasa Arab : ;transliterasi: Shalat), Secara bahasa Shalat berasal dari bahasa
Arab yang memiliki arti, doa. Sedangkan, menurut istilah, Shalat adalah serangkaian kegiatan
ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
[http://id.wikipedia.org/wiki/Salat]

Shalat adalah tiang agama Islam kerna yang membedakan Islamnya seseorang dengan yang
lain adalah shalat. Sesuai hadist Rasulullah SAW :

Pemisah antara seseorang dengan kekufuran serta kesyirikan adalah meninggalkan


shalat.
[HR Muslim]

Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya, ia
telah kafir.
[HR Ahmad, Tirmizi, al-Nasai, al-Baihaqi, dan al-Daruquthni]

Shalat yang benar adalah shalat yang memenuhi rukun dan syarat sah shalat. Untuk
mengetahui tentang rukun shalat bisa dilihat pada tulisan saya tentang Tauhid dalam Bacaan
dan Gerakan Shalat. Dan syarat sah shalat mungkin kita bisa mencari di beberapa artikel lain
yang telah banyak membahas tentang hal tersebut. Hal ini untuk menyesuaikan judul artikel
ini.

Sekarang mari kita fokus pada judul "Dalil Shalat dalam Al-Quran dan Hadist". Sungguh
banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang mengkaji tentang shalat. Untuk lebih mendetail
penulis petakan dalam beberapa bagian :
A. Dalam Al-Quran

Keutamaan Shalat;

1. Tentang Pahala shalat :

Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin,
mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang
telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat,
dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami
berikan kepada mereka pahala yang besar.
[Q.S An-Nisaa' 4 : 162]

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami
angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya
kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka
barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan
yang lurus.
[Q.S Al-Maidah 5 : 12]

Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat,
(akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang
yang mengadakan perbaikan.
[Q.S Al-A'raaf 7 : 170]
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan
termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
[Q.S At-Taubah 9 : 18]
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[Q.S At-Taubah 9 : 71]

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian
permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat.
[Q.S Huud 11 : 114]

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau
terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang
mendapat tempat kesudahan (yang baik),
[Q.S Ar-Ra'ad 13 :22]

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu'


dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna.
[Q.S Al-Mu'mimuun 23 : 1-3]

Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu
diberi rahmat.
[Q.S An Nuur : 24:56]
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan
adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari
Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[Q.S Luqman 31 : 4-5]

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah
yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[Q.S Al Ahzab 33 : 32-33]

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-
diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,
[Q.S Faathir : 35: 29]

2. Tentang Shalat salah satu rukun Islam:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'
[Q.S Al Baqarah 2 : 43]

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-
anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
[Q.S Al Baqarah 2 : 83]

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan
bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah
Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
[Q.S Al Baqarah 2 : 110]

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang
yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
[Q.S Al Baqarah 2 : 177]

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
[Q.S Al Baqarah 2 : 277]

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : "Tahanlah


tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah
diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik)
takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu
takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada
kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai
kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun.
[Q.S An Nisaa' 4 : 77]

Dan beberapa ayat lainnya yang mungkin bisi pembaca lihat dalam Al-Quran pada 4:103,
4:162, 5:12, 5:55, 6:72, 7:170, 8:3, 9:5, 9:11, 9:18, 9:71, 22:41, 23:9, 24:56, 27:3, 29:45,
31:4, 35:18, 35:29, 58:13, 70:34, 73:20, 98:5.

Catatan :
(Misalkan 4:103 dibaca Surah keempat al-quran ( An-Nisaa' ) ayat ke 110 )
Shalat adalah rukun islam kedua dan merupakan amaliyah yang sangat urgen dimana islam
dibangun diatasnya, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits:
[ :
: :
]

Dari Abu Abdirrahman Abdillah Ibnu Umar Ibnu Al-Khottob radhiyallahu anhuma, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Islam dibangun atas lima
perkara :
(1) Persaksian bahwasannya tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan
bahwasannya Muhammad utusan Allah,
(2) menegakkan shalat,
(3) membayar zakat,
(4) haji di Baitullah, dan
(5) puasa Ramadhan
[HR. Bukhori Muslim].

Ketika kewajiban ini dibebankan kepada kaum muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam tidak membiarkannya begitu saja, namun beliau shallallahu alaihi wasallam
mengajarkan tata caranya, sehingga tata cara shalat yang kita kerjakan harus sesuai dengan
apa yang telah diajarkan beliau shallallahu alaihi wasallam sebagai pengamalan dari
perintah beliau yang termaktub dalam bulughul maram:

((
))

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat [HR.Bukhari no.6705, Ad-Darimi
no.1225 dari Malik bin Al Huwairits radliallahu anhu]

Adapun dalil-dalil jumlah rakaat dalam shalat fardhu adalah:

2 Rakaat Shalat Subuh


- -

.
.

- -

- -

Dari Qais bin Amr, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat seorang
laki-laki melaksanakan shalat dua rakaat setelah shubuh, maka Rasul shallallahu alaihi wa
sallam berkata : shalat Subuh (hanya) 2 rakaat. Laki-laki itu menjawab: aku belum shalat
dua rakaat sebelum Subuh jadi aku melaksanakannya sekarang, maka Rasul shallallahu
alaihi wa sallam diam.
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Albaihaqiy, Ad-Daru Quthniy dan Ahmad. Dishohikan
oleh Al-Albaniy)

4 Rakaat Shalat Dhzuhur Dan Ashar





( : )

Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasanya berdiri pada shalat Zuhur di dua
rakaat pertama, pada setiap rakaat (lamanya berdiri sekitar) seperti membaca tiga puluh ayat,
dan pada dua rakaat lainnya sekitar lima belas ayat, atau, separuh dari itu. Sedang dalam
shalat Ashar, di dua rakaat pertama pada setiap rakaat (lama berdirinya) seperti membaca
sekitar lima belas ayat. Dan Pada dua rakaat lainnya separuh dari itu
[HR. Ahmad. Sanadnya shohih berdasarkan syarat Shohih Muslim]

3 Rakaat Shalat Maghrib


( .2429 )

Jangan kamu shalat witir 3 rekaat, (tetapi) shalatlah witir 5 atau 7 rakaat, dan janganlah
kamu menyerupakan dengan shalat Maghrib.
[HR. Ibnu Hibban 2329. Dishahihkan oleh Al-Albaniy]

4 Rakaat Shalat Isya


:
: :

755

dari Jabir bin Samrah berkata, Penduduk Kufah mengadukan Sad (bin Abu Waqash) kepada
Umar. Maka Umar menggantinya dengan Ammar. Mereka mengadukan Sad karena
dianggap tidak baik dalam shalatnya. Maka Sad dikirim kepada Umar dan ditanya, Wahai
Abu Ishaq, penduduk Kufah menganggap kamu tidak baik dalam shalat? Abu Ishaq
menjawab, Demi Allah, aku memimpin shalat mereka sebagaimana shalatnya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Tidaklah aku mengurangi sedikitpun dalam melaksanakan shalat
Isya bersama mereka. Aku memanjangkan bacaan pada dua rakaat pertama dan aku
pendekkan pada dua rakaat yang akhir. [HR. Bukhori 755]

Adapun dalil dari Ijma:

Ibnu Mundzir menceritakan bahwa jumlah rakaat shalat Fardhu yang kita ketahui bersama
adalah termasuk perkara yang disepakati (Ijma). Lihat kitab Al-Awasath fi Sunan wa Al-
Ijma wa Al-Ikhtilaf juz.2 hal.318

Dari ini kita telah memenuhi satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah yaitu Ittiba
(mengikuti petunjuk dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka kita tinggal
memenuhi syarat yang satunya yaitu IKHLASH, kita memohon hidayah dari Allah agar
kita dijadikan hambaNya yang taat dan beruntung aamiin.

Walahu taala alam

Sejarah Shalat Wajib 5 Waktu

Shalat adalah ibadah terpenting bagi seorang muslim. Shalat menjadi tolak ukur kesalehan
seseorang. Bahkan shalat merupakan amal kunci bagi segala amal lainnya. Meski demikian
jarang sekali orang mengerti bahwa masing-masing waktu shalat yang lima itu mengandung
hikmah dan memiliki sejarah masing-masing. Shalat Subuh adalah shalat pertama kali yang
dilakukan oleh Nabi Adam as.

Dua rakaat Subuh dijalankan oleh Nabi Adam di bumi setelah diturunkan dari surga. Waktu
itu pertama kalinya Nabi Adam melihat kegelapan. Begitu gelapnya sehingga ia merasakan
ketakutan yang amat sangat. Namun kemudian kegelapan itu secara lamban mulai sirna
mengusir rasa takut, dan perlahan terbitlah terang. Itulah pergantian waktu malam menuju
pagi. Oleh karenanya, dua rakaat Subuh dilaksanakan sebagai rasa syukur atas sirnanya
kegelapan pengharapan atas datangnya kecerahan.

Nabi Ibrahim as adalah orang pertama yang melaksanakan shalat Dhuhur. Empat rakaat
dhuhur dilaksanakan, ketika Allah menggantikan Ismail yang rencananya disembelih sebagai
kurban dengan seekor domba. Ini terjadi tatkala siang, tatkala matahari bergeser sedikit dari
titik tengahnya. Empat rakaat itu menunjukkan beberapa perasaan Nabi Ibrahim. Satu
rakaat adalah penanda kesyukuran atas digantikannya Ismail. Satu rakaat karena
kegembiraan, satu rakaat untuk mencari keridhaan Allah dan satu rakaat lagi sebagai rasa
syukur atas domba pemberian Allah swt.

Kemudian riwayat shalat Ashar berhubungan erat dengan Nabi Yunus as. ketika diselamatkan
oleh Allah dari perut ikan Hut. Hut adalah nama ikan yang menelan nabi Yunus mengarungi
lautan. Dikisahkan, bahwa bentuk ikan hut hampir menyerupai burung, namun tanpa sayap.
Ketika di dalam perut hut itu Nabi Yunus as. merasakan empat macam kegelapan, gelap
karena kekhawatiran hasya, gelap di dalam air, gelap malam dan gelap di dalam perut ikan.
Demikianlah Nabi Yunus as. keluar ketika matahari mulai condong ke barat dan shalatlah
beliau empat rakaat sebagai penanda terbebas dari empat macam kegelapan itu.

Sedangkan tiga rakaat shalat Maghrib mempunyai sejarahnya sendiri yang tidak bisa
dilepaskan dari kisah Nabi Isa as. ketika berhasil keluar dari kaumnya di penghujung senja.
Tiga rakaat sangat bermakna bagi Nabi Isa as. Satu rakaat menandai perjuangan beliau
menegakkan tauhid dan menafikan semua bentuk sesembahan kecuali Allah. Satu rakaat
untuk menafikan hinaan dan tuduhan kaumnya atas ibundanya yang melahirkannya tanpa
ayah. Dan ini sekaligus menunjukkan betapa ketuhanan itu hanya milik Allah semata yang
Maha Kuasa, inilah makna satu rakaat yang terakhir.

Dihilangkannya empat kesedihan yang menimpa Nabi Musa as. oleh Allah swt. ketika
meninggalkan kota Madyan menjadi sejarah ditetapkannya shalat Isya empat rakaat. Tercatat
empat kesedihan itu berhubungan dengan istrinya, saudaranya yang bernama Harun, anak-
anaknya, dan kesedihan karena kekuasaan Firaun. Dan ketika semua kesedihan itu diangkat
oleh Allah swt. di waktu malam, Nabi Musa pun melaksanakan shalat empat rakaat sebagai
rasa syukur atas segalanya.
Kewajiban utama seorang muslim adalah mendirikan sholat. Allah SWT memerintahkan
hamba hambanya untuk mengerjakan sholat wajib sebanyak 5 kali sehari mulai dari sholat
subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isyak. hukum mengerjakan sholat bagi seorang muslim
adalah wajib dan haram serta berdosa seseorang yang meninggalkannya. Sholat sendiri
merupakan tiang agama islam dan merupakan salah satu ibadah paling utama. bahkan perkara
yang pertama kali dipertanyakan di akhirat nanti adalah tentang bagaimana sholat kita semasa
di dunia. jika sholat kita bagus, maka amalan lainnya ikut menjadi bagus. begitu pula
sebaliknya, jika sholat kita jelek, maka jeleklah semua amal perbuatan kita lainnya. maka dari
itu kita diwajibkan menjaga dan memelihara shalat kita semasa hidup agar kita selamat dunia
akhirat. shalat juga termasuk dalam rukun islam ke dua. Allah SWT telah banyak sekali
menerangkan tentang masalah sholat dalam Al-Quran, begitu pula Rasulullah SAW telah
banyak menjelaskan perkara shalat ini dalam hadist hadist beliau. Untuk itu kali ini muslim
fiqih menyajikan kumpulan hadits hadits Nabi Muhammad SAW tentang sholat dalam
teks/tulisan arab dan latin lengkap beserta arti/terjemahannya dalam bahasa indonesia...
Kumpulan Hadist Nabi Tentang Sholat Kumpulan Hadist Nabi Tentang Sholat : Rasulullah

SAW bersabda, :
:


.

345 :1 . Dari Abu Hurairah, ia berkata : Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya pertama-tama perbuatan manusia
yang dihisab pada hari qiyamat, adalah shalat wajib. Maka apabila ia telah
menyempurnakannya (maka selesailah persoalannya). Tetapi apabila tidak sempurna
shalatnya, dikatakan (kepada malaikat), Lihatlah dulu, apakah ia pernah mengerjakan shalat
sunnah ! Jika ia mengerjakan shalat sunnah, maka kekurangan dalam shalat wajib
disempurnakan dengan shalat sunnahnya. Kemudian semua amal-amal yang wajib
diperlakukan seperti itu. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 345]

Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka
dia akan masuk surga. (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635) Dari Jabir bin Abdillah,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan

shalat. (HR. Muslim no. 257) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,





Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu
jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang
Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya,
dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam. (HR. Muslim no.
163) Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata,Aku mendengar Rasulullah shallallahu

alaihi wa sallam bersabda, Rasulullah SAW bersabda,
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa
meninggalkannya maka dia telah kafir. (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah. )
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-
orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan
keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. (HR. Bukhari
no. 657 dan Muslim no. 651) Dari Tsauban radhiyallahu anhu -bekas budak Nabi shallallahu
alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran
dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.

(HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih.) Rasul SAW bersabda,

.
. :
348 :1 Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari datuknya, ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda, Suruhlah anak-anak kecilmu melakukan shalat pada
(usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan
pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidur. [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam Nailul
Authar juz 1, hal. 348] Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallahu alaihi wa

sallam bersabda, Barangsiapa meninggalkan shalat

yang wajib dengan sengaja, maka janji Allah terlepas darinya. (HR. Ahmad no.22128.)
Rasulullah SAW bersabda, :

. :
.
334 :1 Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Diwajibkan shalat
itu pada Nabi SAW pada malam Isra, lima puluh kali. Kemudian dikurangi sehingga menjadi
lima kali, kemudian Nabi dipanggil, Ya Muhammad, sesungguhnya tidak diganti (diubah)
ketetapan itu di sisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali itu sama dengan lima puluh kali. [HR.
Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar juz 1, hal.

334] Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya

(penopangnya) adalah shalat. (HR. Tirmidzi no. 2825. ) Dalam dua kitab shohih, berbagai
kitab sunan dan musnad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma. Beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Islam dibangun atas lima
perkara, yaitu : (1) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali
Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3)
menunaikan zakat, (4) naik haji ke Baitullah (bagi yang mampu, pen), (5) berpuasa di bulan
Ramadhan. (Lafadz ini adalah lafadz Muslim no. 122) Nabi Bersabda,
.

:

.
.
343 :1 Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dari Nabi SAW bahwa beliau pada suatu
hari menerangkan tentang shalat, lalu beliau bersabda, Barangsiapa memeliharanya, maka
shalat itu baginya sebagai cahaya, bukti dan penyelamat pada hari qiyamat. Dan barangsiapa
tidak memeliharanya, maka shalat itu baginya tidak merupakan cahaya, tidak sebagai bukti,
dan tidak (pula) sebagai penyelamat. Dan adalah dia pada hari qiyamat bersama-sama Qarun,
Firaun, Haaman, dan Ubay bin Khalaf. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]
Dalam Shohih Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu anha berkata bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallambersabda,

Suatu saat akan datang para pemimpin. Mereka melakukan amalan maruf

(kebajikan) dan kemungkaran (kejelekan). Barangsiapa mengetahui bahwa itu adalah
kemungkaran maka dia telah bebas. Barangsiapa mengingkarinya maka dia selamat.
Sedangkan (dosa dan hukuman adalah) bagi siapa yang ridho dan mengikutinya. Kemudian
para shahabat berkata, Apakah kami boleh memerangi mereka. Rasulullahshallallahu
alaihi wa sallam menjawab,
Jangan selama mereka mengerjakan shalat. (HR.
Muslim no. 4906. Lihat penjelasan hadits ini di Ad Dibaj ala Muslim, 4/462 dan Syarha An

:
Nawawi ala Muslim, 6/327) Rasul SAW bersabda dalam hadistnya,


: .
: .
.
: : .!



: .

:
338 :1 .
Dari Abu Said Al-Khudriy,
ia berkata : Ali yang waktu itu berada di Yaman, pernah mengirim sekeping emas pada Nabi
SAW. Lalu Nabi SAW membagikannya kepada empat orang. Kemudian ada seorang laki-laki
berkata, Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah (karena menganggap Nabi SAW tidak adil
dalam pembagian itu). Lalu Nabi SAW menjawab, Celaka kamu, bukankah aku orang yang
paling baik diantara penduduk bumi ini yang bertaqwa kepada Allah ?. Kemudian laki-laki
itu berpaling. Lalu Khalid bin Walid bertanya, Ya Rasulullah, bolehkah aku penggal
lehernya ?. Nabi SAW menjawab, Jangan, barangkali dia melakukan shalat. Khalid
berkata, Berapa banyak orang yang shalat yang hanya menyatakan dengan lisannya saja,
tetapi tidak demikian di dalam hatinya. Lalu Rasulullah SAW menjawab, Sesungguhnya
aku tidak diperintahkan untuk menyelidiki hati-hati manusia, dan tidak pula untuk membelah
perut-perut mereka. [Diringkas dari suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari
dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 338] Hadist Tentang Sholat Lainnya : Shalat
adalah sebaik-baik amalan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya. Abdullah ibnu Mas'ud
Ra berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, amal perbuatan apa yang
paling afdol?" Beliau menjawab, "Shalat tepat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Lalu apa
lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Kemudian
apa lagi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (HR. Bukhari) Dari
Abu Dzar r.a., bahwasanya Rasulullah saw. keluar dari rumahnya ketika musim dingin, waktu
itu daun-daun berguguran. Rasulullah saw. mengambil ranting dari sebatang pohon, sehingga
daun-daun di ranting itupun banyak berguguran. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, Wahai
Abu Dzar! Saya menyahut, Labbaik, ya Rasulullah. Lalu beliau bersabda, Sesungguhnya
seorang hamba yang muslim, jika menunaikan shalat dengan ikhlas karena Allah, maka dosa-
dosanya akan berguguran seperti gugurnya daun-daun ini daripohonnya. (Hr. Ahmad -At
Targhib) Shalat dua rakaat (yakni shalat sunnah fajar) lebih baik dari dunia dan segala isinya.
(HR. Tirmidzi) Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Saya mendengar Rasulullah saw. ber-sabda,
Bagaimana pendapat kalian, jika di depan rumah salah seorang dari kalian terdapat sebuah
sungai yang mengalir dan dia mandi di dalamnya lima kali sehari, apakah akan tersisa
kotoran di tubuhnya? Mereka menjawab, Tidak akan tersisa kotoran di tubuhnya
sedikitpun. Rasulullah saw. bersabda, Begitulah perumpamaan shalat lima waktu,
dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosa. (Hr. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasai)
Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia kafir terang-terangan. (HR.
Ahmad) Dari Hudzaifah r.a. dia berkata, Apabila Rasulullah saw. mengalami kesulitan,
maka beliau segera melaksakan shalat. (Hr. Ahmad dan Abu Dawud) Shalat pada awal
waktu adalah keridhoan Allah dan shalat pada akhir waktu adalah pengampunan Allah. (HR.
Tirmidzi) Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalatdan sesungguhnya hal yang
demikian itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. Barangsiapa lupa shalat
atau ketiduran maka tebusannya ialah melakukannya pada saat dia ingat. (HR. Ahmad) Dart
Abu Hurairah r.a., Dua orang dari kabilah Baliy satu kaum dari kabilah keturunan Qudaah
telah memeluk Islam. Maka salah seorang darinya telah mati syahid, dan seorang lagi hidup
selama satu tahun. Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata, Saya melihat di dalam mimpi, bahwa
orang yang meninggal setahun kemudian itu dimasukkan ke dalam surga lebih dahulu
daripada si syahid. Saya merasa heran atas peristiwa itu. Maka pada pagi harinya saya
menceritakannya kepada Nabi saw., atau hal itu diceritakan oleh orang lain (yang
mendengarnya dari saya) kepada RasuluUah saw.. Beliau saw. bersabda, Bukankah dia telah
berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan setelah kematian temannya, dan mengerjakan
shalat sebanyak 6.000 rakaat, dan beberapa rakaat lagi dalam shalatnya selama satu tahun?
(Hr. Ahmad) Nabi Saw ditanya tentang shalat, "Bagaimana shalat yang paling afdol?" Beliau
menjawab, "Berdiri yang lama." (HR. Muslim) Diriwayatkan oleh Ibnu Masud r.a., dari
Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda, Setiap tiba waktu shalat, seorang malaikat diutus
untuk menyeru, Wahai anak Adam, bangun dan padamkanlah apt yang sedang kalian
nyalakan untuk membakar dirt kalian. Maka orang-orangpun berdiri, lalu bersuci dan
melaksanakan shalat Zhuhur, sehingga dosa-dosa antara Shubuh hingga Zhuhur diampuni.
Apabila datang waktu Ashar, seperti itu juga, waktu Maghrib seperti itujuga, waktu Isya
seperti itujuga, setelah itu mereka tidur. Maka ada yang bermalam dengan kebaikan dan ada
juga yang bermalam dengan keburukan. (Hr. Thabrani) Maukah aku beritahu apa yang dapat
menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?" Para sahabat menjawab: "Baik ya
Rasulullah." Beliau berkata, "Berwudhu dengan baik, menghilangkan kotoran-kotoran,
banyak langkah diayunkan menuju mesjid, dan menunggu shalat (Isya) sesudah shalat
(Maghrib). Itulah kewaspadaan (kesiagaan)." (HR. Muslim) Dari Abu Qatadah bin Ribi r.a.,
Rasulullah saw. bersabda bahwa Allah Swt. berfirman, Sesungguhya Aku telah mewajibkan
shalat lima waktu kepada umatmu. Dan Aku telah berjanji pada diri-Ku, bahwa barangsiapa
yang menjaga shalat pada waktunya, niscaya akan Aku masukkan ke dalam surga dengan
jaminan-Ku. Dan barangsiapa yang tidak menjaga shalatnya, maka Aku tidak memberi
jaminan baginya. (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah) Paling dekat seorang hamba kepada
Robbnya ialah ketika ia bersujud maka perbanyaklah do'a (saat bersujud) (HR. Muslim) Dari
Ibnu Salman r.a. berkata, Seorang lelaki dart kalangan sahabat berkata kepada Rasulullah
saw, Ketika kami menaklukkan kota Khaibar dalam suatu peperangan, orang-orang mulai
mengeluarkan harta rampasan perang yang terdiri dari berbagai macam barang dan tawanan.
Maka orang-orang pun mulai berjual beli dengan harta rampasan perangnya. Tiba-tiba datang
seorang lelaki kepada Rasulullah saw. dan berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhya pada
hari ini saya telah memperoleh keuntungan besar dan tidak ada seorang pun dari penduduk
lembah ini yang dapat menyamai keuntungan saya. Dengan terheran-heran Rasulullah saw.
bertanya, Berapa keuntungan yang engkau dapatkan? Dia menja-wab, Saya terus menerus
berjual beli sehingga mendapatkan keuntungan 300Uqiyah. Rasulullah saw. bersabda,
Maukah aku beritahukan kepadamu sebaik-baik orang yang mendapat keuntungan? Dia
bertanya, Apakah itu, ya Rasulullah? Beliau saw. menjawab, Dua rakaat shalat sunnat
setelah shalat fardhu. (Hr. Abu Dawud) Paling afdol (utama) shalat seorang (adalah) di
rumahnya kecuali (shalat) yang fardhu (lima waktu). (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbanyaklah sujud kepada Allah, sesungguhnya bila sujud sekali Allah akan mengangkatmu
satu derajat dan menghapus satu dosamu. (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik ra. "Telah difardhukan kepada Nabi SAW shalat pada malam beliau diisra`kan 50
shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, "Wahai Muhammad,
perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali
shalat."(HR Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizy)

Sesungguhnya shalat mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhnahu wa Ta'la yang tidak
dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qurn dan as-Sunnah,
berikut diantaranya dalil-dalil diwajibkannya sholat 5 waktu :

Berikut beberapa ayat Al Quran tentang shalat:

1. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al Ankabuut [29]:45)

2. Allah SWT berfirman: Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka
menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. dan kami tidak (pula)
memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-
orang yang membicarakannya. (QS. Al Muddatstsir [74]: 42-45)

3. Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka mendirikan shalat,
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-
terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan. (QS.
Ibrahim [14]: 31)

4. Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang mensia-siakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (QS. Maryam [19]: 59)

5. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.(QS. Al Ahzab [33] : 33)

6. "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang orang yang ruku." (Al-
Baqarah,Ayat : 43)

7. 'Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa apa yang kamu usahakan
dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya pada sisi Allah
sesungguhnya Allah maha melihat apa apa yang kamu kerjakan.'
(Al-Baqarah,Ayat : 110)
8. Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. (Al
Ankabut,Ayat : 45)

dan masih banyak dalil alquran lainnya tentang sholat.

Berikut beberapa hadits tentang shalat :

1. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: Ya Rasulullah,
beritahukan kepada saya satu amalan yang jika diamalkan, saya dapat masuk surga Lalu Nabi SAW
bersabda: Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun walaupun engkau disiksa
dan dibakar. Taatilah kedua orang tuamu. Janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja,
karena siapa yang meninggalkannya dengan sengaja, berarti ia telah melepaskan diri dari jaminan
Allah. (HR. Ath Tabrani)
2. Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh.
Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi
keduanya (berjamaah di masjid) sekalipun dengan merangkak (HR Al-Bukhari dan Muslim)
3. Rasulullah bersabda : Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan malam
menuju masjid, bahwa mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat (Abu
Dawud dan Tarmidzi)

4. Dari Tsauban radhiyallahu anhu -bekas budak Nabi shallallahu alaihi wa sallam-, beliau
mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan. (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh
Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

5. Diriwayatkan dari Abdullah bin Qurt radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Amalan seorang hamba yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Jika shalatnya
baik maka baiklah seluruh amalannya dan jika buruk maka buruklah seluruh amalannya." (HR.
Thabraani)

6. Wasiat terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelang beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam wafat adalah shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam:
"Jagalah shalat, jagalah shalat dan berlaku baiklah terhadap budak-budak yang kamu miliki." (HR.
Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

SHALAT SHALAT FARDHU

Ayat-ayat Al Quran

Allah SWT berfirman : Sesungguhnya Shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar
( Surat Al- Ankabut 29:45 )

Allah SWT berfirman : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan
mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, pahala mereka ada pada Allah. Dan mereka tidak
perlu khawatir dan tidak perlu gundah gulana. ( Al-Baqarah 2:277 )

Allah SWT berfirman : ( Wahai Muhammad ) katakanlah kepada hamba-hamba- Ku yang


beriman supaya mereka mendirikan shalat dan menafkahkan rezeki yang kami berikan
kepada mereka secara sembunyi-sembunyi atau secara terbuka, sebelum datang suatu hari,
ketika sudah tidak ada lagi tawar menawar dan persahabatan. ( Ibrahim 14 : 31 )

Allah SWT berfirman : Tuhanku ! jadikanlah aku orang yang tetap mendirikan shalat, juga
diantara keturunanku. Ya Tuhan kami ! terimalah doaku! ( Ibrahim 14 : 40 )

Allah SWT befirman : ( Kepada Rasulullah SAW ) dirikanlah shalat pada waktu matahari
tergelincir sampai gelap malam, dan shalat subuh dan bacaannya, karena shalat dan bacaan
subuh disaksikan ( oleh malaikat-malaikat ). ( Al Isra 17:78 )

Allah SWT berfirman : ( menyebutkan kelebihan yang mulia orang-orang beriman) ) dan
mereka setia menjaga shalat mereka. ( Al-Muminun 23: 9 )

Allah SWT berfirman : Hai orang-orang beriman ! apabila ( azan ) sudah diseru untuk
menunaikan shalat jumaat maka bersegeralah mengingati Allah dan tinggalkan jual beli ( dan
kegiatan-kegiatan lain ) ; itulah lebih baik bagi kamu jikalau kamu mengetahui. ( Al-Jumuah
62: 9 ).

Hadits-hadits Rasulullah saw.

Dari Ibnu Umar r.huma., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, Islam dibangun atas lima
perkara: Bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa
Ramadhan. (H.R. Bukhari)
Dari Jubair bin Nufair rahimahullah secara mursal, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
Tidak diwahyukan kepadaku untuk mengumpulkan harta dan menjadi pedagang. Akan tetapi
diwahyukan kepadaku: Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, jadilah kamu di antara orang-
orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu perkara
yang diyakini (ajal). (H.R. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, Misykatul-Mashabih).
Dari Ibnu Umar r.huma., dari Nabi saw. dalam kisah pertanyaan Jibril a.s. kepada beliau
tentang Islam, maka beliau bersabda, Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji ke Baitullah, berumrah, mandi karena junub, berwudhu dengan sempurna, dan
berpuasa Ramadhan. Jibril a.s. bertanya, Jika aku melakukannya, apakah aku telah menjadi
muslim? Beliau menjawab, Ya. Ia berkata, Engkau benar. (H.R. Ibnu Khuzaimah).
Dari Qurrah bin Damush r.a., ia berkata, Kami menemui Nabi saw. pada waktu haji
wada, maka kami berkata, Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada
kami? Beliau menjawab, Aku perintahkan kepada kalian untuk mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berhaji ke Rumah suci (Baitullah), berpuasa Ramadhan, Sungguh pada
bulan itu terdapat satu malam yang lebih baik dari pada 1000 bulan , menjaga kehormatan
darah dan harta orang Islam, dan muahad, kecuali dengan hak, dan berpegang kepada
(agama) Allah dan mentaati-Nya. (H.r Baihaqi).
Dari Jabir bin Abdillah r.huma., ia berkata, Nabi saw. bersabda, Kunci surga adalah shalat,
sedangkan kunci shalat adalah bersuci. (H.r Ahmad)

Sholat Berjamaah

Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku.
(Q.s. Al-Baqarah: 43)

Khusyu dalam Sholat

Peliharalah semua sholat(mu) dan (peliharalah) sholat wustha. Berdirilah karena Allah
(dalam sholatmu) dengan khusyu. (Q.s. Al-Baqarah: 238)

Ket: Sholat wustha, ada beberapa pendapat, yakni: sholat Ashar, Shubuh, Dzhuhur, atau
yang lain. Shalat tersebut disebutkan secara khusus karena keuatamaan yang dimilikinya.
(Tafsir Jalalain)

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (Q.s. Al-Baqarah:
45)
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu
dalam sholatnya. (Q.s. Al Muminun: 1-2)
40 Hadis Shalat
Hadis Pertama: Urgensitas Shalat

Rasulullah saw bersabda:
Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah swt atas umatku adalah shalat lima waktu, hal pertama yang
diangkat dari amalan-amalan mereka adalah shalat lima waktu, dan hal pertama yang dipertanyakan
kepada mereka adalah shalat lima waktu. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 18859]
Hadis Kedua: Shalat Dan Tiang Agama
: :
Dari Abi Jafar (Imam Baqir) as berkata:
Islam dibangun di atas lima hal: Shalat, zakat, haji, puasa dan wilayah (kepemimpinan atau
imamah). [Bihar, jilid 79, hal 234]
Hadis Ketiga: Perumpamaan Shalat
:

Dari Abi Jafar as berkata:
Shalat adalah tiang agama, perumpamaannya seperti tiang kemah, bila tiangnya kokoh maka paku
dan talinya akan kokoh, dan bila tiangnya miring dan patah maka paku dan talinya pun tidak akan
tegak. [Bihar, jilid 82, hal 218]
Hadis Keempat: Shalat Penyebab Kebahagiaan
:
Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang menjaga shalat lima waktu maka ia akan memperoleh cahaya, burhan dan
keselamatan pada hari kiamat kelak. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 18862]
Hadis Kelima: Shalat dan Cahaya Hati

Rasulullah saw bersabda:
Shalat seseorang adalah cahaya di hatinya dan barangsiapa di antara kalian yang berkeinginan maka
hendaknya ia menyinari hatinya dengan cahaya. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 18973]
Hadis Keenam: Shalat Parameter Penerimaan Amal Perbuatan
:( )
Imam Jafar Shadiq as berkata:
Hal pertama yang akan dihisab (diperhitungkan) dari seorang hamba adalah shalat, jika shalatnya
diterima maka seluruh amalnya akan diterima dan jika shalatnya ditolak maka seluruh amalnya akan
ditolak. [Wasail Al-Syiah, jilid 3, hal 22]
Hadis Ketujuh: Shalat dan Metode Para Nabi
:
Rasulullah saw bersabda:
Shalat adalah termasuk dalam syareat agama, dan di dalamnya terdapat keridhaan Tuhan swt, dan
shalat adalah metode para nabi. [Bihar, jilid 82, hal 231]
Hadis Kedelapan: Shalat Bendera Islam
:
Bendera Islam adalah shalat, maka barangsiapa memberikan hatinya untuknya dan menjaganya
dengan batasan dan waktunya serta sunah-sunnahnya maka ia adalah seorang mukmin (hakiki).
[Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 18870]
Hadis Kesembilan: Shalat dan Effesiensinya
: ) (

Imam Jafar Shadiq as berkata:
Sesunguhnya malaikat kematian (pencabut nyawa) menghalau syetan dari orang yang menjaga shalat
dan mentalqinkan (mendektekan) kepadanya kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan
sesungguhnya Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah (utusan Allah) dalam kondisi menakutkan
tersebut. [Wasail Al-Syiah, jilid 3, hal 19]
Hadis Kesepuluh: Shalat dan Anak-anak
:
Imam Baqir as berkata:
Sesungguhnya kami memerintahkan anak-anak kami untuk shalat bila mereka mencapai usia lima
tahun, maka perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat bila mereka mencapai usia tujuh tahun.
[Wasail Al-Syiah, jilid 3, hal 12]
Pasal Kedua
Urgensitas dan Keutamaan Shalat
Hadis Kesebelas: Nilai Shalat
:

Imam Jafar Shadiq as berkata:
Shalat wajib lebih baik dari dua puluh haji dan haji satu kali lebih baik dari sebuah rumah berisikan
penuh dengan emas yang disedekahkan sehingga habis atau tidak tersisa sedikitpun juga. [Bihar, jilid
82, hal 227]
Hadis Kedua Belas: Keutamaan Shalat
:
Amirul Mukminin Ali as berkata:
Aku wasiatkan kepada kalian akan shalat dan menjaganya, karena sesungguhnya shalat adalah
sebaik-baik amal dan ia adalah tiang agama kalian. [Bihar, jilid 82, hal 209]
Hadis Ketiga Belas: Urgensitas Shalat
] [ :

Nabi saw bersabda:
Tidak ada satu shalat pun yang tiba waktunya kecuali satu malaikat menyeru di antara manusia
(Wahai manusia) bangkitlah menuju api-api yang kalian nyalakan di hadapan kalian sendiri maka
padamkanlah api tersebut dengan shalat kalian. [Bihar, jilid 82, hal 209]
Hadis Keempat Belas: Berkah Shalat
:
Imam Ali as berkata:
Sesungguhnya manusia apabila berada dalam kondisi shalat maka tubuh, pakaian dan segala sesuatu
di sekitarnya akan bertasbih. [Bihar, jilid 82, hal 213]
Hadis Kelima Belas: Kedudukan Shalat
:
Rasulullah saw bersabda:
Kedudukan shalat dari agama adalah seperti kedudukan kepala dari badan. [Kanzul Ummal, jilid 7,
hadis 18972]
Hadis Keenam Belas: Shalat dan Kesucian Jiwa
:

Rasulullah saw bersabda:
Perumpamaan shalat lima waktu adalah seperti sebuah sungai tawar yang mengalir di sisi pintu
rumah salah seorang di antara kalian yang setiap harinya ia mandi lima kali, maka tidak tertinggal
sedikitpun kotoran (di badannya, artinya barangsiapa yang sehari semalam mendirikan shalat lima
waktu juga maka ia akan terbebas dari kotoran-kotoran jiwa dan ruh). [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis
18931]
Hadis Ketujuh Belas: Shalat dan Ikatan Janji dengan Allah swt
: :

Dari Rasulullah saw:
Allah swt berfirman: Aku telah mewajibkan shalat lima waktu kepada umatmu dan Aku ikatkan
sebuah perjanjian di sisiKu bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktu-waktunya maka Aku
akan memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka tidak ada ikatan
perjanjian untuknya di sisiKu. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 18872]
Hadis Kedelapan Belas: Shalat dan Mengingat Allah swt
: :
Dari Imam Baqir as berkata:
Ingatan Allah swt untuk orang-orang yang mendirikan shalat lebih besar dari ingatan mereka kepada
Allah, apakah engkau tidak melihat bahwa Allah swt berfirman:

Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. (QS. Al-Baqarah (2): 152)
[Bihar, jilid 82, hal 199]
Hadis Kesembilan Belas: Shalat dan Rahmat Allah swt
:
Imam Ali as berkata:
Jika seseorang berdiri melaksanakan shalat maka Iblis menghadap kepadanya sambil memandangnya
dengan hasud karena melihat rahmat yang menyelimutinya. [Bihar, jilid 82, hal 207]
Hadis Kedua Puluh: Shalat dan Meninggalkan Dosa

:
Diriwayatkan bahwa seorang pemuda dari kaum Anshar malaksanakan shalat bersama Rasulullah saw
dan tetap melakukan hal-hal buruk, maka hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya suatu hari shalatnya akan mencegahnya, maka tidak
berselang lama ia bertaubat. [Bihar, jilid 82, hal 198]
Pasal Ketiga
Urgensitas Waktu Shalat
Hadis Kedua Puluh Satu: Bagaimana dan Kapan Kita Mendirikan Shalat?

Imam Jafar Shadiq as berkata:
Apabila engkau melaksanakan shalat wajib maka shalatlah pada (awal) waktunya seperti shalat
orang yang ingin berpisah, takut tidak akan kembali lagi. [Mahajjatul Baidha, jilid 1, hal 350]
Hadis Kedua Puluh Dua: Urgensitas Waktu Shalat
: :
Nabi saw bersabda:
Allah swt berfirman: Sesungguhnya hamba-Ku memiliki sebuah perjanjian atas-Ku jika ia mendirikan
shalat pada waktunya maka Aku tidak akan mengazabnya dan Aku akan memasukkannya ke surga
dengan tanpa hisab. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 19036]
Hadis Kedua Puluh Tiga: Nabi saw dan Shalat Awal Waktu
:

Dari Aisyah berkata:


Rasulullah saw sedang berbincang-bincang dengan kita maka ketika tiba waktu shalat seakan-akan
beliau saw tidak mengenal kita dan kita tidak mengenalnya karena sibuk dengan kebesaran Allah.
[Mahajjatul Baidha, jilid 1, hal 350]
Hadis Kedua Puluh Empat: Shalat Pada Waktunya
:
:
Imam Jafar Shadiq as berkata:
Sesungguhnya seorang hamba jika shalat pada waktunya dan menjaganya maka (dengan bentuk)
seberkas cahaya putih bersih naik ke atas sambil berkata: Engkau telah menjagaku maka semoga
Allah swt menjagamu, dan bila tidak melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak
memperhatikannya maka akan kembali kepadanya (dengan bentuk) kegelapan pekat sambil berkata:
Engkau telah menyia-nyiakanku maka semoga Allah swt menyia-nyiakanmu. [Maajjatul Baidha,
jilid 1, hal 340]
Hadis Kedua Puluh Lima: Keutamaan Shalat Pada Waktunya
:
Rasulullah saw bersabda:
Amalan yang paling dicintai oleh Allah swt adalah shalat pada waktunya, kemudian berbakti kepada
kedua orang tua, kemudian jihad di jalan Allah swt. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 18897]
Pasal Keempat
Lalai Dalam Shalat dan Meninggalkannya
Hadis Kedua Puluh Enam: Meremehkan Shalat
:
Nabi saw bersabda:
Bukan dariku orang yang meremehkan shalatnya, ia tidak akan masuk telaga Kautsar kepadaku,
tidak demi Allah. [Bihar, jilid 82, hal 224]
Hadis Kedua Puluh Tujuh: Merendahkan Shalat
:
Imam Jafar Shadiq as berkata:
Syafaat kita tidak akan mengena orang yang meremehkan shalatnya. [Bihar, jilid 82, hal 227]
Hadis Kedua Puluh Delapan: Menyia-nyiakan Shalat
:
Nabi saw bersabda:
Janganlah kalian menyia-nyiakan shalat kalian, karena sesungguhnya barangsiapa yang menyia-
nyiakan shalatnya maka Allah swt akan mengumpulkannya bersama Qarun dan Firaun serta Haman
(Menteri dan Pembantu). [Bihar, jilid 82, hal 202]
Hadis Kedua Puluh Sembilan: Shalat Tidak Sempurna dan Nabi saw
) ( : ) (
:( )
Imam Baqir as berkata:
Ketika Rasulullah saw sedang duduk di masjid, masuklah seorang laki-laki, lalu ia berdiri dan shalat,
tetapi ia tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya, maka Rasulullah saw bersabda: Ia telah
mematuk seperti patukan burung gagak, bila orang ini meninggal dunia sementara shalatnya seperti
ini maka ia akan meninggal bukan di atas agamaku. [Mahajjatul Baidha, jilid 1, hal 340]
Hadis Ketiga Puluh: Lalai Dalam Shalat
:
:
Rasulullah saw bersabda:
Shalat adalah tiang agama, maka barangsiapa yang meninggalkan shalatnya secara sengaja maka ia
telah menghancurkan agamanya, dan barangsiapa meninggalkan waktu-waktunya maka ia akan
memasuki wail, dan wail adalah sebuah lembah di neraka Jahannam sebagaimana Allah swt
berfirman:



Maka wail bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya {QS. Al-
Maauun (107): 4 dan 5} [Bihar, jilid 82, hal 202]
Hadis Ketiga Puluh Satu: Hasil Meninggalkan Shalat
:
Rasulullah saw bersabda:
Janganlah meninggalkan shalat dengan sengaja karena sesungguhnya barangsiapa yang
meninggalkan shalat dengan sengaja maka ia akan terlepas dari tanggungan (jaminan) Allah swt dan
Rasul-Nya saw. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 19096]
Hadis Ketiga Puluh Dua: Meninggalkan Shalat
:
Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa meninggalkan sebuah shalat karena tidak mengharap pahalanya dan tidak takut akan
balasannya maka akupun tidak memperdulikan apakah ia akan meniggal dunia dalam keadaan Yahudi
atau Nasrani atau Majusi. [Bihar, jilid 82, hal 202]
Hadis Ketiga Puluh Tiga: Meninggalkan Shalat dan Kekafiran
: :
Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang meninggalakan shalatnya sehingga melewatkan waktunya tanpa alasan maka
amalnya terputus, kemudian beliau saw bersabda: Antara seorang hamba dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat. [Bihar, jilid 82, hal 202]
Hadis Ketiga Puluh Empat: Balasan Meninggalkan Shalat
:
Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang meninggalkan shalat secara sengaja maka namanya akan ditulis di atas pintu
neraka di antara orang yang akan memasukinya. [Kanzul Ummal, jilid 7, hadis 19090]
Pasal Kelima
Adab dan Syarat-syarat Diterimanya Shalat
Hadis Ketiga Puluh Lima: Shalat dan Syarat-syarat Penerimaannya
: :

Imam Jafar Shadiq as berkata:
Allah swt berfirman: Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendah diri karena
kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu kerena-Ku, mengakhiri siangnya dengan mengingat-
Ku, tidak membesarkan diri atas makhluk-Ku, memberi makan orang lapar dan memberi pakaian
orang yang tidak berpakaian, berbelas kasihan kepada orang yang tertimpa musibah dan memberikan
perlindungan kepada orang yang asing. [Bihar, jilid 66, hal 391]
Hadis Ketiga Puluh Enam: Neraca Penerimaan Shalat
:

Dari Abi Abdillah (Imam Jafar Shadiq) as berkata:
Barangsiapa ingin mengetahui apakah shalatnya diterima atau tidak maka hendaknya ia melihat
apakah shalatnya mencegahnya dari kekejian dan kemungkaran? Maka seukuran yang dapat
mencegahnya, shalatnya diterima. [Bihar, jilid 82, hal 198]
Hadis Ketiga Puluh Tujuh: Shalat Dan Wilayah Kepada Ahlul Bait
: :
Seseorang berkata kepada Imam Ali Zainal Abidin: Apakah sebab diterimanya shalat? Beliau as
menjawab: Wilayah kami dan berlepas diri dari musuh-musuh kami. [Bihar, jilid 84, hal 245]
Hadis Ketiga Puluh Delapan: Shalat Wajib Dan Sunnah
: ) (

Imam Baqir berkata:
Sesungguhnya shalat seorang hamba akan diangkat (diterima) setengah, sepertiga, seperempat dan
seperlimanya maka tidak diangkat shalatnya kecuali apa yang dihadapkan dengan hatinya. Dan
diperintahkan untuk mengerjakan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan apa-apa yang kurang
dari shalat wajib. [Al-Haqaiq, Marhum Faidh Kasyani, hal 219]
Hadis Ketiga Puluh Sembilan: Shalat Dengan Azhan Dan Iqamah
: ( )
: :
Imam Jafar Ash-Shadiq as berkata:
Barangsiapa mendirikan shalat dengan azhan dan iqamah maka dua baris malaikat akan shalat di
belakangnya, dan barangsiapa shalat dengan iqamah saja tanpa azhan maka satu barisan malaikat akan
shalat di belakangnya.
Perawi bertanya: Berapakah jumlah setiap barisan?
Imam as menjawab: Paling sedikitnya antara masyriq (arah timur) dan maghrib (arah barat) dan
paling banyaknya antara langit dan bumi. [Wasail Asy-Syiah, jilid 4, hal 620]
Hadis Keempat Puluh: Shalat Dan Doa
:
Imam Jafar Ash-Shadiq as berkata:
Sesungguhnya Allah swt mewajibkan shalat lima waktu atas kalian pada waktu-waktu paling utama,
maka hendaknya kalian berdoa setelah selesai shalat-shalat tersebut. [Al-Khishal, jilid 1, hal 278]

HUKUM SHALAT JAMAAH


Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syariat sangat
memperhatikan permasalahan ini, karena merupakan perwujudan aqidah seseorang. Dan
Allah l menjadikannya sebagai tujuan penciptaan manusia dalam firmanNya,


Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah
kepadaKu. [Adz Dzariyat:56].
Diantara ibadah yang agung dan penting ialah shalat. Karena merupakan amalan terbaik
seorang hamba. Rasulullah n bersabda,



Istiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sempurna. Ketahuilah,
sebaik-baik amalan kalian ialah shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu, kecuali seorang
mukmin.[1]
Terlebih lagi, shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin. Sehingga sudah
selayaknya kita memperhatikan masalah ini. Dengan berharap dapat menunaikannya secara
sempurna.
KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM
Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi sebagai
tiang agama. Rasulullah bersabda,

Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat.[2]
Seluruh syariat para rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk menunaikannya,
sebagaimana Allah berfirman menjelaskan doa Nabi Ibrohim Alaihissallam :


Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak-cucuku, orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya
Rabb kami, perkenankan doaku. [Ibrahim:40].
Dan mengisahkan Nabi Ismail Alaihissallam :


Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang
diridhai di sisi Rabbnya. [Maryam :55].
Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa Alaihissallam :


Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thaha :14].
Nabi Isa Alaihissallam menceritakan nikmat yang diperolehnya dalam Al Quran:



Dan Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.
[Maryam :31].
Bahkan Allah Subhanahu wa Taala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan
shalat. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:





Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. [Al Baqarah :83].
Demikian juga Allah memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhamad Shallallahu alaihi wa
sallam dalam firmanNya:




Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki
kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. [Thaha:132].
Demikian tinggi kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam menjadikannya sebagai pembeda antara mukmin dan kafir. Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,


Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka
telah berbuat kekafiran.[3]
Memang, seseorang yang meninggalkan shalat, akan lebih mudah meninggalkan yang
lainnya. Kemudian terputuslah hubungannya dari Allah Subhanahu wa Taala.
Abu Bakar Ash Shidiq menyatakan dalam surat Beliau kepada Umar,Ketahuilah, perkara
yang paling penting padaku ialah shalat. Karena seseorang yang meninggalkannya, akan
lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Dan ketahuilah, Alah Subhanahu wa Taala
memiliki satu hak pada malam hari yang tidak diterimaNya pada siang hari. Dan satu hak
pada siang hari yang tidak diterimaNya pada malam hari. Allah tidak menerima amalan
sunnah, sampai (seseorang) menunaikan kewajiban. [4]
HUKUM SHOLAT BERJAMAAH
Shalat jamaah disyariatkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang
hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.
Pertama : Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafii, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafiiyah mutaqaddimin
(terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,Dzahir nash (perkataan) Syafii, shalat berjamaah hukumnya
fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafiiyah dan banyak
ulama Hanafiyah serta Malikiyah. [5]
Dalil-Dalilnya.
Hadits Pertama.



Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada
mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena serigala
hanya memangsa kambing yang sendirian.[6]
As Saib berkata,Yang dimaksud berjamaah ialah jamaah dalam shalat.[7]
Hadits Kedua.





Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan
perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua
menjadi imam. [8]
Hadits Ketiga.




Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,Shalat berjamaah
mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat. [9]
Kedua. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjamaah, kecuali dengan udzur.
Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh
sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.
Diantara Dalil-Dalinya, ialah:
Hadits Pertama.


Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali
karena udzur. [10]
Hadits Kedua.






Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu
bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan
shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami
shalat, dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjamaah),
lalu aku bakar rumah-rumah mereka. [11]
Hadits Ketiga.







Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata,Wahai Rasulullah,
aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid, lalu dia meminta keringanan
kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia
meninggalkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan
bertanya,Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab,Ya. Lalu
Beliau berkata,Penuhilah! [12]
Ketiga : Hukumnya Sunnah Muakkad.
Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr
menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.
Dalil-Dalilnya.
Hadits Pertama.




Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah n bersabda,Shalat berjamaah mengungguli shalat
sendirian dua puluh tujuh derajat.[13]
Hadits Kedua.






Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh
jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama
imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu
Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jamaah. [14]
Imam Asy Syaukani menyatakan setelah membantah pendapat yang
mewajibkannya,Pendapat yang tepat dan mendekati kebenaran, (bahwa) shalat jamaah
termasuk sunah-sunah yang muakkad Adapun hukum shalat jamaah adalah fardhu ain
atau kifayah atau syarat sah shalat maka tidak.
Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khan dengan pernyataan Beliau, Adapun hukumnya
fardhu, maka dalil-dalilnya masih dipertentangkan. Akan tetapi terdapat cara ushul fiqh yang
mengkompromikan dalil-dalil tersebut. Yaitu, hadits-hadits keutamaan shalat jamaah
menunjukkan keabsahan shalat secara sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak. Diantaranya
:



Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang
yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shahih. Juga, diantaranya hadits
tentang seseorang yang shalatnya salah. Kemudian Rasulullah n memerintahkannya untuk
mengulangi shalatnya, sendirian. Kemudian hadits ( seandainya ada

seorang yang bersedekah kepadanya) [15]. Ketika melihat seseorang shalat sendirian.
Diantara hadits-hadits yang menguatkannya ialah hadits yang mengajarkan rukun Islam.
Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang yang diajarinya
untuk tidak shalat, kecuali berjamaah. Padahal Beliau mengatakan kepada orang yang
menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: ( telah beruntung jika

benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat menjadi pemaling sabda Beliau Shallallahu
alaihi wa sallam
yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban
berjamaah kepada peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya. [16]
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy Syaukani dan Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.[17]
Keempat : Hukumnya Wajib Ain (Fardhu Ain) Dan Bukan Syarat.
Demikian ini pendapat Ibnu Masud, Abu Musa Al Asyariy, Atha bin Abi Rabbah, Al
Auzai, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan
madzhab Hambali.
Dalilnya.
Dalil-dalil dari firman Allah Subhanahu wa Taala.












Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang
belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga
dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu
dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa
atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan
atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah
menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [An Nisa:102].
Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjamaah. Yakni tidak
boleh ditinggalkan, kecuali ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku. [Al
Baqarah:43).
Ayat di atas merupakan perintah. Kata perintah menunjukkan maksud kewajiban shalat
berjamaah.






Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan
shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang. [An Nur:36-37].


Katakanlah,Rabbku menyuruh menjalankan keadilan. Dan (katakanlah),Luruskan muka
(diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu
kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah)
kamu akan kembali kepadaNya. [Al Araf:29].
Kedua ayat di atas, terdapat kata perintah yang menunjukkan kewajiban shalat berjamaah.


Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa,
(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan
sejahtera. [Al Qalam:42-43].
Ibnul Qayyim berkata,Sisi pendalilannya, adalah Allah Subhanahu wa Taala menghukum
mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan sujud, ketika
diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud di dunia dan enggan menerimanya.
Jika demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid untuk menghadiri jamaah
shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja.
Dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.






Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu
bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan
shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami
shalat dan aku tidak berjamaah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjamaah).
Lalu aku bakar rumah-rumah mereka.[18]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan,Adapun hadits bab (hadits di atas),
maka dhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjamaah fardhu ain. Karena, seandainya
hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran
tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti
pensyariatan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.[19]
Demikian juga Ibnu Daqiqil Ied menyatakan,Ulama yang berpendapat, bahwa shalat
berjamaah hukumnya fardhu ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu
kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika
dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah. Dengan demikian
jelaslah, shalat jamaah hukumnya fardhu ain. [20]







Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata,Wahai Rasulullah,
aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid, lalu dia meminta keringanan
kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia
meninggalkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan
bertanya,Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat? Dia menjawab,Ya. Lalu
Beliau berkata,Penuhilah! [21]
Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata,Jika orang buta
yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang)
selainnya lebih lagi. [22]



Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada
mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjamaahlah kalian, karena serigala
hanya memangsa kambing yang sendirian.[23]
Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjamaah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah
Daimah Lil Buhuts wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia) [24] dan
Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan dalam kitabnya Shalat Al Jamaah [25].
Demikian juga sejumlah ulama lainnya. Wallahu alam.
Permulaan azan

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:


Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan
waktu salat. Tidak ada seorang pun yang menyeru untuk salat. Pada suatu hari mereka
membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata: Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang
Kristen. Sebagian yang lain berkata: Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.
Kemudian Umar berkata: Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk
salat? Rasulullah saw. bersabda: Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk salat. (Shahih
Muslim No.568)

2. Perintah menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat

Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:


Bilal diperintahkan agar menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat. (Shahih Muslim
No.569)

3. Sunat menunjuk dua orang muazin untuk satu mesjid

Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata:


Rasulullah saw. mempunyai dua muazin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta.
(Shahih Muslim No.573)
4. Sunat membaca seperti yang dikumandangkan muazin bagi yang mendengar azan
kemudian membaca selawat untuk Nabi saw. dan memohon wasilah untuknya

Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:


Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila engkau mendengar azan, maka bacalah seperti
yang dikumandangkan muazin. (Shahih Muslim No.576)

5. Keutamaan azan dan larinya setan ketika mendengar azan

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:


Dari Nabi saw., Beliau bersabda: Sesungguhnya setan, apabila mendengar azan untuk salat,
ia berlari sambil terkentut-kentut sampai tidak mendengarnya lagi. Ketika azan telah berhenti,
ia kembali menghasut. Apabila mendengar iqamat, ia pergi sampai tidak mendengarnya.
Ketika iqamat telah berhenti, ia kembali menghasut lagi. (Shahih Muslim No.582)

6. Sunat mengangkat dua tangan sejajar pundak ketika takbiratul ihram, akan rukuk dan
bangun dari rukuk serta tidak mengangkat tangan ketika bangun dari sujud

Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:


Aku melihat Rasulullah saw. mengangkat kedua tangan hingga sejajar pundak ketika
memulai salat, sebelum rukuk dan ketika bangun dari rukuk. Beliau tidak mengangkatnya di
antara dua sujud. (Shahih Muslim No.586)

Hadis riwayat Malik bin Huwairits ra.:


Dari Abu Qilaabah, bahwa ia melihat Malik bin Huwairits ketika ia salat, ia bertakbir lalu
mengangkat kedua tangannya. Ketika ingin rukuk, ia mengangkat kedua tangannya. Ketika
mengangkat kepala dari rukuk, ia mengangkat kedua tangannya. Ia bercerita bahwa
Rasulullah saw. dahulu berbuat seperti itu. (Shahih Muslim No.588)

7. Menetapkan takbir tiap kali turun dan bangun dalam salat, kecuali bangun dari rukuk
membaca: "Allah mendengar orang yang memuji-Nya"

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.


Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah salat mengimami para sahabat.
Ia bertakbir tiap kali turun dan bangun. Ketika selesai ia berkata: Demi Allah, sesungguhnya
aku adalah orang yang paling mirip dengan salat Rasulullah saw.. (Shahih Muslim No.590)

Hadis riwayat Imran bin Hushein ra.:


Dari Mutharrif bin Abdullah, ia berkata: Aku dan Imran bin Hushein salat di belakang Ali
bin Abu Thalib. Saat sujud beliau bertakbir. Saat mengangkat kepalanya beliau bertakbir. Saat
bangun dari dua rakaat beliau bertakbir. Selesai salat Imran memegang tanganku dan berkata:
Sesungguhnya Ali telah mengimami salat kita dengan salat seperti salat Muhammad saw. atau
katanya: Sesungguhnya Ali telah mengingatkan aku dengan salat Muhammad saw.. (Shahih
Muslim No.594)

8. Wajib membaca surat Al-Fatihah setiap rakaat dan bagi orang yang tidak bisa dan belum
mempelajarinya disarankan membaca surat lain, selain surat Fatihah

Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra.:


Bahwa Nabi saw. bersabda: Orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah, tidak sah
salatnya. (Shahih Muslim No.595)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada salat kecuali dengan bacaan surat Al-Fatihah.
(Shahih Muslim No.599)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:


Bahwa Rasulullah saw. masuk mesjid. Lalu seorang lelaki masuk dan melakukan salat.
Setelah selesai ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab
salamnya lalu bersabda: Ulangilah salatmu, karena sesungguhnya engkau belum salat. Lelaki
itu kembali salat seperti salat sebelumnya. Setelah salatnya yang kedua ia mendatangi Nabi
saw. dan memberi salam. Rasulullah saw. menjawab: Wa'alaikas salam. Kemudian beliau
bersabda lagi: Ulangilah salatmu, karena sesungguhnya engkau belum salat. Sehingga orang
itu mengulangi salatnya sebanyak tiga kali. Lelaki itu berkata: Demi Zat yang mengutus Anda
dengan membawa kebenaran, saya tidak dapat mengerjakan yang lebih baik daripada ini
semua. Ajarilah saya. Beliau bersabda: Bila engkau melakukan salat, bertakbirlah. Bacalah
bacaan dari Alquran yang engkau hafal. Setelah itu rukuk hingga engkau tenang dalam
rukukmu. Bangunlah hingga berdiri tegak. Lalu bersujudlah hingga engkau tenang dalam
sujudmu. Bangunlah hingga engkau tenang dalam dudukmu. Kerjakanlah semua itu dalam
seluruh salatmu. (Shahih Muslim No.602)

9. Dalil tidak boleh mengeraskan bacaan basmalah

Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:


Aku pernah salat bersama Rasulullah saw., bersama Abu Bakar, bersama Umar dan
bersama Usman dan aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca
Bismillahirrahmanirrahim. (Shahih Muslim No.605)

10. Dalil bahwa basmalah adalah awal ayat tiap surat kecuali surat At-Taubah
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Ketika Rasulullah saw. bersama kami, tiba-tiba beliau terlena sesaat, kemudian
mengangkat kepala beliau sambil tersenyum. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang
membuat Anda tertawa? Beliau menjawab: Baru saja satu surat diturunkan kepadaku. Lalu
beliau membaca: Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar "nikmat yang
banyak". Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-
orang yang membencimu dialah yang terputus. Kemudian beliau bertanya: Tahukah kalian,
apakah Kautsar itu? Kami menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau bersabda: Itu
adalah sungai yang dijanjikan Tuhanku. Sungai yang menyimpan banyak kebaikan dan
merupakan telaga yang didatangi umatku pada hari kiamat. Wadahnya sebanyak bilangan
bintang. Ada seorang hamba yang ditarik dari kumpulan mereka. Aku berkata: Ya Tuhanku,
dia termasuk umatku. Allah berfirman: Engkau tidak tahu, dia telah membuat suatu bid`ah
sepeninggalmu. (Shahih Muslim No.607)

11. Tasyahhud dalam salat

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra. dia berkata:


Ketika kami bermakmum di belakang Rasulullah saw., kami membaca: "Keselamatan tetap
pada Allah, keselamatan tetap pada si fulan". Suatu hari Rasulullah saw. bersabda kepada
kami: Sesungguhnya Allah adalah keselamatan itu sendiri. Jadi, apabila salah seorang di
antara engkau duduk (membaca tasyahud) hendaknya membaca: "Segala kehormatan, semua
rahmat dan semua yang baik itu milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkat-
Nya dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi. Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan
kepada para hamba-Nya yang saleh. Apabila dia telah membacanya, maka keselamatan itu
akan menyebar kepada semua hamba Allah yang saleh", baik yang di langit maupun yang di
bumi. "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah",
kemudian berdoalah sesukanya. (Shahih Muslim No.609)

12. Selawat kepada Nabi saw. sesudah tasyahhud


Hadis riwayat Kaab bin Ujrah ra.:
Dari Abdullah bin Abu Laila, dia berkata: Kaab bin Ujrah menemuiku dan berkata:
Maukah engkau aku berikan hadiah? Rasulullah saw. pernah menemui kami, lalu kami
berkata: Kami telah mengetahui cara membaca salam untuk Baginda, lalu bagaimana kami
membaca selawat untuk Anda? Beliau bersabda: Bacalah: "Allahumma shalli `alaa
Muhammad wa `alaa aali Muhammad kamaa baarakta `alaa aali Ibrahim. Innaka hamiidum
majiid. Allahumma baarik `alaa Muhammad wa `alaa aali Muhammad kamaa baarakta `alaa
aali Ibrahim Innaka hamiidum majiid". (Ya Allah, limpahkanlah sejahtera kepada Muhammad
dan keluarga nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan kesejahteraan
kepada keluarga nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi mulia. Ya Allah,
limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana
Engkau telah melimpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau
maha terpuji lagi maha mulia). (Shahih Muslim No.614)

Hadis riwayat Abu Humaid As-Saidi ra.:


Bahwa para sahabat berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami membaca selawat
untuk Anda? Beliau bersabda: Bacalah: "Allahumma shalli alaa Muhammad wa alaa
azwaajihi wa zurriyyatihi kamaa shallaita alaa aali Ibrahim wa baarik alaa Muhammad wa
alaa azwaajihi wa zurriyyatihi kamaa baarakta alaa aali Ibrahim. Innaka hamiidum majiid."
(Ya Allah, limpahkanlah sejahtera kepada Muhammad dan istri-istrinya, sebagaimana Engkau
telah melimpahkan kesejahteraan kepada keluarga nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha
terpuji dan mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan istri-istrinya,
sebagaimana Engkau telah melimpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim.
Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi maha mulia). (Shahih Muslim No.615)

13. Membaca "sami`allahu liman hamidah" dan "aamiin"

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:


Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila imam membaca "sami`allahu liman hamidah",
hendaklah kalian membaca "Allahumma rabbanaa lakal hamdu", (Ya Allah, Tuhan kami,
hanya milik-Mu-lah segala pujian), karena barang siapa yang ucapannya bertepatan dengan
bacaan malaikat, maka dosanya yang lalu akan diampuni. (Shahih Muslim No.617)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:


Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bila Imam membaca: Amin, hendaklah kalian membaca:
"Aamiin". Karena sesungguhnya barang siapa yang bacaan aminnya bertepatan dengan
bacaan amin malaikat maka dosanya yang lalu akan diampuni. (Shahih Muslim No.618)
Apakah sah shalat seseorang yang melaksanakannya sendirian, sedangkan ia mampu untuk
melaksanakan shalat berjamaah?
Pembahasan tentang masalah ini ditetapkan atas 2 pokok permasalahan:
1. Apakah shalat berjamaah itu wajib hukumnya, ataukah sunnah saja?
2. Jika shalat berjamaah itu wajib, apakah ia merupakan syarat sahnya shalat atakah keshahihan
shalat berjamaah dapat menyebabkan dosa jika ditinggalkan?
Pembahasan permasalahan pertama
Para ahli fiqih berselisih pendapat dalam hal ini, diantara para ahli fiqih yang menyatakan bahwa
shalat berjamaah itu wajib adalah Atha bin Abu Rabah, Hasan Al-Bashry, Abu Amru Al-Auzaiy,
Abu Tsaur, Imam Ahmad dalam madzhabnya, serta tulisan/karangan Imam Syafii dalam
Mukhtashar Al-Mazany tentang shalat berjamaah. Beliau berkata, Tidak ada keringanan dalam
meninggalkan shalat berjamaah kecuali bagi mereka yang berhalangan. (Ringkasan Al-Muzanniy
yang dengan sungguh-sungguh ummu 1/109)
Bnu Al-Mundzir berkata dalam Kitab Al-Ausath, Orang buta sekalupun wajib melaksanakan shalat
berjamaah, walaupun rumah mereka berjauhan dari masjid. Hal ini menunjukkan akan wajibnya
shalat berjamaah: Sesungguhnya menghadiri shalat berjamaah itu wajib hukumnya bukan sunnah.
Dalam satu hadits diriwayatkan bahwa Ibnu Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah saw, Wahai
Rasulullah sesungguhnya jarak antara rumahku dan masjid dibatasi oleh pohon, dapatkah aku
jadikan alasan untuk melaksanakan shalat di rumah saja? Rasulullah berkata, Apakah kamu
mendengar Iqamah? Ia berkata, Ya. Rasulullah bersabda lagi, Maka datanglah kamu ke masjid
dan shalat berjamaahlah kamu di sana.
Ibnu Mundzir berkata, Ditakutkan dapat menyebabkan kenifakan bagi mereka yang meninggalkan
shalat Isya adn Subuh berjamaah. Kemudian dalam pertengahan babnya dijelaskan: Banyak Hadits
menunjukkan wajibnya shalat berjamaah bagi mereka yang tidak berhalangan untuk
melaksanakannya. Dalil yang menunjukkan adalah perkataan Ibnu Munzir tentang Ibnu Ummi
Maktum yang cacat, Tiada keringanan bagimu (dalam shalat berjamaah). Jika seorang buta saja
tidak mendapatkan keringanan dalam shalat berjamaah, apalagi bagi orang yang dapat melihat. Ia
berkata, Rasulullah pernah mengancam akan membakar orang yang tidak melaksanakan shalat
berjamaah. Saya ingin menjelaskan tentang wajibnya shalat berjamaah, karena tidak diperbolehkan
(melaksanakan shalat secara sendiri-sendiri) maka Rasulullah mengancam mereka yang menggantikan
yang sunnah dan bukan fardhu.
Ia berkata: Hadits Abu Hurairah menguatkan hal tersebut, Sesungguhnya seorang laki-laki keluar
dari masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan. Ia berkata, Orang itu telah mengingkari
Abu Qasim (Rasulullah saw). (Ibnu Majah dalam Masajid dan Jamaah-jamaah, 793 Abu Dawud
dalam Shalat, 551 Daruquthni/ 1 420 dan dibenarkan oleh Hakim, 1/245 dan Ibnu Hibban, 2064 dan
lengkaplah pendapat mereka, Kecuali bagi mereka yang udzur)
Walaupun orang menghadapi pilihan untuk meninggalkan shalat berjamaah atau mendatanginya,
tidak boleh (tidak ada alasan) bagi orang yang meninggalkan apa yang tidak wajib baginya hadir
untuk berbuat ingkar (dengan meninggalkan shalat berjamaah), karena ketika Allah SWT
memerintahkan untuk shalat berjamaah dalam keadaan takut, maka hal ini menunjukkan bahwa
dalam keadaan aman hal itu lebih diwajibkan.
Hadits-hadits yang telah disebutkan dalam tulisan bab-bab Rukhshah tentang meninggalkan shalat
berjamaah bagi mereka yang mempunyai udzur untuk melaksanakannya, menunjukkan atas wajibnya
shalat berjamah bagi mereka yang memilik udzur, walapun keadaan udzur dan tidak udzur adalah
sama saja, secara maknawai dalam bab-ba udzur belum ditemukan Rukhshah (keringanan) untuk
meninggalkans shalat berjamaah.
Dalil yang menegaskan wajibnya shalat berjamaah adalah sabda Rasulullah saw, Barangsiapa
mendengar panggilan untuk shalat dan ia tidak menjawabnya maka tidak sah shalat yang ia
lakukan. (HR. Muslim dalam Al-Masajid 665, diriwayatkan oleh yang lain-lain). Kemudian hadits
ini mengarahkan ke arah tujuan tersebut kemudian ia berkata: Syafii berkata: Allah SWT
mengingatkan sahalat dengan adzan, firman Allah SWT, Dan jika kalian dipanggil untuk
melaksanakan shalat. (QS. Al-Maidah: 87) dan firman Allah SWT, Jika dipanggil untuk
melaksanakan shalat di hari Jumat maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah. (QS. Al-
Jumuah: 9), dan Rasulullah menjadikan adzan sebagai hal yang sunnah untuk memanggil shalat yang
lima waktu, karena sifatnya yang demikian (adzan merupakan panggilan untuk melaksanakan shalat),
maka tidak diperbolehkan untuk shalat yang lima waktu itu selain berjamaah, sehingga tidak ada
shalat yang didirkan selain dengan shalat berjamaah, tidak ada keringanan bagi mereka yang dapat
melaksanakan shalat berjamaah untuk meninggalkannya kecuali bagi mereka yang mempunyai
udzur.
Jika seseorang meninggalkan shalat berjamaah kemudian melaksanakan shalat sendirian, maka tidak
diwajibkan atasnya untuk mengulang shalat kembali, baik ia melaksanakan shalat sebelum imam
maupun sesudahnya, kecuali shalat jumat, karena barangsiapa secara sengaja melaksanakan shalat
sebelum imam, maka dia wajib untuk mengulanginya, karena menghadiri shalat jumat adalah wajib.
Demikiianlah penjelasan Ibnu Al-Mundzir mengenai shalat berjamaah.
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat: shalat berjamaah itu sunnah muakad, tetapi mereka
berpendapat bahwa meninggalkannya merupakan dosa, sedangkan mereka mensahkan
(membenarkan) shalat yang tanpa berjamaah. Dal hal ini mereka bertentangan dengan orang yang
mengatakan bahwa, Sesungguhnya shalat berjamaah itu wajib lafdzy.
Di Bawah ini merupakan penjelasan orang yang mengatakan wajb:
Orang-orang yang meawjibkan shalat berjamaah berkata: Allah SWT berfirman, Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan bersama-sama, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan rakaat), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang segolongan yang
kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu. (QS. An-Nisa: 102).
Bentuk pembuktiannya adalah sebagai berikut:
1. Dalil pertama: Perintah Allah SWT kepada mereka untuk shalat berjamaah, kemudian Allah
mengulangi perintah tersebut untuk kedua kalinya bagi kelompok yang kedua. Firman Allah SWT,
Hendaklah datang golongan yang kedua belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.
Bukti ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah itu fadhu ain. Karena Allah tidak mengabaikan
perintah untuk shalat berjamaah pada kelompok yang kedua sebagaimana yang diperintahkan kepada
kelompok pertama untuk melaksanakan shalat berjamaah pula. Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa
shalat berjamaah itu sunnah, karena jika demikian halnya, pastilah kelompok pertama memiliki udzur
untuk tidak melaksanakan shalat berjamaah dengan alasan akan adanya rasa takut. Tidak tepat pula
kalau dikatakan shalat berjamaah itu fardh kifayah, karena menjadi tidak relevan dengan apa yang
dilakukan oleh kelompok yang pertama.
Maka ayat tersebut merupakan dalil bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain. Hal ini dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1. Allah memerintahkan untuk shalat berjamaah kepada kelompok
pertama, 2. kemudian Allah memerintahkan kelompok kedua untuk melaksanakkannya juga, 3. Allah
tidak memberikan keringanan-keringanan bagi mereka untuk meninggalkannya walaupundalam
keadaan takut.
2. Dalil kedua: Firman Allah SWT:


( )

()
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa,
(dalam keadaan) pandangan mereke tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.
(QS. Al-Qalam: 42-43).
Aspek yang dapat dijadikan dall shalat berjamaah adalah: sesungguhnya Allah SWT member
hukuman di hari kiamat, dikarenakan antara keadaan mereka dan sujud, ketika mereka dipanggil
untuk bersujud di dunia, mereka enggan untuk menjawab panggilan tersebut.
Jika demikian halnya, maka jawaban dari panggilan itu adalah datang ke masjid untuk memenuhi
tuntunan shalat berjamaah, dan bukan mengerjakan shalat di rumahnya sendiri, demikianlah Nabi
saw menjelasakan jawabannya.
Muslim meriwayatkan dalm shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata, Seseorang lelaki buta datang
kepada Nabi seraya bertanya, Wahai Rasulullah, aku tidaklah memiliki penuntun jalan untuk
menuntunku datan ke masjid, kemudian ia meminta Rasulullah memberikan keringanan kepadanya.
Ketika ia berpaling (hendak berlalu pergi) Rasulullah memanggilnya kembai dan berkata, Apakah
kamu mendengar panggilan (adzan). Ia berkata, Ya. Rasululla bersabda, Maka Jawablah.
(HR. Muslim Al-Masaajid wa Mawadli Al-Shalah. 63).
Ia tidak menjawab panggilan tersebut dengan melaksanakan shalat di rumahnya, jika ia mendengar
panggilan (seruan adzan), hal ini menunjukkan bahwa jaawban yang diminta dari perintah tersebut
adalah mendatangi masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.
Hadits Ibnu Ummi Maktum juga membutikannya, ia berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya kota
(Madinah) itu bnyak sekali hal yang mengerikan dan binatang buas, Rasulullah bersabda, Apakah
kamu mendengar seruan hayya alash shalah dan hayya alal falah (Mariah shalat dan marila
mencapai kebahagiaan)? Ia berkata, Ya. Rasulullah berkata, Hayyahala (Penuhilah kedua
ajakan itu). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad (Lafadz ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Al-Shalat 553 dan Nasai dalam Imamah 2/110 dan Ahmad 3/423 serta Ibnu Majah
dalam Al-Masajid 792. Dibenarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1480).
Hayyahala adalah kalimat perintah yang artinya adalah terimalah dan jawablah. Hal ini menjelaskan
bahwa sesungguhnya menjawabapa yang diperintahkan di sini adalah melaksanakan shalat
berjamaah, sedangkan yang meninggalkan shalat berjamaah tidak menjawab panggilan tersebut.
Tidak sedikit ulama salaf yang mengatakan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah, Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan yang
sejahtera adalah perataan Muadzin, Hayya alash shalah, hayya alal falah. (Diriwayatkan oleh
Thabari 43/29) dari Ibrahim at-Taimy an Said bin Jabir dan ditetapkan oleh Suyuti dalam Daruquthni
yang terkenal 8/256. Baihaqi dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mardiyah berita-berita dari Kaab).
Dalil di atas membuktikan dua hal: 1. Bahwasanya menjawab panggilan (untuk shalat berjamaah)
adalah wajib, 2. Bahwa yang dimaksud dengan menjawab panggilan di sini adalah menghadiri shalat
berjamaah.
Inilah yang dipahami oleh golongan orang yang paling mengetahui dan paling memahami apa yang
dimaksud dengan Manjawab Panggilan, mereka itu adalah para sahabat radhiallahuanhum. Ibnu
Mundzir berkata dalam kitab Al-Ausath, Kami meriwayatkan dari Ibnu Masud dan Abu Musa
sesungguhnya keduanya berkata, Barangsiapa yang mendengar panggilan (seruan adzan) kemudian
tidak menjawabnya, maka sesungguhnya tidak diterima salatnya, kecuali bagi mereka yang
berhalangan. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubar 3/174).
Ia berkata, dan diriwayatkan dari Aisyah sesungguhnya ia berkata, Barangsiapa yang mendengar
panggilan (seruan adzan) dan ia tidak menjawab, dan tidak menerima dengan baik dan tidak
menerimanya. (Diriwayatkn oleh Al-Baihaqi As-Sunan Al-Kubra: 3/57).
Dari Abu Hurairah ia berkata, Mengisi kedua telinga anak manusia dengan timah yang terkumpul
lebih baik bagi seorang anak manusia daripada ia mendengar seruan (panggilan untuk shalat)
kemudian ia tidak menjawab panggilan tersebut.
Hal ini dan banyak lagi dalil yang lainnya menunjukkan bahwa para sahabat menjawab panggilan
tersebut dengan menghadiri shalat berjamaah, sedangkan mereka yang meninggalkan shalat
berjamaah tidak menjawab panggilan tersebut, aka mereka menjadi berdosa.
3. Dalil ketiga: Firman Allah SWT:


Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku (QS. Al-
Baqarah: 43).
Konteks dari ayat tersebut adalah sesunguhnya Allah SWT memerintahkan mereka untuk ruku, yang
dimaksud ruku disini adalah shalat, dan shalat diibaratkan dengan ruku karena ruku merupakan salah
satu rukun shalat, dan shalat ini diibaratkan dengan rukun-rukunnya dan wajib-wajibnya. Seperti
Allah SWT menamakannya dengan sujud (sujuudan), quraanan, maupun pujian-pujian (tasbiihan),
maka mestilah firman Allah SWT maar rakiin mempunya pengertian lain, yang tidak lain dari
melaksanakannya bersama para jamaah yang melaksanakan shalat dan kebersamaan itu mengandung
makna tersebut.
Jika perintah yang terikat (Al-Amru Al-Muqayyad) ditetapkan berdasarkan bentuk sifat dan kondisi
tertentu, maka orang yang mendapatkan perintah tersebut harus mengaplikasikannya sesuai dengan
sifat dan kondisi tersebut.
Jika dikatakan bahwa kewajiban shalat berjamaah ini menjadi batal dengan firman Allah SWT, Hai
Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, suju dan rukulah bersama orang-orang yang ruku. (QS. Ali
Imran: 43). Maka wanita tidak diwajibkan untuk hadir dalam shalat berjamaah. Dijelaskan ayat ini
tidak menunjukkan bahwa seorang wanita tidak diperintahkan untuk shalat berjamaah, akan tetapi
perintah tersebut dikhususkan kepada Maryam saja. Berberda dengan firman Allah SWT, Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku. (QS. Al-
Baqarah: 43). Dalam hal ini Maryam memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh wanita lain,
karena ibunya pernah bernadzar untuk menjadikan Maryam sebagai hama yang selalu tunduk dan
patuh kepada Allah, dan untuk beribadah kepada-Nya, serta mengabdi untuk memakmurkan masjid,
dan tidak meninggalkannya. Maka diperintahkan kepadanya untuk ruku bersama orang-orang yang
ruku. Dan ketika Allah SWT memilih Maryam dan mensucikannya di atas semua wanita yang ada di
dunia, Allah memerintahkannya untuk selalu taat kepada perintah-Nya dengan perintah yang khusus
dan lain dari wanita pada umumnya. Firman Allah SWT, Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril)
berkata, Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu, dan melebihkan
kamu atas segala wanita di duni (yang semasa denganmu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu,
suju dan rukulah bersama orang-orang yang sujud. (QS. Ali Imran: 42-43). Maka jika dikatakan
keadaan mereka yang diperintahkan untuk ruku bersama orang-orang yang ruku, tidak secara harfiah
menunjukkan kewajiban untuk ruku seperti mereka, akan tetapi menunjukkan akan keharusan untuk
melakukan perintah tersebut.
Sebagaimana firman Allah SWT, Hai orang-orang yang beriman bertawakallah kamu kepada Allah
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah: 119), kebersamaan (kata
maa) yang dimaksud menuntut keikutsertaan dan keterlibatan dalam melakukan pekerjaan dan bukan
hanya sebatas mengiringi. Dijelaskan bahwa hakekat kebersamaan adalah pertalian antara apa yang
sesudahnya dengan apa-apa yang sebelumnya, dan pertalian disini lebih ditekankan kepada
keikutsertaan, apalagi dalam shalat. Maka jika dikatakan shalatlah engkau bersama jamaah, atau aku
telah melaksanakan shalat bersama dengan jamaah. Maka hal itu tidaklah dapat dipahami kecuali
kumpulnya mereka untuk melaksanakan shalat.
4. Dalil keempat: Yang ditetapkan di dalam kitab Shahihain dengan lafadz Bukhari Dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Demi Dzat yang mana jiwaku berada di tangan-
Nya, sesungguhnya aku sangat ingin memerintahkan (orang-orang) untuk mengumpulkan kayu bakar
lalu dinyalakan, kemudian aku memerintahkan shalat sehingga dikumandangkanlah adzan untuk itu,
lalu aku memerintahkan seseorang laki-laki untuk mengimami mereka, sementara aku mencari
orang-orang (yang tidak mengikuti shalat berjamaah) dan aku bakar rumah mereka. Demi Dzat
yang mana jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara mereka mengetahui bahwa
ia akan mendapatkan potongan daging yang gemuk atau dua binatang buruan yang baik, niscaya ia
akan mengikuti jamaah shalat Isya. (HR. Shahih Bukhari dalam Adzan 744, Muslim dalam Al-
Masajid 751, dan Arq = tulang dan daging, atau memotong daging, sedang marmatami
mempunyai pengertian antaranya: yang ada di antara dua kuku kambing yang dibuang atau
selainnya).
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:







Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq adalah shalat isya (berjamaah)
dan shalat subuh (berjamaah), seandainya merek mengetahui (hikmah) yang ada dalam keduanya
niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh, aku ingin
memerintahkan (orang-orang) untuk melaksanakan shalat sehingga shalat itu didirikan, kemudian
aku memerintahkan seseorang untuk mengimami mereka, kemudian aku berangkat bersama beberapa
orang yang membawa ikatan kayu bakar (yang menyala) menuju kepada orang-orang yang tidak
mengikuti shalat (berjamaah), lalu aku membakar rumah mereka dengan api itu. (Kedua Imam,
Muslim dan Bukhari, sepakat atas keshahihan hadits ini, dan lafadz dari Muslim. Dari hadits yang
sama pendapat keduanya dan Bukhari berpendapat seperti itu, 657).
Dari Imam Ahmad dari Nabi Muhammad saw, Kalau di rumah itu tidak ada wanita dan anak-anak,
aku melaksanakan shalat isya, dan aku perintahkan para pemuda untuk membakar apa yang ada di
dalam rumah itu. (HR. Musnad Imam Ahmad, 2/367).
Mereka yang mengatakan tidak wajib mengemukakan beberapa alasan yang menunjukkan tidak
wajibnya shalat berjamaah ditinjau dari beberapa aspek:
a. Pertama: Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada orang-orang yang meninggalkan shalat
jumat. Dalil yang memperkuatnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Musim dalam shahihnya dari
hadits Abdullah bin Masud r.a. sesungguhnya Nabi Muhammad saw bersabda kepada kaumnya yang
meninggalkan shalat Jumat, Telah aku perintahkan laik-laki untuk shalat berjamaah, kemudian aku
akan membakar rumah laki-laki yang melaksanakan shalat jumat di rumah mereka. (HR. Shahih
Muslim dalam Al-Masajid wa Mawadiu Al-Shalah 652)
b. Kedua: Sesungguhnya hal ini boleh dilakukan ketika hukuman denda berupa materi dijalankan,
kemudian dihapuskan dengan adanya hukuman yang berupa hukuman denda tersebut.
c. Ketiga: Dalam hal ini Nabi hanya mengancam saja tanpa berniat untuk melaksanakan ancamannya.
Kalau seandainya pembakaran tersebut dibolehkan/dilaksanakan maka hal itu menunjukkan akan
wajibnya shalat berjamaah. Sesungguhnya hukuman tidak harus demikian, bahkan jika seandainya
shalat berjamaah itu wajib, atau haram sekalipun, ketika Nabi tidak melaksanakan ancamannya, hal
itu menunjukkan bahwa pembakaran tidak boleh dilaksanakan.
Mereka berkata, Hadits di atas menunjukkan batalnya wajib shalat berjamaah, karena meninggalkan
shalat berjamaah, bukan berarti meninggalkan hal yang wajib (dalam hal ini shalat fardhu).
Mereka juga berkata bahwa Nabi saw berniat untuk membakar rumah-rumah mereka, dikarenakan
kepura-puraan (kemunafikan) mereka, bukan lantaran karena mereka meninggalkan shalat
berjamaah.
Orang-orang yang mewajibkan shalat berjamaah berkata, Dalil-dalil yang Anda sebutkan tidak
mengandung petunjuk yang membatalkan hadits yang mengisyaratkan wajibnya shalat berjamaah:
Perkataan kalian, Sesungguhnya ancaman tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan
shalat Jumat. Memang benar bahwa ancaman tersebut ditujukan kepada mereka yang meninggalkan
shalat Jumat tetapi juga sekaligus ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat berjamaah.
Secara gamblan hadits Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa hal itu ditujukan kepada mereka yang
meninggalkan shalat berjamaah, dan hal itu secara jelas terdapat di awal dan akhir hadits. Dan hadits
Ibnu Masud r.a. menunjukkan bahwa hal itu juga ditujukan kepada mereka yang meninggalkan shalat
jumat. Maka dalam hal ini tidak ada pertentangan di antar kedua hadits tersebut.
Sedangkan perkataan kaian, Sesungguhnya hal itu dihapuskan. Alangkah sulitnya untuk
menguatkan/menetapkan pendapat tersebut! Dimanakah syarat-syarat naskh (penghapusan) yang
mengharuskan adanya hukum pengganti dari hukum yang digantikannya. Niscaya kalian dan semua
penghuni bumi ini tidak akan mempunyai cara untuk menetapkan statement tersebut. Telah banyak
orang yang menjadikan Naskh dan Ijma sebagai cara untuk menghapuskan sunnah-sunnah yang tetap
dari Rasulullah saw dan ini bukanlah hal yang sepele. Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan
sunnah-sunnah Rasulullah saw yang benar dengan menggunakan dan jangan pula meninggalkannya
dengan menggunakan Naskh kecuali ada Naasikh (yang menghapuskannya) yang benar dan jelas
yang datang setelah itu yang diambil dan dijaga oleh ummat manusia. Jika ummat ini meninggalkan
Naasikh yang seharusnya dijaga, dan sebaliknya menjaga Mansukh yang hukumnya telah tidak
berlaku lagi, maka tidak ada lagi yang tersissa dari agama ini. Akan tetapi banyak dari generasi
selanjutnya yang jika melihat hadits yang bertentangan dengan madzhab mereka, mereka kemudian
menawilkannya (sesuai dengan madzhab mereka), hal ini jelas akan menimbulkan pertentangan. Jika
datang kepada mereka dalil yang mematahkan pendapat mereka, mereka akan berdalih dengan
menggunakan Ijma, dan jika mendapatkan pertentangan yang tidak memungkinkan mereka untuk
menggunakan Ijma, mereka berdalih bahwa dalil tersebut telah di-Mansukh-kan.ik A Cara demikian
bukanlah cara yang sepatutnya dilakukan oleh ummat Islam. Bahkan ummat Islam menentang cara-
cara seperti ini, dan jika mereka menemukan sunnah Rasulullah saw yang benar dan jelas, mereka
tidak akan membatalkannya dengan tawil dan tidak pula dengan Ijma serta Naskh. Imam Syafii dan
Imam Ahmad adalah merupakan orang-orang yang sangat menentang cara-cara seperti itu dengan
taufik Allah SWT.
Sesugguhnya Nabi tidaklah melaksanakan niatnya untuk orang yang dilarang yang telah dikabarkan
bahwa Rasullah saw telah mencegahnya untuk melakukan hal itu, yaitu mencakup rumah yang di
dalamnya terdapat orang yang tidak diwajibkan atas mereka shalat berjamaah yang terdiri dari para
wanita dan anak-anak, maka apabila seandainya mereka membakar untuk melaksanakan hukuman
kepada mereka yang tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat berjamaah, hal ini tidak dapat
dilakukan. Sebagaiman jika al-Had (Hukum Syariat) dijatuhkan kepada wanit yang hamil, maka
hukuman itu tidak dilakukan (ditunda) sampai wanita itu melahirkan, agar hukuman tersebut tidak
berakibat kepada kehamilannya. Dan Rasulullah saw selamanya tidak bermaksud untuk melakukan
apa yang tidak boleh dilaksanakan.
Sebagian ulama telah memberikan jawaban yang lain, yaitu, Sesungguhnya kaum ini lebih takut
kepada Rasulullah saw daripada mendengarkan perkataan tersebut, kemudian mereka meninggalkan
shalat berjamaah.
Adapun pendapat kalian yang menyebutkan, Bahwa hadits itu menunjukkan adanya ketidakwajiban
shalat berjamaah, karena beliau ragu-ragu apakah ia meninggalkannya atau tidak. Satu hal yang tidak
mungkin dinisbatkan dan tidak pula dituduhkan kepada Rasulullah saw adalah bahwa beliau ragu-
ragu memberikan hukuman kepada sekelompok kaum Muslimin dengan membakar rumah-rumah
mereka karena meninggalkan suatu amalan sunnah yang belum diwajibkan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka, dan Rasulullah saw belum memberitahukan bahwa beliau pernah melakukan shalat
sendirian, tetapi beliau shalat berjamaah dengan para sahabatnya yang pergi bersamanya ke rumah
itu. Juga kalaulah ia shalat sendirian maka pastilah di sana ada dua kewajiban yaitu, Wajib berjamaah
dan wajib memberikan hukuman kepada orang-orang berbuat maksiat dan memeranginya. Maka
dalam hal ini meninggalkan yang lebih rendah dari kedua kewajiban tersebut karena mendahulukan
yang lebih tinggi, seperti halnya pada shalat khauf.
Adapun pendapat anda yang menyebutkan: Bahwa Beliau saw bermaksud memberi hukuman kepada
mereka karena keingkaran mereka bukan karena mereka meninggalkan shalat berjamaah. Maka hal
ini perlu dilihat dua hal. Pertama adalah pembatalan apa yang diekspresikan oleh Rasulullah saw dan
menghubungkan hukuman karena meninggalkan shalat berjamaah. Kedua mengekspresikan apa yang
dibatalkannya, maka sesungguhnya tidaklah orang-orang munafik itu dihukum karena nifak mereka,
tetapi karena perbuatan mereka yang tidak terlihat, sedangkan yang tersembunyi dari mereka
diserahkan kepada Allah. (Yang berpendapat bahwa maksudnya adalah keinginan orang-orang
munafik adalah Syafii dan lain-lain sebagaimana di dalam Al-Majmu 4/192, dan dikuatkan oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits ini dalam Fathul Baari, hanya saja ia menguatkan
bahwa maksudnya kemaksiatan dan bukan kekafiran seperti yang dimaksud oleh Pengarang).
5. Dalil Kelima : Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Shahih-nya: Bahwa seorang
laki-laki buta berkata, Wahai Rasulullah, aku tidak memilki seorangpun yang dapat menuntunku
ke masjid. Lalu ia meminta Rasulullah saw untuk memberikan keringanan baginya. Ketika ia
berpaling, dipanggilnya ia oleh Rasulullah saw dan berkata, Apakah engkau mendengar adzan? Ia
berkata, Ya. Rasulullah saw menjawab, Penuhilah (datanglah untuk shalat). Orang ini adalah
Ibnu Ummi Maktum dan ada perbedaan pendapat mengenai namanya, kadang disebut Abdullah dan
kadang disebut Amru.
Dalam Musnad Imam Ahmad, dan Sunan Abu Dawud dari Amru bin Ummi Maktum berkata,
Aku berkata wahai Rasulullah aku orang lemah yang jauh dari masjid dan aku punya pemimpin tapi
tidak melindungiku, apakah ada keringanan buatku untuk shalat di rumahku? Rasulullah saw
bersabda, Apakah engkau mendengar adzan? Ia berkata, Ya. Rasulullah saw berkata lagi,
Tidak ada keringanan bagimu.
Orang-orang yang menolak diwajibkannya shalat Jamaah berpendapat: Ini perkara yang disukai
bukan perkara yang diwajibkan. Perkataan Nabi saw yang menyebutkan,Tidak ada keringanan
bagimu artinya kalau engkau mau mendapat keutamaan berjamaah, maka lakukanlah.
Ada lagi yang berpendapat: Hal ini telah dimansukh.
Orang yang mewajibkan berpendapat: Perintah itu berarti suatu keharusan. Jadi bagaimana jika
seorang ahli syara menerangkan bahwasanya tidak ada keringanan bagi seorang hamba yang tidak
berjamaah karena lemah dan jau dari masjid dan tidak dilindungi oleh pemimpinnya. Maka kalaulah
seorang hamba itu kebingungan antara shalat sendirian atau berjamaah pasti yang paling bingung ini
adalah orang seperti yang buta itu.
Abu Bakar bin Mundzir berpendapat bahwa perintah untuk berjamaah kepada orang yang buat dan
yang rumahnya jauh merupakan dalil yang menunjukkan bahwa shalat berjamaah itu wajib bukan
sunnah. Ketika dikatakan kepada Ibnu Ummi Maktum yang kenyataannya buta, Tidak ada
keringanan bagimu maka lebih-lebih bagi orang yang melihat tidak ada keringanan baginya.
6. Dalil Keenam : Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hatim dan Ibnu Hibban dalam
hadits shahihnya dari Abbas berkata, Rasulullah saw bersabda, Barangsiapa mendengar adzan dan
tidak ada udzur apapun yang menghalanginya dari keikutsertaannya. Mereka berkata, Udzur
apa? Nabi saw bersabda, Ketakutan atau sakit, maka shalat yang sudah dilaksanakannya tidak
akan diterima.
Orang-orang yang tidak mewajibkannya berpendapat bahwa hadits ini mempunyai dua cacat:
a. Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dari Maariku yang merupakn seorang budak dan ia lemah
di kalangan mereka.
b. Kedua : Hadits itu diketahui dari Ibnu Abbas dan berhenti padanya, tidak sampai kepada Rasulullah
saw.
Orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa: Qosim Ibnu Asbagh dalam kitabnya berkata:
Ismaiil bin Ishak al-Qadli telah menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Harb menceritakan kepada
kami, Syubah menceritakan kepada kami, dari Habib bin (Abi) Tsabit, dari Said bin Jubair, dari Ibnu
Abbas bahwa Nabi saw bersabda, Barang siapa mendengar adzan dan tidak menjawab, maka tidak
punya pahala shalat kecuali karena adanya udzur. dan cukuplah bagi Anda kebenaran hadits ini
dengan isnad tersebut. [Ibnu Hazm dalam Al-Mahalli 4/190]
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir Ali bin Abdul Aziz kepada kami, Amr bin Auf menceritakan kepada
kami, Hasyim menceritakan kepada kami, dari Syubah dari Huda bin Tsabit, dari Said bin Jabir dari
Ibnu Abbas dengan hadits yang marfu (sampai kepada Rasulullah saw). [Hadits ini diriwayatkan
berdasarkan jalur riwayat Hasyim dari Syubah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban 2064 dari Baihaqi
3/174].
Mereka mengatakan Maarik yang merupakan seorang budak telah meriwayatkan kepadanya Abi
Ishak As-Sabii berdasarkan kemuliaannya. Kalau mungkin tidak benar, dia akan mencabutnya, maka
benar apa yang datang dari Ibnu Abbas tanpa ada keraguan, yaitu bahwa riwaya tersebut merupakan
perkataan sahabat yang tidak dibantah oleh sahabat yang lain.
7. Dalil Ketujuh : Apa yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abdullah bin Masud
r.a. ia berkata, Barang siapa yang merasa senang untuk dipertemukan pada hari kiamat dalam
keadaan muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu yang selalu diserukan (di-adzan-i),
karena shalat-shalat itu termasuk jalan-jalan petunjuk, dan sesungguhnya kalau engkau shalat di
rumah-rumah kalian seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mau berjamaah
berarti engkau meninggalkan sunnah Nabi kalian, kalau engkau meninggakan sunnah Nabi berarti
engkau sesat. Seseorang yang bersuci kemudian memperbaiki kesuciannya, kemudian menuju masjid
dari masjid-masjid yang ada, tiada lain baginya kecuali Allah akan menulis setiap langkahnya
dengan kebaikan dan derajatnya ditingkatkan, dan dilihangkan darinya kejelekan. Dan engkau telah
menyaksikan orang-orang yang tidak suka berjamaah adalah orang yang munafik yang nyata
kemunafikannya. Dan tidaklah seseorang telah didatangi dan diberi petujunjuk di antara dua orang
sehingga ia berdiri di shaf (dalam shalat berjamaah). [Muslim dalam Al-Masajid dan Mawadi Al
Shalah 654].
Dalam lafadz: Sesungguhnya Rasulullah mengajari kita jalan untuk mencapai hidayah, dan
sesungguhnya salah satu jalan itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan
adzan. [Hadits ini diriwayatkan oleh riwayat Muslim sebagaimana dikemukakan sebelumnya].
Maka aspek pembuktiannya adalah: Bahwasanya meninggalkan jamaah itu merupakan salah satu
tanda dari orang-oarng munafik yang nyata kemunafikannya, dan tanda-tanda kemunafikan itu dengan
(tidak ?)meninggalkan hal-hal yang disukai dan (tidak ?) melakukan yang dibenci. Maka, orang yag
mengamati tanda-tanda orang munafiq di dalam sunnah, ia akan mendapatkannya baik meninggalkan
yang wajib atau mengerjakan yang haram. Pengertian ini telah ditegaskan dengan perkataannya,
Barang siapa yang senang akan dipertemukan dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan
muslim, maka hendaknya menjaga shalat lima waktu yang selalu dipanggil dengannya. Orang yang
meninggalkannya dan yang shalat di rumahnya disebut orang yang meninggalkan sunnah yang
merupakan cara Rasulullah saw, yang selalu dilaksanakannya dan syariatnya yang disyariatkan bagi
ummatnya, dan maksudnya bukan sunnah yang hanya dianjurkan melaksanakannya bagi yang
berkehendak saja, dan yang tidak berkehendak boleh meninggalkannya tidak sesat dan tidak pula
sebagai bagian dari tanda-tanda kemunafikn, seperti meninggalkan shalat dhuha, shalat malam dan
puasa sunnah senin dan kamis.
8. Dalil kedelapan : Apa yang diriwayatkn Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abi Said Al Khudzry,
ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Jika mereka bertiga, maka hendaknya salah seorang di antara
mereka menjadi imam, dan yang pling berhak menjadi imam adalah orang yang paling baik
bacaannya. [Muslim dalam Al-Masajid wa Mawadli 627]. Dalil ini menunjukkan bahwa Rasulullah
saw memerintahkan berjamaah dan perintahnya itu adalah wajib.
9. Dalil kesembilan : Bahwa Rasulullah menyuruh seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf
untuk mengulangi shalatnya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para ahli sunnah, Abu Hatim ibnu
Hibban dalam hadits shahihnya dan diperbaiki At-Tirmidzi. [Ahmad 2/228, Abu Dawud 682,
Turmudzi 230 dan 231, dan dihasankan, Ibnu Majah1004, dan Ibnu Hibban 2198 dan 2199, semuanya
dalam masalah shalat].
Dari Ali bin Syaiban berkata, Kami keluar hingga menghadap Rasululllah saw dan kami
mengucapkan sumpah setia kami kepada beliau lalu kami shalat di belakang beliau. Ia berkata,
Kemudian kami shalat di belakangnya shalat yang lain lalu beliau mengqadha shalat, kemudian
beliau lihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf, kemudia ia berhenti mendekatinya sampai ia
menghadapinya kemudian berkata, Ulangi shalatmu, tidak shalat bagi seseorang yang shalat di
belakang shaf. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Hibban dan pada Riwayat Imama Ahmad
diriwayatkan, Saya shalat di belakang Rasulullah saw, kemudian Rasulullah saw melihat seorang
shalat sendirian di belakang shaf, maka beliau berhenti sehingga menemuinya dan bekata
kepadanya, Ulangi shalatmu, karena tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang
shaf. [Ahmad 4/23, Ibnu Hibban 1003, dalam Az-Zawaid disebutkan, sanadnya shahih dan rawi-
rawinya dapat dipercaya, serta dibenarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1569]. Ibnu Mundzir berkata,
Hadits ini ditetapkan oleh Ahmad dan Ishak.
Konteks dalil ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw membatalkan shalat seseorang yang
keluar dari shaf sedang ia dalam keadaan berjamaah dan menyuruhnya mengulangi shalatnya
sedangkan beliau tidak pernah shalat menyendiri kecuali di tempat yang khusus. Maka shalat
menyendiri dari jamaah dan di luar tempat jamaah adalah batal. Dijelaskan olehnya bahwa batasan
menyendiri adalah shalat sendirian, kalaulah shalat sendirian itu sah, maka Rasulullah tidak akan
menganggap shalatnya tidak sah atau dianggap tidak ada. Oleh karena itu, beliau menyuruh orang
yang melakukan seperti itu untuk mengulangi shalatnya.
Pendapat orang-orang yang membatalkan wajibnya shalat berjamaah adalah sebagai berikut: Anda
tidak mungkin menggunakan hadits itu sebagai dalil kecuali setelah menetapkan batalnya shalat
menyendiri dibelakang shaf. Ini merupakan pendapat yang rancu yang bertentangan dengan jumhur
ulama, sementara ijma ulama telah menetapkan sahnya shalat wanita sendirian di belakang shaf, dan
Rasulullah didatangi malaikat Jibril dan mengajarinya waktu-waktu shalat, Jibril maju dan Rasulullah
berdiri di belakangnya, dan orang di belakang Rasulullah, kemudian shalat dzuhur ketika matahari
bergeser dan mendatanginya ketika bayangan seperti ukuran dirinya, dan melakukan seperti yang
telah dilakukannya, maka Malaikat Jibril maju ke depan dan Rasulullah saw di belakangnya dan
orang-orang di belakang Rasulullah saw. Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasai. [An-Nasai dalam
Al-Mawaqit 1/255].
Rasulullah pernah melakukan shalat di belakang Jibril dengan mengikutiya.
Mereka mengatakan: Abu Bakar pernah melakukan ihram menyendiri di belakang shaf kemudian ia
berjalan memasuki shaf dan Nabi saw tidak menyuruh untuk mengulanginya. [Al-Bukhari dalam
Adzan 783].
Mereka juga mengatakan: Ibnu Abbs telah melakukan ihram di sebelah kiri Rasulullah saw, kemudian
Rasulullah menariknya dan menempatkannya di sebelah kanan Rasulullah [Al-Bukhari dalam Adzan
699, Muslim dalam Shalat Al-Musafirin 763], dan Rasulullah tidak menyuruhnya untuk mengulangi
shalatnya, bahkan membenarkan ihramnya yang sendirian, dan ini terjadi pada shalat nafl (sunnah).
Dalam hadits Jabr dalam masalah fardhu disebutkan bahwa ia berdiri di sebelh kiri Rasulullah,
kemudian ia menariknya dan menempatkannya di sebelah kanannya. [Muslim dalam Al-Zuhud wa Al-
Raqaiq dari haditsny yang panjan 3010].
Kemudian orang-orang yang mewajibkannya berpendapat bahwa yang menarik dari pertentangan
terhadap hadits-hadits yang shahih dan yang jelas seperti itu adalah tidak adanya pertentangan antara
hadits-hadits itu dari segi apapun.
Adapun pendapat kalian: Sesungguhnya ini adalah pendapat yang keliru dan rancu. Apakah hal ini
bukan sesuatu yang rancu, sementara dalam diri Rasulullah saw terdapat sunnah-sunnahnya yang
shahih dan jelas, meskipun ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggalkannya, meninggalkan
sunnah-sunnah tersebut bukan berarti hal-hal tersebut tidak diketahui oleh orang-orang yang
meninggalkannya, atau semacam tawil yang membolehkan untuk meninggalkannya bagi yang
lainnya.
Maka, bagaimana mendahulukan seorang yang meninggalkan sunnah? Ini telah disebutkan oleh
mayoritas dari kalangan pemuka tabiin, mereka adalah Said bin Jubair, Thawus, Ibrahim An-
Nakhai, dan yang lainnya seperti Hikam, Hamad, Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Waki, dan juga
Al-Auzai diceritakan oleh Thahawy Ishak bin Rahawiyah, Imam Ahmad, Abu Bakar bin
Mundzir, dan Muhammad bin Ishak bin Huzaimah. Maka mana letak kerancuan itu, sementara
mereka mengatakan hal itu adalah sunnah?
Adapun bantahan Anda mengenai posisi wanita, maka itu adalah bantahan yang paling rusak, karena
itu merupakan posisi wanita yang telah disyariatkan baginya, sehingga kalau sampai seorang
perempuan berada di shaf laki-laki maka hal itu akan merusak shalat laki-laki yang berada di belakang
wanita itu sebagaimana dikemukakan Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat itu ditemukan
pada mazhab Ahmad.
Dikatakan juga bahwa kalaulah seorang wanita berdiri sendirian di belakang shaf wanita, maka sah
shalatnya. Pendapat lain menyebutkan, Bukan seperti itu, tetapi seandainya seorang wanita berdiri
sendiri di belakang shaf wanita yang lain, maka shalatnya tidak sah seperti halnya laki-laki
menyendiri di belakang shaf laki-laki, demikian menurut Qadhi Abu Yala dalam tanggapannya,
berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw, Tidak ada shalat bagi seseorang yang shalat di
belakang shaf. Dari hadits ini dipahami seandainya seorang wanit berdirian sendirian di belakang
shaf laki-laki, maka shalatnya sah, tetapi tidak demikian jika ia menyendiri dari shaf wanita lainnya,
hadits ini berlaku secara umum.
Adapun tentang kisah shalat Rasulullah saw di belakang Jibril, dan para sahabat di belakangnya, maka
jawaban mengenai hal ini adalah bahwa kisah itu telah terjadi pada masa awal diperintahkannya
shalat, yaitu ketika Jibril mengajari waktu-waktu shalat, sedangkan kisah Rasulullah saw yang
memerintahkan kepada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian untuk mengulanginya pada
masa belakang setelah kisah Jibril, maka itu adalah jawaban yang benar.
Menurutku masih ada jawaban yang lainnya, yaitu bahwa sesungguhnya Nabi saw pada waktu itu
adalah Imam kaum muslimin, maka beliau berdiri di hadapan kaum muslimin. Beliau sendiria
disempurnakan oleh Jibril, dan pada saat itu Jibril a.s lebih depan dengan tujuan agar lebih berhasil
mengajari Nabi saw dibandingkan seandainya dia berdiri di samping Nabi saw. Sebagaimana Nabi
saw pernah shalat bersama kaum muslimin, dan beliau berdiri di atas mimbar, dengan tujuan agar
mereka (kaum muslimin) bisa melihat kesempurnaan shalat yang dilakukan beliau, dan agar mereka
mengambil pelajaran (mencontohnya) shalatnya. Hal itu dilakukan dengan tujuan mendidik, dan
beliau tidak melarang seseorang yang menjadi imam bagi orang lain, berdiri pada tempat yang lebih
tinggi dari mereka (makmum).
Mengenai kisah Abu Bakar, kisah tersebut bukan menceritakan bahwa beliau mengangkat kepalanya
dari ruku sebelum beliau memasuki shaf (barisan shalat), tetapi semata-mata beliau menahan dengan
cara seperti itu agar bisa tetap tegak dalam ruku, dan tidak ada cara lain yang bisa dia lakukan selain
dengan cara seperti itu.
Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, tentang
orang yang melakukan ruku sebelum masuk dalam shaf, kemudian dia berjalan sambil ruku sebelum
masuk shaf, setelah imam mengangkat kepalanya dari ruku. Dalam masalah ini ada tiga pendapat,
yaitu:
Pertama, Hal itu dianggap sah secara mutlak, alasannya berdasarkan riwayat yang mengatakan
bahwa, Sesungguhnya Nabi saw tidak memerintahkan untuk mengulang shalatnya, dan tidak
memintanya untuk menjelaskan apakah dia memasuki shaf sebelum mengangkat kepalanya dari ruku
atau tidak, seandainya hal ini dianggap menyalahi, maka Nabi saw akan meminta penjelasan
kepadanya.
Said bin Manshur dalam kitab sunannya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, Sesungguhnya dia
melakukan ruku sebelum memasuki shaf, kemudian berjalan sambil ruku dan melakukannya
berulang, sehingga dia dapat memperkirakan sudah sampai kepada shaf atau tidak. (Imam Malik
Al-Muwaththa 1/165, Ath-Thahawi Syahru Maanil Atsar 1/398, dan Al Baihaqi As-Sunanul
Kubra 2/90).
Kedua, Sesungguhnya hal itu tidak sah, berdasarkan nash hadits riwayat Ibrahim bin Harits dan
Muhammad bin Hakam, dia membedakan antara orang yang melakukan ruku sebelum memasuki
shaf dengan orang yang yang melakukan ruku di dalam shaf, karena orang yang tidak melakukan
ruku dalam shaf dianggap tidak dihitung rakaatnya. Hal ini disamakan dengan orang yang
melakukan ruku padahal imam sudah sujud. Menurut sebagian para sahabt hadits ini shahih.
Ketiga, seandainya dia tahu bahwa hal itu dilarang, maka shalatnya dianggap tidak sah, jika tidak
mengetahui, maka shalatnya dianggap sah berdasarkan sikap Abu Bakar, dan sabda Nabi saw, Kamu
tidak perlu mengulanginya. Larangan itu apabila adanya kerusakan, akan tetapi hal itu dihilangkan
kepada orang yang bodoh, dengan tidak diperintahkan mengulanginya, dan keadaan semacam inilah
yang dialami Abu Bakar.
Adapun kisah Ibnu Abbas dan Jabir dalam meninggalkan urusan keduanya dengan memulai shalat,
dan keduanya takbiratul ihram secara terpisah. Hal ini pertama-tama dilakukan bukan ketika keduanya
telah melakukan shalat, tetapi keduanya berdiri disamping Rasulullah saw, kemudian Rasulullah saw
memindahkan keduanya di saat permulaan berdiri keduanya. Seandainya diperkirakan bahwa
takbiratul ihram yang dilakukan keduanya seperti itu, maka orang yang melakukan takbiratul ihram
sendirian, takbiratul ihram dianggap sah, dan dimasukkan dalam shalat, akan tetapi dia melakukannya
setelah ruku, sehingga yang dihitungan adalah rukunya itu sendiri. Akan tetapi yang satu lagi tidak
seperti itu, orang lain yang berdiri bersamanya itu melakukan takbiratul ihramnya sebelum ruku ,
sehingga shalatnya dianggap sah. Seandainya kita menganggap bahwa takbiratul ihramnya dua
makmum itu harus serempak dalam memulai takbir dan mengakhirinya, maa seseorang tidak akan
melakukan takbiratul ihram, sehingga harus sepakat terlebih dahulu dengan orang ada disampingnya.
Hal ini merupakan perbuatan yang dirasakan sangat berat dan menyusahkan. Dengan demikian maka
tidak ada seorangpun yang menganggapnya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
10. Dalil kesepuluh : hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sunannya,dan Imam
Ahmad dalam kitab Musnadnya, dari haditsnya Abi Darda, dia berkata, Rasulullah saw bersabda,
Tiada terdapat tiga orang berkumpul di kampung yang tidak dikumandangkan adzan dan tidak
didirikan shalat berjamaah, melainkan mereka telah dijajah oleh Syaithan, maka kerjakanlah
olehmu shalat berjamaah, karena serigala itu hanya dapat menerkam binatang (kambing) yang
terpisah jauh dari kawan-kawannya. (Abu Dawud Bab Shalat 574, Imam Ahmad 5/196, dan An-
Nasai Bab Imamah 2/106-107).
Sisi keadilan (argumentasi) dari hadits tersebut: sesungguhnya Rasulullah saw mengabarkan tentang
menguasainya syaithan kepada mereka dengan sebab meninggalkan shalat berjamaah yang ditandai
dengan adzan dan iqamah. Seandainya shalat berjamaah itu dianggap sunat sehingga seseorang boleh
memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya, maka tentu syaithan tidak akan menguasai orang
yang meninggalkan shalat berjamaah, dan yang meninggalkan tanda-tanda shalat berjamaah
tersebut.
11. Dalil kesebelas : hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan beliau menganggap hadits ini
shahih, dari haditsnya Abi Syatsail Maharibi, dia berkata, Kami duduk di masjid, kemudian seorang
muadzin mengumandangkan adzan. Seorang laki-laki berdiri dan berjalan keluar dari masjid,
kemudian pandangan Abu Hurairah mengikutinya sampai orang tersebut keluar dari masjid. Abu
Hurairah berkata, Orang itu benar-benar telah berdosa kepada Abal Qasim (Rasulullah saw).
Dalam satu riwayat dikatakan, Saya mendengar Abu Hurairah berkata ketika dia melihat seseorang
yang dengan tergesa-gesa keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan: Orang itu benar-
benar telah berdosa kepada Abal Qasim (Rasulullah saw). Sebagaimana kedua hadits ini telah
dikemukakan dalam pembahasan hukum shalat berjamaah.
Sisi keadilan (argumentasi) dari hadits ini adalah sesungguhnya Abu Hurairah telah mengkatagorikan
orang tersebut berdosa kepada Rasulullah saw disebabkan dia keluar dari masjid setelah
dikumandangkan adzan, karena dia meninggalkan shalat berjamaah. Barangsiapa yang mengatakan
bahwa shalat berjamaah itu sunat, maka Abu Hurairah tidak akan menganggap orang yang keluar dari
masjid setelah dikumandangkan adzan dan dia shalat sendiri itu telah berdosa kepada Allah dan
Rasul-Nya. Ibnu Mundzir telah berhujah (berargumentasi) dengan hadits ini dalam kitabnya. Ketika
dia membahas kewajiban shalat berjamaah dan dia berkata, Seandainya seseorang itu bebas memilih
dalam meninggalkan shalat berjamaah atau melakukannya, maka Abu Hurairah tidak akan
menganggapnya telah berdosa orang yang meninggalkan sesuatu yang tidak diwajibkan kepadanya
untuk melakukannya. Dan orang yang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu sunat, jika dia mau
lakukan dan jika dia tidak mau tinggalkan, maka seseorang akan diperbolehkan keluar dari masjid
setelah muadzin mengumandangkan adzan dan iqamah, bahkan dia akan diperbolehkan duduk tanpa
melakukan shalat berjamaah dengan imam dan jamaah yang lainnya, maka apabila mereka
mendirikan shalat, dia boleh shalat sendirian. Namun seandainya Rasulullah saw dan para sahabatnya
melihat orang yang melakukan perbuatan semacam ini, maka beliau dan para sahabatnya benar-benar
akan melarangnya. Bahkan beliau telah mengingkari (melarang) perbuatan yang masih di bawah
perbuatan itu, yakni beliau melarang seseorang yang tidak mau melakukan shalat berjamaah, karena
sudah merasa cukup dengan shalat yang dia lakukan ketika dalam perjalanan, Beliau bersabda, Apa
yang menghalangi kamu shalat bersama kami? bukankah kamu seorang muslim?. Sebagaimana
hadits ini telah dikemukakan sebelumnya.
Rasulullah saw telah memerintahkan shalat berjamaah kepada orang yang telah melakukan shalat
sendirian, kemudian dia datang ke masjid yang sedang dilakukan shalat berjamaah. Beliau bersabda,
Jika kamu berdua telah melakukan shalat dalam perjalanan kamu berdua, kemudian kamu berdua
mendatangi suatu masjid yang di dalamnya sedang dilakukan shalat berjamaah, maka shalatlah
kamu berdua beserta jamaah yang lainnya, karena shalat tersebut bagi kamu menjadi shalat sunnat.
(At-Turmudzi Bab Shalat 219, beliau menganggap hadits ini hasan shahih, An-Nasai Bab
Imamah 2/112-113 dan Imam Ahmad 4/160-161).
12. Dalil keduabelas : Ijma para sahabat r.a. dan kami akan mengungkapkan tentang nash
kesepakatan tersebut, Yaitu:
Sebagaimana perkataan Ibnu Masud telah kami kemukakan, kami berpendapat bahwa tidak ada yang
menolak perkataan Ibnu Masud itu selain orang munafik yang benar-benar telah diketahui
kemunafikannya.
Imam Ahmad berkata, Waki telah menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Al-Mughirah telah
menceritakan kepada kami, dari Abu Mus Al-Hilali, dari Ibnu Masud, dia berkata, Barangsiapa
yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi pangilan tersebut itu tanpa
alasan syari, maka tidak ada shalat baginya. (Ibnu Hazm, dalam Al-Mahali 4/195).
Imam Ahmad berkata, Waki telah menceritakan kepada kami, Masar telah menceritakan kepada
kami, dari Abi Al-Hushain, dari Ai Burdah, dari Abi Musa Al-Asyari, dia berkata, Barangsiapa
yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut, maka
tidak ada shalat baginya. (Hadits riwayat Al-Hakim 1/246, dia telah menshahihkan hadits ini, Imam
Adz-Dzahabi dan Imam Baihaqi telah menyepakatinya sebagai hadits marfu (sanadnya sampai
kepada Nabi saw) dan mauquf(sanadnya sampai kepada sahabat) 3/174 dan lihat kitab Majmuuz
Zawaid 2/32).
Imam Ahmad berkata, Waki telah menceritakan kepada kami dari Sufyan dari Abi Hayan at-Taimi
dari bapaknya dari Ali r.a, dia berkata, Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan
masjid, kecuali di masjid. Dikatakan, Siapakah yang dimaksud dengan orang yang bertetangga
dengan masjid itu? Ali menjawab, Orang yang mendengar panggilan shalat (adzan). (Hadits
Riwayat Abdur Razzaq 1/497, Baihaqi 3/57 dan 174, dan Al-Hafizh telah mendhaifkan hadits
tersebut dalam kitab Takhlishul Habir 2/32).
Said bin Manshur berkata, Hasyim telah menceritakan kepada kami, Manshur telah mengabarkan
kepada kami dari Hasan bin Ali, dia berkata, Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat
(adzan), kemudian dia tidak mendatanginya, maka shalatnya tidak akan melewati kepalanya (tidak
akan diterima), kecuali bagi orang yang mempunyai alasan syari.
Abdur Razzaq berkata, dari Anas, dari Abi Ishaq, dari Harits, dari Ali, dia berkata, Barangsiapa yang
mendengar panggilan shalat (adzan), dan dia termasuk orang yang bertetangga dengan masjid serta
dalam keadaan sehat, tidak ada alasan syari, maka tidak ada shalat baginya (kecuali di masjid).
(Abdur Razzaq 11/498, Ad-Daaruquthni 1/420 dan Al-Baihaqi 3/57).
Waki berkata, Dari Abdir Rahman bin Hushain, dari Abi Najih Al Maki, dari Abi Hurairah, dia
berkata, Dua telinga keturunan Adam yang dimasuki peluru yang menyakitkan lebih baik daripada
orang yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut. (Al-
Mahali 4/195).
Imam Ahmad berkata, Waki telah menceritakan kepada kami dari Sufyan dari Manshur dari Adi bin
Tsabit dari Aisyah Ummil Muminin r.a. dia berkata, Barangsiapa yang mendengar panggilan
shalat (adzan) kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan syari, maka
dia tidak menemukan kebaikan dan dia tidak termasuk orang yang menghendaki kebaikan tersebut.
(Abdur Razzaq 1/498, dan Al-Baihaqi 3/57).
Waki berkata, Syubah telah menceritakan kepada kami, dari Adi bin Tsabit, dari Said bin Jabir,
dari Ibnu Abbas, dia berkata, Barangsiapa yang mendengar panggilan shalat (adzan), kemudian dia
tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa adanya alasan syari, maka tidak ada shalat baginya.
(Ibnu Majah 793, Ibnu Hibban 2064, Ad-Daruquthni 1/420, dan Al-Baihaqi 3/57).
Apakah Berjamaah Merupakan Syarat Sah Shalat atau Tidak
Apakah berjamaah itu merupakan syarat sah shalat atau tidak? Dalam menanggapi pertanyaan
tesebut, terdapat dua pandangan yang tepat:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa berjamaah itu hukumnya fardhu (kewajiban), dan
berdosa meninggalkannya. Dan beban itu baru akan terlepas dengan melakukan shalat berjamaah itu
sendiri. Pendapat ini banyak dianut oleh para ulama mutaakhirin dan dari para pengikut Imam Ahmad.
Dalam masalah ini Imam Ahmad bertitik tolak pada pendapat Imam Hanbal yang mengatakan bahwa,
Memenuhi panggilan shalat itu hukumnya fardhu. Seandainya ada seseorang yang mengatakan
bahwa, Hal itu hukumnya sunnat, dan saya melakukannya di rumahku, seperti shalat witir dan lain-
lain. Maka hal ini bertentangan dengan hadits, dimana melakukan shalat witir dan shalat sunnat
lainnya hukumnya boleh.
Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Abul Hasan Az-Zafarani di dalam kitab Al-Iqna, yang
mengatakan bahwa, Berjamaah itu merupakan syarat sahnya shalat, maka tidak sah shalatnya orang
yang melakukannya sendirian. Sebagimana telah diceritakan Al Qadhi dari sebagian para sahabat.
Dan hal ini telah dipilih oleh Abul Wafa bin Aqil dan Abul Hasan At-Tamimi. Dan pendapat tersebut
adalah pendapatnya Daud dan para pengikutnya. Ibnu Hazam berkata, Pendapat tersebut adalah
pendapat seluruh pengikut aliran kami. (Al Mahali 4/196)
Dan kami akan mengungkap argumentasi kedua pendapat tersebut:
Orang-orang yang mensyaratkan berjamaah dalam shalat berkata, Seluruh dalil yang telah kami
sebutkan yang menerangkan tentang kewajiban bejamaah, menunjukkan bahwa berjamaah itu
merupakan syarat sah dalam shalat. Karena apabila berjamaah merupakan kewajiban, maka
meninggalkannya bagi para mukallaf (akil baligh) menyebabkan dia masih dalam ikatan kewajiban
tersebut (harus melakukannya).
Mereka berkata, Seandainya shalat itu dianggap sah tanpa berjamaah, maka para sahabat Rasulullah
saw tidak akan berkata, Tidak ada shalat baginya (yang tidak berjamaah). Dan seandainya shalat
itu sah tanpa berjamaah, maka Rasulullah saw tidak akan bersabda, Barangsiapa yang mendengar
seruan adzan, kemudian dia tidak memenuhi panggilan tersebut, maka shalat yang dia lakukan tidak
akan diterima. Ketika diterimanya shalat itu dikaitkan dengan berjamaah, maka hal itu menunjukkan
kepada syarat sahnya shalat. Sama halnya dengan ketika diterimanya wudhu itu dikaitkan dengan
keharusan bersuci dari hadats, maka hal itu secara otomatis menjadi syarat sahnya wudhu.
Mereka berkata, Dan tidak diterimanya itu, baik karena tidak dilakukannya satu rukun atau satu
syarat, tidak secara otomatis menolak diterimanya shalat dari seorang hamba yang sedang melarikan
diri. Dan shalatnya peminum khamar (minuman keras) tidak diterima selama empat puluh hari,
terhalangnya diterimanya shalat pada orang tersebut disebabkan perbuatannya yang melakukan hal
yang diharamkan, yang menyertai shalat, maka menjadi batal pahala shalatnya.
Mereka berkata, Seandainya sah shalatnya orang yang munfarid (shalat sendiri), tentu Ibnu Abbas
tidak akan berkata, Sesungguhnya dia (orang yang melakukan shalat sendirian) akan masuk neraka.
Mereka berkata, Seandainya sah shalat orang yang melakukan shalat sendiri, tentu berjamaah itu
tidak akan diwajibkan. Dan hanya sah ibadah seorang hamba itu apabila melakukan hala-hal yang
diperintahkan kepadanya. Dan dalil-dalil yang mewajibkan tentang itu secara lengkap telah kami
kemukakan.
Adapun kelompok yang menolak pendapat tersebut di atas, terbagi ke dalam tiga pendapat, yaitu:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa berjamaah itu hukumnya sunnat. Jika berkehendak, kerjakan,
dan jika tidak berkehendak, tinggalkan.
2. Pendapat yang mengatakan bahwa berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah. Jika ada suatu
kelompok yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya.
3. Pendapat yang mengatakan bahwa berjamaah itu fardhu ain. Namun demikian masih dianggap
sah shalat yang tidak dilakukan secara berjamaah.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari haditsnya Ibnu Umar, dia berkata,
Rasulullah saw telah bersabda,Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendiri dengan
keutamaan dua puluh tujuh derajat. (Al Bukhari Al-Adzan 645, dan Muslim Al-Masajid 650).
Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim telah diungkapkan dari Abi Hurairah dari Nabi saw, Shalat
seseorang yang dilakukan dengan berjamaah dilipatgandakan dari shalat sendirian di rumah atau
di pasar dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena jika seseorang menyempurnak
wudhu, kemudian dia keluar menuju masjid untuk melakukan shalat, tiada dia melangkahkan kaki
selangkah melainkan terangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu dosa, dan bila ia
shalat, selalu didoakan oleh para malakaikat selamat dia berada di tempat shalatnya itu tidak
berhadats, Malaikat berdoaa, Allahumma sholli alaihi, Allahummar hamhu, Ya Allah limpahkan
rahmat kepadanya, Ya Allah kasihinilah dia. Dan dia tetap dianggap shalat selama dia menantikan
shalat. (Al-Bukhari Al-Adzan 647 dan Muslim Al-Masajid 649).
Mereka berkata, Seandainya shalat sendiri itu dianggap batal, maka tidak akan ada perbandingan
keutamaan antara shalat sendiri dengan shalat berjamaah, karena tidak logis membandingkan antara
yang sah dengan yang batal.
Mereka berkata, Dalam shahih Muslim dari haditsnya Utsman bin Affan, sesungguhnya Nabi saw
telah bersabda, Barangsiapa yang melakukan shalat Isya dengan berjamaah, maka seakan-akan dia
melakukan shalat setengah malam. Dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seakan-
akan dia shalat sat malam penuh.(Muslim Al-Masajid wa Mawadhi as-Shalah 656).
Mereka berkata, Maka telah diserupakan pelaksanaan shalat berjamaah dengan sesuatu (shalat) yang
bukan wajib, dan hukum yang ada dalam perbuatan yang diserupakan seperti hukum yang ada dalam
perbuatan yang diserupai, atau tanpa adanya penyerupan hukum dengan tujuan sebagai penguat
(takid).
Mereka berkata, Yazid bin Al-Aswad, dia berkata, Saya hadir bersama Nabi Saw dalam suatu
keperluan, kemudian saya shalat Subuh bersama beliau di masjid Khaif (di Mina), setelah selesai
shalat beliau berpaling ke belakang, dan beliau melihat ada dua orang yang tidak melakukan shalat,
di belakang suatu kaum, kemudian beliau memanggil keduanya, dan keduanya menghadap beliau
dalam keadaan gemetar daging rusuknya. Beliu bersabda kepada mereka, Apa yang menghalangi
kamu berdua shalat bersama kami? Mereka menjawab, Kami telah shalat di tempat kami. Beliau
bersabda, Janganlah kamu berbuat demikian. Apabila kamu telah shalat di tempat kamu, kemudian
kamu bertemu imam yang belum shalat, maka hendaklah amu shalat bersamanya, karena yang
demikian itu jadi (shalat) sunnat buatmu. (An-Nasai Al-Imamah 2/112-123, Abu Dawud Al-
Shalat 575, dan At-Turmudzi Shalat 219, dan beliau menganggap hadits tersebut).
Mereka berkata, Seandainya tidak sah shalat yang pertama (shalat dua orang tersebut di atas, yang
dilakukan di tempat tinggalnya), tentu shalat yang kedua tidak akan dianggap sebagai shalat sunnat.
Dari Mahjan bin Al-Adra, dia berkata, Saya datang kepada Rasulullah saw dalam waktu shalat,
kemudian beliau shalat dan saya tidak shalat. Beliau bersabda kepadaku, Apakah kamu tidak
shalat? Saya menjawab, Ya Rasulullah, say telah shalat dalam perjalanan, setelah itu saya datang
kepadamu. Beliau bersabda, Apabila kamu datang, maka shalatlah kamu beserta mereka dan
jadikanlah shalatmu itu sebagai shalat sunnat. (H.R Imam Ahmad). Sebagaimana hadits tersebut
telah dikemukakan sebelumnya.
Dalam satu pokok bahasan telah dikemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Abi Dzar,
dan Abdullah bin Umar. Dalam hadits Ibnu Umar dikatakan, Dari Sulaiman seorang budak yang
dimerdekakan oleh Maimunah, dia berkata, Saya mendatangi Ibnu Umar yang sedang duduk di
ubin, sedangkan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Saya berkata, Apa yang
menghalangi engkau shalat bersama orang-orang? Dia menjawab, Sesungguhnya saya telah
mendengar Rasulullah saw bersabda, Janganlah kalian shalat dua kali dalam satu hari untuk satu
shalat. (Abu Dawud Al-Shalat 579, An-Nasai Al-Imamah 2/114, Ahmad 2/19 dan Ahmad
Syakir telah menshahihkan hadits tersebut 4689. Pengertian yang dimaksud: Mengulangi satu shalat
dengan dua kali berjamaah).
Kelompok yang mewajibkan berjamaah berkata, Keutamaan itu tidak mengharuskan lepasnya
tanggungan (kewajiban) dari segala segi, baik bersifat mutlak atau bersifat membatasi. Karena
keutamaan itu merupakan hasil perbandingan antara yang diunggulkan dengan yang diungguli dari

segala segi. Seperti firman Allah,



Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah

tempat istirahatnya. (Al-Furqan: 24). Dan firman Allah taala,



Katakanlah, Apa (adzab) yang demikian itukah yang baik atau surga yang kekal (Al-Furqan: 15).
Dan masih banyak firman Allah yang semacam itu.
Keberadaan shalat sendiri itu merupakan satu bagian dari dua puluh tujuh bagian dari shalat secara
keseluruhan, yang tidak bisa menggugurkan kefardhuan shalat berjamaah. Dan keberadaan shalat
berjamaah yang dianggap perbuatan sunnat, hanya merupakan satu segi dari beberapa segi yang ada
pada shalat berjamaah. Tujuannya adalah melaksanakan kewajiban keduanya dan diantara keduanya
itu ada keutamaan yang dikandung oleh keduanya. Dua orang laki-laki yang berdiri dalam shaf
(barisan shalat) yang sama dan diantara shalat keduanya itu terdapat yang lebih utama, laksana antara
langit dan bumi.
Dalam beberapa kitab Sunan diungkapkan dari Rasulullah saw, Sesungguhnya seseorang yang
melakukan shalat, maka pahalanya tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya,
seperempatnya, sepertlimanya, sehingga mencapai sepersepuluhnya. (Al-Musnad 4/319 dan 321,
Abu Dawud Al-Shalat 796, An-Nasai dalam kitab Al-Kubra dari Tuhfatul Asyraf 10356 dan Ibnu
Hibban Al-Shalat 1889).
Jika kita menganalisa dua orang yang sama-sama melakukan shalat fardhu, dimana shalat salah
seorang di antara keduanya itu lebih utama dari shalat yang lainnya dengan perbandingan sepuluh
pahala, padahal keduanya sama-sama melakukan shalat fardhu. Begitu juga perumpamaan shalat
sendiri dengan shalat berjamaah.
Lebih jauh Rasulullah saw bersabda, Tidak ada bagian (pahala) dari shalatmu, kecuali apa
yang engkau pikirkan (mengerti) dari shalat itu, apabila seseorang shalat dan dia tidak mengerti dari
shalatnya itu, maka dia hanya mendapatkan satu bagian, dan pahala baginya sesuai dengan ukuran
yang satu bagian itu, walaupun dia terlepas dari beban (kewajiban). Begitu juga dengan shalat yang
dilakukan sendirian, baginya hanya mendapat satu bagian (pahala), walaupun dia terlepas dari
beban (kewajiban) shalat.
Perumpamaan shalat tersebut, oleh pembuat syara (Allah) tidak dinamakan dengan sah. Hal itu hanya
diistilahkan oleh para fuqaha (ahli hukum Islam). Karena keabsahan yang mutlak itu adalah
terciptanya pengaruh dari suatu perbuatan dan tercapainya apa yang dikehendaki. Hal ini telah
meniadakan pengaruhnya yang sangat besar dan tidak tercapainya apa yang dikehendaki secara jelas.
Dengan demikian maka hal itu dianggap jauh sekali dari kebenaran dan kesempurnaan, yaitu dengan
ketentuan terhindarnya dari siksaan, kalaupun perbuatan itu menghasilkan sesuatu berupa pahala,
namun hanya satu bagian. Hal ini semata-mata ucapan orang-orang yang tidak mau menjadikan
berjamaah itu sebagai syarat sah shalat.
Adapun orang-orang yang menjadikan berjamaah itu sebagai syarat sah shalat dan tidak sah
shalatnya seseorang yang tidak berjamaah. Maka jawabannya adalah keutamaan itu ada apabila yang
dibandingkan itu antara dua shalat yang sah. Dan shalat seseorang yagn dilakukan sendirian, hal itu
baru dianggap sah apabila adanya alasan-alasan syari. Adapun apabila tidak ada alasan syari maka
shalatnya dianggap tidak sah. Sebagaimana telah dikatakan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Seandainya mereka menganggapi pernyataan tersebut di atas, mereka akn menampakkan kembali
pertentangannya, dengan mengatakan bahwa, Sesungguhnya orang yang terkena alasan syari, tetap
baginya mendapatkan pahala yang sempurna. Mereka akan menjawab dengan mengatakan,
Sesungguhnya dia itu tidak berhak mendapatkan pahala yang sempurna dari segi perbuatannya
kecuali hanya mendapat satu bagian pahala. Adapun kesempurnaan pahala itu bukan dilihat dari segi
perbuatannya, tetapi dilihat dari segi niatnya. Jika dia terbiasa shalat berjamaah, kemudian dia sakit
atau dipenjara atau sedang berpergian dan dia tidak bisa melakukan berjamaah karena adanya alasan
syari tersebut. Dengan demikian maka sempurnalah pahala baginya. Padahal shalat berjamaah itu
lebih utama dari shalatnya itu apabila dilihat dari segi kedua perbuatan itu.
Mereka berkata, Hal ini sudah pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena nash-nash hadits shahih
sangat jelas sekali, bahwa tidak ada shalat bagi orang yang mendengar seruan adzan, kemudian dia
shalat sendirian. Maka yang dimaksud dengan baginya mendapat satu bagian pahala itu bagi orang
yag melakukan shalat sendiri karena adanya alasan syari?
Mereka berkata, Allah taala mengutamakan orang yang mampu melaksanakan dari orang yang tidak
mampu, walaupun Allah tidak sampai menyiksanya. Hal itu semata-mata karena Allah memberikan
keutamaan itu kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Dalam shahih Bukhari dari Imran bin Hushain, dia berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw
tentang shalat seseorang yang dilakukan dambil duduk. Beliau bersabda, Barangsiapa yang
melakukan shalat sambil berdiri, maka itu lebih utama, dan barangsiapa yang melakukannya sambil
dudu, maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri, dan barangsiapa yang melakukannya
sambil tiduran, maka baginya setengah pahala dari pahala orang yang duduk. (Bukhari
Mengqoshor Shalat 1115).
Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang melakukannya karena adanya alasan-alasan syari. Jika tidak
ada alasan syari, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun. Apabila shalat yang
dilakukannya shalat sunnat, maka dia tidak akan mendapatkan pahala sunnat. Karena tidak pernah
satu hari pun dalam setahun Rasulullah saw dan para sahabat Nabi saw yang nota bene senang
melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan, tidak pernah melakukan hal itu. Oleh karena itu
mayoritas ulama melarang sambil tiduran kecuali bagi orang yang tidak mampu melakukannya sambil
duduk. Sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda kepada Imran, Shalatlah duduk, jika kamu tidak
mampu, maka lakukanlah sambil tiduran. (Bukhari 1117). Imran bin Hushain ini adalah perawi
kedua hadits tersebut dan dia juga yang menanyakan kedua permasalahan tersebut kepada Nabi saw.
Adapun argumentasi kamu yang bertitik tolak dari haditsnya Utsman bin Affan, Barangsiapa yang
shalat Isya dengan berjamaah, maka seakan-akan dia melakukan shalat setengah malam. Termasuk
argumentasi yang cacat. Dan nampak sekali dalil yang bertentangan bagi kamu seperti dalam
gambaran sabda Rasulullah saw, Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan ditambah
dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa setahun penuh. (Muslim
Puasa 1164, At-Turmudzi Puasa 759, Ibnu Hibban Puasa 1716 dan Abu Dawud Puasa 2433
dan lafadz hadits tersebut di atas adalah lafadznya Abu Dawud). Puasa setahun penuh itu bukan wajib.
Telah diserupakan perbuatan (puasa setahun) itu dengan puasa yang wajib. Bahkan yang benar itu
adalah sesungguhnya berpuasa setahun penuh itu hukumnya adalah makruh. Dengan demikian telah
diserupakan puasa yang makruh (puasa setahun penuh) dengan puasa yang wajib (puasa Ramadhan).
Maka tidak dilarang menyerupakan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang disunnatkan dari segi
pelipatgandaan pahala terhadap sesuatu yang wajib yang sedikit sehingga pahala dari perbuatan wajib
yang sedikit itu mencapai (sama) dengan pahala perbuatan sunnat yang banyak.
Begitu juga argumentasimu yan bertitik tolak kepada haditsnya Yazid bin Al-Aswad, Mahjan bin Al-
Adra, Abi Dzar dan Ubadah. Sebenarnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengemukakan
bahwa, Sesungguhnya seseorang telah shalat sendirian, padahal dia mampu melakukan shalat
berjamaah. Seandainya hal itu dikabarkan kepada Nabi saw, maka beliau tidak akan
menetapkannya, dan beliau akan mengingkarinya. Begitu juga Ibnu Umar tidak pernah mengatakan,
Saya shalat sendiri, padahal saya mampu melakukan shalat berjamah.
Dapat kami katakan bahwa Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di saat dia bisa
melakukannya. Dan kami katakan sebagaimana para sahabat Rasulullah saw berkata, Sesungguhnya
tidak ada shalat baginya. Seandainya mereka itu melakukan hal itu, maka harus dilihat dari dua segi.
Pertama, sesungguhnya mereka melakukan shalat berjamaah dengan jamaah lain, di luar jamaah
yang biasa mereka lakukan. Atau hal itu mereka lakukan karena adanya alasan-alasan syari pada saat
datangnya waktu shalat. Barangsiapa yang melakukan shalat sendirian karena ada alasan syari
kemudian alasan syari itu hilang setelah selesai melakukannya (shalat), maka dia tidak perlu
mengulangi shalatnya. Sebagaimana tidak perlu mengulang shalatnya kalau seseorang shalat dan
bersuci (berwudhu)-nya dengan tayamum, atau seseorang yang shalat sambil duduk karena sakit,
kemudian alasan-alasan syari tersebut hilang setelah selesai melakukan shalatnya. Begitu juga tidak
perlu mengulang shalat orang yang melakukan shalat dalam keadaan telanjang dan setelah selesai
shalat dia menemukan penutup aurat.
Mereka berkata, Hukum-hukum syara (agama) telah menunjukan bahwa shalat berjamaah itu
hukumnya fardhu bagi setiap orang. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa segi:
Pertama, sesungguhnya menjama shalat karena alasan tujuan hukumnya jaiz (diperbolehkan), hal ini
semata-mata untuk menjaga berjamaah. Jika bukan ditujukan untuk menjaga berjamaah, maka
sangat mungkin sekali setiap orang yang ada di rumah melakukan shalat dengan sendiri-sendiri.
Seandainya shalat berjamaah itu hukumnya sunnat, maka tidak diperbolehkan meninggalkan yang
wajib, dan mendahulukan shalat (jama taqdim) hanya karena pertimbangan semata-mata.
Kedua, sesungguhnya orang yang sakit yang tidak mampu berdiri dan dalam shalat berjamaah dan
dia mampu berdiri dalam shalat sendirian, maka shalatlah dia dengan berjamaah walaupun tidak
sambil berdiri. Mustahil sekali meninggalkan satu rukun shalat, hanya karena pertimbangan sunnat
semata-mata.
Ketiga, sesungguhnya shalat berjamaah dalam kondisi ketakukan dilakukan dengan cara mafaraqah
(berpisah dari shalatnya) imam dan mereka (si makmum) melakukan beberapa hal (perbuatan) dalam
shalat tersebut dan pada pertengahan shalat si makmum meninggalkan imamnya dalam keadaan
sendiri (sedangkan si makmum menyelesaikan shalatnya). Hal ini dilakukan semata-mata supaya
terlaksananya shalat berjamaah. Padahal sangat memungkinkan sekali seandainya mereka melakukan
shalat secara sendiri-sendiri tanpa harus melakukan berjamaah. Mustahil sekali melakukan hal ini
dan meninggalkan perbuatan yang lainnya hanya semata-mata pertimbangan sunnat semata yang nota
bene perbuatan tersebut terserah mau dikerjakan atau tidak. Dan hanya kepada Allah kita memohon
petunjuk.
Apakah Masjid ditentukan untuk melaksanakan shalat berjamaah atau tidak?
Apakah shalat berjamaah itu boleh dilakukan di rumahnya atau mesti di masjid? Dalam menjawab
permasalahan tersebut pada dasarnya ada dua pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
pertama, shalat berjamaah itu boleh dilakukan di rumah. Pendapat ini dianut oleh madzhab Hanafi
dan madzhab Maliki dan pendapat ini pun merupakan salah satu pendapat yang dianut oleh pengikut
madzhab Syafii.
kedua, shalat berjamaah itu tidak boleh dilakukan di rumah kecuali ada alasan syari.
Adapun pendapat yang ketiga hanya penambah dari pendapat yang pertama yang khusus dianut oleh
pengikut madzhab Syafii. Menurut pendapat yang ketiga adalah shalat berjamaah yang dilakukan di
masjid itu hukumnya fardhu kifayah.
Pendapat yang pertama didasarkan kepada hadits yang berkaitan dengan, Dua orang laki-laki yang
melakukan shalat dalam perjalanan. dimana Nabi saw menganggap shalat berjamaah (yakni shalat
kedua orang setelah selesai melakukan shalat sendirian) sebagai shalat sunnat bagi kedua orang
tersebut, seandainya keduanya ikut serta pada waktu itu mengerjakannya di masjid bersama-sama
dengan Nabi saw. Rasulullah saw tidak mengingkari keabsahan shalat yang dilakukan oleh keduanya
dalam perjalanan. Begitu juga yang dikatakan oleh hadits Mahjan bin Al-Adra dan hadist Abdullah
bin Umar, sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata, Nabi saw adalah sebaik-
baiknya manusia dari segi akhlaknya, terkadang ketika datang waktu shalat beliau masih berada di
rumah kami., kemudian beliau memerintahkan untuk menghamparkan permadan, menyapu bawahnya
dengan mengepelnya, kemudian beliau berdiri dan kami berdiri di belakangnya dan beliau shalat
bersama kami. (Bukhari Al-Shalat 380 dan Muslim Al-Masajid 659).
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata, Rasulullah saw jatuh dari
tempat tidur, maka robek sikut tangannya yang sebelah kanan, kemudian kami masuk ke rumahnya
dengan tujuan menengok beliau, tidak lama kemudian datang waktu shalat, maka beliau shalat
sambil duduk. (Bukhari Al-Adzan 689 dan Muslim Al-Shalat 411).
Dan masih dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar, dia berkata, Saya bertanya kepada
Nabi saw, masjid apa yang pertama kali dibangun di muka bumi ini? Beliau menjawab, Masjidil
Haram, kemudian Masjidil Aqsa, kemudian tempat dimana saja kamu mendapati waktu shalat, maka
shalatlah kamu, karena tempat itu menjadi masjid. (Bukhari Bab Hadits-hadist para Nabi 3425
dan Muslim Al-Shalat 520).
Dalam satu hadits shahih dari Nabi saw, beliau bersabda, Seluruh permukaan bumi yang bersih
bagiku diperbolehkan untuk dijadikan sebagai masjid dan alat bersuci. (Bukhari At-Tayammum
335 dan Muslim Al-Masajid 521).
Pendapat kedua didasarkan kepada beberapa hadits yang menunjukan wajibnya shalat berjamaah
kaerna sesungguhnya perintah mendatangi masjid dalam hadits-hadits tersebut jelas sekali.
Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Ibnu Ummi Maktum, dia berkata, Rasulullah saw datang ke
suatu masjid, beliau melihat kaum sedikit sekali, kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya aku
ingin sekali menyuruh sesorang untuk mengimami orang-orang, kemudian aku pergi keluar dan aku
tidak akan membiarkan orang-orang yang tinggal dalam rumahnya dan tidak datang shalat, kecuali
aku akan membakar rumah mereka dan sekalian dengan mereka. Dan dalam lafadz hadist Abu
Dawud dikatakan, Kemudian aku mendatangi suatu kaum yang melakukan shalat-shalat di rumah-
rumah mereka tanpa alasan (syari), maka akan aku bakar mereka dan rumah-rumah mereka. Ibnu
Ummi Maktum seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah saw, Apakah engkau
mengizinkan aku untuk shalat di rumahku? Rasulullah saw menjawab, Aku tidak akan
mengizinkanmu. Sebagaimana hadits ini telah dikemukakan sebelumnya.
Ibnu Masud berkata, Seandainy kamu shalat di rumah-rumahmu sebagaimana yang dilakukan oleh
orang yang meninggalkan shalat (berjamaah) dan melakukannya di rumah, berarti kamu telah
meninggalkan sunnah (kebiasaan) Nabimu dan jika kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu,
berarti kamu sesat. Sebagaimana hal ini telah dikemukakan sebelumnya.
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, Nabi saw telah mendatangi suatu kaum yang sedang shalat,
beliau bertanya, Apa yang menyebabkan engkau meninggalkan shalat (berjamaah)? Mereka
menjawab, Ada air (banjir) yang menghalangi kami. Beliau bersabda, Tidak ada shalat bagi
orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid. (HR Darul Quthni. Namun hadits ini
dianggap dhaif).
Pengertian tentang hadits tersebut sebagaimana telah dijelaskan dari Ali bin Abi Thalib dan para
sahabat lainnya. Hal ini dapat dilihat kembali dalam dalil kedua belas tentang hukum shalat
berjamaah. Adapun mengenai shah dan tidaknya shalat orang yang meninggalkan shalat (berjamaah
di masjid) dan melakukannya di rumah tanpa alasan syari terdapat dua pendapa, yaitu:
Abul Barakat dalam syarah kitabnya berkata, Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
(berjamaah di masjid) dan melakukan berjamaahnya di rumah, maka shalatnya tidak sah apabila
dilakukan tanpa alasan syari. Hal ini didasarkan kepada pendapat yang dipilih oleh Ibnu Aqil dalam
pembahasan hukum orang yang meninggalkan shalat berjamaah. Dia telah memilih nahyi (larangan)
dan dia memperkuat pendapatnya itu dengan sabda Rasulullah saw, Tidak ada shalat bagi orang
yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid. Karena berdasarkan sabda Rasulullah saw,
Shalat seseorang yang dilakukan dengan berjamaah dilipatgandakan dari shalatnya yang
dilakukan di rumah dan di pasar dengan dua puluh lima kali lipat. Dia menganggap sabda
Rasulullah saw, Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid,
menunjukkan tidak adanya kesempurnaan sama sekali di antara keduana (shalat sendiri dan shalat
berjamaah yang dilakukan di rumah).
Abul Barakat berkata, Riwayat hadits yang pertama yang dipilih oleh teman-teman kami,
menganggap bahwa mendatangi masjid untuk shalat berjamaah itu hukumnya tidak wajib. Pendapat
ini menurut saya jauh sekali dari kebenaran jika melihat segi lahiriah teks hadits, karena shalat
(berjamaah) di masjid itu merupakan syiar dan simbol terbesar agama Islam. Dan meninggalkannya
berarti secara total telah menghancurkan syiar agama tersebut dan menghilangkan pengaruh yang
mendasar dari pelaksanaan shalat yang berdampak pada berbagai tingkah laku. Dengan demikian
maka Abdullah bin Masud telah berkata, Seandainya kamu shalat di rumah-rumahmu, sebagaimana
shalatnya orang yang tidak datang (ke masjid) dan melakukannya di rumahnya, berarti kamu telah
meninggalkan sunanh Nabimu dan jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu berarti kamu telah
sesat.
Abu Barakat berkata, Sessungguhnya pengertian dari riwayat hadits itu hanya Alla yang Maha
Tahu sesungguhnya mengerjakan shalat di rumah diperbolehkan bagi seseorang jika di masjid
sudah ada yang melaksanakannya, maka shalat yang dilakukan di masjid itu hukumnya fardhu
khifayah menurut riwayat ini. Sedangkan menurut riwayat lain hukumnya fardhu ain.
Abu Barakat berkata, Bertitik tolak pada pendapat tersebut, maka boleh menjama dua shalat
disebabkan oleh hujan deras. Seandainya yang diwajibkan itu hanya berjamaah semata, tanpa harus
mengerjakannya di masjid, maka tidak akan diperbolehkan menjama shalat hanya karena alasan
hujan deras. Karena kebanyakan orang pada umumnya mampu melaksanakan shalat berjamaah di
rumahnya masing-masing. Karena setiap orang pada umumnya memiliki istri, anak, pembantu, teman
atau lainnya, maka sangat memungkinkan sekali untuk melaksanakan shalat berjamaah. Bertitik tolak
pada hadits, maka ketika diperbolehkan menjama shalat, tidak diperbolehkannya meninggalkan
persyaratannya yaitu waktu shalat. Jadi menurut pendapat ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
shalat berjamaah itu hukumnya fardhu, baik fardhu kifayah maupun fardhu ain.
Barangsiapa yang betul-betul ingin mengamalkan hadits, jelaslah baginya bahwa melaksanakan shalat
di masjid itu hukumnya fardhu ain, kecuali apabila ada hal-hal yang membolehkannya untuk
meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Tidak mendatangi masjid tanpa adanya alasan
syari, sama hukumnya dengan meninggalkan berjamaah tanpa adanya alasan syari. Pendapat ini
sesuai dengan semua hadits dan atsar (pendapat para sahabat Nabi saw).
Ketika Rasulullah saw wafat dan berita kewafatannya itu sampai kepada penduduk Mekah. Suhail bin
Amar menasehati mereka dan Atab bin Asyad pegawai (staf) Suhail pergi ke Mekah dengan penuh
ketakutan dari penduduk Mekah. Kemudian Suhail mengajaknya keluar , dan menganjurkan
penduduk Mekah aga tetap berpegang teguh agama Islam. Suhail menasehati mereka yang kemudia
dilanjutkan oleh Atab bin Asyad, dia berkata, Wahai penduduk Mekah, demi Allah seandainya
sampai kepadaku ada di antara kamu yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid, maka akan aku
penggal lehernya. Para sahabat Rasulullah saw berterima kasih kepda Atab atas tindakannya itu, dan
bertambah tinggi penghormatan para sahabat kepadanya.
Orang yang berpegang teguh kepada agama Allah akan berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi
seseorang meninggalkan shalat berjamaah di masjid, kecuali apabila ada alasana syari. Hanya Allah
yang mengetahui kebenarannya.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Ini adalah akhir kutipan atau salinan dari buku terjemahan dg judul Rahasia Shalat karya Ibnul
Qoyyim Al Jauziyah

Berikut artikel tambahan tentang kenikmatan orang yang rajin shalat berjamaah di Masjid, terutama
ketika mendatangi shalat Isya dan Subuh di malam hari, orang tersebut berjalan dalam kegelapan
malam. Maka Allah akan memberikannya cahaya yang sempurna pada hari kiamat ketika mereka
menyebrangi gelapnya jembatan shirat yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang ketika
menuju Surga sedangkan di bawahnya adalah Neraka.
Artikel tersebut diambil dari tulisan Ust. Ihsan Tanjung dari Eramuslim.com, di-artikel tersebut ada
bahasan di Al Quran surat Al-Hadid ayat 12-16 yang menceritakan peristiwa di atas jembatan shirat.
Dimana orang mumin membawa cahaya, dan orang munafik kehilangan cahaya di atas jembatan
shirat tersebut, sehingga memanggil-manggil orang mumin agar memberikan sebagaian cahayanya.
Dibagian ini saya sisipkan Murrotal ayat tersebut yang dibawakan oleh Salma Utaybi, amat syahdu,
mengerikan, menggetarkan hati, dihayati, ada ilustrasi yang pas di video tersebut yang diambil dari
youtube.com.
Amal Perbuatan Yang Memudahkan Mukmin Menyeberangi Jembatan Neraka
http://www.eramuslim.com/suara-langit/kehidupan-sejati/amal-perbuatan-yang-memudahkan-
mukmin-menyeberangi-jembatan-neraka.htm
Sebagaimana sudah kita ketahui setiap Ahli Tauhid sebelum berhak mencapai pintu gerbang surga
diharuskan melewati ujian berat yaitu menyeberangi jembatan yang membentang di atas Neraka
Jahannam. Nabi shollallahu alaih wa sallam melukiskan jembatan itu sebagai lebih tipis dari sehelai
rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang. Ada mereka yang sukses menyeberanginya, ada yang
sukses namun terluka kena sabetan duri-duri dan besi-besi kait yang merobek sebagian anggota
tubuhnya sementara ada yang gagal sehingga terjatuh dan terjerembab dengan wajahnya terlebih
dahulu masuk ke dalam api menyala-nyala Neraka Jahannam.








Dan Neraka Jahannam itu memiliki jembatan yang lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari
pedang. Di atasnya ada besi-besi yang berpengait dan duri-duri yang mengambil siapa saja yang
dikehendaki Allah. Dan manusia di atas jembatan itu ada yang (melintas) laksana kedipan mata, ada
yang laksana kilat dan ada yang laksana angin, ada yang laksana kuda yang berlari kencang dan
ada yang laksana onta berjalan. Dan para malaikat berkata: Rabbi sallim. Rabbi sallim. ( Ya
Allah, selamatkanlah. Selamatkanlah.) Maka ada yang selamat, ada yang tercabik-cabik lalu
diselamatkan dan juga ada yang digulung dalam neraka di atas wajahnya. (HR Ahmad 23649)
Setiap orang yang mengaku beriman sudah barang tentu berharap dirinya masuk ke dalam golongan
mereka yang selamat menyeberanginya sehingga berhak masuk Surga dan dijauhkan dari azab api
neraka. Namun pertanyaannya ialah bagaimana hal itu bisa tercapai? Apa syarat-syarat agar seorang
Mukmin berhak menikmati kesuksesan tersebut? Sebenarnya dalam hadits lain Nabi shollallahu
alaih wa sallam telah mengisyaratkan sebagian jawabannya.










Allah akan memanggil umat manusia di akhirat nanti dengan nama-nama mereka ada tirai
penghalang dari-Nya. Adapun di atas jembatan Allah memberikan cahaya kepada setiap orang
beriman dan orang munafiq. Bila mereka telah berada di tengah jembatan, Allah-pun segera
merampas cahaya orang-orang munafiq. Mereka menyeru kepada orang-orang beriman: Tunggulah
kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kamu. (QS Al-Hadid ayat 13) Dan
berdoalah orang-orang beriman: Ya Rabb kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami.(QS At-
Tahrim ayat 8) Ketika itulah setiap orang tidak akan ingat orang lain. (HR Thabrani 11079)
Di antara solusinya ialah seorang mukmin mesti mengupayakan agar dirinya kelak memiliki cukup
cahaya agar mampu menyeberangi kegelapan dan panasnya neraka. Sebab pada saat akan
menyeberangi jembatan tersebut setiap orang dibekali Allah cahaya agar mampu melihat jalan yang
sedang ditelusurinya di atas jembatan tersebut. Dan bila ia termasuk mukmin sejati cahaya yang
diterimanya itu akan setia menemani dan menyinari dirinya sepanjang penyeberangan itu hingga
sampai ke ujung menjelang pintu surga. Namun jika ia termasuk orang yang imannya bermasalah
lantaran begitu banyak dosanya, apalagi kalau ia termasuk orang munafik, maka di tengah perjalanan
menyeberangi jembatan Allah tiba-tiba padamkan cahaya yang menemaninya sehingga ia dibiarkan
dalam kegelapan dan akibatnya ia menjadi tersesat dan terjatuh ke dalam api neraka.
Begitu cahaya orang-orang munafik itu mendadak dipadamkan Allah, maka mereka akan berteriak
panik dan memohon kepada orang-orang beriman sejati agar dibagi sebagian cahaya yang setia
menemani mukmin sejati itu. Sungguh gambaran mengerikan yang dengan jelas diuraikan Allah di
dalam ayat-ayat berikut ini:



















Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-
gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak, (yaitu)
pada hari ketika kamu melihat orang mumin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): Pada hari ini ada
berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di
dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: Tunggulah kami supaya kami dapat
mengambil sebahagian dari cahayamu. Dikatakan (kepada mereka): Kembalilah kamu ke
belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu). Lalu diadakan di antara mereka dinding yang
mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.
Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mumin) seraya berkata: Bukankah kami
dahulu bersama-sama dengan kamu? Mereka menjawab: Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu
sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong
sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat
penipu. Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir.
Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat
kembali. (QS Al-Hadid ayat 11-15)
Lalu apakah amal perbuatan yang akan menyebabkan seorang mukmin memiliki cukup cahaya untuk
sukses menyeberangi jembatan itu? Ternyata, di antaranya ialah kesungguhan seorang mukmin untuk
bertaubat dari dosa-dosa yang selama ini dia kerjakan. Inilah yang disebut dengan aktifitas Taubatan
Nasuhan (Taubat Yang Murni). Taubatan Nasuha inilah yang akan menyebebkan seorang mukmin
memperoleh cahaya yang disempurnakan untuk sukses menyeberangi jambatan Neraka. Bukan
taubat musiman alias taubat yang tidak menyebabkan seseorang benar-benar meninggalkan perbuatan
dosa yang dilakukannya. Perhatikanlah ayat Allah berikut ini:




Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan Taubatan Nasuhan (taubat
yang semurni-murninya), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika
Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: Ya Tuhan
kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (QS At-Tahrim ayat 8 )
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Masud, dari Nabi shollallahu alaih wa sallam, beliau bersabda:
Shirath itu setajam pedang dan sangat menggelincirkan. Beliau melanjutkan: Lalu mereka
melintas sesuai dengan cahaya yang mereka miliki. Maka di antara mereka ada yang melintas
secepat meteor, ada pula yang melintas secepat kedipan mata, ada pula yang melintas secepat angin,
ada pula yang melintas seperti orang berlari, dan ada pula yang berjalan dengan cepat. Mereka
melintas sesuai amal perbuatan mereka, hingga tibalah saat orang yang cahayanya ada di jari
jempol kedua kakinya melintas, satu tangannya jatuh, dan satu tangannya lagi menggantung, satu
kakinya jatuh dan satu kakinya lagi menggantung, kedua sisinya terkena api neraka.
Kedua, seorang Mukmin akan dijamin memiliki cukup cahaya saat menyeberangi jembatan di atas
Neraka jika ia rajin berjalan ke masjid dalam kegelapan untuk menegakkan sholat wajibnya semata
ingin meraih keridhaan Allah. Nabi bersabda:


Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan menuju masjid-masjid dalam kegelapan
dengan cahaya yang sempurna pada hari Kiamat. (HR Ibnu Majah 773)
Nabi shollallahu alaih wa sallam seringkali ketika berjalan menuju ke masjid berdoa dengan doa
sebagai berikut:



Ya Allah jadikanlah cahaya dalam hatiku, dalam penglihatanku, dalam pendengaranku, di sebelah
kananku, di sebelah kiriku, di sebelah atasku, di sebelah bawahku, di depanku, di belakangku dan
jadikanlah aku bercahaya. (HR Bukhary 5841)
Ketiga, seorang Mukmin akan sukses menyeberangi jembatan neraka bila ia melindungi sesama
mukmin dari kejahatan orang Munafik. Dan sebaliknya barangsiapa yang mengucapkan perkataan
buruk untuk mencemarkan seorang Muslim, maka Allah akan menghukumnya dalam bentuk ia
ditahan di atas jembatan neraka hingga dosa ucapannya menjadi bersih.





Barangsiapa melindungi seorang Mukmin dari kejahatan orang Munafik, Allah akan mengutus
malaikat untuk melindungi daging orang itu pada hari Kiamat- dari neraka jahannam. Barangsiapa
menuduh seorang Muslim dengan tujuan ingin mencemarkannya, maka Allah akan menahannya di
atas jembatan neraka jahannam hingga orang itu dibersihkan dari dosa perkataan buruknya. (HR
Abu Dawud 4239)
Saudaraku, sungguh kita semua sangat membutuhkan cahaya yang
mencukupi untuk menyeberangi jembatan neraka dengan selamat.
Semoga Allah masukkan kita bersama ke dalam golongan Mukmin
sejati. Semoga Allah bersihkan hati kita bersama dari penyakit
kemunafikan. Sebab kemunafikan akan menyebabkan cahaya
seseorang tiba-tiba padam saat menyeberangi jembatan neraka
sehingga ia menjadi tergelincir lalu jatuh ke dalam api neraka yang
menyala-nyala. Naudzubillahi min dzalika!


Ya Allah, bersihkanlah hati kami dari kemunafikan, dan amal perbuatan kami dari riya dan lisan
kami dari dusta serta pandangan mata kami dari khianat. Sesungguhnya Engkau Maha Tahu khianat
pandangan mata dan apa yang disembunyikan hati.
-
Berikut Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir At-Taubah Ayat 18 tentang Para Pemakmur Masjid sebagai
berikut:




Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun)
selain kepada Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. At Tawbah: 18)
Allah Taala mempersaksikan keimanan para pemakmur masjid, sebagaimana Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, Jika kamu melihat
seseorang yang biasa ke masjid, maka persaksikanlah dia dengan keimanan. (HR. Ahmad)
Hadist senada diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Marwadih, dan al-Hakim di dalam Mustadraknya. Al-
Hafid Abud Bakar al-Bazar meriwayatkan dari Tsabit bin Anas, dia berkata, Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya para pemakmur masjid itu hanyalah ahli Allah. (HR. Tirmidzi)
Semua kata Asa (Mudah-mudahan) di dalam Al Quran berarti wajib. Ibnu Ishak berkata, Kata Asa
(mudah-mudahan) dari Allah berarti benar.
-
Silahkan melihat tulisan mengeanai Bermegahan dalam Membangun Masjid, Menjadikannya Tempat
Jalan-Jalan dan Sedikitnya yang Shalat Berjamaah di dalamnya pada Akhir Zaman di
https://rezakahar.wordpress.com/2009/10/04/bermegahan-dalam-membangun-masjid-dan-
menjadikannya-tempat-jalan-jalan-di-akhir-zaman/
-
Referensi:
1. Al Jauziyah, Ibnul Qoyyim. Kitabush-shalah wa hukmu tarikiha, Terjemahan Bahasa Indonesia:
Rahasia dibalik Shalat. Hal: 119-150. Jakarta: Pustaka Azzam, Cetakan Kesembilan Agustus 2005.
2. http://www.eramuslim.com/suara-langit/kehidupan-sejati/amal-perbuatan-yang-memudahkan-
mukmin-menyeberangi-jembatan-neraka.htm
3. Ibnu Katsir. Terjemahan Bahasa Indonesia: Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Hal: 575-576. Cetakan kesembilan. Juli 2006. Penerbit GIP Jakarta.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Tulisan di bawah ini diambil dari http://www.fimadani.com/shalat-wajib-tapi-bermakmum-pada-
imam-yang-shalat-sunnah-dan-sebaliknya/
Biasanya sehabis shalat berjamaah di masjid atau di mushala, para Jamaah tidak langsung pulang atau
meninggalkan masjid. Tetapi hampir dari semua Jamaah melakukan shalat sunnah Rowatib Badiyah
di dalam masjid. Walaupun mereka tahu bahwa afdhalnya shalat sunnah itu dirumah, tetapi
kebanyakan dari Jamaah shalat di masjid beralasan. Biar ngga lupa lagi, ntar malah kaga shalat
sunnah, begitu kata mereka.
Dan karena para Jamaah yang shalat sunnah di masjid dengan tempat yang menyebar, ini akhirnya
membuat bingung Jamaah masbuq yang ingin shalat wajib yang baru masuk masjid. Mereka bingung
apakah para Jamaah ini sedang shalat sunnah atau shalat wajib. Ketika salah seorang dari mereka
mengikuti shalatnya Jamaah yang sedang shalat wajib, salah seorang yang beada disampingnya
menegur, dia lagi sunnah, mas!
Isyaratnya seakan melarang kita untuk shalat wajib dibelakang orang yang sedang shalat sunnah.
Tentu peristiwa seperti ini sering terjadi, dan mungkin anda juga sering mendapatinya. Tapi yang jadi
pertanyaan ialah Benarkah Dilarang atau Tidak Sah Shalat Wajib tetapi bermakmum kepada Orang
Yang Shalat Sunnah?
Ini masalah yang kita bahas dalam artikel yang anda baca ini. Bolehkah shalat fardhu bermakmum
kepada yang shalat sunnah? Atau sebaliknya, shalat sunnah tetapi Imamnya shalat fardhu?
Masalah semacam ini, bertumpu pada persoalan Niat. Tepatnya perbedaan niat antara makmum dan
Imam, apakah itu dibolehkan atau tidak, yakni sang Imam dan sang makmum harus memiliki niat
yang sama?
Memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh ulama. Artinya dalam
kebolehan berbedanya niat Imam dan Makmum adalah perkara yang ulama berbeda pendapat
didalamnya.
Dalam jajaran 4 Imam Mazhab; 2 diantaranya membolehkan perbedaan niat antara imam dan
Makmum, yaitu imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik melarangnya. (Al-Majmu, Jil 4 Hal 272)
Dan pendapat yang membolehkan itu yang banyak diambil oleh kebanyakan ulama. Dalilnya ialah
hadits masyhur Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari riwayat Umar bin Khathab radhiyallahu
Anhu,



Sesungguhnya bagi setiap orang itu apa yang ia niatkan (HR Al Bukhari dan Muslim)
Haditsnya jelas menerangkan bahwa bagi setiap seseorang itu apa yang diniatkannya. Begitu juga
dengan Imam dan makmum, mereka mendapatkan apa yang mereka niatkan masing-masing. Dan
tidak ada kaitannya antara niat Imam dan makmum. (Al-Muhalla/Ibnu Hazm, Jil 4 Hal 223)
Dan ada beberapa dalil lainnya yang menguatkan pendapat ini, yakni pendapat bahwa bolehnya
perbedaan niat antara Imam dan makmum, yang akan kami tampilkan dalam penjelasan dibawah
nanti.
Sedangkan hadits :

Sesungguhnya Imam (dalam shalat) itu untuk diikuti, maka janganlah kalian berbeda dengan
Imam.. (HR Bukhari dan Muslim).
Maksud larangan berbeda dalam hadits ini ialah larangan berbeda dalam gerakan-gerakan badan
dalam shalat, bukan larangan untuk berbeda niat. Dan ini dikuatkan oleh terusan redaksi hadits itu
sendiri yang berbunyi:
Jika ia (Imam) Ruku, maka ruku lah, dan jika ia berdiri maka berdiri lah, dan jika ia sujud maka
sujudlah,.
Jelas tidak ada kaitannya antara gerakan dengan niat dari masing-masing imam atau makmum itu
sendiri. Terlebih lagi bahwa jumhur ulama membolehkan bagi siapa yang melaksanakan shalat sunnah
di belakang imam yang sedang shalat fardhu.
Contoh-contoh shalat dimana sang makmum berbeda niat dengan niat Imam:
Pertama:
Shalat Sunnah dibelakang Imam Shalat Wajib
Yaitu seseorang yang melakukan shalat sunnah tetapi bermakmum kepada Imam yang sedang
melakukan shalat fardhu. Shalat semacam ini dibolehkan oleh jumhur ulama dari 4 Imam Mazhab
bahkan, berdasarkan beberapa dalil:
Dalil pertama
Hadits Yazid bin Al-Aswad yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika itu
sedang dalam hajinya. Dan pada waktu shubuh Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam beserta para
sahabat melaksanakan shalat Subuh di Masjid Khaif. Setelah melakukan shalat, Nabi melihat ada dua
orang yang hanya berdiri di depan masjid tanpa mengikuti shalat berjamaah.
Lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar 2 orang tadi dihadapkan kepada beliau
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah menghadap Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya:
Apa yang menyebabkan kalian tidak ikut berjamaah dengan kami?. Salah satu dari 2 orang itu
menjawab: Kami telah melaksanakan shalat dirumah kami, wahai Rasul!.
Kemudian Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab:


Jangan kau seperti itu lagi! Jika kalian telah shalat dirumah kalian masing-masing kemudian kalian
mendatangi masjid dan melihat ada shalat Jamaah, shalatlah kalian bersama mereka! (HR Tirmidzi
dan Nasai)
Hadits diatas jelas sekali menunjukkan bahwa shalat yang dilakukan itu ialah bukan shalat wajib
karena telah dilakukan sebelumnya, akan tetapi itu menjadi shalat sunnah. Dan rasul Shallallahu
Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka ikut kembali shalat berjamaah, itu berarti boleh shalat
Sunnah dibelakang Imam yang shalat fardhu.
Dalil Kedua:
Hadits Abu Dzar ra yang beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
tentangbagaimana jika ia harus mengikuti pemimpin yang sering mengakhirkan shalat fardhu.
Kemudian Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab:



Shalatlah (shalat fardhu) tepat pada waktunya! Dan jika kau harus ikut shalat bersama pemimpinmu
(yang mengakhirkan shalat), maka shalatlah bersama mereka! Sesungguhnya itu menjadi Sunnah
untukmu (HR Muslim)
Kedua:
Shalat Wajib dibelakang Imam Shalat Sunnah
Contoh yang paling sering ialah seperti yang telah disebutkan dipembukaan artikel ini. Dan juga yang
apling sering ialah ketika harus melakukan shalat Isya sedangkan Imam beserta Jamaah lainnya
sedang melakukan shalat taraweh. Apakah bisa dan boleh melakukan shalat wajib tapi bermakmum
kepada Imam yang sedang shalat sunnah?
Shalat model semacam ini dibolehkan menurut kebanyakan Ulama, seperti penjelasan diatas tadi
berdasarkan beberapa dalil, dinataranya:
Dalil Pertama:
Hadits Jabir ra yang menyebutkan bahwa Muadz bin jabal ra pernah melaksanakan shalat isya
berjamaah bersma Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam beserta sahabat. Kemudian ia
pulang menemui kaumnya dan menjadi Imam shalat yang sama yaitu shalat isya untuk kaumnya
tersebut. (HR Muslim)
Dan Imam Nawawi menyebutkan riwayat tambahan dari hadits ini yang diriwayatkan oleh Imam
Syafii, bahwa perkara tersebut dilaporkan kepada Nabi SAW, dan Nabi tidak mengingkarinya. (Al-
majmu jil 4 hal 272)
Dalil Kedua:
Hadits Abu Bakroh ra tentang salah satu cara lain shalat Khauf yang dilakukan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Disebutkan: bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat zuhur
dalam keadaan khauf (peperangan), kemudian para sahabat membagi barisan menjadi 2 kelompok.
Satu kelompok shalat bersama Rasul dan yang lain berjaga-jaga.
Nabi melaksanakan shalat bersama Kelompok pertama sebanyak 2 rokaat kemudian salam. Lalu
masuklah kelompok yang tadi berjaga-jaga untuk shalat bersama Rasul SAW. Berjamaah 2 rokaat
kemudian salam. (HR Abu Daud)
Imam Sayfii dalam Kitabnya Al-Umm menyebutkan bahwa: 2 rokaat terakhir Nabi adalah sunnah
dan yang pertama wajib. Jadi kelompok kedua yang shalat bersama Nabi itu shalat wajib sedangkan
Imam mereka yakni Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melaksanakan Shalat Sunnah. (Al-Umm, jil 1
hal 173)
Kesimpulan:
Kesimpulannya bahwa perbedaan niat antara Imam dan makmum tidak membuat shalatnya terganggu
atau batal, baik Imam ataupu makmum sah-sah saja shalat dengan niat yang berbeda. Jadi tidak ada
masalah jika kita shalat fardhu tetapi bermakmum kepada orang yang sedang shalat sunnah, seperti
shalat isya bermakmum dengan Imam tarawih. Atau juga sebaliknya, shalat Sunnah tetapi
bermakmum kepda Imam shalat Fardhu.
Wallahu Alam
Adapun tentang boleh atau tidaknya shalat fardhu tetapi bermakmum dengan imam yang shalat fardhu
juga tetapi berbeda. Seperti shalat Fardhu zuhur dibelakang Imam shalat fardhu Ashar. Atau juga
shalat qoshar dibelakang Imam shalat Muqim, atau sebaliknya. Masalah ini akan ada pembahasannya
di tulisan dan artikel yang akan datang.
Insya Allah!
Ustadz Zarkasih Ahmad, S. Sy
===================================================
Sholat Berjamaah dengan Shaf yang Lurus dan Rapat di Masjid sangat penting bagi Persatuan dan
Kesatuan Umat Islam.
Umat Islam saat ini sekitar 1,7 Miliar, atau dari 4 orang di dunia ini maka salah satunya adalah orang
Islam. Akan tetapi sesuai yang disampaikan oleh Rasulullah saw bahwa Umat Islam saat ini banyak
tapi kualitasnya bagaikan buih, bagaikan makanan yang sedang diperebutkan. Salah satu indikator
kualitas dan persatuan umat Islam tertinggi adalah seluruh lelaki melakukan shalat lima waktu
berjamaah di Masjid, dimana shalat subuh, zhuhr, asar, maghrib, isya, shalat jumat, sama ramainya,
dengan syarat shalat tersebut shafnya rapat dan lurus. Jika tidak lurus maka hati-hati kaum muslimin
akan berselisih. Jika tidak rapat maka antara kaum muslimin diisi oleh syetan. Itu pun jika kaum
muslim sudah sholat bareng di dalam Masjid. Bagaimana jika kaum muslimin shalat sendiri-sendiri di
rumah atau tempat kerja masing-masing, tentu makin tidak lurus shaf-nya dan makin tidak rapat
shaf-nya. Sehingga akhirnya jika kurang dari 3 orang yang tidak shalat berjamaah, berarti
wilayahnya sudah dijajah oleh syetan.
1. Jika shaf sholat berjamaah rapat tapi tidak lurus, maka akibatnya akan ada perselisihan di hati kaum
muslimin
Dari sahabat Numan bin Basyir -radhiyallahu anhu-berkata:
.



! :
Dulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau
meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah
memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir
bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka
beliau bersabda, [Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau
Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.[HR.Muslim dalam Shohih-nya(436)]
Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan,
2. Jika shafnya tidak rapat maka akan diisi oleh syetan




Luruskan shaf, rapatkan pundak, dan tutup celah, perlunak pundak kalian untuk saudaranya, dan
jangan tinggalkan celah untuk setan. (HR. Abu Daud 666 dan dishahihkan al-Albani)
3. Jika yang shalat berjamaah kurang dari 3 orang, maka wilayah tersebut dijajah oleh Syetan
Dari haditsnya Abi Darda, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, Tiada terdapat tiga orang
berkumpul di kampung yang tidak dikumandangkan adzan dan tidak didirikan shalat berjamaah,
melainkan mereka telah dijajah oleh Syaithan, maka kerjakanlah olehmu shalat berjamaah, karena
serigala itu hanya dapat menerkam binatang (kambing) yang terpisah jauh dari kawan-kawannya.
(Abu Dawud Bab Shalat 574, Imam Ahmad 5/196, dan An-Nasai Bab Imamah 2/106-107).
4. Bagaikan buih
Dalam hadits dari Tsauban radhiyallahu anhu maula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika
beliau berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Hampir terjadi keadaan yang mana ummat-ummat lain akan mengerumuni kalian bagai orang-orang
yang makan mengerumuni makanannya.
Salah seorang sahabat berkata; Apakah karena sedikitnya kami ketika itu?
Nabi berkata: Bahkan, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai ghutsa (buih kotor
yang terbawa air saat banjir). Pasti Allah akan cabut rasa segan yang ada didalam dada-dada musuh
kalian, kemudian Allah campakkan kepada kalian rasa wahn.
Kata para sahabat: Wahai Rasulullah, apa Wahn itu?
Beliau bersabda: Cinta dunia dan takut mati.
(HR Abu Daud no. 4297, Ahmad 5/278, Abu Nuaim dalam At Hilyah l /182 dengan dua jalan dan
dengan keduanya hadits ini menjadi shohih)
Memang ada ikhtilaf ulama apakah Wajib Ain bagi laki-laki hukumnya shalat berjamaah di masjid
atau hukumnya sunnah saja. Akan tetapi pendapat terkuat hukumnya wajib. Dengan beberapa alasan
berikut:

1. Allah yang langsung memerintahkan dalam al-Quran agar shalat berjamaah.


Allah Taala berfirman,



Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku. (Al-
Baqarah: 43)
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

} {

makna firman Allah rukulah beserta orang-orang yang ruku, faidahnya yaitu tidaklah dilakukan
kecuali bersama jamaah yang shalat dan bersama-sama.[1]

2. saat-saat perang berkecamuk, tetap diperintahkan shalat berjamaah. Maka apalagi suasana aman
dan tentram. Dan ini perintah langsung dari Allah dalam al-Quran
Allah Taala berfirman,











Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu
dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah
menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka
denganmu. (An-Nisa 102)
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

: .

pada perintah Allah untuk tetap menegakkan shalat jamaah ketika takut (perang) adalah dalil
bahwa shalat berjamaah ketika kondisi aman lebih wajib lagi.[2]

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan,





Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan
hanya sunnah atau fardhu kifayah, Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh
adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban
berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama dan Allah tidak
memberi keringanan bagi mereka untuk meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ketakutan
(perang).[3]

3.Orang buta yang tidak ada penuntut ke masjid tetap di perintahkan shalat berjamaah ke masjid jika
mendengar adzan, maka bagaimana yang matanya sehat?
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata,









Seorang buta pernah menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berujar, Wahai Rasulullah,
saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Lalu dia meminta keringanan
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk shalat di rumah, maka beliaupun memberikan
keringanan kepadanya. Ketika orang itu beranjak pulang, beliau kembali bertanya, Apakah engkau
mendengar panggilan shalat (azan)? laki-laki itu menjawab, Ia. Beliau bersabda, Penuhilah
seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).[4]
Dalam hadits yang lain yaitu, Ibnu Ummi Maktum (ia buta matanya). Dia berkata,


- - .



.

Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda, Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya alash sholah, hayya alal
falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut.[5]

4.wajib shalat berjamaah di masjid jika mendengar adzan


Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,



Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya,
kecuali bila ada uzur. [6]

5.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan ancaman kepada laki-laki yang tidak shalat
berjamaah di masjid dengan membakar rumah mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,









Shalat yang dirasakan paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat
subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun
dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan,
kemudian kusuruh seseorang mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa
kayu bakar mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah-rumah
mereka.[7]
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,



keinginan beliau (membakar rumah) orang yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid merupakan
dalil yang sangat jelas akan wajib ainnya shalat berjamaah di masjid[8]
6.tidak shalat berjamaah di masjid di anggap munafik oleh para sahabat.
Dari Abdullah bin Masud radhiallahu anhu dia berkata:

Menurut pendapat kami (para sahabat), tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah,
melainkan dia seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari
kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.[9]

7.shalat berjamaah mendapat pahala lebih banyak


Dalam satu riwayat 27 kali lebih banyak
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,



Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.[10]
diriwayat yang lain 25 kali lebih banyak:
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,




Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 25 derajat.[11]
Banyak kompromi hadits mengenai perbedaan jumlah bilangan ini. Salah satunya adalah mafhum
adad yaitu penyebutan bilangan tidak membatasi.

8.keutamaan shalat berjamaah yang banyak


Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,





Barang siapa shalat isya dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Barang
siapa shalat isya dan subuh dengan berjamaah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.[12]

9. tidak shalat berjamaah akan dikuasai oleh setan


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,





Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan
mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah,
karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-
kawannya).[13]

10.amal yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika baik maka seluruh amal baik dan sebaliknya,
apakah kita pilih shalat yang sekedarnya saja atau meraih pahala tinggi dengan shalat berjamaah?
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,












Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat
adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih
mengetahui, Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang? Sekiranya
sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka
Allah berfirman, Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jikalau
terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat
wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya. Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab
dengan cara demikian.[14]

Khusus bagi yang mengaku mazhab Syafii (mayoritas di Indonesia), maka Imam Syafii mewajibkan
shalat berjamaah dan tidak memberi keringanan (rukshah).
Imam Asy Syafii rahimahullah berkata,


Adapun shalat jamaah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk
meninggalkannya kecuali bila ada udzur.[15]
Berikut ini beberapa keutamaan shalat berjamaah di masjid.
1. Memenuhi panggilan azan dengan niat untuk melaksanakan shalat berjamaah.
2. Bersegera untuk shalat di awal waktu.
3. Berjalan menuju ke masjid dengan tenang (tidak tergesa-gesa).
4. Masuk ke masjid sambil berdoa.
5. Shalat tahiyyatul masjid ketika masuk masjid. Semua ini dilakukan dengan niat untuk melakukan
shalat berjamaah.
6. Menunggu jamaah (yang lain).
7. Doa malaikat dan permohonan ampun untuknya.
8. Persaksian malaikat untuknya.
9. Memenuhi panggilan iqamat.
10. Terjaga dari gangguan setan karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
11. Berdiri menunggu takbirnya imam.
12. Mendapati takbiratul ihram.
13. Merapikan shaf dan menutup celah (bagi setan).
1 4 . Menjawab imam saat mengucapkan samiallah.
15. Secara umum terjaga dari kelupaan.
16. Akan memperoleh kekhusyukan dan selamat dari kelalaian.
17. Memosisikan keadaan yang bagus.
18. Mendapatkan naungan malaikat.
19. Melatih untuk memperbaiki bacaan al-Quran.
20. Menampakkan syiar Islam.
21. Membuat marah (merendahkan) setan dengan berjamaah di atas ibadah, saling taawun di atas
ketaatan, dan menumbuhkan rasa giat bagi orangorang yang malas.
22. Terjaga dari sifat munafik.
23. Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berjamaah atas doa dan zikir serta kembalinya berkah orang yang
mulia kepada orang yang lebih rendah.
25. Terwujudnya persatuan dan persahabatan antartetangga dan terwujudnya pertemuan setiap waktu
shalat.
26. Diam dan mendengarkan dengan saksama bacaan imam serta mengucapkan amiin saat imam
membaca amiin, agar bertepatan dengan ucapan amin para malaikat.[16]
Wajibkah Shalat Lima Waktu Berjamaah ?
Penulis webadmin -
March 30, 2005
0
3993
Share ke Facebook
Tweet on Twitter

Shalat berjamaah adalah termasuk dari sunnah (yaitu jalan dan petunjuknya) Rasulullah dan
para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah
meninggalkannya kecuali jika ada udzur yang syari.

Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjamaah di masjid
dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para
shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk
melaksanakan shalat berjamaah di masjid.

Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta
pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut
menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjamaah di masjid.

Diantara dalil-dalil tersebut adalah:


1. Perintah Allah Taala untuk Ruku bersama orang-orang yang Ruku
Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah adalah firman Allah Taala: Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta rukulah bersama orang-orang yang ruku. (Al-
Baqarah:43).

Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya


melaksanakan shalat berjamaah: Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya: Dan
rukulah bersama orang-orang yang ruku. (Al-Baqarah:43).

Allah Taala memerintahkan ruku bersama-sama orang-orang yang ruku, yang demikian itu
dengan bergabung dalam ruku maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjamaah.
Mutlaknya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya. (Bada`iush-shana`i fi
Tartibisy-Syara`i 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).

2. Perintah melaksanakan Shalat berjamaah dalam keadaan takut

Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjamaah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah
telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman: Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-
sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan
menyandang senjata. (An-Nisa`:102).

Maka apabila Allah Taala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjamaah
dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya).
Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: Ketika Allah memerintahkan shalat
berjamaah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi. (Al-
Ausath fis Sunan Wal Ijma Wal Ikhtilaf 4/135; Maalimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160
dan Al-Mughniy 3/5).

3. Perintah Nabi untuk melaksanakan shalat berjamaah

Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi
Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari,
dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka
ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda: Kembalilah
kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah
datang waktu shalat hendaklah salah seorang diantara kalian adzan dan hendaklah orang yang
paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya)
diantara kalian mengimami kalian. (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim
semakna dengannya no. 674, 1/465-466).
Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu
shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjamaah dan perintahnya
terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.

4. Larangan keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan

Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid


sebelum melaksanakan shalat berjamaah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu
Hurairah ia berkata: Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru
shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar (dari masjid, red) salah seorang
diantara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjamaah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li
Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).

5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjamaah
Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada Abdullah Ibnu Ummi
Maktum untuk meninggalkan shalat berjamaah dan melaksanakannya di rumah, padahal
Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa udzur sebagai berikut:
a. Keadaannya yang buta,
b. Tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c. Jauhnya rumahnya dari masjid,
d. Adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya
dan masjid,
e. Adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f. Umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.

Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta
mendatangi Nabi lalu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang
penuntun yang mengantarkanku ke masjid. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi
keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan.
Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata:
Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat? ia menjawab benar, maka
Rasulullah bersabda: Penuhilah panggilan tersebut.
Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjamaah di
masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada udzur syari baginya.

Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya

Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya
daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: Wa buyuutuhunna
khairullahunna (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits
yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi
apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang
bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya
yaitu menutupi auratnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan
menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ulama.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid
lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (talim) yang disampaikan
oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ilmu maka shalat di rumah lebih
baik daripada di masjid.

Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya

Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ilmu dari sembarang orang, tapi
harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an
dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan
bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di
bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari
perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallohu alaihi wasallam ) maka tidak
sepantasnya kita mengambil ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin,
di mana dia berkata: Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang
dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya., dalam lafazh yang lain ia berkata:
Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika
terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya Utsman bin Affan-pent) maka mereka mengatakan:
sebutkan sanad kalian! Maka ketika itu dilihat, apabila ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus
Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bidah maka ditolak
haditsnya. (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).

Akibat yang jelek bagi orang yang tidak memenuhi panggilan untu bersujud

Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjamaah adalah apa yang telah
dijelaskan oleh Allah Taala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab
panggilan untuk bersujud. Allah berfirman: Pada hari betis disingkapkan dan mereka
dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya
mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera. (Al-
Qalam:42-43).

Yang dimaksud dengan seruan untuk sujud adalah seruan untuk melaksanakan shalat
berjamaah. Berkata Turjumanul Qur`an Abdullah bin Abbas dalam menafsirkan ayat ini:
Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya
(Ruhul Maani 29/36).

Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas
dasar inilah berkata Kaab Al-Ahbar: Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali
terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjamaah. (Tafsir Al-Baghawiy 4/283,
Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).
Telah Berkata Said bin Jubair: Mereka mendengar (panggilan) Hayya alal falaah tetapi
tidak memenuhi panggilan tersebut. (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Maani 29/36).

Berkata Ibrahim An-Nakhaiy: Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka
enggan (memenuhi seruan tersebut). (Ibid).
Berkata Ibrahim At-Taimiy: Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan
dan iqamah. (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).

Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman
bagi orang yang meninggalkan shalat berjamaah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh
Ibnul Jauziy: Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
berjamaah. (Zadul Masir 8/342).

Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): Dan sungguh mereka pada waktu di dunia
telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera. (Al-Qalam:43), yakni
ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang
mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat
ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjamaah dan tidak
memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjamaah. (At-
Tafsirul-Kabir 30/96).

Berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih
tentang firman Allah Taala: Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk
sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera. (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin:
hayya alash-shalaah hayya alal-falaah.

Ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:


Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat
berjamaah.

Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjamaah di masjid-pent) adalah yang telah difahami
oleh golongan yang paling alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari
kalangan para shahabat radhiyallahu anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).

Adapun yang menguatkan akan wajibnya shalat berjamaah juga adalah apa yang telah
disebutkan oleh Abdullah bin Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya.
Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia
berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat
sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jumat dan tidak pula shalat berjamaah, maka
ia berkata: Dia di neraka. (Al-Mushannaf 1/346 dan Jamiut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan
Tuhfatul Ahwadzi).
Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: Apabila
Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan)
dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya. (Siyar Alamin
Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).

Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjamaah. Maka seyogyanya bagi kita untuk
memperhatikan aktivitasnya masing-masing.

Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan
dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya
memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram
atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat.

Anda mungkin juga menyukai