Anda di halaman 1dari 9

FIKIH THAHARAH

NURFADILAH RAMADHANI

21010010
Thaharah
Thaharah artinya bersuci menurut bahasa. Dalam istilah, thaharah artinya suci dari
hadats dan najis, yakni keadaan suci setelah berwudhu, tayammum, atau mandi
wajib

Hukum Thaharah
Dalil thaharah tertulis dalam Quran surat Al Baqarah ayat 222. Allah SWT
berfirman menyukai orang-orang yang bertaubat dan bersuci

َ َ‫ّللا يُحِّ بَ التَّ َّوابِّيْنََ َويُحِّ بَ الْ ُمت‬


Arab: ََ‫ط ِّه ِّريْن‬ ََٰ ََّ‫اِّن‬
Latin: Innallāhaَyuḥibbut-tawwābīnaَwaَyuḥibbul-mutaṭahhirīn
Artinya: Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri.

Selain itu, dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW, " Allah tidak menerima
sholat yang tidak disertai dengan bersuci."

Macam-macam Thaharah
Pembagian thaharah ada dua, yakni bersuci dari hadats berupa melakukan wudhu,
mandi, dan tayamum. Kemudian, bersuci dari najis berupa menghilangkan najis
yang ada di badan, tempat dan pakaian.
Alat-alat Thaharah
Untuk melakukan thaharah, ada beberapa media yang bisa digunakan, yakni air,
debu yang suci, dan batu untuk diinjak. Air sendiri, dari segi hukum dibagi menjadi
lima, yaitu

-Air suci dan dapat mensucikan, seperti air sumur, air sungai, air hujan, dll
-Air yang dapat mensucikan tapi makruh hukumnya, seperti air yang dijemur di
tempar logam bukan emas
-Air yang tidak dapat mensucikan, seperti air yang kurang dari dua kulah, air yang
sifatnya berbah (air teh, air kopi, air berbau), dan air yang diperoleh dari mencuri.

CARA-CARA THAHARAH

Ada berbagai cara dalam bersuci yaitu bersuci dengan air seperti berwudhu
dan mandi junub atau mandi wajib. Ada juga bersuci dengan menggunakan debu,
tanah yaitu dengan bertayamum. Dan bisa juga menggunakan air,tanah,batu dan
kayu (tissue atau kertas itu masuk kategori kayu) yaitu dengan beristinja.

Cara-cara thaharah menurut pembagian najisnya:

1. Najis ringan (najis mukhafafah)

Najis mukhafafah adalah najis yang berasal dari air kencing bayi
laki-laki yang belum makan apapun kecuali air susu ibunya saja dan
umurnya kurang dari 2 tahun. Cara membersihkan najis ini cukup dengan
memercikkan air kebagian yang terkena najis.

2. Najis sedang (najis mutawassitah)

Yang termasuk kedalam golongan najis ini adalah kotoran, air


kencing dsb. Cara membersihkannya cukup dengan membasuh atau
menyiramnya dengan air sampai najis tersebut hilang (baik rasa, bau dan
warnanya).
3. Najis berat (najis mughalazah)

Najis berat adalah suatu materi yang kenajisannya ditetapkan


berdasarkan dalil yang pasti (qat’i) . yaitu anjing dan babi. Cara
membersihkannya yaitu dengan menghilangkan barang najisnya terlebih
dahulu lalu mencucinya dengan air bersih sebanyak tujuh kali dan salah
satunya dengan tanah atau batu.

Mandi junub
Mandi atau ghusl merupakan syarat mutlak ketika bersuci, istilah mandi wajib
dalam thaharah yaitu mengalirkan air ke seluruh tubuh dari ujung kepala sampai
ujung kaki.

Mandi wajib ini harus dibarengi dengan membaca niat yang menyucikan diri dari
hadas kecil dan besar seperti kutipan dari NU Online yaitu:

ِ َ‫ن ََويْت ْالغ ْس َل ل َِر ْف ِع اْل َحد‬


ِ ِ ‫ث اْأل َ ْكبَ ِر مِنَ اْلِجنَابَ ِة فَرْ ضًا‬
‫ِل تَعَالَى‬

"Nawaitul ghusla liraf'il-hadatsil-akbari fardhal lillaahi ta'aala."

Artinya: Aku niat mandi untuk menghilangkan hadats besar dari janabah, fardhu
karena Allah ta'ala."

Menurut madzhab Syafi'i, saat pertama membaca niat harus dibarengi dengan
menyiram tubuh dengan air secara merata.

Kedua, mengguyur seluruh bagian luar badan, tak terkecuali rambut dan bulu-
bulunya. Sedangkan bagian tubuh yang berbulu atau berambut harus dengan air
mengalir.
Berwudu
Sementara itu, thaharah dengan berwudu menurut syara' adalah untuk
menghilangkan hadas kecil ketika akan salat.

Orang yang hendak melaksanakan salat sudah wajib hukumnya melakukan wudu,
karena berwudu merupakan syarat sahnya salat.

Thaharah berwudu juga sama halnya dengan mandi wajib yang diawali dengan
membaca niat wudu seperti ini:

‫لل تَ َعالَى‬ ً ْ‫صغ َِر فَر‬


ِ ‫ض ِا‬ ِ َ‫ن ََويْت ْالوض ْو َء ل َِر ْف ِع ْال َحد‬
ْ َ‫ث اْال‬

"Nawaitul wudhuu'a liraf'il-hadatsil-ashghari fardhal lillaahi ta'aalaa."

Artinya: Aku niat berwudu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah.

Kemudian melaksanankan fardu wudu enam perkara, di antaranya:

Niat
Membasuh seluruh muka
Membasuh kedua tangan sampai siku-siku
Mengusap sebagian rambut kepala
Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
Tertib, artinya mendahulukan mana yang harus dahulu dan mengakhirkan yang
harus diakhiri.
Tayamum
Thaharah tayamum ini merupakan cara yang menggantikan mandi dan wudu,
apabila dalam kondisi tidak ada air.

Syarat tayamum adalah menggunakan tanah yang suci tidak tercampur benda lain.
Lalu diawali niat

‫ض ِللِ تَعَالَى‬ َّ ‫ن ََويْت التَّيَ ُّم َم ِال ْستِبَا َح ِة ال‬


ً ْ‫صالَةِ فَر‬

"Nawaitut tayammuma lisstibaahatishsholaati fardhol lillaahi taala."

Artinya: Saya niat tayamum agar diperbolehkan melakukan fardu karena Allah.

Setelah membaca niat, dilanjut dengan meletakkan dua belah tangan ke atas debu
misalnya debu pada kaca atau tembok dan usapkan ke muka sebanyak dua kali.

Dilanjut mengusap dua belah tangan hingga siku sebanyak dua kali juga, dan
memindahkan debu kepada anggota tubuh yang diusap.

Yang dimaksud mengusap bukan sebagaimana menggunakan air dalam berwudu,


tatapi cukup menyapukan saja bukan mengoles-oles seperti memakai air.

Dengan begitu pengertian thaharah dan pembagiannya ini wajib dipahami sebagai
mana mestinya, karena sewaktu-waktu sudah pasti diperlukan.
istinja
adalah membersihkan sesuatu (najis) yang keluar dari qubul atau dubur
menggunakan air atau batu dan benda sejenisnya yang bersih dan suci. Syaikh
Abdurrahman Al-Juzairi dalam Fikih Empat Madzhab Jilid 1 menjelaskan, istilah ini
disebut juga dengan istithabah atau istijmar.

Hanya saja, istijmar biasanya dikhususkan untuk istinja dengan batu. Istijmar
sendiri diambil dari kata al-jimar yang berarti kerikil kecil. Sedangkan, disebut juga
dengan istithabah karena dampak yang ditimbulkannya (membersihkan kotoran)
membuat jiwa terasa nyaman.

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi mengatakan istinja hukumnya fardhu. Ulama


Hanafiyah berkata bahwa hukum istinja atau aktivitas lain yang menggantikan
kedudukannya seperti istijmar adalah sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki
maupun perempuan.

Sementara itu, Hasan ibn Salim al-Kaf dalam al-Taqrirat al-Sadidah sebagaimana
dijelaskan Rosidin membagi hukum istinja menjadi 6 jenis. Antara lain sebagai
berikut:

1. Wajib: Istinja hukumnya wajib jika yang keluar adalah najis yang kotor lagi
basah. Seperti air seni, madzi, dan kotoran manusia.

2. Sunnah: Istinja hukumnya sunnah jika yang keluar adalah najis yang tidak kotor.
Contohnya cacing.

3. Mubah: Jika beristinja dari keringat.

4. Makruh: Istinja hukumnya makruh jika yang keluar adalah kentut.

5. Haram: Haram namun sah jika beristinja dengan benda hasil ghashab. Istinja
hukumnya haram dan tidak sah jika beristinja dengan benda yang dimuliakan
seperti buah-buahan.

6. Khilaf al-aula yakni antara mubah dan makruh: Jika beristinja dengan air zam-
zam.

Tata Cara Istinja

Secara umum, tata cara beristinja ada tiga. Pertama, menggunakan air dan batu.
Cara ini merupakan cara yang paling utama. Batu dapat menghilangkan bentuk fisik
najis. Sementara itu, air yang digunakan harus suci dan menyucikan. Air tersebut
dapat menghilangkan bekas najis.

Kedua, menggunakan air saja. Ketiga, menggunakan batu saja. Adapun, batu yang
diperbolehkan untuk beristinja haruslah suci, bukan najis atau terkena najis,
merupakan benda padat, kesat, dan bukan benda yang dihormati.

Adab Buang Hajat

Dalam Islam, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan saat buang hajat. Antara
lain sebagai berikut:

1. Istibra, yaitu mengeluarkan kotoran yang tersisa di dalam makhraj, baik itu air
kencing maupun kotoran, sampai dirasa tidak ada lagi kotoran yang tersisa.

2. Diharamkan buang hajat di atas kuburan. Alasan mengenai pendapat ini karena
kuburan adalah tempat di mana orang bisa mengambil nasihat dan pelajaran. Maka,
termasuk adab sangat buruk jika seseorang justru membuka aurat di atas kuburan
dan mengotorinya.
3. Tidak boleh membuang hajat pada air yang tergenang. Diriwayatkan dari Jabir,
Rasulullah SAW melarang kencing pada air yang tergenang (HR. Muslim, Ibnu
Majah, dan yang lainnya).

4. Dilarang buang hajat di tempat-tempat sumber air, tempat lalu lalang manusia,
dan tempat bernaung mereka. Pendapat ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW
dalam sebuah hadits.

Rasulullah SAW bersabda: "Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh
manusia." Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud dengan dua penyebab orang
dilaknat?" Beliau menjawab, "Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui
manusia atau di tempat yang biasa mereka bernaung." (HR. Muslim dan Abu
Dawud).

5. Dilarang buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat.

6. Dimakruhkan bagi orang yang membuang hajat untuk melawan arah angin.
Sebab, dikhawatirkan adanya percikan air kencing yang membuatnya terkena najis.

7. Dimakruhkan bagi orang yang sedang buang hajat untuk berbicara. Namun,
apabila memang ada kebutuhan maka diperbolehkan untuk berbicara, seperti
meminta gayung untuk membersihkan najis.

8. Dimakruhkan menghadap matahari dan bulan secara langsung. Sebab, keduanya


merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan nikmat-Nya bermanfaat bagi
seluruh alam semesta.

9. Dianjurkan untuk istinja dengan tangan kiri. Sebab, tangan kanan digunakan
untuk makan dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai