Anda di halaman 1dari 5

HADAS BESAR

Hadas menurut Bahasa artinya berlaku atau terjadi. Menurut istilah hadas adalah
sesuatu yang terjadi atau berlaku yang nebgharuskan bersuci atau membersihkan diri
sehingga sah untuk melaksanakan ibadah. Hadas berbeda dengan najis yang merupakan
benda yang bias dilihat berdasarkan warnanya, baunya, atau rasanya di lidah, hadats bukan
berbentuk suatu benda. Hadas merupakan status hukum seseorang karena melakukan suatu
perbuatan atau mengalami suatu kejadian.

Hadas besar ialah sesuatu yang keluar atau terjadi sehingga mewajibkan sesorang
untuk mandi wajib atau janabat. Yang dimaksud mandi disini adalah mengalirkan air ke
seluruh tubuh dengan niat mandi wajib.

Hal-hal yang menyebabkan seseorang terkena hadats besar :

1. Keluar mani (sperma), baik karena mimpi (ikhtilam), atau karena sebab lain.
2. Berhubungan badan/ bersetubuh.
Semua ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum
keluar mani.
3. Haid
Yaitu darah yang keluar pada wanita sejak umur 9 tahun atau lebih yang
keluar dari farji wanita dalam kondisi tubuh yang sehat, tidak sakit. Dan memang
sudah menjadi (tabi’at) pembawaan wanita, dan buka karena melahirkan (wiladah).
Dalam kitab Ash-Shahih disebutkan bahwa darah haid itu sangat merah sekali
menyerupai atau mendekati warna hitam.Permulaan masa haid wanita yaitu setelah
mencapai umur 9 tahun (hijriyah).
Masa haid yang peling pendek ialah sehari-semalam, dalam arti hal itu
diperkirakan 24 jam menurut kebiasaannya.Masa haid yang paling lama (maksimum)
ialah 15 hari-15 malam, lebih dari ketentuan itu disebut istihadhah. Darah istihadhah
tidak termasuk hadats besar, maka perempuan yang mengalami istihadhah wajib
mengerjakan salat.

4. Nifas
Yaitu darah yang keluar bersamaan dengan lahirnya anak (wiladah).
Sedangkan darah yang keluar sebelum melahirkan atau menjelang kelahiran, bukan
disebut nifas.
Masa nifas paling pendek (minimum) “lahdhatan” sekejap mata, yakni dimulai
sejak kelahiran atau keluarnya anak dari rahim ibunya. Masa nifas paling panjang
(maksimal) 60 hari, sedangkan pada umumnya masa nifas itu 40 hari.
5. Wanita yang telah melahirkan (wiladah)

Hal-hal yang dilarang bagi orang yang berhadats besar :

1. Sholat
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah .” (QS. Al-Maidah: 6)
2. Thowaf
Sesuai dengan sabda Rasulallah saw : “Thawaf di Baitullah itu sama dengan
shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi,
al-Hakim, ad-Dar quthni). Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama salah satu
syarat sahnya shalat adalah bersuci,  sehingga demikian juga dengan thawaf.
3. Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an.
“ tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”(QS. Al-Waqiah: 79)
4. Membaca Al-Qur’an
Dari Ibnu Umar R.A. berkata : “Seorang yang junub dan wanita yang haidh
tidak diperbolehkan membaca Al-Qur’an”. (H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
5. Berpuasa (bagi wanita yang haid dan nifas).
6. I’tikaf
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi..”(QS. An-Nisa’: 43)

Tata Cara Mandi Janabat

Hadits pertama :
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak
tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau
memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya,
kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya
sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no.
248 dan Muslim no. 316).
Hadits kedua:
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan
air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada
kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan
tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau
mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian
beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh
muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan
mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci
kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no.
317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai
berikut :
1. Mencuci dua telapak tangannya
2. Tangan kanan menuangkan air ke tangan kiri, mencuci dan menggosok alat tanasul/
kemaluannya.
3. Wudlu seperti untuk sholat.
4. Mengamil air lalu memasuukan jari-jari tangannya ke pangkal rambut.
5. Menuangkan air atas kepalanya tiga kali siraman.
6. Menggosok-gosok/ meratakan air ke seluruh badannya.
7. Mencuci dua kakinya.

Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan kaki dicuci kaki ketika berwudhu.
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi
wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu
mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah
menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna
(sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu
dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara
sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana
disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai
berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan,
mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?


Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu
setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579,
Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi.
Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR.
Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf).
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat
untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia
tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
NAJIS MUGHALADOH

Najis mughaladah adalah najis yang berat. Yang termasuk dalam jenis najis
mughaladoh adalah air liur, air kencing, darah, dan kotoran dari anjing dan babi.

Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak
tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh
dengan air mesti dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya
wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut.

Namun secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis
tersebut karena belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar menghilangkannya dan
menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan dimana salah
satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga
cara:

1. Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada
tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara
lainnya.
2. Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan
mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.
3. Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya
debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

Daftar Pustaka

D. Hamdan . Tentang Bersuci. Tasikmalaya

Tim Ar-Rahma. (2014). Rangkuman Pengetaguan Islam Lengkap. Jakarta. Penerbit Erlangga

Syekh Syamsuddin Abu Abdillah. (2010). Terjemah Fathul Qarib Pengantar Fiqih Imam

Syafi’i. Surabaya. Mutiara Ilmu

https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-menyucikannya

https://muslim.or.id/3313-tata-cara-mandi-wajib.html

Anda mungkin juga menyukai