Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH MUAMALAH

PERNIKAHAN DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

HILMI FAHMI

RATRI FATMALASARI

YUNI FITRI SURYANI

STIE AHMAD DAHLAN

AKUNTANSI IV
A. PEMBAHASAN

1. Pengertian Nikah

Menurut Bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga sebagai akad atau

hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikan dengan pencampuran. Al

-Fara mengatakan : An Nukh adalah sebutan untuk kemaluan. Disebut sebagai

akad, karena ia merupakan penyebab terjadinya kesepakatan itu sendiri. Sedangkan

Al Azhari mengatakan : Akar kata nikah dalam ungkapan bahasa Arab berarti

hubungan badan. Dikatakan pula, bahwa berpasangan itu juga merupakan salah satu

dari makna nikah. Karena itu, ia menjadi penyebab adanya hubungan badan.

Sementara itu, Al Farisi mengatakan : Jika meraka mengatakan, bahwa si fulan

atau anaknya fulan menikah, maka yang dimaksud adalah mengadakan akad. Akan

tetapi, jika dikatakan, bahwa ia menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah

berhubungan badan.

Adapaun menurut syariat, nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian

hubungan badan itu hanya merupakan metafora saja. Hujjah (Argumentasi) atas

pendapat ini adalah banyaknya pengertian nikah yang terdapat di dalam Al Quran

maupun Al- Hadits sebagai akad. Bahkan dikatakan, bahwa nikah itu tidak

disebutkan dalam Al-Quran melainkan diartikan dengan akad. Sebagai mana firman-

Nya : Sehingga ia menikah dengan laki-laki lain yang tidak dimaksudkan sebgai

hubungan badan. Karena syarat hubungan badan yang membolehkan rujuknya

seorang suami yang telah menceraikan istrinya hanya diterangkan didalam Sunnah

Rasulullah SAW, dengan demikian, maka firman Allah diatas adalah, sehingga

2
menjalin pertalian atau akad. Dengan pemahaman lain bahwa dengan akad tersebut,

maka menjadi boleh pada apa yang telah dilarang.

Rasulullah SAW sendiri menerangkan, bahwa pada kenyataannya nikah itu tidak

hanya sekedar akad. Akan tetapi, lebih dari itu, setelah pelaksanaan akad si pengantin

harus merasakan nikmatnya akad tersebut.

2. Anjuran Menikah

Dari Abdullah bin Mas ud, dia menceritakan, kami pernah berpergian bersama

Rasulullah yang pada saat itu kami masih mudah dan belum mempunyai kemampuan

apapun. Maka beliau bersabda : Wahai generasi muda, barangsiapa diantara kalian

telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena

sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara

kemaluan. Dan barangsiapa diantara kalian yang belum mampu, maka hendaklah

berpuasa. Karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu.

(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Tirmidzi mengatakan,

bahwa hadits ini berstatus hasan shahih.

Dari Anas bin malik ra, ia menceritakan : ada tiga orang atau lebih datang

kerumah istri Nabi Muhammad SAW yang bertanya tentang ibadah beliau. Ketika

diberitahukan, seolah olah meraka membanggakan ibadahnya masing masing

seraya mengucap : Dibandingkan dengan beliau, maka dimana posisi kita. Sedangkan

beliau telah diberikan ampunan atas dosa dosa yang akan datang dan yang telah

berlalu. Salah seorang diantara meraka berkata : Aku senantiasa melakukan shalat

malam satu malam penuh. Yang lain berkata : Aku senantiasa menjauhi wanita dan

3
tidak akan menikah selamanya. Kemudian Rasulullah datang dan beliau bersabda :

Kalian ini orang yang mengatakan begini dan begitu. Ingat demi Allah :

sesungguhnya aku adalah orang yang sangat takut dan bertaqwa kepada Allah

daripada kalian. Akan tetapi, aku berpuasa dan berbuka, mengerjakan shalat dan tidur

serta menikahi wanita. Barangsiapa yang suka pada sunnahku, maka meraka bukan

termasuk golonganku. (HR. Bukhari)

Dari Al-Zuhri, dia menceritakan, Urwah telah memberitahukan kepadaku,

bahwasannya ia pernah bertanya kepada Aisyah mengenai firman Allah SWT dalam

surat An-Nisa ayat 3. Aisyah menjawab : Wahai keponakanku, wanita yatim itu

berada dalam kekuasaan walinya. Lalu seorang wali senang kepada harta dan

kecantikannya. Ia ingin mengawininya dengan maskawin yang paling rendah dari

biasanya. Karena itu, ia dilarang untuk menikahinya dengan maksud tertent, kecuali

jika mampu berbuat adil keduanya, sehingga menyempurnakan maskawinnya. Juga

diperbolehkan untuk mengawini wanita wanita lain selain mereka (wanita wanita

yatim), dengan catatan mampu untuk berlaku adil. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan merupakan ibadah yang dengannya wanita muslimah telah

menyempurnakan setengah dari agamanya serta akan memenuhi Allah dalam

keadaan suci dan bersih. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Anas ra, bahwa

Rasulullah SAW telah bersabda :

Barangsiapa diberi oleh Allah seorang istri yang shalihah, maka dia telah

membantunya untuk menyempurnakan setengah dari agamanya. Untuk itu,

hendaklah ia bertaqwa kepada Allah pada stengah lainnya.

4
(HR. Thabrani dan Al-Hakim)

Juga hadits dari Sa ad bin Waqash ra, ia bercerita, bahwa Rasulullah SAW pernah

bersabda :

Barangsiapa kebahagiaan bagi anak cucu Adam itu ada tiga, demikian pula

kesengsaraannya. Kebahagiannya dimaksud adalah menikahi wanita (istri) yang

shalihah, tempat tinggal yang baik dan kendaraan yang nyaman. Sedangkan

diantara kesengsaraannya adalah memiliki istri yang jahat, tempat tinggal yang

buruk dan kendaraan yang buruk pula.

(HR. Ahmad dengan Sanad Shahih)

3. Hukum Nikah

1. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.

2. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain

lainnya.

3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda

pada kejahatan (zina).

4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.

5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang

dinikahinya.

5
4. Hikmah Pernikahan

Allah SWT berfirman :

Dan diantara tanda tanda kekuasaannya adalah menciptakan untuk kalian istri

istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram

kepadanya. Juga dijadikan-Nya diantara kalian rasa kasih sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang

berfikir. (Ar Rum : 21)

Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini

berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain itu juga berfungsi sebagai penyalur nafsu

birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari godaan syaitan yang

menjerumuskan, dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda :

Sesungguhnya wanita itu apabila menghadapi ke depan berbentuk syaitan dan

menghadap kebelakang juga berbentuk syaitan. Karenanya, jika salah seorang

diantara kalian melihat seorang wanita yang menakjubkan pandangannya, maka

hendaklah segera mendatangi istrinya. Yang demikian itu agar dapat mengendalikan

gejolak yang ada di dalam dirinya.

(HR. muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki laki dan

perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan

cinta serta penghormatan. Wanita muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas

di dalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak dan menciptakan

6
suasana menyenangkan, supaya suaminya dapat mengerjakan kewajiban dengan baik

untuk kepentingan dunia maupun ukhrawi.

5. Memilih Pasangan Karena Agama Dan Akhlaq

Dimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : Apabila datang kepadamu laki

laki yang kamu ridhoi agama dan akhlaqnya, maka terimalah dia. Kalau tidak, akan

timbul fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.

Jika keadaan yang anda alami itu adalah adalah sebagai hukuman Allah SWT

terhadap anda, sebab perkawinan anda itu tidak berdasarkan pada ukuran serta

penilaian Allah Ta ala. Selain itu anda juga keliru dalam memilih pasangan hidup.

Maka dari itu memilih suami itu harus hati hati dan tidak boleh asal dapat saja,

tidak memikirkan belakangnya. Kalau udah terjadi demikian siapa yang rugikan anda

sendiri, karena anda tidak memilih suami yang beragama dan akhlaq yang baik.

6. Rukun Nikah

1. Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali , Saya

nikahkan engkau dengan anak saya bernama ... 1) Jawab mempelai laki laki, Saya

terima menikahi 1) Boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai,

seperti : Nikahkanlah saya dengan anakmu. Jawab wal, Saya nikahkan engkau

dengan anak saya 1) karena maksudnya sama.

Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah, tazwij, atau terjemahan dari

keduanya.

Sabda Rasulullah SAW :

)1)
Hendaklah disebutkan nama pengantin perempuan itu.
7
Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil

mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan

kalimat Allah. (Riwayat Muslim)

Yang dimaksud dengan kalimat Allah dalam hadits ialah Al-Quran, dan dalam

Al-Quran tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij), maka harus

dituruti agar tidak salah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa akad sah dengan

lafaz yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafaz tersebut, karena asal lafaz

akad tersebut maqul makna, tidak semata mata ta abbudi.

2. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi Muhammad SAW :

Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya,

maka pernikahannya batal. (Riwayat empat orang ahli hadits , kecuali Nasai)

Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula

seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri. (Riwayat Ibnu Majah dan

Daruqutni).

3. Dua orang saksi. Sabda Nabi Muhammad SAW :

Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. (Riwayat

Ahmad)

Susunan Wali

Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut

susunan yang akan diuraikan dibawah ini, karena wali wali itu memang telah

diketahui oleh orang yang ada pada masa ayat:

Janganlah kamu menghalangi mereka menikah. (Al-Baqarah : 232).

8
Begitu juga hadits Ummu Salamah yang telah berkata kepada Rasulullah, Wali

saya tidak ada seorang pun yang dekat.

Semua itu menjadi tanda bahwa wali wali itu telah diketahui (dikenali), yaitu :

1. Bapaknya

2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)

3. Saudara laki laki yang seibu sebapak dengannya

4. Saudara laki laki yang sebapak saja dengannya

5. Anak laki laki dari saudara laki laki yang seibu sebapak dengannya

6. Anak laki laki sari saudara laki laki yang sebapak saja dengannya

7. Saudara bapak yang laki laki (paman dari pihak bapak)

8. Anak laki laki pamannya dari pihak bapaknya

9. Hakim

Syarat wali dan dua saksi

Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu,

tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang

orang yang memiliki beberapa sifat berikut :

1. Islam, Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi.

Firman Allah SWT :

Hai orang orang yang beriman, janganlahkamu mengambil orang orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin (mu). (Al-Maidah : 51)

2. Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)

2. Berakal

2. Merdeka

9
2. Laki laki, karena tersebut dalam hadits riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni

diatas

2. Adil

Keistimewaan bapak dari wali wali yang lain

Bapak dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang bikir/perawan dengan

tidak meminta izin si anak lebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik.

Kecuali anak yang sayib (bukan perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali

dengan izinnya lebih dahulu. Wali wali yang lain tidak berhak menikahkan

mempelai kecuali sesudah mendapat izin dari mempelai itu sendiri.

Sabda Rasulullah SAW :

Perempuam janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedangkan

anak perawan dikawinkan oleh bapaknya. (Riwayat Daruqutni).

Dari Aisyah, Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, telah menikah dengan

Aisyah sewaktu ia berumur 6 tahun, dan dicampuri serta tinggal bersama Rasulullah

sewaktu ia berumur 9 tahun. (Sepakat Ahli Hadits).

Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, Sesungguhnya seorang perawan telah

mengadakan halnya kepada rasulullah SAW, bahwa ia telah dinikahkan oleh

bapaknya dan dia tidak menyukainya. Maka Nabi Muhammad SAW memberi

kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan atau membatalkan pernikahan

itu. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Daruqutni).

Rasulullah memberikan kesempatan memilih kepada perawan itu. Hal ini adalah

tanda bahwa pernikahan yang dilakukan bapaknya itu sah, sebab kalu pernikahannya

10
itu tidak sah, tentu Nabi Muhammad SAW, menjelaskan bahwa pernikahan itu tidak

sah atau beliau menyuruh menikah dengan laki laki lain.

Ulama ulama yang memperbolehkan wali ( bapak dan kakek ) menikahkan

tanpa izin ini menggantungkan bolehnya dengan syarat syarat sebagai berikut :

1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak

2. Hendaklah dinikahkan dengan orang yang setara (sekufu)

3. Maharnya tidakkurang dari mahar misil (sebanding)

4. Tidak dinikahkan sengan orang yang tidak mampu membayar mahar

5. Tidak dinikahkan dengan laki laki yang mengecewakan (membahayakan) si

anak kelak dalam pergaulannya dengan laki laki itu, misalnya orang itu buta

atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapat

kegembiraan dalam pergaulannya.

Kaidah : usaha pemimpin terhadap yang dipimpinnya didasarkan atas

kemaslahatan.

Sebagian ulama berpendapat, bapak tidak boleh menikahkan anak perawannya

tanpa ada izin lebih dahulu dari anaknya itu.

Sabda Rasulullah SAW :

Dari Abu Hurairah. Ia berkata, Rasulullah SAW, telah bersabda, Perempuan

janda janganlah dinikahkan sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum

diminta izinnya. Sahabat sahabat lalu bertanya, Bagaimana cara izin perawan

itu, ya Rasulullah? Jawab neliau, Diantaranya tanda izinnya (Riwayat Muttafaq

Alaih)

11
Oleh pihak pertama, hadits ini dan sebagainya diartikan perintah sunat atau

larangan makruh, bukan perintah wajib atau larangan haram.

Golongan kedua menjawab, bahwa hadits hadits yang memperbolehkan si bapak

menikahkan anaknya tanpa izin terlebih dahulu terjadi sebelum datang perintah yang

mewajibkan izin. Kejadian mengenai diri Aisyah (pernikahannya) dengan Rasulullah

SAW adalah khususiyyah (tertentu) bagi Rasulullah SAW sendiri, tidak dapat

dijadikan dalil untuk umum.

Enggan atau keberatan wali

Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan

dengan seorang laki laki yang setingkat (sekufu), dan walinya keberatan dengan

tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah ternyata keduanya

setingkat (sekufu), dan setelah memberi nasihat kepada wali agar mencabut

keberatannya itu. Apabila wali tetap berkeberatan, maka hakim berhak menikahkan

perempuan itu.

Dari Ma qal bin Yasar , ia berkata :

Saya telah menikahkan saudara saya dengan seseorang, kemudian

diceraikannya. Setelah habis iddahnya, laki laki itu datang meminang saudara

saya itu kembali. Saya katakana kepadanya, Saya telah menikahkann engkau

dengan segala hormat, kemudian engkau ceraikan, sekarang engkau datang

meminangnya. Demi Allah, saya tidak akan mengembalikan saudara kepadamu.

Keadaan laki laki itu baik, dan perempuan itu ingin kembali kepadanya. Maka

dengan kejadian ini datanglah wahyu Allah :

12
Apabila kamu telah menceraikan perempuan, kemudian habis iddahnya, maka

janganlah kamu keberatan menikahkan mereka dengan bekas suaminya. (Al-

Baqarah : 232)

Ma aqal berkata , Sekarang saya nikahkan mereka, ya Rasulullah! Lantas

dinikahkannya laki- laki itu dengan saudaranya. (Riwayat Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW :

Dari Aisyah, ia berkata, Bahwa Rasulullah SAW telah bersabd, Tidak sah nikah

melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Jika wali wali itu enggan

(keberatan) maka hakimlah yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali.

(Riwayat Daruqutni).

Dua orang wali masing masing menikahkan

Seorang perempuan dinikahkan oleh dua orang walinya yang sederajat epada dua

orang laki laki. Umpamannya Fatimah mempunyai wali saudaranya sendiri yaitu

Ahmad dan Amin. Ahmad menikahkan Fatimah sengan Yusuf, sedangkan Amin

menikahkannya dengan Zaidan.

Jika yang terdahulu di antara keduanya diketahui, maka yang terdahulu itulah

yang sah, sedangkan yang terkemudian tidak sah. Sabda Rasulullah SAW :

Barang siapa dari perempuan yang dinikahkan oleh dua orang walinya, maka

perempuan itu untuk yang pertama di antara ke dua laki laki itu. (Riwayat Ahmad

dan Lain Lain )

Jika yang terdahulu tidak diketahui, atau diketahui bersamaan, maka kedua

perkawainan itu batal, karena asalnya perempuan itu haram, sehingga penyebab

halalnya wajib diketahui dengan jelas.

13
Wali Gaib

Wali wali yang telah disebutkan diatas tadi, yang lebih dekat hubungan

kerabatnya didahulukan daripada yang lebih jauh. Apabila wali yang lebih dekat

(akrab) itu gaib (jauh) dari perempuan yang akan dinikahkan, sejauh perjalanan qasar

dan ia tidak mempunyai eakil, maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh hakim

karena wali yang gaib itu masih tetap wali, belum berpindah kepada wali yang lebih

jauh hubungannya. Ini menurut pendapat mahzab Syafii.

Pendapat mahzab Abu Hanifah, perempuan itu dinikahkan oleh wali yang jauh

lebih jauh hubungannya dari wali yang gaib, menurut susunan wali wali tersebut

diatas. Umpamanya wali yang gaib itu bapak, maka yang menikahkan anak itu

adalah kakeknya, bukan hakim. Atau wali yang gaib itu kakeknya, maka yang

menikahkannya adalah saudara seibu sebapak dan seterusnya menurut susunan wali

wali. Alsan mahzab ini :

1. Karena wali yang telah jauh hubungannya itu juga wali seperti yang dekat,

hanya yang dekat itu didahulukan karena ia lebih utama, maka apabila ia tidak

dapat menjalankannya, keutamaannya itu hilang dan berpindah kekuasaannya

kepada wali yang lain menurut susunan yang semestinya.

2. Hakim itu (menurut hadits) adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai

wali, sedangkan dalam hal ini wali salain yang gaib itu ada, maka hakim

belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.

14
7. Mahar (Maskawin)

Jika melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi sesuatu kepada si

istri, baik berupa uang ataupun barang ( harta benda),. Pemberian inilah yang

dinamakan mahar (maskawin).

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai

pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa : 4)

Pemberian mahar ini wajib atas laki laki , tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan

apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itupun sah.

Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, melainkan menurut

kemampuan suami beserta keridaan si istri. Sungguhpun demikian, suami hendaklah

benar benar sanggup membayarnya karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka

jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang

kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai pertanggung jawabannya di

Hari Kemudian. Janganlah terpedaya dengan kebiasaan bermegah megah dengan

banyak mahar sehingga si laki laki menerima perjanjian itu karena utang,

sedangkan dia tidak ingat akibat yang akan menimpa dirinya. Perempuan (istri)pun

wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat uang

yang dipiutangnya.

Dari Aisyah. Bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda, Ssesungguhnya

yang sebesar besarnya berkah nikah ialah yang sederhana belanjanya. (Riwayat

Ahmad)

Dari Amir bin Rabi ah, Sesungguhnya seorang perempuan dari suku Fazarah

telah menikah dengan maskawin dua terompah, maka Rasulullah SAW bertanya

15
kepada perempuan itu, Sukakah engkau menyerahkan dirimu serta rahasiamu

dengan dua terompah itu? Jawab perempuan itu, Ya, saya rida dengan hal itu.

Maka Rasulullah membiarkan pernikahan tersebut. (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah

dan Tirmizi)

Dari Jabir, Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, Seandainya seorang

laki laki memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang

perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal baginya. (Riwayat Ahmad dan Abu

Dawud)

Dari Abu Aifa. Ia berkata, Saya dengar Umar berkata, Janganlah berlebih

lebihan memberi mahar kepada perempuan, karena kalau hal itu menjadi kemuliaan

di dunia atau akan menjadi kebaikan diakhirat, tentu Nabi lebih utama dalam hal

itu. Tetapi beliau tidak pernah memberi maskawin kepada istri istri beliau, dan

tidak pernah pula beliau membiarkan anak anak beliau menerima maskawin lebih

dari 12 auqiyah (480 dirham, sekitar 1,498 gr perak). (Riwayat Lima orang ahli

hadits, dan sinilai sahih oleh Tirmizi)

Seorang suami yang menceraikan istrinya sebelum sebelum bercampur (jima),

wajib membayar seperdua dari mahar jika jumlah mahar itu telah ditetapkan oleh si

suami atau hakim.

Firman Allah SWT :

Jika kamu menceraikan istri istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,

padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua

dari mahar yang telah kamu tentukan itu.

(Al-Baqarah : 237)

16
Jika mahar itu belum ditetapkan banyaknya, tidak wajib membayar seperdua,

yang wajib hanyalah mutah, bukan mahar. Pendapat ini berdasar firman Allah SWT

diatas. Allah SWT menetapkan seperdua dari mahar itu apabila telah ditetapkan

banyaknya. Sebagian ulama berpendapat wajib juga mebayar seperdua , seperdua ini

dihitung daari mahar misil atau dari ketetapan hakim.

Wajib membayar seperdua dari mahar saja , seperti yang disebutkan diatas. Jika

bercerai hidup dengan talak sebelum campur. Tetapi jika keduanya bercerai mati,

umpamanya suami meninggal dunia sebelum campur, maka istrinya berhak sepenuh

mahar, diambil dari harta peninggalan suaminya itu.

Dari Alqamah. Ia berkata : Seorang perempuan telah menukah dengan seorang

laki laki, kemudian laki laki itu mati sebelum ia bercampur dengan istrinya itu,

dan maharnya pun belum ditentukan banyaknya.

Kata Alqamah, Mereka mengadukan hal tersebut kepada Abdullah. Maka

Abdullah berpendapa, Perempuan itu berhak mengambil mahar misil sepenuhmya,

dan ia berhak mendapat pusaka dan wajib beribadah. Maka ketika itu Ma qil bin

Sinan Al-Asyja I menyaksikan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah

memutuskan terhadap Barwaa binti Wasyiq seperti keputusan yang dilakukan oleh

Abdullah tadi. (Riwayat lima orang Ahli Hadits, dan dinilai Sahih oleh Tirmizi)

Istri berhak mempertahankan dirinya (tidak tergesa gesa menyerahkan dirinya)

kepada suami apabila mahar belum dibayar oleh suaminya.

Sabda Rasulullah SAW :

Dari Ibnu Abbas, Sesungguhnya Ali, ketika ia sudah nikah dengan Fatimah,

bermaksud akan mulai bercampur. Rasulullah SAW, melarangnya sebelum ia

17
memberikan sesuatu. Maka berkata Ali kepada Rasulullah, Saya tidak punya apa

apa. Jawab Rasulullah kepada Ali, Berikanlah baju perangmu itu. Lalu Ali

memberikannya, kemudian didekatinya (dicampurinya) Fatimah. (Riwayat Abu

Dawud)

8. Larangan Pernikahan
Adapun yang dilarang untuk menikah adalah sebagai berikut :
a. Memaksa wanita yatim menikah
Dari Abu Hurairah ra, ia menceritakan : bahwa Rasulullah saw bersabda :
Wanita yatim harus diajak bermusyawarah dalam hal pernikahannya, jika ia

berdiam diri, maka yang demikian itu berarti izinya. Sedangkan jika ia menolak,

maka tidak diperbolehkan menikahinya dengan paksa. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi

menghasankan hadist ini)


Para Ulama berbeda pendapat, bahwa apabila wanita yatim yang belum baligh

dinikahkan, maka nikahnya belum dianggap berlaku, sehingga ia mencapai usia

baligh. Jika telah baligh, maka ia mempunyai hak pilih, menerima atau menolaknya.

Demikian menurut pendapat dari sebagian tabiin dan lainnya. Sedangkan sebagian

lainnya mengatakan : Dilarang menikahkan seorang wanita yatim sehingga

mencapai usia baligh. Adapun menurut pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafii

dan lainnya : Tidak diperbolehkan berkhiyar (hak menerima atau membatalkan

pernikahan) atasnya.
Jika seorang wanita yatim telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia boleh

dinikahkan. Jika ia menyetujui, maka pernikahannya sah. Akan tetapi, tidak ada

khiyar baginya jika ia telah mengetahuinya. Pemikatan menurut pendapat Imam

Ahmad dan Imam Ishaq. Keduanya bersandar pada Hadist Aisyah, bahwa Nabi

menikahinya ketika ia (Aisyah) berusia sembilan tahun. Aisyah juga mengatakan :

18
Seorang hamba sahaya wanita yang mencapat sembilan tahun, maka ia termasuk

wanita (remaja yang boleh menikah).


b. Menikahkan wanita dibawah umur
Tidak diperbolehkan bagi orang tua atau wali lainnya menikahkan seorang gadis

yang sudah dewasa maupun janda, kecuali dengan izinnya. Jika hal itu tetap

dilakukan (tanpa izin), maka nikahnya tidak sah sama sekali. Seorang janda boleh

menikah kembali dengan siapa saja yang dikehendaki, meski orang tuanya tidak

menyukai hal itu. Adapun seorang gadis, tidak boleh dinikahkan kecuali seizin

dirinya dan juga orang tuanya. Sedangkan wanita yang masih dibawah umur yang

tidak baik karena alasan memaksa (darurat) maupun tidak, sehingga ia (sang anak)

mencapai usia baligh. Juga tidak seorang pun boleh menikahkan orang yang hilang

ingatan sehingga ia tesadar dan memberikan izin, kecuali bagi orang tua yang

mempunyai anak gadis sejak dibawah umur dalam keadaan gila.


Tidak diperbolehkan bagi orang tua menikahkan anak gadisnya yang masih

dibawah umur, kecuali setelah baligh dan mendapatkan izin darinya. Demikian

menurut pendapat Ibnu Syibrimah.


Hasan dan Ibrahim An-Nakhi berpendapat : Diperbolehkan bagi orang tua

menikahkan putrinya yang masih kecil dan juga sudah besar, baik gadis maupun

janda, meskipun keduanya tidak menyukainya.


Di sisi lain Abu Hanifah mengatakan : orang tua diperbolehkan untuk menikahkan

putrinya yang belum baligh, baik ia masih gadis maupun yang sudah janda. Karena,

jika putrinya sudah mencapai usia baligh, maka ia boleh menikahi siapa saja yang

dikehendaki, tanpa harus menikah izin orang tuanya. Posisi orang tua pada saat itu

sama seperti posisi wali, yaitu tidak boleh menikahinya kecuali dengan izinnya, baik

yang masih gadis maupun janda.


c. Wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki kafir

19
Wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki non

muslim. Begitu pula, seorang kafir tidak boleh memiliki budak muslim,

sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt :


Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka

beriman. (QS. Al-Baqarah : 221)


Demikian juga firman-Nya yang lain :
Dan sekali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141)


d. Perkawinan dengan keluarga dekat
Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi Saw. yang berbunyi Kawinlah dengan

keluarga jauh agar tidak lemah.


Dari ayat itu jelas, bahwa kita dianjurkan untuk tidak kawin dengan keluarga

dekat dan sebaliknya kita diharuskan untuk kawin dengan wanita yang bukan

keluarga dekat atau bukan saudara sendiri. Supaya nanti tidak mendapat keturunan

yang lemah dan menghasilkan keturunan yang kuat.


Selain itu dalam eksperimen terhadap tumbuh-tumbuhan, ilmu pengetahuan

modern berpendapat bahwa acculasi pada dua jenis bibit yang berbeda itu mendapat

hasil yang lebih baik atau unggul.


Oleh karena itu, demi mendapatkan keturunan yang baik dan kuat, maka agama

melarang mengawinkan saudara dekat (ibu, bibi, anak, keponakan dan lain

sebagainya). Sedangkan kita lihat, perkawinan dengan keluarga dekat berakibat hal-

hal yang negative dari kedua orang itu akan dapat berkumpul pada anak-anaknya

nanti sebaliknya bila perkawinan itu dengan keluarga jauh, maka akan menurunkan

kepada anak justru yang positifnya dari kedua suami istri tersebut. Kemudian hal-hal

yang positif adalah merupakan suatu sifat yang baik, kecerdasan dan kekuatan mental

serat fisiknya.
e. Istri beragama nasrani

20
Seorang laki-laki tidak dilarang untuk menikahi seorang wanita yang beragama

nasrani, tetapi alangkah baiknya bila ia itu menikahi seorang wanita yang sama-sama

muslim dan menjauhkan diri dari beristri dengan wanita non muslim.
Kemudian wanita yang beragama nasrani ataupun Yahudi yang bersuamikan

seorang muslim, maka ia harus diberikan hak untuk bebas beriman dan beribadah,

tetapi bukan berarti harus ke gereja. Meskipun kepergiannya itu tidak menyebabkan

suaminya berdoa.
Tetapi suami yang muslim harus lebih hati-hati dan waspada terhadap ajaran yang

diberikan ibu yang Nasrani terhadap anaknya, karena hal itu sering terjadi. Sebab

seorang ibu lebih besar perannya dalam pendidikan dan besar pula pengaruhnya

terhadap anak-anaknya. Maka dari itu suami harus melarang istrinya yang nasrani

untuk membawa anak-anaknya ke gereja, sebab mereka muslim sesuai dengan agama

ayahnya. Karena tidak jarang terjadi anak-anak tersebut di baptis secara diam-diam

di gereja.
f. Kawin dengan perempuan ahlul kitab
Perempuan muslim yang menjadi istri laki-laki ahlul kitab tidak akan terjamin

agamnya dan juga tidak aman. Selain itu dia pasti tidak dihargai dan dikhawatirkan

menjadi murtad, sebab pada umumnya wanita itu bersifat lemah. Maka dari itu

wanita dilarang menikah dengan laki-laki ahlul kitab.


Lain lagi kalau perempuan yang ahlul kitab kemudian diperistri dengan laki-laki

muslim, dia akan terjamin dalam agamanya dan akan dihargai oleh suaminya. Selain

itu bila dia senang, pasti akan dimuliakannya, tetapi bila tidak senang tidak akan

menzaliminya.
Meskipun demikian, sekarang ini banyak istri nasrani dan selalu berusaha untuk

mengkritenkan suami muslim. Lebih bila suami itu lemah dan kurang mantap dalam

agamanya.
g. Kawin mutah

21
Kawin Mutah itu lebih terkenal dengan sebutan kawin sementara atau kontrak.

Sedangkan pengertian kawin Mutah itu adalah pernikahan dengan perjanjian.

Misalnya bisa sehari, satu minggu, satu bulan, satu tahun dan seterusnya sesuai

dengan janjinya. Kemudian arti Mutah kawin hanya bersenang-senang saja.


Keempat madzab bersepakat bahwa kawin mutah itu haram hukumnya. Apabila

dalam akad nikah itu disebut jangka waktu, maka akadnya itu menjadi batal dan tidak

sah lagi. Hubungan yang dinikahinya juga menjadi hubungan perzinaan.


Adapun alasannya diharamkan adalah sebagai berikut :

1. Tidak mendapat dukungan dari Al-Quran yang ada kaitannya dengan

talak, iddah dan hukum waris.


2. Seluruh ulama tempat madzab telah melarang, kecuali kamu syiah yang

mengizinkannya.
3. Larangan Nabi Saw. dalam sabdanya yang berbunyi :
Hai segenap manusia, aku telah mengizinkannya kamu melakukan kawin mutah,

maka sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. (Riwayat

Ibnu Majjah)
4. Kemudian tujuan dan maksud dari kawin mutah itu hanya untuk

memuaskan nafsu sahwatnya saja, tetapi bukan mendapatkan keturunan ataupun

membangun rumah tangga.


5. Sayyidina Umar bin Khattab ra. Juga mengharapkan kawin mutah ketika

khutbah di atas mimbar dan para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Kemudian juga ulama yang berpendapat dalam kitab tafsirnya : bahwa kaum

mutah itu diizinkan Nabi untuk masa tertentu dan tidak pernah dicabut

(dimusnahkan). Lalu para penduduk terdapat ini berkata Apabila kawin mutah

dimaksudkan untuk mencegah penyelewengan dan perizinan itu hukumnya

diperbolehkan.
Banyak orang tua tidak senang bila anak gadisnya secara mutah, seolah-olah

wanita hanya diumpamakan seperti benda yang dipindahkan dari satu orang ke orang

22
lainnya hanya untuk tujuan kepuasan nafsu sahwatnya saja. Kemudia anak-anak

yang dihasilkannya akan menjadi terlantar.


Jadi perkawinan mutah itu hanya akan merusak sendi-sendi bangunan

perkawinan. Sedangkan perkawinan itu sendiri menurut islam adalah ditujukan

untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman, saling mencintai dan kasih sayang.

Selain itu islam juga mengatur, bahwa thalaq itu berada ditangan suami. Lalu,

mengapa mesti harus mengikat dan mempersempit diri dengan kejarusan thalaq

dengan batas berakhirnya perkawinan mutah.


Kemudian tujuan kawin itu adalah untuk hidup bersama-sama selamanya dan

mencari ketenangan serta kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Lalu,

perkawinan macam apa itu namanya bila orang menceraikan siapa saja dan kapan

saja seenak hatinya.


h. Nikah syighar
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang berbunyi : Tidak berlaku Syighar

dalam Islam.
Jadi, dari sabda Rasulullah saw. itu jelas, bahwa nikah syighar itu dilarang oleh

agama dan hukumnya adalah haram. Selain itu para pelakunya harus dipaksakan

untuk bercerai saja. Tetapi bila mereka sudah mengetahui, bahwa nikah sighar itu

dilarang, kemudian mereka tetap melakukannya, maka mereka harus diadili oleh

hakim agam. Kalau mereka melakukannya dengan tidak sadar tidak tahu akibat dari

kebodohannya, maka mereka harus bertaubat nasuha. Namun ada beberapa Madzab

yang memperbolehkan pernikahan syighar dan sah hukumnya, tetapi dengan syarat

masing-masing harus member mahar yang sama kepada masing-masing putri.

i. Wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki kafir

23
Wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki non

muslim. Begitu pula, seorang kafir tidak boleh memiliki budak muslim,

sebagaimana difirmakan oleh Allah SWT :


Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang musyrik sebelum mereka

beriman. (QS. Al-Baqarah : 221)


Demikian juga firman-Nya yang lain :
Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 141)


9. Mahram
Mahram (orang yang tidak halal dinikahi) ada 14 macam :
a. Tujuh orang dari pihak keturunan :
1. Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas,
1. Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah,
2. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak, atau seibu saja,
3. Saudara perempuan dari bapak,
4. Saudara perempuan dari ibu,
5. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya,
6. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
b. Dua orang dari sebab menyusu :
1. Ibu yang menyusuinya,
1. Saudara perempuan sepersusuan.

c. Lima orang dari sebab pernikahan :


1. Ibu istri (mertua),
1. Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya,
2. Istri anak (menantu),
3. Istri bapak (ibu tiri),
Firman Allah Swt. :
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu.

(QS. An-Nisa : 22)


4. Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu

dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang

bersaudara ; atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan

bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, dan seterusnya menurut pertalian

mahram diatas.
Firman Allah Swt. :

24
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu,

saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-

saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-

laki atau perempuan, ibu-ibu istrimu (mertua) anak-anak istrimu yang dalam

pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur

dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu

menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan

menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara. (QS. An-Nisa

: 23)

10.Talak
Takrif talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan. Yang dimaksud

disini ialah melepaskan ikatan pernikahan.


Dari uraian uraian yang lalu telah dijelaskan bahwa tujuan pernikahan itu

adalah:
a. Untuk hidup dalam pergaulanyang sempurna
b. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan
c. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali persaudaraan

antara kaum kerabat laki laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan

(istri) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa satu

kaum (golongan) untuk tolong menolong dengan kaum yang lainnya.


Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan tujuan

tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak

adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan keadilan Allah SWT, dibukakan-

Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian. Mudah-

mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan ketenteraman antara

25
kedua belah pihak, dan supaya masing masing dapat mencari pasangan yang cocok

yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan.


Apalagi bila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam

bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kamu kerabat mereka, sehingga tidak

ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka

talak (perceraian) itulah jalan satu satunya yang menjadi pemisah antara mereka,

sebab menurut asalnya hukum talak itu makruh adanya, berdasarkan hadits Nabi

Muhammad SAW berikut ini :


Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, Sesuatu

yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu

Majah)
Oleh karena itu, dengan menilik kemaslahatan atau kemudaratannya, maka

hukum talak ada empat :


1. Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim

yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya

bercerai.
2. Sunat. Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi

kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.


Seorang laki laki telah datang kepada Nabi Muhammad SAW, dia

berkata,Istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya . Jawab

Rasulullah SAW, Hendaklah engkau ceraikan saja perempuan itu. (Dari

Muhazzab, Juz II, Hlm. 78)


2. Haram (bid ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talakk sewaktu

istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah

dicampurinya dalam waktu suci itu.


Sabda Rasulullah SAW :
Suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya itu,

kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid,

26
kemudian ia haid kembali,kemusian suci pula dari haid yang kedua itu.

Kemudian jika ia menghendaki, boleh ia teruskan pernikahan sebagaimana yang

lalu, atau jika menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah

yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu. (Riwayat

Sepakat Ahli Hadits)


3. Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang tersebut diatas.
Lafaz talak
Kalimat yang dipakai untuk perceraian ada dua macam :
1. Sarih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu - ragu lagi bahwa

yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata

suami , Engkau tertalak, atau Saya ceraikan engkau. Kalimat

yang sarih (terang) ini tidak perlu dengan niat. Berarti apabila

dikatakan oleh suami, berniat atau tidak berniat, keduanya terus

bercerai, asal perkataannya itu bukan berupa hikayat.


2. Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu ragu, boleh

diartikan untuk peceraian nikah atau yang lain, seperti kata suami,

Pulanglah engkau kerumah keluargamu. , atau Pergilah dari

sini. Dan sebagainya. Kalimat sindiran ini bergantung pada niat,

artinya kalau tidak diniatkan untuk perceraian nikah, tidaklah

jatuh talak. Kalau diniatkan untuk menjatuhkan talak barulah

menjadi talak.

Bilangan talak

27
Tiap tiap orang yang merdeka berhak menalak istrinya dari talak satu sampai

talak tiga. Talak satu atau dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum habis masa

iddahnya, dan boleh menikah kembali sesudah iddah.

Firman Allah SWT :

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara

yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah : 229)

Adapun talak tiga tidak boleh rujuk atau kawin kembali, kecuali apabila

perempuan telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak pula oleh suaminya

yang kedua itu.

Firman Allah SWT :

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi

keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali jika keduanya

berpendapat akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. (Al-Baqarah : 230)

Memang perempuan itu boleh menikah kembali dengan suaminya yang pertama

jika perempuan itu sudah menikah dengan laki laki lain, serta sudah campur dan

sudah pula duceraikan oleh suaminya yang kedua itu, dan sudah habis pula iddahnya

dari perceraian kedua. Tetapi perlu kita ingat , hendaklah pernikahan yang kedua itu

dengan benar benar menurut kemauan laki laki yang kedua, dan benar benar

dengan kesukaan permpuan, bukan karena kehendak suami yang pertama. Tegasnya

bukan dengan maksud supaya ia dapat menkah kembali dengan laki laki yang

pertama, memang betul betul niat akan kekal, tetapi untung dan nasib tidak

menizinkan pernikahan yang kedua ini kekal. Adapun kalau disengaja supaya dia

28
dapat kembali kepada suami pertama, perbuatan seperti ini tidak diizinkan oleg

agama Islam, bahkan dimurkai.

Rasulullah SAW, mengutuk Almuhallil (suami lain yang menghalalkan suami

pertama untukmenikahi bekas istrinya yang telah dicerai 3 kali) dan muhallal-lah

(suami pertama), (Riwayat Ahmad, Nasai, dan Tirmizi).

Iddah

Iddah ialah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan

suaminya (cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui kandungannya

berisi atau tidak.

Perempuan yang ditinggalkan suaminya tadi adakalanya hamil, adakalanya tidak.

Maka ketentuan iddahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagi perempuan yang hamil, iddahnya adalah sampai lahir anak

yang dikandungnya itu, baik cerai mati ataupun cerai hidup.

Dan perempuan perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah

sampai mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq : 4)

2. Permpuan yang tidak hamil, adakalanya cerai mati atau cerai

hidup.

Cerai mati iddhanya yaitu 4 bulan 10 hari.

Cerai hidup : perempuan yang diceraikan oleh suaminya cerai

hidup, kalau dalam keadaan haid iddahnya tiga kali suci.

11. Rujuk

29
Yang dimaksud dengan rujuk ialah mengembalikan istri yang telah ditalak pada

pernikahan yang asal sebelum diceraikan.

a. Hukum Rujuk
1. Wajib, terhadap suami yang menalak salah seorang istrinya sebelum dia

sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,


2. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti si istri,
1. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya

(suami istri),
2. Jaiz (boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli,
3. Sunat, jika maksud suami adalah untuk memperbaiki keadaan istrinya, atau

rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (suami istri).


b. Rukun Rujuk
1. Istri. Keadaan istri disyaratkan :
a. Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila

ditalak, terus putus pertalian antara keduanya, si istri tidak mempunyai

iddah sebagaimana yang telah dijelaskan.


b. Istri yang tertentu. Kalau suami menalak beberapa istrinya,

kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak

ditentukan siapa yang dirujukkan, maka rujuknya itu tidak sah.


c. Talaknya adalah talak raji. jika ia ditalak dengan talak tebus atau

talak tiga, maka ia dapat dirujuk lagi.


d. Rujuk itu terjadi sewaktu istri masih dalam iddah.
Firman Allah Swt. :
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu. (QS. Al-

Baqarah : 228)
1. Suami. Rujuk ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri artinya

bukan dipaksa,
2. Saksi. Dalam hal ini para ulama berselisih paham, apakah saksi itu wajib

menjadi rukun atau sunat. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang

lain mengatakan tidak wajib, melainkan hanya sunat.


Firman Allah Swt. :

30
Apabila iddah mereka telah hampir habis, hendaklah kamu rujuk dengan baik, atau

teruskan perceraian secara baik pula, dan yang demikian hendaklah kamu

persaksikan kepada orang yang adil di antara kamu, dan orang yang menjadi saksi itu

hendaklah dilakukan kesaksiannya itu karena Allah. (QS. At-Talaq : 2)


3. Sigat (lafaz). Sigat ada dua, yaitu :
a. Terang-terangan, misalnya dikatakan, Saya kembai kepada istri

saya, atau Saya rujuk kepadamu.


b. Melalui sindiran, misalnya Saya pegang engkau, atau Saya

kawin engkau, dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai

untuk rujuk atau untuk lainnya.

Sigat itu sebaiknya merupakan perkataan tunai, berarti tidak digantungkan dengan

sesuatu. Umpamanya dikatakan, Saya kembali kepadamu jika engkau suka, atau

Kembali kepadamu kalau si Anu datang. Rujuk yang digantungkan dengan

kalimat seperti itu tidak sah.

Rujuk dengan perbuatan (campur)

Berbeda-beda pula paham ulama atas hukum rujuk dengan perbuatan. Syafii

berpendapat tidak sah, karena dalam ayat yang di atas itu Allah menyuruh supaya

rujuk tersebut dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya dengan

sigat (perkataan). Perbuatan seperti itu sudah tentu tidak dapat dipersaksikan oleh

orang lain. Akan tetapi, menurut pendapat kebanyakan ulama, rujuk dengan

perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah Swt. :

Dan suami-suaminya berhak merujukinya. (QS. Al-Baqarah : 228)

Dalam ayat tersebut tidak ditentukan apakah dengan perkataan atau dengan

perbuatan. Hukum mempersaksikan dalam ayat di atas hanya sunat, bukan wajib,

qarinah-nya adalah kesepakatan ulama (ijma) bahwa mempersaksikan talak ketika

31
menalak tidak wajib; demikian pula hendaknya ketik rujuk, apalagi rujuk itu berarti

meneruskan pernikahan yang lama, sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu rida

orang yang dirujukinya. Mencampuri istri yang dalam iddah rajiyah itu tidak halal

bagi suami yang menceraikannya, menurut pendapat Abu Hanifah. Dasarnya karena

dalam ayat itu ia masih disebut suami.

Peringatan

Rujuk itu sah juga meskipun tidak dengan rida si perempuan dan tanpa

sepengetahuannya, karena rujuk itu berarti mengekalkan pernikahan yang telah lalu.

Kalau seorang perempuan rujuk oleh suaminya, sedangkan dia tidak tahu, kemudian

sesudah lepas iddah-nya perempuan itu menikah dengan laki-laki lain karena dia

tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk kepadanya, maka nikah yang kedua ini tidak

sah dan batal dengan sendirinya, dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada

suaminya yang pertama.

Sabda Rasulullah Saw. :

Barang siapa dia antara perempuan yang bersuami dua, maka dia adalah untuk

suaminya yang mula-mula di antara keduanya. (Riwayat Ahmad)

Rujuk menurut pendapat yang tersebut di atas adalah sah. Tetapi kalau hal itu

akan menimbulkan kesulitan atau menyakiti perempuan, sudah tentu si suami akan

mendapat hukuman yang setimpal dengan niat dan perbuatannya. Ayat-ayat dan

hadist di atas banyak sekali yang menerangkan bahwa suami wajib bersikap adil

seadil-adilnya dan sangat dilarang melakukan sesuatu yang menyakiti si istri.

32
B. KESIMPULAN

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau

masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang

amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat

dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan

kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan

antara satu dengan yang lainnya.

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh teguhnya dalam hidup

dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan

antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan

suaminya, kasih mengasihi , akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua

33
keluarga, dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala

urusan bertolong tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah

segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari

kebinasaan hawa nafsunya.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjid,Sulaiman,Haji,2015.Fiqih Islam,Bandung : Sinar Baru Algensindo

Ust. Labib Mz & Aqis Bil Qisthi , 2005.Risalah Fiqih Wanita, Surabaya : Bintang Usaha Jaya

34

Anda mungkin juga menyukai