Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini
mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat
dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13.
keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh
madzhab, terutama madzhab Syafiie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitabkitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah
berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pinangan atau dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk pada KHI
1991 Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini - sering
- dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum
Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang
berhubungan dengan khitbah, mohon maaf atas segala kekurangan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Khitbah ?
2.
Bagaimanakah dasar hukum khitbah dalam al-Quran dan hadist ?
3. Apa sajakah macam-macam dan batasan pergaulan dalam Khitbah itu ?
4. Ada berapakah syarat-syarat khitbah ?
5.
Bagaimanakah konsekuensi pembatalan khitbah ?
6. Apakah hikmah dari khitbah itu ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui pengertian dari khitbah
2.
Mengetahui dasar hukum hitbah dalam al-Quran dan Hadist
3.
Mengetahui macam-macam dan batasan pergaulan dalam khitbah
4.
Mengetahui syarat-syarat khitbah
5.
Mengetahui konsekuensi pembatalan khitbah
6.
Mengetahui hikmah dari khitbah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khithbah
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang lakilaki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seseorang yang
dipercayainya. Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah
yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang
diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syari ikhwan tersebut menjalaninya
dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya.
Adapun salah satu tujuan disyariatkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak
dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan yang dimaksud
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan
tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).
Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang
sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga
yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang maruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk
melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt,
berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Masud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban.
Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan
menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum
karena hal itu dapat menjadi perisai.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah
yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin Auf yang mengkhithbah
Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
Abdurrahman Bin Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:Maukah kamu
menyerahkan urusanmu kepadaku? Ia menjawab Baiklah!, maka Ia
(Abdurrahman Bin Auf) berkata: Kalau begitu, baiklah kamu saya
nikahi. (HR.Bukhari).
Abdurrahman Bin Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat
Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah
gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih
sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus
menikahinya.
Kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung
calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak
menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin Auf atas kejadian ini.

Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki
agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (Syamsudin Ramdhan, 2004:56).
Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata
Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau. Rasulullah
Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika
melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun
tertunduk (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan
jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya
terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan
secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
B. Dasar Hukum Khitbah
Sungguh Islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifatsifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan
orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan
pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi
dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya.
Di dalam hadits disebutkan:

, ,


Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah bersabda: jika seseorang meminang
perempuan, maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan
untuk melihatnya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang
menarik untuk menikahinya maka nikahilah.
Sedangkan di dalam al-Quran juga disebutkan:



( : )
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah
kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang maruf. Dan janganlah kamu
berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

C. Macam-Macam dan Batasan Pergaulan dalam Khitbah


Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga
tidak mungkin dipahami dari ucapan itu, kecuali untuk peminangan, seperti
ucapan, saya berkeinginan untuk menikahimu.
2. Secara tidak langsung( tarif), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus
terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat
dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan. Tidak ada orang yang tidak
sepertimu, adapun sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa
laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan.
Diperbolehkan juga bagi wanita untuk menjawab sindiran itu dengan kata-kata
yang berisi sindiran juga. Perempuan yang belum kawin atau yang sudah kawin
dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran atau
secara tidak langsung.
Jika seorang perempuan ditinggal wafat oleh suaminya maka seorang laki-laki
tidak boleh melamarnya secara terang-terangan , karena ia masih dalam keadaan sedih
atas kematian orang yang dicintainya, Namun seseorang bisa melamarnya secara
kinayah selama masa iddahnya, jika masa iddahnya telah berlalu maka ia boleh
melamarnya secara terang-terangan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW melakukan hal yang sama ketika melamar Ummu Salamah Ra,
yang ketika itu masih dalam keadaan iddah atas kematian suaminya, Abu Salamah.
Beliau mengatakan kepada Ummu Salamah, Engkau mengetahui bahwa saya
adalah seorang Rosullah Saw dan sebaik-baik rosul, dan engkau juga mengetahui
kedudukanku di antara kaumku. Ini merupakan ucapan kinayah bahwa beliau ingin
melamarnya.
Hukum meminang seorang wanita secara terang-terangan yang sedang iddah ,
tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah masa iddahnya habis, maka dalam hal ini
para ulama fikih berbeda pendapat .
Menurut imam Malik, akad nikahnya sah, tetapi meminangnya secara terangterangan itu hukumnya haram, Tetapi , bilamana akad nikahnya terjadi pada masa
iddah, maka para ulama sepakat akad nikahnya harus dibatalkan, sekalipun antara
mereka telah terjadi persetubuhan.
1. Batasan Pergaulan Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi
bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa
proses ini, karena Peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin
akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui. Oleh karena itu, walaupun telah
terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon
istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang
dilarang untuk diperlihatkan karena agama tidak memperkenankan melakukan sesuatu

terhadap pinangannya kecuali melihat, apabila menyendiri dengan pinangannya akan


menimbulkan perbuatan yang dilarang oleh agama. Akan tetapi bila ditemani oleh
salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat
maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasullah Saw bersabda:

( )
Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan
Yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaithan
Masalah ini sering disepelekan oleh para perempuan dan walinya, mereka
membiarkan begitu saja anak perempuannya bepergian kesana-kemari, padahal belum
ada ikatan sama sekali. Tanpa mengenal batas kesopanan, mereka bebas bergaul
dengan calon istrinya padahal masih dalam keadaan status pinangan, mereka sering
mengubar nafsu tanpa memperhatikan aspek kesopanan dan batas pergaulan secara
wajar, perbutan seperti ini secara tidak langsung akan berpengaruh jelek pada
perkembangan masyarakat.
2. Batasan Pergaulan yang Boleh Dilakukan dalam Khitbah
Adapun batasan pergaulan yang boleh dilakukan ketika dalam masa khitbah adalah:
1. Seorang peminang boleh melihat calon istrinya dengan berniat benar-benar ingin
menikahinya, yang boleh dilihat pada waktu meminang adalah wajah dan telapak
tangannya calon istri, sebab wajah adalah pancaran jiwa, sedangkan kedua
telapak tangan biasanya menunjukan kebersihan tubuh dan kesuburannya.
2. Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus
kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dengan calon istri
dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah wanita asing sebelum
adanya akad nikah
3. Pada saat meminang, sang peminang dengan yang dipinang tidak diperkenankan
berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga. Sebab islam mengharamkan
pertemuan seorang laki-laki dan perempuan (bukan mahramnya) secara berduaan.
Itulah beberapa ketentuan dan tata cara ketika meminang calon istri, sebagai ajaran
yang hakiki dan sempurna, islam menentukan ketentuan tersebut dalam syariat. Siapa
pun yang berpaling dari ketentuan mulia itu, tentu mereka akan menerima dosa dan
tuntutan Allah Swt.
D. Syarat Melakukan Khitbah
1. Syarat Mustahsinah (lebih baik)
Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang
akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan yang akan
dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak.
Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa
anjuran dan kebiasaan yang baik.

Yang termasuk syarat mustahsinah itu adalah:


Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang
meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik rupanya, sama
dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang mempuanyi sifat
kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran
Rasulullah saw.
Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang jauh hubungan
darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang laki-laki
menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.
Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti, dan
sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.
2.
Syarat Lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau
khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Syarat lazimah tersebut adalah:
Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki lain. Apabila
sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki tersebut telah melepaskan hak
pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.
Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa iddah adalah
masa menunggu bagi seorang perempuan yang ditalak suaminya. Haram
hukumnya melamar peempuan yang sedang dalam masa iddah talak rajii.
Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya,
perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang akan melamarnya.
E. Membatalkan Khitbah
Hati manusia itu selalu berubah-ubah karena ia adalah fitrah yang
dikaruniakan oleh Allah SWT. Begitu juga dalam masalah khitbah, bisa jadi pihak
laki-laki yang membatalkan lamarannyaatau sebaliknya, pihak perempuan mencabut
kembali keputusannya untuk menerima lamaran pihak laki-laki. Hal ini bisa terjadi,
dan kenyataannya memang banyak terjadi.
Dalam islam, membatalkan lamaran adalah sah-sah saja, sebab lamaran
hanyalah janji dan pengantar mkenuju pernikahan, bukan akad. Sehingga, lamaran itu
bisa diputus kapan saja. Hanya ,tindakan seperti ini sangat dibenci oleh siapa pun ,
terutama pihak yang dilamar. Jika alasan memutus lamaran adalah karena terkait
dengan persoalan syariat, itu tidak masaah. Namun jika alasannya mengada-ngada
maka islam sangat mencelanya, karena termasuk dalam sifat-sifat orang-orang
munafik.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, tatkala kematian menghampiri Abdullah
bin umar ra, ia berkata, lihatlah laki-laki itu (seorang laki-laki dan kalangan quraisy)

saya telah mengucapkan kepadanya kata-kata yang mirip dengan perjanjian. Dan saya
tidak ingin menemui allah SWT dengan memikul sepertiga kemunafikan, saya
bersaksi di hadapan kalian semua bahwa saya teah menikahkannya.. demikian
gambaran kosisitansi para shahabat dalam menjalankan janji mereka. Janganlah kita
dengan mudahnya membatalakan lamaran pernikahan, kecuali alasan syari karena itu
akan menyebabkan rasa sakit hati, dan memicu timbulnya permusuhan diantara kedua
belah pahak.
Sementara itu adat berkembang di Indonesia, ketika dilangsungkan lamaran,
biasanya membawa barangbarang tertentu sebagai pengikat, bahkan ada yang telah
memberikan sebagian mahar. Jika begitu apa yang harus dilakukan jika dibatalkan
lamaran ?. jika diberikan itu adalah bagian dari mahar maka ia harus dikembaliakan.
Mahar baru boleh dimiliki setelah terjadi akad nikah. Sebelum itu mahar masih
menjadi milik laki-laki.
Sedangkan jika barang-barang yang diberikan itu hanyalah hadiah untuk
mempererat hubungan diantara kedua belah pihak maka ia sama hukumnya dengan
hibah. Dan itu tidak boleh diambil lagi, kecuali atas keridhoaannya. Barang yang
diberikan itu telah masuk kedalam hak kepemilikan pihak perempuan, tentang hal ini
rasulullah bersabda.


Tidak boleh bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian, kemudian
mengambilnya kembali, kecuali baqpak kepada anaknya.
Dalil-dalil pembatalan khithbah
Dalil yang menunjukkan mubahnya membatalkan pinangan adalah hadis
berikut;

(110 /16)







Dari Al Araj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu
alaihi wasallam, beliau bersabda: Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab
perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencaricari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orangorang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan
saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya. (H.R.Bukhari)
Lafadz hingga ia menikahinya atau meninggalkannya menunjukkan orang
yang telah mengkhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah pinangan
tersebut diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau meninggalkan pinangannya.

Jika dia memilih meninggalkan pinangannya maka hal itu bermakna dia
membatalkan pinangan. Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz
dari Rasulullah
yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan.
Oleh karena itu membatalkan pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi
haram.
Kebolehan membatalkan bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas tidak
diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi,
pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap
mubah tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status
hukum dan tidak dipertimbangkan.
Ali pernah melamar seorang wanita, kemudian membatalkan pinangannya.
Bukhari meriwayatkan;

(69 /12)


Dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku Ali bin Husain bahwa Al Miswar
bin Makhramah berkata; Ali pernah meminang putri Abu Jahal, lalu hal itu
didengar oleh Fathimah. Maka Fathimah menemui Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan berkata; Kaummu berkata bahwa baginda tidak marah demi putri
baginda. Sekarang Ali hendak menikahi putri Abu Jahal. Maka Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam berdiri dan aku mendengar ketika beliau bersyahadat
bersabda: Hadirin, aku telah menikahkan Abu Al Ash bin ar-Rabi lalu dia
berkomitmen kepadaku dan konnsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan
sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila
ada orang yang menyusahkannya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dan putri dari musuh Allah pada satu orang laki-laki.
Maka Ali membatalkan pinangannya. (H.R.Bukhari)
Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;
{ ( 2) [ } 3 2 :]
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apaapa yang tidak kamu kerjakan. (As-Shoff;2-3)
Maka ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan
Khitbah/pinangan karena ayat ini sama sekali tidak berbicara topik pernikahan atau
Khitbah. Ayat ini berbicara tentang Jihad dan mencela sebagian kaum muslimin yang

mengucapkan statemen pengandaian yang berisi keinginan mereka melakukan amal


yang paling dicintai Allah. Ternyata, setelah turun ayat yang memberitahu bahwa
diantara amal yang paling dicintai Allah adalah berbaris rapi dalam rangka berjihad,
sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian itu merasa berat
dengan kewajiban Jihad padahal sebelumnya mereka mengangan-angankannya. Sikap
seperti inilah yang dicela oleh Allah dalam ayat ini. Yang menguatakan bahwa ayat ini
turun berkaitan masalah Jihad adalah ayat sesudahnya yang berbunyi;

{


[ } 4 :]

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan


yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (AsShoff;4)
Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;

1) 58) /


Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Tandatanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika
diberi amanat dia khianat. (H.R.Bukhari)
Maka hadis ini juga tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan
pinangan. Hal itu dikarenakan, meskipun diakui bahwa Syariat mencela sifat
mengingkari janji, namun pinangan bukanlah janji dan tidak bisa dimasukkan dalam
janji. Pinangan adalah ( permintaan Nikah). dalam Mujam Lughati ALFuqoha dinyatakan;

(237 /1)
:
Khithbah, dengan mengkasrohkan Kho adalah; permintaan menikahi wanita
kepada wanita itu sendiri atau kepada walinya (Mujam Lughati AL-Fuqoha, vol.1,
hlm 237)
Janji untuk menikahi seorang wanita (secara diam-diam) sendiri dicela dalam
Al-Quran, dan dilarang seorang Muslim melakukannya. Allah berfirman;
{[ } 235 :]
Janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia (AlBaqoroh; 235)
Jadi, keputusan membatalkan pernikahan baik dari pihak lelaki maupun
wanita dengan alasan apapun tidak bisa disalahkan secara hukum syara.

F. Hikmah Khitbah
Akad nikah dalam islam tergolong akad yang paling agung dan paling tinggi
kedudukannya, karena ia hanya terjadi pada makhluk yang yang paling agung di
bumi, yakni manusia yang di muliakan Alloh, sebagaimana firman-NYA
s)s9ur $oYBx. _t/ tPy#u NgoY=uHxqur *
hy99$# st79$#ur NgoY%yuur iB Mt7h9$#
OguZ=sur 4n?t 9V2 `JiB $oY)n=yz Wxs?

Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. (QS.Al-isra(17):70)
[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan
di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Akad nikah untuk selamanya sepanjang masa bukan untuk sementara . Salah satu
dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sakral
terhadap yang lain kecuali setelah di seleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi
calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan
dapat meletakkan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan
ketenangan .
Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali
keburukan bagi ke dua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah di antara hikmah di
syariatkan khitbah dalam islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang
agung.
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
a.
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan.
Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masingmasing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang
mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor
syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima
dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap
saling menjaga, merawat dan melindungi.
b.
Sebagai penguat ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan
peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW bersabda
pada seseorang yang telah meminang perempuan: melihatlah kepadanya karena
yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang
perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya
(walinya). Khitbah didalam bahasa Indonesia disebut peminangan berasal dari kata
pinang, meminang (kata keerja). Menurut etimologi meminang atau melamar
artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang
lain). Menurut terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita. Atau seorang laki-laki
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang umum
berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Proses khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan
sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan
mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau
wali pihak akhwat.
Hal yang perlu dipahami dalam khitbah diantaranya adalah:
1.
Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
2.
Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
3.
Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
4.
Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
B. Saran
Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan
bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT.
Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin.

DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar ..
Daftar Isi .
BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah ..
3. Tujuan Penulisan
BAB II
A.
B.
C.
D.
E.
F.

i
ii
iii

1
1
1

Pembahasan

Pengertian Khithbah
Dasar Hukum Khitbah
Macam-Macam dan Batasan Pergaulan dalam Khitbah
Syarat Melakukan Khitbah ..
Membatalkan Khitbah .
Hikmah Khitbah .

2
2
4
5
6
10

BAB III PENUTUP


1. Kesimpulan .
2. Saran ..

11
11

Makalah Fiqih

KHITBAH (MEMINANG)
DALAM PANDANGAN
ISLAM

Disusun Oleh :
Resti Novita Sari
Enza
Ultari Novia Ps

MAN MUARA TEMBESI

KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami ucapkan atas segala rahmat dan hidayah
Allah Swt hingga akhirnya kami dapat menyelsaikan makalah yang
berjudul Khitbah (Meminang) Menurut Pandangan Islam
Kami sebagai penulis berharap materi yang kami tuangkan
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Tak ada
Gading yang Tak Retak, dan kesempurnaan hanyalah milik Allah
semata, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari
pembaca kami tunggu untuk perbaikan makalah yang akan datang.
Akhirnya kami dari sebagai penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga segala bantuan
yang diberikan mendapat ridho dari Allah SWT. Amin
Muara Tembesi, Januari 2014
Penulis

Anda mungkin juga menyukai