I. PENDAHULUAN
Pembahasan Thaharah (bersuci) merupakan bahasan paling penting dan utama
dalam kitab fikih. Sebelum menjelaskan lebih lanjut soal shalat, puasa, zakat, dan
haji, biasanya penulis kitab fikih memaparkan persoalan terlebih dahulu, karena
bersuci pintu masuk ibadah. Tanpa bersuci, ibadah yang dilakukan tidak sah.
Karenanya, sebelum beribadah pastikan kalau kita dalam kondisi suci dan sudah
bersuci.
Dalam kitab fikih dijelaskan, Thaharah ialah membersihkan diri dari kotoran yang
dapat dirasakan. Kotoran yang ada pada manusia dapat dibagi menjadi dua: ada
kotoran yang berasal dari dalam tubuh, seperti air kencing dan lain-lain; ada juga
kotoran yang berasal dari luar tubuh manusia, semisal najis yang menempel pada
tubuh. Agar kembali bersih dan suci, Islam mewajibkan umatnya untuk bersuci,
terutama sebelum melakukan ibadah.
Alat yang bisa digunakan untuk bersuci ada banyak, di antara alat yang paling
utama dan direkomendasikan ialah air. Kalau tidak menemukan air dibolehkan
menggunakan debu (tayamum). Demikian pula pada saat istinja’, bila tidak ada
air dibolehkan menggunakan batu yang kasat.
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan
badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah
secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang
memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya.
Karena ia tidak terbebas dari ketidak sucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel
baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibaadah ritual, caranya
bermacam-macam tergantuk level kenajisannya.bila najis itu ringan cukup dengan
memercikan air saja, maka najis itu dianggap sudah lenyap, bila najis itu berat,
harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu
pertengahan, disucikan dengan cara, mencusikanya dengan air biasa hingga hilang
warna najisnya, dan juga hilang bau najisnya dan hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi.
ّ الحكميه هي التى تجاوز محل ما ذكر فى غسل األعضاء عن الحدث
فإن محل
]4[ مثال خرج منه خارج.السبب الفرج
Seseorang yang tidak batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran
yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu,
bila ia ingin melakukan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya
dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum
dikatakan suci dari hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara
fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak
suci untuk melakukan ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan
cara wudhu atau mandi janabah.
3. Air Mutlak yang Makruh memakainya (air yang suci lagi mensucikan
tetapi makruh memakainya)
Air yang makruh memakainya menurut hokum syara’ atau juga dinamakan
kahariyatut tanzih ada delapan macam , yaitu:
1. Air yang sangat panas
2. Air yang sangat dingin
3. Air yang berjemur
4. Air di negeri Tsamud selain dari air sumur naqah
5. Air di negeri kaum Luth
6. Air telaga Barhut
7. Air didaerah Babel dan
8. Air ditelaga Zarwan[11]
4. Air musta’mal
Air musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau mencuci
najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis, kalau
memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya suci.
VI. KESIMPULAN
Thaharah merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Alloh kepada
hamba sebelum melakukan ibadah yang lain. Thaharah hanya dilakukan dengan
sesuatu yang suci dan dapat menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa
sesungguhnya islam sangat menghargai kesucian dan kebersihan sehingga
diwajibkan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjaga kesucian dirinya,
hartanya serta lingkungannya. Hal ini dibuktikan dengan bab thaharah adalah bab
pertama yang dibahas dalam setiap kitab fiqih yang ada.
Waullahu ‘Alam
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Moch, Fiqih Islam Tarjamah Matan Taqrib, Bandung: PT Alma’arif, 1987
Abu Bakar Imam Taqiyuddin, Bin Muhammad Alhusaini , Kifayatul Akhyar, Surabaya:
Bina Imam, 2003