Anda di halaman 1dari 7

THAHARAH

OLEH : ELVI NUR RIDHO KHASANAH S.Ag

I. PENDAHULUAN
Pembahasan Thaharah (bersuci) merupakan bahasan paling penting dan utama
dalam kitab fikih. Sebelum menjelaskan lebih lanjut soal shalat, puasa, zakat, dan
haji, biasanya penulis kitab fikih memaparkan persoalan terlebih dahulu, karena
bersuci pintu masuk ibadah. Tanpa bersuci, ibadah yang dilakukan tidak sah.
Karenanya, sebelum beribadah pastikan kalau kita dalam kondisi suci dan sudah
bersuci.
Dalam kitab fikih dijelaskan, Thaharah ialah membersihkan diri dari kotoran yang
dapat dirasakan. Kotoran yang ada pada manusia dapat dibagi menjadi dua: ada
kotoran yang berasal dari dalam tubuh, seperti air kencing dan lain-lain; ada juga
kotoran yang berasal dari luar tubuh manusia, semisal najis yang menempel pada
tubuh. Agar kembali bersih dan suci, Islam mewajibkan umatnya untuk bersuci,
terutama sebelum melakukan ibadah.
Alat yang bisa digunakan untuk bersuci ada banyak, di antara alat yang paling
utama dan direkomendasikan ialah air. Kalau tidak menemukan air dibolehkan
menggunakan debu (tayamum). Demikian pula pada saat istinja’, bila tidak ada
air dibolehkan menggunakan batu yang kasat.

II.  DALIL-DALIL THAHARAH

Dalil-dalil tentang thaharah, yaitu:

)122 : ‫ (البقرة‬. ‫ان هللا يحب التوابين ويحب المتطهرين‬


Artinya : sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah : 122).
ْ ‫عن ابي سعيد الخدرى "الطهور‬
)‫شط ُر اإل ْي َمان" (رواه المسلم‬
 Artinya: Kebersihan itu sebagian dari iman
‫ دخل عبد هللا بن عمر على ابن سعوده وهو مريض‬:‫ قال‬,‫عن ُمصْ َعب بن َس ْع ٍد‬
ُ
‫سمعت رسول هللا صلى هللا عليه‬ ‫ إنّي‬:‫ يا ابن عمر؟ قال‬,‫ اال تدعو هللا لي‬:‫فقال‬
‫من غلو ٍل وكنت على‬ ْ ‫ وال صدقة‬,‫طهور‬
ٍ ‫ ال تقبل الصالة بغير‬:‫ يقول‬,‫وسلّم‬
‫البصرة‬.
Artinya: dari mus”ab bin sa,id berkata: Abdullah bin umar pernah
menjenguk ibnu amir yang sedang sakit. Ibnu amir berkata: “Apakah
kamu tidak mau mendo’akan aku, hai ibnu umar?”. Ibnu umar berkata:
“saya pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “Shalat yang tanpa
bersuci tidak diterima begitu pula sedekah dari hasil korupsi”. Sedang
kamu adalah penguasa bashrah”.[3]

III. TUJUAN THAHARAH


Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:
1.      Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2.      Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba.
Nabi Saw bersabda:
 “Allah tidak  menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadas, sampai ia
wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah, bahwasanya Allah SWT memuji
orang-orang yang bersuci : firman-Nya, yang  artinya :“sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya”.(Al-Baqarah:122)
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih
diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas
ibadah seorang hamba.
Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-
keutamaan yang dianugerahkan oleh Alloh di akhirat nanti. Thaharah juga
membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan
ibadah-ibadah kepada Alloh. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia
sedang menghadap kepada Alloh, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba
bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi,
maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena wudhu adalah sarana untuk
menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk
siap melaksanakan sholat.
IV. PEMBAGIAN THAHARAH
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang
besar yaitu: Taharah Hakiki dan Taharah Hukmi.

1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan
badan,  pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh  dikatakan bahwa thaharah
secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang
memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya.
Karena ia tidak terbebas dari ketidak sucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel
baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibaadah ritual, caranya
bermacam-macam tergantuk level kenajisannya.bila najis itu ringan cukup dengan
memercikan air saja, maka najis itu dianggap sudah lenyap, bila najis itu berat,
harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu
pertengahan, disucikan dengan cara, mencusikanya dengan air biasa hingga hilang
warna najisnya, dan juga hilang bau najisnya dan hilang  rasa najisnya.

2.      Thaharah Hukmi.
ّ ‫الحكميه هي التى تجاوز محل ما ذكر فى غسل األعضاء عن الحدث‬
‫فإن محل‬
]4[‫ مثال خرج منه خارج‬.‫السبب الفرج‬
Seseorang yang tidak batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran
yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu,
bila ia ingin melakukan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya
dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum
dikatakan suci dari hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara
fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak
suci untuk melakukan ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan
cara wudhu atau mandi janabah.

V. KLASIFIKASI AIR DAN PENGGUNAANYA DALAM BERSUCI


1.      Air mulak (air yang suci lagi mensucikan)
Tidak boleh dan tidak sah mengangkat hadas dan menghilangkan najis melainkan
dengan air mutlak.[6]
Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:
1.      Air hujan
2.      Air laut
3.      Air sungai
4.      Air sumur
5.      Air yang bersumber (dari mata air)
6.      Air es
7.      Air embun.[7]
Ketahuilah tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib, mandi sunnat,
menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya
seperti tanah dalam bertayamum ..
Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :
1)      Tha’mun (Rasa)
2)      Launun (Warna)
3)      Rihun (Bau)
Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan ialah berubah
sifatnya, air mutlak itu terkadang berubah rasanya, warnanya, atau baunya sebab
dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk kedalam air itu kadang-
kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir,
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat sebagian mereka mengatakan “ Al-
mukhtalat itu ada yang tidak dapat diceraikan dari air”.
Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang yang tidak dapat
dibedakan  air menurut pandangan mata”.
Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujawir yang, cendana, minyak
bunga-bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih dianggap suci yang
dapat dipakai untuk ber bercuci, sekalipun banyak perubahannya. Karena
perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia akan menguap jua. Karena itu air yang
seperti ini dinamakan air yang mutlak, ban  dingannya air yang berubah karena
diasapkan dengan dupa atau berubaah baunya karena berdekatan dengan  bangkai.
Maka air yang seperti ini masih dianggap air yang suci dan dapt dipergunakan
untuk bersuci, baik berubah sifatnya.[8]

2.      Air suci tidak mensucikan


air yang berubah sebab bercampur dengan benda-benda suci lainnya (seperti teh,
kopi, dan sirup)[9]. Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan lain-lain yang
biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakan
nya masih terpelihara, jika sudah tidak, hingga tidak dapat lagi dikatakan mutlak
maka hukumnya ialah suci pada dirinya sendiri, tidak menyucikan bagi lainnya.
[10]

3.   Air Mutlak yang Makruh memakainya (air yang suci lagi mensucikan
tetapi makruh memakainya)
Air yang makruh memakainya menurut hokum syara’ atau juga dinamakan
kahariyatut tanzih ada delapan macam , yaitu:
1.      Air yang sangat panas
2.      Air yang sangat dingin
3.      Air yang berjemur
4.      Air di negeri Tsamud selain dari air sumur naqah
5.      Air di negeri kaum Luth
6.      Air telaga Barhut
7.      Air didaerah Babel dan
8.      Air ditelaga Zarwan[11]
4.      Air musta’mal
Air musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau  mencuci
najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis, kalau
memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya suci.

5.      Air  yang terkena najis


Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dua kolah, atau
air itu ada dua kolah tetapi berubah.[12]Maksudnya air yang kemasukan benda
najis didalamnya, andai kata air tersebut hanya tertulari bau busuk dari najis yang
dibuang dipinggirnya maka air yang demikian ini tidak najis, sebab tidak bertemu
langsung dengan najisnya. Dan yang dimaksud dengan berubah andai kata air
yang banyak tersebut tidak berubah dengan adanya najis atau najisnya hanya
sedikit dan hancur dalam air maka air yang demikian ini juga tidak najis. Dan
seluruh air itu boleh digunakan menurut mazhab yang shahih.[13]

VI. KESIMPULAN
Thaharah merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Alloh kepada
hamba sebelum melakukan ibadah yang lain. Thaharah hanya dilakukan dengan
sesuatu yang suci dan dapat menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa
sesungguhnya islam sangat menghargai kesucian dan kebersihan sehingga
diwajibkan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjaga kesucian dirinya,
hartanya serta lingkungannya. Hal ini dibuktikan dengan bab thaharah adalah bab
pertama yang dibahas dalam setiap kitab fiqih yang ada.
 Waullahu ‘Alam
DAFTAR PUSTAKA

 Anwar Moch, Fiqih Islam  Tarjamah Matan Taqrib, Bandung: PT Alma’arif, 1987

 H. Muqarrabin, Fiqih awam, Demak: Cv. Media Ilmu, 1997,

Mushtafa, Abid Bishri, Tarjamah Shahih Muslim, Semarang: CV Asy-Syifa, 1993


Al-Gazzi Ibnu Qosim, Hasiyah Asy-Syekh Ibrahim Al-Baijuuri, Baerut: Dar Al-Fikr,
2005
Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al-Kafi, Taqrirqtus Sadidah Fi Masailil
Mufidah, Surabaya: Dar Al-Ulum Al-Islamiyah, 2006

Abu Bakar Imam Taqiyuddin, Bin Muhammad Alhusaini , Kifayatul Akhyar, Surabaya:
Bina Imam, 2003

Muhammad Arsyad Al-Banjari Syekh, Sabilal Muhtadin, (Surabaya: PT Bina Ilmu)

Anda mungkin juga menyukai