PEMBAHASAN
A. THAHARAH
1. PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah atau bersuci menurut arti bahasa bermakna bersih. Sedangkan menurut
syara’ thaharah adalah membersihkan diri dari hadas dan najis agar dapat mengerjakan
shalat, seperti berwudlu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis yang melekat di
badan, pakaian dan tempat. Dengan kata lain, thaharah sebagai sebuah proses dan
ritual dalam rangka mengangkat hadats atau membersihkan najis, membutuhkan
semacam media. Para ulama sepakat bahwa media yang dominan digunakan untuk
berthaharah adalah air, di samping adanya media lain, yang bahkan menjadi salah satu
syarat sempurnanya thaharah seperti tanah.
1. Macam-macam Thaharah
Berdasarkan pengertian di atas, bersuci dalam Islam dibagi menjadi dua macam;
yaitu :
a. Bersuci dari Hadats. Bersuci dari hadats merupakan kategori bersuci khusus
untuk badan. Bersuci dari hadats ada tiga yaitu bersuci dari hadats besar
(mandi), bersuci dari hadats kecil (wudhu’) dan pengganti dari keduanya jika ada
udzur yaitu tayammum.
b. Bersuci dari Najis (kotoran) Bersuci dari najis dapat dihilang dengan membasuh,
dan mengusap
2. Alat-alat Bersuci
Alat yang dapat digunakan untuk bersuci ada 4 (empat) yaitu: air, debu yang
suci, alat samak, dan perubahan arak menjadi cuka. (Tuhfatut Thullab, hal. 3).
Dari keempat alat bersuci tersebut, air merupakan alat yang paling utama yang
disyariatkan dalam bersuci. Allah swt berfirman:
َو ُيَن ِّز ُل َع َلْي ُك ْم ِّم َن الَّس َم ۤا ِء َم ۤا ًء ِّلُيَط ِّهَر ُك ْم ِبٖه َو ُيْذ ِهَب َع ْنُك ْم ِر ْج َز الَّش ْي ٰط ِن َو ِلَي ْر ِبَط َع ٰل ى
ُقُلْو ِبُك ْم َو ُيَث ِّب َت ِبِه اَاْلْق َد اَۗم
Artinya: “Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan
kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguangangguan
syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak
kaki(mu). (QS. Al-Anfal : 11)
3. Pembagian Air
Air adalah media yang paling dominan dipakai dalam ritual berthaharah
(bersuci). Hanya saja tentu tidak semua jenis air atau benda cair dapat digunakan
untuk berthaharah. Atas dasar inilah, para ulama kemudian mengklasifikasikan jenis
air dalam berthaharah sekaligus hukum menggunakannya dalam beberpa jenis dan
hukum. Maksud dari hukum air adalah status hukum air sebagai pengangkat hadats
atau pensuci benda yang terkena najis.
1) Air Hujan
Para ulama sepakat bahwa air hujan yang turun dari langit hukumnya
adalah suci dan juga mensucikan. Sekalipun seandainya jika air hujan itu telah
tercemar dan mengandung asam yang tinggi karena polusi. Di mana air hujan
yang terkena tercemar oleh ulah tangan manusia itu tetaplah berstatus suci
dan mensucikan.
Dalil kesucian air hujan dan fungsinya yang dapat mensucikan, di
antaranya adalah firman Allah swt:
َع َلْيُك ْم ِّم َن الَّس َم ۤا ِء َم ۤا ًء ِّلُيَطِّهَر ُك ْم ِبٖه َو ُيْذ ِهَب َع ْنُك ْم ِاْذ ُيَغ ِّش ْيُك ُم الُّنَع اَس َاَم َنًة ِّم ْنُه َو ُيَنِّز ُل
َو ُيَثِّبَت ِبِه اَاْلْقَد اَۗم ِر ْج َز الَّش ْيٰط ِن َو ِلَيْر ِبَط َع ٰل ى ُقُلْو ِبُك ْم
2) Air Laut
Para ulama sepakat bahwa air laut juga berstatus hukum suci dan
mensucikan, meskipun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya
yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, embun, atau pun salju.
Faktor yang membedakan antara air laut dan jenis air lainnya inilah, yang
membuat para shahabat pada awalnya meragukan kesucian air laut. Sehingga
ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air tawar yang
mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum, mereka lalu berijtihad
untuk berwudhu menggunakan air laut. Sesampainya kembali ke daratan,
mereka langsung bertanya kepada Rasulullah saw tentang hukum
menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu. Lantas Rasulullah saw
menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya (bangkai hewan
laut) pun suci juga.
إنا، يا رسول هللا: سأل رجل النبي صلى هللا عليه وسلم فقال:عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال
أفنتوضأ بماء البحر؟ فقال رسول، فإن توضأنا به عطشنا، ونحمل معنا القليل من الماء،نركب البحر
«هو الَّط ُهوُر ماؤه اْل ِحُّل َمْي َتُتُه: »هللا صلى هللا عليه وسلم.
Artinya: Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada
Rasulullah saw: “Ya Rasulullah kami mengarungi lautan dan hanya membawa
sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan.
Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?.” Rasulullah saw menjawab:
“(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud)
3) Air Sumur
Para ulama sepakat bahwa air sumur, mata air, dan air sungai adalah air
yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah
melakukan proses pensucian. Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air
adalah hadits tentang sumur budha’ah yang terletak di kota Madinah.
َّس رِ لَ يلِ ق ح هَّ َأنِ ّ اْْ لْح ِد رى يٍد ِ عَ َِأىب سْ َ ن ع صلى هلال عَّ لِل ضأح اَّ ِو ل ليه وسلم
َََ و تَ َأنْ نِ مْ ْح ت َف َّ النَ ِ ب و اْلِكاَل حْ مَ حلَ َ حض و ي ا اْ حِل َ يهِ ف حَ ح حْطر يٌ ْ ر ئِ ب
َى ِهَ َ َة و حَ ضاعِ ر بْ ئِ ب حَ سَ ق وحل اَ ل رَّ لل »ِ صلى هلال عليه وسلم اَّ ٌ ءْ حَ شى ه ح
« ِّج س ن حٌ اَل ي حور َطه ح اءَ اْلم
5) Air Sungai
Air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya
dengan air sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi,
wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja dengan air sungai.
Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak
terbentung lagi, terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat
dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak
mengandung najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat
membahayakan kesehatan. Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu
karena memberikan madharrat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu
sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah wc atau bahkan orang-
orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai
berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski
jumlahnya banyak.
Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses
pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma
yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai, jelaslah air
itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau
membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa, aroma dan
warnanya berubah seperti bau najis.
6) Air Salju
Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu samasama air yang
turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara tertentu yang membuatnya
menjadi butir atau kristal salju.
Dengan demikian, hukum salju tentu saja sama dengan hukum air hujan,
sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya
saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju
yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci. Tentu saja harus
diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit.
7) Air Embun
Sebagaimana salju, embun juga bagian dari air, yang turun dari langit,
meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan
tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan dedaunan pada pagi
hari. Maka tetes embun itu bisa digunakan untuk berthaharah.
Sedangkan dalil kesucian salju dan embun serta fungsinya sebagai media
bersuci, disandarkan kepada hadits yang menjelaskan tentang kedudukan
dan fungsinya. Di dalam salah satu versi doa iftitah pada setiap shalat,
disebutkan bahwa kita meminta kepada Allah swt agar disucikan dari dosa
dengan air, salju dan embun.
Begitu juga dengan air yang dipanaskan dengan selain sinar matahari,
seperti dipanaskan dengan cara dimasak di atas tungku api. Para ulama
umumnya sepakat bahwa air jenis ini tidaklah makruh untuk digunakan bersuci,
lantaran tidak ada dalil yang memakruhkan.
Hanya saja, memang harus dihindari saat suhunya sangat panas, di mana
dapat berbahaya bagi tubuh. Dalam arti, jika air tersebut dapat membahayakan
tubuh, maka hukum menggunakannya tetap dilarangan atas dasar bahaya yang
timbul. Bukan karena alasan kesuciannya.
d. Air Najis
Air najis yaitu air suci yang terkena atau tercampur dengan benda najis. Air
yang tercampur dengan benda najis disebut dengan air mutanajjis ()متنجس
Para ulama sepakat bahwa jika air tersebut terkontaminasi oleh benda
najis hingga yang mendominasi adalah sifat kenajisan, maka air itu statusnya
adalah tidak suci, yang tentunya juga tidak bisa dipakai untuk mensucikan,
sebesar apapun jumlah volume air tersebut. Untuk bisa menilai apakah air yang
ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak,
para ulama membuat indikator yaitu rasa, warna, dan aroma.
Air najis sekali tidak bisa dipakai pula untuk mensucikan. Air najis dibagi menjadi 2
macam, yaitu:
a) Air sedikit yang terkena najis, baik berubah salah satu sifatnya atau
tidak berubah. Yang dimaksud air sedikit di sini adalah air yang kurang
dari 2 qullah.
b) Air banyak yang sudah berubah salah satu sifatnya karena bercampur
dengan benda najis, baik berubahnya itu sedikit atau banyak. Yang
dimaksud air banyak adalah air yang sampai 2 Qullah atau lebih.
B. NAJIS
1. PENGERTIAN NAJIS
Pengertian Najis Najis secara bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan atau
sesuatu yang kotor. Menurut syara’ najis adalah segala sesuatu yang haram
dikonsumsi/dimakan pada saat keadaan lapang (ikhtiyar), bukan dalam keadaan
terpaksa (dlarurat), yang mana sesuatu tersebut dapat menghalangi sahnya
shalat.
c. Najis mutawassithah
yaitu najis sedang/ pertengahan antara najis mukhaffafah dan najis
mughallazah. Termasuk dalam najis ini adalah segala sesuatu yang keluar dari
qubul dan dubur apapun bentuknya kecuali air mani, seperti kotoran
binatang dan bangkai selain bangkai manusia, belalang dan ikan.
C. WUDHU
1. Pengertian Wudhu
Wudhu menurut arti bahasa dalam bahasa Arab berasal dari kata alwadha'ah (
)الوضاءةKata ini bermakna an-Nadhzafah ( ) النظافةyaitu kebersihan dan keindahan.
Menurut pandangan syara’ wudlu adalah membasuh sebagian anggota badan
dengan syarat dan rukun tertentu untuk menghilangkan hadats kecil.
Pada dasarnya, wudhu diwajibkan setiap kali hendak melakukan shalat, karena
wudlu merupakan syarat sahnya shalat. Ketentuan wudlu didasarkan firman Allah
swt:
َاُّي َه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ُقْم ُتْم ِاَلى الَّص ٰل وِة َف اْغ ِس ُلْو ا ُو ُجْو َه ُك ْم َو َاْي ِدَي ُك ْم ِاَلى اْلَمَر اِفِق َو اْم َس ُحْو ا
ِبُرُءْو ِس ُك ْم َو َاْر ُج َلُك ْم ِاَلى اْلَك ْع َب ْي ِۗن
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (QS. Al-Maidah : 6)
2. Syarat Wudhu
a. Air yang digunakan adalah air yang suci dan dapat mensucikan.
b. Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh.
c. Tidak ada sesuatu yang dapat merubah sifat air pada anggota wudhu seperti
sabun dll.
d. Tidak ada yang menghalangi sampainya air pada anggota wudhu seperti cat,
getah, dll.
e. Harus masuk waktu shalat bagi orang yang terus menerus hadats (da'imul al-
hadats).
3. Rukun Wudhu
1) Niat
Niat adalah menyengaja melakukan sebuah pekerjaan saat memulai pekerjaan
tersebut. Niat wudlu harus dilakukan ketika membasuh permulaan muka.
2) Membasuh muka dari tempat tumbuhnya rambut kepala sebelah atas sampai
kedua tulang dagu bawah, dan dari telinga kanan sampai ke telinga kiri.
3) Membasuh dua tangan, sampai ke dua siku.
4) Mengusap sebagian dari kepala, baik itu berupa kulit atau rambut yang ada
dalam batas kepala.
5) Membasuh dua kaki sampai kedua mata kaki.
6) Tertib, yaitu mengurutkan rukun-rukun di atas.
5. Pembatal wudhu
1) Keluarnya sesuatu dari pintu depan (qubul) dan pintu belakang (dubur), baik
berupa zat atau angin biasa, seperti darah atau tidak biasa seperti ulat baik yang
keluar itu najis ataupun suci.
2) Hilangnya akal (kesadaran) yang disebabkan karena mabuk, gila, pingsan atau
tidur yang tidak menetapi pada tempatnya (ghairu mumakkin).
3) Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dan bukan
mahramnya secara langsung dan tidak ada penghalang (ha-il).
4) Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan telapak tangan tanpa ada
penutup, baik kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain, kemaluan orang
dewasa maupun kemaluan anak kecil.
D. MANDI WAJIB
1. Pengertian
Yang dimaksud mandi wajib adalah mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat
tertentu dan karena ada sebab-sebab tertentu pula.
َو ِاْن ُكْنُتْم َّم ْر ٰٓض ى َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ۤا َء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغ ۤا ِٕىِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم الِّنَس ۤا َء َفَلْم َتِج ُد ْو ا َم ۤا ًء
َفَتَيَّمُم ْو ا َص ِع ْيًدا َطِّيًبا َفاْمَس ُحْو ا ِبُوُجْو ِهُك ْم َو َاْيِد ْيُك ْم ِّم ْنُه َۗم ا ُيِر ْيُد ُهّٰللا ِلَيْج َعَل َع َلْيُك ْم ِّم ْن َحَر ٍج َّو ٰل ِكْن
ُّيِر ْيُد ِلُيَطِّهَر ُك ْم َو ِلُيِتَّم ِنْع َم َتٗه َع َلْيُك ْم َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن
Artinya: “…dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi
dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur. (QS. AlMaidah: 6)
2. Syarat-syarat Tayamum
1) Adanya udzur (halangan), yaitu:
a. Udzur karena sakit, yaitu apabila memakai air maka akan bertambah parah
atau lambat sembuhnya menurut keterangan dokter ahli.
b. Karena dalam perjalanan (musafir).
c. Karena tidak ada air atau ada air tapi air tersebut dibutuhkan untuk hal yang
lebih penting dan mendesak, misalnya untuk diminum.
2) Sudah masuk waktu shalat. Karena tayamum itu disyariatkan bagi orang yang
dalam keadaan terpaksa. Sebelum masuk waktunya shalat, maka ia belum
terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu.
3) Sudah berusaha mencari air, setelah masuk waktu shalat, tapi belum
mendapatkan.
4) Menggunakan tanah yang suci dan berdebu serta tidak bercampuran dengan
benda lain.
5) Menghilangkan najis yang mungkin melekat pada tubuh sebelum tayamum.
3. Fardu-fardu Tayamum
1) Niat, Niat tayamum harus dilakukan bersamaan ketika memindahkan debu ke
wajah. Orang yang bertayamum hendaklah berniat hendak mengerjakan shalat
dan sebagainya bukan semata-mata untuk menghilangkan hadats saja. Karena
sifat tayamum tidak dapat menghilangkan hadats.
2) Mengusap wajah dengan debu.
3) Mengusap kedua tangan sampai kedua siku.
4) Tertib, yaitu mengurutkan rukun-rukun di atas.
4. Sunnah Tayamum
1) Membaca bismilah.
2) Menghadap kiblat.
3) Mendahulukan tangan yang kanan dari pada tangan yang kiri.
4) Mendahulukan bagian atas ketika mengusap wajah.
5) Meniup debu dari telapak tangan agar menjadi tipis, sehingga tidak mengotori
wajah atau tangan.
6) Mengusap anggota tayamum dengan melebihi batas yang wajib diusap, baik
dalam wajah atau tangan.
7) Muwalah yaitu sambung menyambung dalam mengusap anggota tayamum.
Abdi Al-Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Husain Ibnu Amr. Bugiyah al-Mustarsyidin. Surabaya: Al-
Hidayah.
Abdu al-Hamid Ibnu Muhammad Ali Qudus. Syarhu Lathaif al-Isyarah. DarKutub Ihya’ al-Arabiyah.
Abu Al-Qasim Abdi Al-Karim Ibnu Muhammad Al-Quzwaini. Al-Muharrar. DarIhya Kutub al-Arabiyah.
Abu Hamid Al-Ghazali. Ihya’ Ulum Ad-Din. Sankapura: Darul Kutub Al-Islamiyah.
Abu Zakariya Yahya Al-Anshari. Fathu al-Wahhab Ala Syarhi Minhaj al-Thullab. Bairut : Dar Makrifah.
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Al-Maktabah As-Syamilah Ishdar 3
Dawud, Muhammad Ali. tt. Ulum al-Qur'an wa al-Hadits. Oman: Dar al-Bashir.
Ibnu Abdil Mu’thi Muhammad Ibnu Amr Ibnu Ali Nawawi. Nihayah al-Zai. Surabaya : Al-Hidayah.
Ibnu Zakariya Muhyiddin Ibnu Syaraf Al-Nawawi. Al-majmu’ ‘Ala Syarhi alMuhadzdzab. Al-nasyir :
Zakariya Ali Yusuf.
Syihabuddin Abi Al-Abbas Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami. Syarwani. Dar Shadir.