Anda di halaman 1dari 21

Praktik Thaharah

Allah tidak menerima shalat orang yang tidak bersuci dan shadaqah dari
hasil korupsi — HR. Muslim
Materi II Praktik Thaharah

A. Pengertian dan Dalil Thaharah


Pengertian Thaharah secara etomologis adalah „kebersihan‟ atau „kesucian‟. Menurut terminologi
syariah, Thaharah memiliki arti menghilangkan hadast dan najis dengan alat tertentu yang di tetapkan oleh
syara‟. Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian, tempat, atau benda-benda lain yang terkena najis,
sedangkan bersuci dari hadast hanya berlaku pada badan saja dengan cara wudhu, mandi besar atau
tayamum sebagai pengganti wudhu dan mandi
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al Qur‟an dan Sunnah:
1. Allah ta‟ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala
kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah:6)
2. Allah juga berfirman,“... dan jika kamu junub hendaklah bersuci ..”(QS. Al maidah : 6)
3. Allah berfirman, “ ...Maka pakaianmu bersihkanlah...” (QS. Al Mudatssir : 4)
4. Allah juga berfirman, “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri” (QS. Al Baqarah;222)
5. Rasulullah SAW bersabda, “Kunci shalat adalah bersuci”, dan sabdanya: ”Shalat tanpa wudhu
tidak diterima.” (HR.Muslim)
6. Rasulullah SAW, bersabda. “Kesucian adalah setengah iman.” (HR. Muslim)

B. Sarana untuk Bersuci


1. Air
Ditinjau dari hukumnya air dibagi menjadi empat
 Air Mutlak, yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan, karena belum berubah sifat (warna, rasa dan
bau) nya.
 Air Musyammas, yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan, namun makruh digunakan. Misalnya air
bertempat di logam yang bukan emas dan terkena panas matahari
 Air Musta‟mal, yaitu air suci tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan karena sudah dipakai untuk
bersuci, meskipun air tersebut tidak berubah warna, rasa dan baunya.
 Air Mutanajis, yaitu air yang terkena najis, dan jumlahnya kurang dari dua kulah (216 liter). Karenanya
air tersebut tidak suci, dan tidak dapat dipakai mensucikan. Akan tetapi jika lebih dari dua kulah serta
tidak berubah warna, rasa dan baunya, maka bisa digunakan untuk bersuci.

Air yang dipakai untuk bersuci adalah air mutlak yaitu air yang suci dan mensucikan. Yang tergolong
air mutlak ada tujuh macam :
 Air Hujan, “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-
Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh
dengannya telapak kaki(mu)” (QS. Al Anfal: 11)
 Air Laut, Rasulullah SAW bersabda, “Air laut itu suci mensucikan, dan bangkainya juga halal”.
(HR. Lima Ahli Hadist)
 Air Sumur, Air sungai, dan Air mata air,
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ketika beliau ditanya tentang air sumur Budho‟ah, beliau
menjawab :“Air sumur itu suci, tidak dinajisi oleh sesuatu apapun” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
 Air salju yang sudah mencair dan Air embun
Dasar hukum air salju dan embun adalah sabda Rasulullah SAW, ada pada doa Iftitah:
“.........Ya Allah, basuhlah aku dari segala kesalahanku dengan air salju dan air embun. (HR. Bukhari
Muslim)

Termasuk air mutlak adalah air yang mengalami perubahan tetapi tidak menghilangkan sifat suci men-
sucikan, baik perubahan itu terjadi pada warna, rasa dan bau atau salah satu diantaranya. Air tersebut adalah:
 Air yang berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di tempat yang mengandung
belerang.
Materi II Praktik Thaharah

 Air yang berubah karena lama tergenang, seperti air kolamAir yang berubah karena sesuatu yang terjadi
padanya, seperti ikan yang ada di dalamnya
 Air yang berubah karena tanah yang suci atau daun-daun yang jatuh dari pohon yang berdekatan

Ada satu macam air lagi yang suci dan dapat digunakan untuk mensucikan, namun haram dipakai yaitu
air yang diperoleh dengan cara ghasab (yakni mengambil tanpa izin pemiliknya atau mencuri).

1. Tanah, pasir, batu, dan debu yang suci


Tanah dijadikan sebagai alat thaharah jika tidak ada air, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit, atau
karena sebab lain. Allah berfirman, “…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kalian
dengan tanah yang suci,” (QS An Nisa : 43).
Rasulullah SAW bersabda, “Dijadikan bumi itu sebagai masjid dan suci bagiku,” (HR.Ahmad). Rasulul-
lah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya tanah yang baik (bersih) adalah alat bersuci seorang muslim, ken-
dati ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyen-
tuhkannya ke kulit,” (HR. Tirmidzi).
Di riwayat yang lain, “Rasulullah SAW mengizinkan Amr bin Ash RA bertayamum dari jinabat pada ma-
lam yang sangat dingin, karena ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang din-
gin.” (HR. Bukhari).

C. Najis
Najis adalah kotoran yang wajib untuk dihilangkan dan dibasuh.
Menurut tingkatannya najis dibagi tiga:
1. Najis Mukhoffafah (ringan) adalah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun, dan belum
makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menghilangkannya cukup diperciki air pada tempat yang
terkena najis tersebut.
2. Najis Mutawashitho (sedang). Yang terasuk najis ini adalah
a. Bangkai binatang darat yang mempunyai darah mengalir yang mati tanpa disembelih atau tidak dis-
embelih menurut syariat islam. Termasuk juga sesuatu yang dipotong dari binatang yang masih hidup
seperti telinga/ekornya.
b. Susu, tulang dan bulu hewan yang haram dimakan
c. Nanah
d. Darah, kecuali hati, limpa dan darah yang tersisa pada urat binatang yang disembelih
e. Muntahan
f. Segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur manusia dan binatang, baik yang biasa terjadi, seperti
air kecil dan air besar, ataupun jarang terjadi seperti madzi dan wadi.
 Madzi adalah cairan encer yang keluar ketika syahwat memburu atau ketika bercumbu rayu (dari
pihak wanita disebut qadzi). Sedangkan wadi adalah cairan putih kental yang keluar setelah
buang air kecil atau ketika dalam keadaan letih.
 Nanah, darah, dan muntahan yang sedikit dan sulit untuk dihindarkan, maka dimaafkan.
Najis Mutawashitho dibagi dua yaitu:
 Najis „ainiyah yaitu naijs yang berwujud dan dapat dilihat, misalnya kotoran manusia atau binatang.
 Najis hukmiyah yaitu najis yang tidak berwujud dan tidak terlihat, seperti bekas air kencing dan arak
yang mudah mengering. Cara membersihkan najis mutawashitho cukup dibasuh tiga kali agar sifat-
sifat najis (warna, rasa dan bau) nya hilang.

3. Najis Mugholladzoh (berat) adalah yang berasal dari anjing dan babi seperti air liur, daging, darah dan ko-
torannya. Cara menghilangkannya, dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan air yang bercam-
pur dengan tanah.
Materi II Praktik Thaharah

D. Hadast
Hadast adalah suatu keadaan tidak suci yang tidak dapat dilihat, tetapi wajib disucikan untuk sahnya
ibadah. Pembagian jenis hadast adalah,
Hadast kecil (shughro). Penyebabnya antara lain: keluar sesuatu dari dubur atau qubul, menyentuh kulit
lawan jenis yang bukan muhrimnya tanpa penghalang (menurut madzhab Imam Syafii) dan tidur nyenyak
dalam keadaan tidak tetap. Cara bersuci dari hadas ini ialah dengan berwudhu.
Hadast besar (kubro). Penyebabnya antara lain: keluar air mani, bersetubuh, wanita selesai haid, wanita
yang baru melahirkan dan selesai masa nifasnya dan seseorang yang baru masuk islam. Cara mensucikannya
adalah dengan mandi wajib.

E. Thaharah dari Najis


1. Istinja
Bersuci setelah buang air kecil atau air besar dinamakan istinja. Istinja menurut bahasa artinya terlepas
atau selamat, sedangkan menurut istilah syariah adalah bersuci sesudah buang air besar atau buang air kecil.
Hukum istinja adalah wajib, dan bagi yang tidak melakukannya maka berdosa. Hal ini disandarkan pada
sebuah hadist.
Ketika Rasulullah SAW melewati dua kubur, beliau bersabda, “Dua orang yang ada dalam kubur disiksa.
Yang seorang disiksa karena mengadu-adu orang, dan yang seorang lagi karena tidak bersuci dari
kencingnya.” (Sepakat Ahli Hadist).

Cara beristinja dapat dilakukan dengan salah satu dari cara berikut:
a. Membasuh dan membersihkan tempat keluar kotoran dengan air sampai bersih. Ukuran bersih ini
ditentukan oleh keyakinan masing-masin
b. Membasuh atau membersihkan tempat keluar kotoran dengan batu. Kemudian dibasuh dan diber-
sihkan dengan air.
c. Membersihkan tempat keluar kotoran dengan batu atu benda-benda kesat lainnya sampai bersih. Member-
sihkan tempat keluar kotoran sekurang-kurangnya dengan tiga buah atau sebuah batu yang memiliki tiga
permukaan sampai bersih.

Syarat-syarat istinja‟ dengan menggunakan batu atau benda keras/kesat terdiri dari enam macam:
a. Batu atau benda itu kesat dan harus suci serta dapat dipakai untuk membersihkan najis
b. Batu atau benda itu tidak termasuk yang dihormati seperti bahan makanan atau batu masjid
c. Sekurang-kurangnya dengan tiga kali usapan sampai bersih
d. Najis yang dibersihkan belum sampai kering
e. Najis itu tidak pindah dari tempatnya
f. Najis itu tidak bercampur dengan benda lain, meskipun benda itu suci dan tidak terpercik oleh air

Adab Buang Air


a. Mendahulukan kaki kiri pada waktu masuk temat buang air (WC)
b. Membaca doa masuk WC
“Bismillahi Allahumma innii‟ a-udzubika minal khubustsi wal khoba-its”
(Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu daripada kotoran dan dari segala
yang kotor).
c. Mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari WC
d. Membaca doa ketika keluar dari WC
“Ghufroonakal hamdu lilaahil ladzii adzhaba „annil adzaa wa‟aafaanii”
(Aku mengharap ampunan-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran yang menyakit-
kan diri saya, dan Engkau telah menyehatkan saya)
e. Pada waktu buang air hendaknya menggunakan alas kaki
f. Istinja hendaknya dilakukan dengan tangan kiri
Materi II Praktik Thaharah

Hal-hal yang dilarang ketika buang air


a. Buang air ditempat terbuka.
Dari Aisyah RA: Ia berkata: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang datang ke tempat
buang air hendaknya ia berlindung (di tempat tertutup).” (HR. Abu Daud).
b. Buang air di air yang tenang
Dari Jabir RA: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang buang air kecil di air yang tergenang” (HR.
Muslim)
c. Buang air di lubang-lubang karena kemungkinan ada binatang yang terganggu di dalam lubang itu.
Dari Qotadah RA: bahwa Rasulullah melarang buang air kecil di lubang. Sahabat-sahabat lain bertanya
kepada Qotadah: Mengapa dilarang buang air kecil di lubang? Ia menjawab, “Lubang itu adalah tempat
kediaman jin.” (HR. Ahmad, Nasa‟I, Abu Daud, Hakim dan Baihaqi).
d. Buang air ditempat yang dapat menganggu orang lain
Dari Abu Huroiroh ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jauhilah dua macam perbuatan yang di-
laknat.” Para sahabat bertanya: „Apa saja ya Rosul?”, Rosul bersabda: “Yaitu orang yang suka buang
air di jalan orang banyak atau di tempat untuk berteduh”, (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)
e. Buang air dibawah pohon yang sedang berbuah, sebab jika buah itu jatuh akan terkena najis dan buah yang
bernajis haram dimakan atau dijual
f. Bercakap-cakap kecuali terpaksa
Dari jabir RA, berkata : Rasulullah SAW bersabda : „Apabila dua orang buang air besar hendaklah
masing-masing bersembunyi dari yang lainnya dan jangan berbicara, karena Allah SWT mengutuk per-
buatan yang demikian itu. (HR Jamaah Ahli Hadist kecuali Bukhori)
g. Menghadap atau membelakangi kiblat, kecuali dalam tempat khusus dan tertutup
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang diantara kamu duduk
hendak buang air janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya (HR.Ahmad & Muslim)
h. Membawa ayat-ayat Al Qur‟an
i. Buang air sambil berdiri, karena bertentangan dengan kesopanan dan adab yang baik
j. Membersihkan kotoran dengan tangan kanan, karena tangan kanan untuk makan, minum, berpakaian dan
perbuatan-perbuatana baik. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hiban, Hakim dan Baihaqi)

2. Memercikkan Air
Bersuci dari Najis Mukhoffaf (ringan), cukup dengan dipecikkan air saja pada bagian yang terkena najis kecil
mukhaffaf

3. Mencuci dan membasuh dengan air


Bersuci dari Najis Mutawasithoh (sedang), cukup dibasuh tiga kali dengan air yang mengalir agar sifat-sifat
najis (yakni warna, rasa dan bau) nya hilang)

4. Menyamak
Bersuci dari Najis Mugholazzoh (berat), cukup dengan dicuci tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya
dengan air tanah

F. Thaharah dari Hadast


1. Wudhu
Perintah wajib wudhu ini turun bersama dengan perintah wajib shalat. Firman Allah SWT, “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu
sampai siku dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki,” (QS. Al Maidah: 6).
Sabda Rasulullah SAW, „Allah SWT tidak akan menerima sholat seseorang yang berhadast sehingga ia
berwudhu.” (HR. Abu Daud).
Materi II Praktik Thaharah

a. Syarat Wudhu ada 5 (lima)


1. Islam
2. Baligh
3. Tidak berhadast besar
4. Memakai air yang mutlak (suci dan mensucikan)
5. Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit, seperti getah & cat

b. Rukun Wudhu ada 6 (enam)


1. Niat.
"Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya tergantung dari niat. Dan sesungguhnya, setiap orang
hanya akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya...” (HR. Bukhori & Muslim)
2. Membasuh muka sebatas dari tempat tumbuh rambut di kepala sampai kedua tulang dagu dan dari ba-
tas telinga kanan sampai batas telinga kiri
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua mata siku
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6. Tertib atau beraturan

c. Sunnah Wudhu ada 16 (enam belas)


1. Diawali dengan membaca basmalah.
Rasulullah SAW bersabda: “Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.” (HR. Abu Daud)
2. Membasuh telapak tangan sampai pergelangan
Dari Aus bin Aus Ats Tsaqafi RA berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW berwudhu, maka beliau
membasuh kedua telapak tangannya tiga kali” (HR. Ahmad dan Nasa‟i)
3. Berkumur-kumur (Madhmadhah)
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu berwudhu hendaklah berkumur-
kumur tiga kali (HR. Abu Daud dan Baihaqi)
4. Bersiwak (menggosok gigi)
Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya tidak akan menyusahkan umatku, niscaya akan ku suruh
mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap kali berwudhu.“ (HR. Ahmad)
5. Menghirup air ke lubang hidung (Istinsyaq) dan mengeluarkannya dengan keras (istinsyar).
Rasulullah SAW bersabda: “Sempurnakanlah wudhu itu dan masukkanlah air ke hidung agak kuat, kec-
ual jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Lima Ahli Hadist)
6. Mengusap kedua telinga luar dan dalam
Dari Miqdam berkata”….kemudian Rasulullah menyapu kepala dan kedua telinganya luar dan
dalam,” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
7. Menyela-nyela jemari tangan dan kaki
Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila engkau berwudhu, silang si-
langilah anak-anak jari kedua tanganmu dan jari-jari kedua kakimu”
8. Tidak berbicara
9. Mendahulukan membasuh anggota wudhu bagian kanan
Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW suka mendahulukan yang kanan dalam memakai sandal,
menyisir, bersuci dan dalam segala hal (HR. Bukhori dan Muslim).
10. Membasuh anggota wudhu sampai tiga kali, kecuali kepala hanya satu kali.
Dari Usman RA: bahwa Rasulullah SAW berwudhu (membasuh masing-masing anggota wudhu) tiga
kali-tiga kali” (HR. Ahmad, Muslim & Tirmidzi)
11. Membaca doa setelah berwudhu (lihat gambar).
12. Muwalat / berturut-turut yaitu tidak diselingi dengan perbuatan lain
13. Menggosok-gosok anggota wudhu agar lebih bersih
14. Tidak diseka, kecuali ada hajat, seperti kedinginan
15. Tidak minta pertolongan orang lain dalam melakukan wudhu kecuali ada halangan seperti sakit
16. Tidak berlebih-lebihan menggunakan air
Dari Anas RA: bahwa Rasulullah SAW biasa mandi dengan satu sha‟ sampai lima mud air dan ber-
wudhu dengan satu mud air (HR. Bukhari Muslim).
Materi II Praktik Thaharah

Keterangan :
1 sha‟ = 3 1/3 liter
1 mud = 625 gram
Ukuran ini menurut kondisi daerah Arab yang susah air, pada prinsipnya tidak boleh berlebih-lebihan.

d. Perkara yang dapat membatalkan wudhu ada 6 (enam)


1. Keluar sesuatu dari dua pintu (kubul dan dubur) atau salah satu dar keduanya baik berupa air besar, air
kecil, angin, air mani atau yang lainnya.
2. Hilangnya akal karena gila, pingsan ataupun mabuk.
3. Bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan kulit perempuan dewasa kecuali mereka itu masih muhrim
4. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan batin telapak tangan, baik milik sendiri maupun milik
orang lain, baik dewasa maupun anak-anak
5. Tidur, kecuali apabila tidurnya dengan duduk dan masih dalam keadaan semula (tidak berubah
kedudukannya), dimana dubur tertutup selama tidur
6. Memakan daging unta. Karena ketika Rasulullah SAW ditanya: “Apakah kami harus berwudhu karena
makan daging unta? Nabi menjawab :”ya” (HR. Muslim).

e. Tata cara berwudhu sesuai tuntunan Rasulullah SAW


Diriwayatkan bahwa Utsman RA minta air lalu berwudhu. Beliau membasuk kedua telapak tangannya
tiga kali lalu berkumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali lalu
berkumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Lantas membasuh tan-
gan kanannya sampai siku tiga kali. Tangan kirinya juga begitu. Setelah mengusap kepalanya, kemudian mem-
basuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali. Begitu juga kaki kirinya. Kemudian berkata “Aku pernah
melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhuku ini. Lalu beliau bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu
seperti wudhuku ini, lalu shalat dua rakaat, dimana dalam dua rakaaat itu ia tidak berbicara dengan hatinya
sendiri, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
Tata Cara Berwudhu

1. Berniat
2. Mengucapkan “Bismillah”
3. Mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali
dan menyela-nyela di antara jari jemari kedua tangan. Lihat
Gambar No 2

4. Madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (menghirup


air ke dalam lubang hidung) dengan telapak tangan kanan
lalu istinsyar (menyemburkan air ke luar) dengan tangan
kiri. (Lihat gambar No.3) hal ini dilakukan sebanyak tiga
kali

5. Membasuh muka sebanyak tiga kali. Batasan muka adalah dari


telinga satu ke telinga yang lain dan dari batasan tempat tum-
buhnya rambut kepala di atas kening/dahi hingga dagu
(Lihat gambar No. 4)
Materi II Praktik Thaharah

6. Membasuh tangan kanan sebanyak tiga kali lalu tangan kiri


Dimulai dari ujung jari dengan menyela-nyela jari-jemari, lalu
menggosok-gosokkan air ke lengan, kemudian mencuci siku.
Demikian pula dengan tangan kiri Atau dimulai dari siku
hingga ujung jari. (Lihat gambar No. 5)

7. Mengusap seluruh kepala sebanyak satu kali. Kedua tangan


yang masih basah, dijalankan dari depan ke belakang hingga
tengkuk lalu kembali lagi ke depan tempat semula (Lihat
gambar No. 6)

8. Kemudian membasuh telinga, yaitu dengan memasuk-


kan kedua jari telunjuk ke dalam telinga dan kedua ibu
jari di bagian luar telinga. (Lihat gambar No. 6)
9. Membasuh kaki kanan sebanyak tiga kali, dari ujung jari ke
mata kaki, dengan cara mencuci mata kaki dan menyela-
nyela jari-jemari (Lihat gambar No.7) lalu membasuh kaki
kiri seperti itu pula

10. Mengucapkan doa setelah berwudhu

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilaah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan Rosul-
Nya” (Hadist Riwayat Muslim dan Tirmidzi)
Materi II Praktik Thaharah

2. Tayamum
Tayamum menurut bahasa sama dengan “al qoshdu”, artinya menyengaja atau menuju. Menurut syariah,
tayamum adalah mengusap muka dan dua tangan dengan debu yang suci dan dengan niat agar dapat mengerja-
kan shalat atau ibadah lain (bukan berniat menghilangkan hadast). Ini adalah rukhsoh (keringanan) bagi orang
yang tidak dapat memakai air dalam bersuci karena alasan tertentu.
Adapun dalilnya adalah surah An-Nisa:43 (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci). sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Adapun dalil dari hadist Rasulullah SAW, dari Abu Umamah Al Bahli RA Nabi SAW, bersabda, “Telah
dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan alat bersuci, maka dimanapun seorang dari umatku menemui
waktu shalat, maka disitu terdapat alat untuk bersuci,”. (HR. Ahmad).

a. Syarat-syarat tayamum
1) Telah masuk waktu sholat. Tayamum tidak sah bila dilakukan sebelum waktu shalat dan dikhawatirkan
bila menunggu adanya air akan habis waktu sholat.
2) Mencari air terlebih dahulu.
3) Tidak ada penghalang yang menghalangi sampainya media debu yang diusapkan pada anggota taya-
mum seperti minyak dan pasta.
4) Adanya udzur yang disebabkan oleh salah satu
 Bila tidak ada air, atau ada air tapi tidak mencukupi untuk bersuci.
 Tidak bisa menggunakan air karena adanya sebab dari beberapa sebab syar‟i.
 Ketika ada air yang jaraknya dekat tetapi untuk mengambilnya dikhawatirkan keselamatan jiwa
atau hartanya.
 Karena airnya sangat dingin dan di khawatirkan akan terjadi kemudaratan bila memakainya.
b. Rukun-rukun tayamum
1) Niat.
2) Menyapu muka dengan tanah.
3) Menyapu kedua tangan (ada yang berpendapat hingga siku, ada pula pendapat hingga pergelangan tan-
gan saja).
4) Tertib atau berurutan.

c. Sunnah tayamum
1) Mengawali dengan bacaan Basmalah.
2) Mendahulukan anggota tayamum sebelah kanan.
3) Bersiwak.
4) Meniup debu di telapak tangan agar menjadi tipis.

d. Perkara yang membatalkan tayamum


1) Segala yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum.
2) Mendapatkan air sebelum sholat.
3) Murtad.

e. Tata cara tayamum sesuai tuntunan Rasulullah


“Ammir bin yasir berkata, “Nabi SAW mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu ditengah perjalanan
aku junub, sedangkan aku tiidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah se-
bagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi SAW dan kuceritakan hal tersebut
kepada beliau, beliau pun berkata (yang artinya), „Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu
dengan melakukan hal ini‟, kemudian beliau memukulkan kedua telapak tangan pada tanah dengan sekali pu-
kulan lalu mengibaskannya. Kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya dengan
telapak tangannya. Kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya” (HR. Bukhori & Muslim)
Materi II Praktik Thaharah

Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa tata cara tayamum sebagai berikut:
1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/debu dengan sekali pukulan.
2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada kedua telapak tangan tersebut.
3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya
ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.
3. Mandi Wajib
Mandi menurut bahasa sehari-hari adalah membersihkan badan dengan air. Adapun mandi menurut
istilah syar‟i adalah, menghilangkan hadast besar. Dasar hukumnya dalam firman Allah Ta‟ala: “Dan jika
kamu junub maka mandilah” (QS. Al Maidah: 6 dan An Nisa: 43).
a. Sebab-sebab mandi
 Bersetubuh, baik mengeluarkan mani atau tidak.
 Keluar mani baik disengaja maupun tidak disengaja.
 Meninggal dunia, kecuali mati syahid.
 Sehabis masa haid/menstruasi bagi wanita.
 Sehabis nifas, yaitu mengeluarkan darah setelah melahirkan.
b. Rukun mandi besar ada 3 (tiga)
 Niat.
 Menghilangkan kotoran dan najis pada badan.
 Meratakan air ke seluruh tubuh.
c. Sunnah mandi besar ada 4 (empat)
 Diawali dengan membaca Basmallah.
 Berwudhu sebelum mandi.
 Menggosok seluruh tubuh dengan tangan.
 Mendahulukan bagian kanan dari yang kiri.
d. Larangan atas orang junub:
 Melaksanakan sholat.
 Melaksanakan thowaf.
 Menyentuh dan membawa mushaf.
 I‟tikaf (berdiam diri di masjid).
Materi II Praktik Thaharah

e. Mandi sunnah
 Mandi bagi orang yang akan melaksanakan shalat jum‟at
Dari Ibnu Umar: Rasulullah SAW bersabda, “ Apabila salah seorang kamu hendak pergi sholat
jum‟at, hendaklah ia mandi.” (HR. Muslim)
 Mandi ketika hendak wukuf di Arofah, sebelum hari Raya idul Fitri dan idul Adha
Dari Faqih bin Sa‟ad : “Sesungguhnya Nabi SAW mandi pada hari jum‟at, hari Arafah, hari Raya Idul
Fitri dan hari Raya Haji (HR. Abdulloh bin Ahmad).
 Mandi bagi orang yang baru sembuh dari gila
 Mandi menjelang haji dan umrah
Dari Zaid bin Tsabit, sesungguhnya Rasulullah SAW membuka pakaiannya ketika hendak ihram dan
beliau mandi (HR. Tirmidzi)
 Mandi sehabis memandikan mayat
Nabi SAW bersabda: ”Barangsiapa memandikan mayat, hendaklah ia berwudhu”(HR. Tirmidzi).
 Mandi bagi orang yang baru menyatakan diri memeluk islam
Dari Qais bin Ashim ketika ia masuk islam, Rasulullah SAW menyuruhnya mandi dengan air dan daun
bidara (HR. Lima Ahli Hadist kecuali Ibnu Majah).

f. Tata cara mandi wajib


Setiap mandi wajib maupun sunnah akan menjadi sah apabila dipenuhi rukun-rukunnya. Jika tidak, maka
mandi yang dilakukan seseorang akan terhitung mandi biasa yang hanya akan mendapatkan kebersihan badan.
Rukun-rukun mandi tersbut adalah:

a. Niat. Tanpa niat mandi tidak akan sah menjadi mandi wajib atau mandi sunnah. Niat yang membedakan
mandi biasa, mandi wajib dengan mandi sunnah. Orang yang akan mandi wajib harus berniat menghilang-
kan hadast besar dan yang melakukan mandi sunnah harus berniat melakukan mandi sunnah.
b. Membasuh seluruh anggota badan. Setiap orang yang akan mandi menghilangkan hadast, wajib merata-
kan air di sekujur tubuhnya, yang dikatakan (hakikat) mandi adalah membasuh air ke seluruh anggota
badan.

Dari Aisyah RA, Riwayat Bukhori dan Muslim, ia berkata “adalah Rasulullah SAW jika ia melakukan
mandi junub, beliau memulai dengan mencuci tangannya, kemudian menuangkan air dengan tangan
kanannya ke tangan kiri, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu, kemudian mengambil ait, lalu be-
liau memasukkan jari-jemarinya ke pangkal rambut. Kemudian beliau menuangkan air atas kepalanya seban-
yak tiga tuangan. Kemudian beliau menyiramkan air ke sekujur tubuhnya kemudian mencuci kedua kakinya.”

Wanita tidak perlu menggerai rambutnya ketika mandi karena junub. Tapi dianjurkan menggeraikan ketika
mandi karena haid atau nifas. Dalilnya, “gerailah rambutmu lalu mandilah”

Referensi :
Al Asqolani, Ibnu Hajar , Bulughul Maram

Al Qalyuby, Syihabuddin dan Umairah, Al Mahally, Mesir: Darul Kutub-Al Arabiyah.


As Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman , Al jami‟us Shagir fi-Ahaditsil-Basyir an Nadzir,
Beirut: Darul-Fikr
Sabiq, Sayyid , Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikr

Anda mungkin juga menyukai