Anda di halaman 1dari 17

FIQIH THOHAROH

Pengertian Thaharah
Thaharah adalah membersihkan dan menghilangkan diri dari kotoran baik berupa dzat seperti
najis atau maknawi seperti hasad dan dengki. 1 Dalam kitab al mughni dikatakan bahwa thaharah adalah
membersihkan dari kotoran.
Dalam pengertian yang lain, thaharah adalah mengangkat hadats (yaitu menghilangkan sifat yang
melekat pada badan seseorang yang menghalangi seseorang itu dari melakukan shalat dan sejenisnya) dan
menghilangkan khabats (yaitu najis)2

Jenisnya

Dari definisi diatas, thoharoh terbagi menjadi dua jenis:


a. Thoharoh dari najis : Hal ini berkaitan dengan badan, pakaian dan tempat.
b. Thoharoh dari hadas : Hal ini berkaitan dengan badan, yaitu bersuci dari hadas kecil dengan
berwudlu ataupun bersuci dari hadas besar dengan mandi janabah atau mandi besar

Wasilah Untuk Berthaharah

Ada empat cara untuk melakukan thaharah, yaitu, dengan air, dengan debu, dengan kulit kering
(telah disamak) dan batu untuk beristinja (istijmar). Ada empat tujuan dalam thaharah yaitu, untuk
berwudhu, untuk mandi, untuk tayamum dan untuk menghilangkan najis.3

Air
Berikut macam-macam air menurut para ulama:

1. Thuhur (muthlaq) yaitu air yang asli dari penciptaannya, baik berasal langsung dari langit
atau yang keluar dari bumi.
Allah berfirman, QS. Al Anfal: 11
Rasulullah bersabda,
ُّ ‫هُ َو‬
ُ‫الطهُو ُر َما ُؤهُ ال ِحلُّ َم ْيتَتُه‬
Artinya, "dia (air laut) adalah suci, airnya dan juga bangkainya." HR. khamsah dan dishahihkan
oleh at tirmizdi4
Untuk jenis ini masih terbagi menjadi empat macam:
a. Air yang haram dipergunakan, ia tidak dapat mengangkat hadats dan tidak menghilangkan khabats
dan bukan air yang mubah untuk dipergunakan seperti air dari hasil menggasob (mengambil tanpa
izin pemiliknya).
b. Air yang hanya dapat mengangkat hadats wanita dan tidak dapat menyucikan hadats laki-laki yang
baligh, yaitu air sisa wanita yang dipergunakan untuk menghilangkan hadats.
Ada beberapa riwayat mengenai hal ini, di antaranya,
‫ أَ َّن َرسُوْ َل هللاِ نَهَى أَ ْن يَتَ َوضَّأ َ ال َّر ُج ُل بِفَضْ ِل طُهُوْ ِر ْال َمرْ أَ ِة‬، ْ‫اري‬ ِ َ‫َع ِن ْال َح َك َم ا ْب ِن َع ْمرُو ْال ِغف‬
Dari Al Hakam bin Amru al ghifari  bahwasannya Rasulullah  telah melarang bagi laki-laki
berwudhu dengan sisa air yang untuk bersuci dari wanita." HR. Khamsah kecuali ibnu Majah An Nasa'i
dan menurut At Tirmizdi hadits ini hasan.
Hadits yang lain adalah,
َ‫س أَ َّن َرسُوْ َل هللاِ َكانَ يَ ْغتَ ِس ُل بِفَضْ ِل َم ْي ُموْ نَة‬ ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
Dari ibnu abbas bahwasannya rasuullah pernah mandi besar dengan sisa air dari Maimunah. HR.
Ahmad dan Muslim dan dalam riwayat ahmad dikatakan, "bahwa Rasulullah  pernah berwudhu dengan
sisa dari mandinya karena junub."

1
Yaqutun Nafis fi mazdhabi ibni Idris, Ahmad bin Umar Assathiri Al alawi Al Hisaini: 17
2
Manarussabil fi syarhi dalil Ibrahin bin Muhammad bin Salim: 1/ 25
3
Yaqutun Nafis fi mazdhabi ibni Idris, Ahmad bin Umar Assathiri Al alawi Al Hisaini: 18
4
Lihat di irwaul ghalil no. 9
1
Maka berdasarkan hadits di atas, para ulama memberikan pernjelasan tentang bagaimana
menggunakan sisa air dari seorang wanita, 5
 Dinukil dari imam An Nawawi beliau menjelaskan bahwa telah disepakati akan bolehnya seorang
wanita menggunakan sisa air wudhu laki-laki dan tidak boleh jika sebaliknya.
 Penulis nailul authar mengatakan bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa itu adalah
keringanan (rukhshah) bagi seorang laki menggunakan air sisa wanita namun imam Ahmad
menyatakan makruh demikian juga Ishaq.
 Adapun mandinya laki-laki dan wanita dan juga wudhunya dengan bersama-sama tidak ada
perselisihan akan kebolehannya. Ummu salamah berkata, "saya dan Rasulullah  pernah mandi
junub bersama-sama deri satu bejana." HR. muttafaq alaih
c. Air yang makruh untuk dipakai seiring bahwa air itu jarang untuk digunakan, yaitu air dari sumur
yang berada di kuburan. Imam Ahmad sendiri memakruhkannya. Atau air yang panas sekali atau
dingin atau air yang bercampur dengna najis (meragukan) atau air dari hasil ghasab. Rasulullah 
bersabda,
َ ُ‫َُك إِلَى َماالَ ي ُِر ْيب‬tَ‫َد ْع َما ي ُِر ْيُب‬
‫ك‬
"Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan beralih kepada yang tidak meragukan." HR. An Nasa'i
dan tirmizdi dan beliau menshahihkannya.
Atau air yang digunakan untuk thaharah yang tidak wajib (seperti untuk memperbaharui thaharah
atau mandi hari jum'at) atau yang dipakai untuk mandi orang kafir (sebagai sikap kehati-hatian)
d. Air yang tidak makruh untuk bersuci seprti air laut, sumur, mata air, air sungai, airpanas, air yang
terkena terik matahari, air yang berubah karena lama menggenang, air yang bau karena terkena
angin dari bau busuk bangkai atau air yang telah berlumut atau terkena dedaunan.
- air sumur dan mata air
Dari Abu said al Khudriyyi ia berkata Rasulullah  ditanya, wahai Rasulullah , apakah kami boleh
wudhu dari sumur bidha'ah ? (yaitu sumur yang menjadi tempat pembuangan darah haidh dan daging
anjing serta kotoran) Rasulullah  bersabda, "air itu suci dan tidak ada yang dapat menjadikannya
najis." HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmizdi.6 Selama tidak merubah warna, rasa dan bau.
- Air panas
Dari ibnu Umar bahwasannya ia pernah mandi dengan air panas.7
- Air yang terkena terik matahari.
Menurut imam Assyafi'i berpendapat air itu makruh berdasarkan hadits
‫ص‬
َ ‫ث الـبَـ َر‬ ُ ‫الَ تَ ْف َعلِ ْي فَإِنُّه يُوْ ِر‬
"Jangan kamu lakukan, karena itu akan menyebabkan sakit pada kulit." HR. Ad Daruquthni namun
hadits ini dinyatakan hadits palsuatau.8

2. Air yang tercampur dengan benda yang suci,


Jika air yang telah tercampuri benda lain yang suci, maka air itu tetap air suci dan mensucikan.
Karena nabi  pernah menyiramkan air wudhunya kepada Jabir. HR. Bukhari 9

3. Air yang tercampur dengan benda yang najis.


Apabila air itu tercampur dengan benda yang najis hingga berubah warna, rasa dan baunya, maka
ia tidak bisa dipakai untuk bersuci.

1. BERSUCI DARI NAJIS.

Pengertian najis

5
Nailul authar, imam asy Syaukani: 1/33
6
Lihatdi irwaul ghalil, nasiruddin al albani: 14 shahih.
7
Lihat di irwaul ghalil no. 17 shahih namun dengan lafazh yatawadhdha' (berwudhu)
8
Lihat di irwaul ghalil no. 18
9
lihat di irwaul ghalil no. 19
2
Najis secara bahasa adalah setiap kotoran. Sedangkan secara istilah adalah kotoran yang
menghalangi kesahannya shalat, seperti; darah dan air kencing.10
Termasuk hal-hal yang najis ialah apa saja yang keluar dari dua lubang manusia berupa tinja, atau
urine, air madzi. Begitu juga air kencing dan kotoran semua hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan.

Hukum menghilangkan najis


Menghilangkan najis dari badan, pakaian dan tempat ibadah adalah wajib, kecuali najis yang
dimaafkan karena sulit dihilangkan atau sulit dihindari. Maka dalam hal ini tidaklah wajib, karena untuk
menghindarkan kesukaran. Mengenai pakaian berdasarkan Firman Allah swt,
  
11
"Dan bersihkanlah pakaianmu".
Adapun mengenai badan, maka badan lebih pantas dan lebih berhak disucikan ketimbang pakaian
yang hukum menyucikannya ditegaskan dalam ayat tersebut. Sedangkan mengenai tempat ibadah, maka
tujuan utama menghilangkan najis daripadanya ialah agar keadaan orang yang shalat itu lebih baik, suatu
keadaan dimana ia sedang bermunajat atau berkomunikasi dengan Rabbnya. Maka dalam hal ini, tempat
tak ubahnya dengan pakaian.12
Tidak ada perbedaan antara najis yang sedikit maupun banyak, semuanya sama saja tetap najis.
Baik najis itu sedikit didapatkannya atau bahkan tidak didapatkan dari semua najis, kecuali sesuatu yang
dimaafkan tentang sedikitnya itu, seperti pada pakaian, darah dan lainnya.13

Cara menghilangkan najis


Cara mensucikan badan, pakaian, lantai dan sebagainya yang terkena najis cukup dengan
menghilangkan najis itu dari tempatnya. Karena didalam syariat tidak disyaratkan untuk menyucinya
berkali-kali, kecuali jika terkena najis anjing disyaratkan mencucinya sebanyak tujuh kali dan salah
satunya dengan menggunakan tanah.14
Syaikh Asy Sa'di menetapkan bahwa bila najis telah hilang, dengan cara apapun hilangnya baik
dengan air maupun yang lainnya, maka benda itu telah suci. Demikian juga bila kotoran-kotorannya telah
menghilang atau berubah wujud dan berubah sifat dan wujudnya menjadi suci maka benda itu telah
dianggap suci. Berdasarkan pendapat diatas, minyak yang terkena najis bisa disucikan dengan cara
menyulingnya hingga kotoran yang ada didalamnya hilang.15

Benda-benda yang najis menurut syareat.

1. Bangkai
Bangkai ialah binatang yang mati dengan sendirinya, tanpa disembelih menurut ketentuan agama
(islam).16 Hal ini berdasarkan firman Allah swt,
          
“Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya
semua itu kotor.17
Yang dimaksud dengan bangkai disini adalah setiap hewan yang mati tanpa melalui proses
pemyembelihan yang disyariatkan oleh islam dan juga potongan tubuh dari hewan yang dipotong atau
terpotong dalam keadaan masih hidup.18

2. Daging Babi
10
Dr. Musthafa Al Khin ,Dr. Musthafa Al Bugha Dan Aly As Syaryahi, Al Fiqhul Manhaji Al Madzhabil Imam As Syafii, jilid
I/38
11
Qs Al Mudatsir: 4.
12
Ays Shalatu 'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat Madzhab, hal: 38-39
13
Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid I/30
14
Manhajus Salikin Wa Taudhihu Al Fikh Fie Addin, Syaikh Al Alamah Abdurrahman Bin Nashir Ash Sa'di, Edisi Indonesia
Pedoman Praktis Fikih Setiap Muslim, hal: 29
15
Ibid Yang Dinukil Dari Kitab Al Mukhtarak Al Jaliyah
16
Ays shalatu 'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat Madzhab, hal: 30 dan
dalam kitab Al Wajiz Fi Fkhi As Sunnah Wa Al Kitab Al 'Aziz, Abdul Adhim Bin Badawy, hal: 25
17
Qs Al Anam: 145
18
Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia, "Fikih Wanita", hal: 21
3
Babi merupakan hewan yang tubuhnya secara keseluruhan dihukumi najis. 19 Firman Allah swt, Qs
Al Anam: 145.
                
                
      
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

3. Anjing
Anjing adalah hewan yang dihukumi najis. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus dicuci
sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan tanah (air dicampur tanah). 20
Rasulullah bersabda:
ِ ‫إِ َذا َولَ َغ ال َك ْلبُ فِي ا ِإلنَا ِء فا َ ْغ ِسلُوْ هُ َس ْبعًا َو َعفِّرُوْ هُ الثَا ِمنَةَ بِالتُ َرا‬
‫ب‬
"Apabila ada anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka hendaklah ia mencucinya
sebanyak tujuh kali dengan air dan campurilah dengan tanah, untuk yang kedelapan kalinya. Muttafqun
'alaih.
Dibersihkannya bekas jilatan anjing ini adalah, karena najisnya terletak pada mulut dan air
liurnya. Adapun bulu anjing adalah suci jika bulunya kering, dan tidak ada ketetapan yang
menyebutkannya sebagai najis.21

4. Kotoran Dan Kencing Hewan Yang Haram Dimakan Dagingnya


Setiap hewan yang haram dimakan dagingnya menurut syariat islam seperti keledai dan bighal,
maka semua yang keluar dari binatang-binatang tersebut adalah najis, baik itu kotoran maupun
kencingnya.22 Sabda Nabi n,
‫ ُذ‬tَ‫ا فَأَخ‬ttَ‫هُ بِه‬tَ‫ةً فَأَتَ ْيت‬tَ‫ت َروْ ث‬ ْ َ ‫ث فَلَ ْم أَ ِج ْدهُ فَأ‬
ُ ‫خَذ‬ َ ِ‫ْت الثَال‬
ُ ‫ت َح َج َر ْي ِن َوالتَ َمس‬ ٍ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم الغَائِظَ فَأ َ َم َرنِي أَ ْن اتِ ْي ِه بِثَالَثَ ٍة أَحْ َج‬
ُ ‫ار فَ َو َج ْد‬ َ ‫أَتَى النَبِ ُي‬
ٌ‫ هَ َذا ِرجْ ش‬:‫الح َج َري ِْن َوأَ ْلقَى ال َروْ ثَةَ َوقَا َل‬
َ
"Nabi pernah buang air besar, lalu beliau menyuruhku membawakan tiga batu untuk beliau. Akan tetapi,
aku hanya mendapatkan dua batu saja. Selanjutnya aku mencari batu yang ketiga, namun tidak juga
mendapatkannya. Lalu aku mengambil kotoran dan aku membawanya kepada beliau. Maka beliau hanya
mengambil dua batu saja dan membuang kotoran tersebut dan seraya berkata, "Ini adalah kotoran (tidak
dapat digunakan untuk bersuci). Imam bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah Dari Abu Hurairah.
Adapun kotoran dan kencing binatang yang dapat dimakan dagingnya, menurut pendapat yang
kuat, hukumnya tidak najis. Dan bila seseorang sholat, sedang dipakaian atau badannya terdapat kotoran
tersebut, maka sholatnya tetap sah dan tak ada dosa baginya.23
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Asal daripada kotoran itu suci, kecuali yang
dikecualikan.24 Dan jilatan binatang yang dapat dimakan dagingnya adalah suci yaitu; sisa makanan dan
minumannya.

5. Wadi
Wadi adalah cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang selesai dari buang air
kencingnya. Wadzi ini dihukumi najis dan harus disucikan seperti halnya kencing, akan tetapi tidak wajib
mandi.25 Sabda nabi,
‫ه َويَتَ َوضَّأ ُ َوالَ يَ ْغت َِس ُل‬tِ ‫الوا ِدي فَإِنَّهُ يَ ُكوْ نُ بَ ْع َد البَوْ ِل فَيَ ْغ ِس ُل َذ َك َرهُ َوأُ ْنثَيَ ْي‬
َ ‫َوأَ َّما‬

19
Al Jami Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia, Fikih Wanita, Hal: 16
20
Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 15
21
Fikhu Sunnah Al Ibadat, Said Qutub, jilid I/27
22
Al Jami Fil Fikhi An Nisa , Syaikh Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita , Hal: 16
23
Fatawa Lillajnah Ar Raimah Lilbuhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta', Jamu Wa At Tartib Syaikh Ahmad Bin Abdir Raziq Ad
Duwaisy, jilid V/378
24
Dr. Shaleh Fauzan bin Abdullah Fauzan, Al Mulakhas Fiqhi, jilid I/78
25
Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 19
4
"Wadi itu keluar setelah proses kencing selesai. Untuk itu hendaklah seorang muslim (muslimah)
memcuci kemaluannya dan berwudhu serta tidak diharuskan untuk mandi. Ibnu Mundir dari Aisyah.

6. Madzi
Madzi adalah cairan bening sedikit kental yang keluar dari saluran kencing ketika bercumbu atau
ketika nafsu syahwat mulai terangsang. Terkadang seseorang tidak merasakan akan proses keluarnya. Hal
itu sama-sama dialami oleh laki-laki dan juga wanita, akan tetapi pada wanita jumlahnya lebih banyak.
Menurut kesepakatan para ulama, madzi ini dihukumi najis. Apabila madzi ini mengenai badan maka
harus dibersihkan dan apabila mengenai pakaian maka cukup hanya menyiramkan air pada bagian yang
terkena.26 Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis, bahwa sahabat Ali pernah menyuruh seseorang
untuk bertanya kepada Nabi perihal madzi:
َ ‫ تَ َوضَّأْ َوا ْغ ِسلْ َذ َك َر‬:‫ِم َكا ِن ا ْبنَتِ ِه فَ َس َل فَقَا َل‬tََِ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ل‬
‫ك‬ َ ‫ت َر ُجالً أَ ْن يَسْأ َ َل النَبِ َي‬
ُ ْ‫ت َر ُجالً َم َّذا ًء فَأ َ َمر‬
ُ ‫ُك ْن‬
"Aku ini seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi, lalu aku suruh seorang untuk menanyakan
hal itu kepada nabi saw, karena aku malu, sebab puterinya adalah isteriku. Maka orang yang disuruh
itupun bertanya dan beliau menjawab; berwudhulah dan cuci kemaluanmu.27 Diriwayatkan Imam
Bukhari dari Ali Bin Abi Thalib.

7. Hewan Jalalah (liar)


Jalalah adalah hewan liar yang memakan kotoran, baik kotoran unta, sapi, kambing, ayam, angsa,
dan lain-lainnya, sehingga hewan tersebut berubah baunya. Semua yang keluar dari hewan tersebut adalah
najis, dagingnya tidak boleh dimakan dan air susunya juga tidak boleh diminum, serta tidak boleh
dijadikan sebagai hewan tunggangan (dinaiki punggungnya).28 Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah melarang minum air susu hewan jalalah".
Riwayat lain, "Rasulullah melarang menunggangi hewan jalalah". Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Juga sabda beliau,
‫الجالَلَ ِة ع َْن ُر ُكوْ بِهَا َوأَ ْك ِل لُحُوْ ِمهَا‬
َ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ع َْن لُحُوْ ِم ال ُح ُم ِر األَ ِهلِيَ ِة َو َع ِن‬
َ ‫نَهَى َرسُوْ ُل هللا‬
"Rasululah melarang memakan daging keledai peliharaan dan juga hewan jalalah yang dilarang
menunggangi serta memakan dagingnya. Ahmad, an nasai, abu dawud dari umar bin syuaib adari
ayahnya dari kakeknya.
Akan tetapi jika hewan jalalah ini ditangkarkan serta diberikan makanan yang suci sehingga
dagingnya menjadi baik dan bau busuknya hilang, maka hewan ini menjadi halal untuk dimakan.
Sementara sebutan jalalah padanyapun hilang dengan sendirinya dan selanjutnya kembali menjadi suci.

8. Mani
Mengenai mani terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, yang mana sebagian dari mereka
menganggapnyan najis. Yang jelas ia tetap suci. Akan tetapi disunnahkan mencucinya apabila basah dan
cukup dengan menggaruknya apabila dalam keadaan telah kering.29 Sabda Rasulullah, "Aku selalu
menggaruk mani dari pakaian Rasululah saw apabila mani itu telah mengering dan mencucinya apabila
dalam keadaan basah. Daruquthni dari Aisyah. Rasulullah pernah ditanya seseorang tentang mani yang
mengenai kain, maka jawabnya,
‫ك أَ ْن تَ ْم َس َحهُ بِ ِخرْ قَ ٍة أَوْ بِإ ِ ْذ َخ َر ٍة‬
َ ‫اق َوإِنَ َما يَ ْكفِ ْي‬
ِ ‫ص‬َ ُ‫إِنَّ َما ه َُو بِ َم ْن ِزلَ ِة ال ُمخَا ِط َوالب‬
Ia hanya seperti ingus dan ludah, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau
dengan daun-daunan. Hr daruqudny, baihaqy, dan thahawy dari Ibnu Abbas a
Madzhab Syafii dan Hambali berpendapat, “Mani adalah suci, kecuali mani anjing dan babi.
Ulama madzhab Hanbali menambahkan mani hewan yang tidak dimakan dagingnya, semua itu adalah
najis.30

9. Kencing Dan Muntah manusia

26
Ibid
27
Al Umdah Fi Al Ahkam Fi Ma'alim Al Hilal Wa Al Hiram, Al Hafidh Abdul Ghani Bin Abdil Wahid Al Maddisy Al
Jama'ily, hal: 43
28
Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal:17
29
Al Jami'filfikhi An Nisa', Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 21
30
Ays Shalatu 'Ala Al Madzahib Al Arbaah, Abdul Qadir Ar Rahbawi, Edisi Indonesia Shalat Empat Madzhab, hal , 36
5
Menurut kesepakatan para ulama, keduanya adalah najis. Sabda Rasulullah saw,
ِ ‫ فَإ ِ ْن عَا َمةً َع َذا‬،‫تَنَ َّزهُوْ ا ِمنَ البَوْ ِل‬
.‫ب القَب ِْر ِمنَ البَوْ ِل‬
"Bersucilah dari kencing, karena pada umumnya adzab kubur itu didapat dari sebab air kencing.
Akan tetapi beliau memberi keringanan pada kencing yang keluar dari kemaluan seorang bayi
laki-laki yang belum memakan makanan lain, selain hanya minum air susu ibunya. Sedang apabila telah
memakan makanan yang lain, maka dalam hal ini wajib dicuci, dimana tidak ada perbedaan pendapat dari
para ulama mengenai masalah ini. Adapun mengenai muntah, tidak ada satu dalilpun yang
menajiskannya.31

10. Darah
Yang dimaksud darah disini adalah darah haidh, pendarahan yang dialami oleh wanita yang
tengah hamil, nifas maupun darah yang mengalir, misalnya darah yang mengalir dari hewan yang
disembelih. Menurut ijma ulama, seluruh darah tersebut adalah najis, tetapi dimaafkan jika terkena sedikit
saja darinya. Sedangkan darah yang terdapat pada urat (daging hewan yang disembelih) juga diberikan
keringanan dan dimaafkan.32
Dalam kitab shahih Imam Bukhari disebutkan, "Bahwa orang-orang muslim pada permulaan
datangnya islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti umar bin khathab yang
mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir.
Adapun Abu Hurairah berpendapat bahwa keluarnya darah satu atau dua percikan ketika dalam
melaksanakan shalat tidak membatalkan shalat tersebut. Juga diberikan keringanan pada nanah, darah
bisul dan darah kutu. Namun diutamakan agar sedapat mungkin seseorang menghindarinya. Karena pada
dasarnya, islam merupakan agama yang menjunjung tinggi akan kebersihan. Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Diwajibkan mencuci pakaian yang terkena nanah. Walaupun tidak terdapat satupunn dalil yang
menajiskannya. Karena yang terbaik agar setiap orang semampu mungkin menghindarinya.

11. Khamer
Menurut jumhur ulama, khamer dihukumi najis. Firman Allah, Qs Al Maidah: 90.
          
    
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan."
Sekelompok ulama ada yang menyatakan, bahwa khamer itu pada dasarnya suci. Dalam hal ini
mereka mengartikan "perbuatan keji" pada ayat tersebut sebagai perbuatan keji dalam pengertian
maknawi. Karena lafadz rijsun (perbuatan keji) itu merupakan khabar (prediket) dari khamer dan yang
diathafkan padanya. Khomer secara pasti disifati sebagai najis inderawi.
Imam Ash Shan'ani mengatakan, "Yang benar, adalah bahwa hukum pokok pada semua
kewajiban adalah suci, sedangkan semua yang haram itu belum tentu najis.33

12. Sisa Air Minum binatang.


Yaitu air yang tersisa didalam bekas tempat air minum. Mengenai air ini ada beberapa macam34:
a. Sisa air minum anjing dan babi
Sisa air minum kedua binatang ini adalah najis dan harus dihindari. Rosululloh bersabda: "Apabila
ada anjing yang meminum air didalam bejana salah seorang diantara kalian, maka hendaklah dia
mencuci bejana tersebut sebanyak tujuh kali. Imam bukhari dan muslim dari Abu Hurairah a.
Sedangkan mengenai sisa air minum babi adalah karena airnya sangatlah kotor.
b. Sisa air minum bighal, keledai dan binatang buas
Sisa air minum hewan-hewan itu suci. Sabda Rasulullah, "Beliau pernah ditanya: Apakah kami boleh
berwudhu dengan sisa air minum keledai? Beliau menjawab: Boleh demikian juga sisa air seluruh
binatang buas. Imam Syafii, Daruquthni, Al Baihaqi dari Jabir a.

31
Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 20
32
Ibid
33
Al Jami Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 18
34
Al Jami' Fil Fikhi An Nisa', Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita, Hal: 22-23
6
Albaihaqi mengatakan, “Hadits ini memiliki beberapa isnad yang apabila dipadukan menjadi kuat.
c. Sisa air minum kucing
Bahwasannya sisa air minum kucing adalah suci. Hal ini sesuai dengan hadits dari Kabsyah binti
Kaab, menantu perempuan Abu Qatadah, bahwa Abu Qatadah pernah pernah datang kepadanya, dan
iapun menyiapkan air wudhu untuk Abu Qatadah. Lalu seekor kucing hendak minum, dan Abu
Qatadah memiringkan bejana itu sehingga semakin mudah bagi kucing tersebut meminumnya.
Kabsyah berkata, Abu Qatadah mengetahui kalau aku melihatnya. Karenanya ia bertanya, apakah
engkau heran, wahai putri saudaraku? Ya, jawabku. Selanjutnya Abu Qatadah berkata, rasulullah
pernah bersabda: Sesungguhnya kucing itu termasuk diantara binatang piaraan yang mengelilinginya.
Hr Khamsah.
d. Sisa air minum manusia
Sisa air minum orang lain, baik muslim maupun kafir, tengah berada dalam keadaan junub atau dalam
keadaan haidh adalah suci. Adapun berkenaan dengan firman Allah “Sesungguhnya orang-orang
musyrik itu najis”. Maksudnya adalah najis secara aqidah.

2. BERSUCI DARI HADAST

Macam-macam hadas dan cara bersuci darinya.

Hadas ada dua macam :


1. Hadas kecil. Penyebabnya adalah buang angin (kentut), buang air besar/kecil, keluarnya
madzi dan wadi. Cara bersuci dari hadas ini cukup dengan wudlu dan tayamum.
2. Hadas besar : Penyebabnya adalah keluar manibaik dalam keadaan sadar ataupun tidak,
haidl, nifas, hubungan badan. Cara bersuci dari hadas ini harus dengan mandi janabah atau
tayamum.

1. Wudlu.
Pembahasan wudlu mencakup pengertian wudlu, fardlu-fardlu wudlu, sunah-sunah wudlu, Hal-hal
yang makruh, pembatal-pembatal wudlu dan hal-hal yang disunahkan ketika wudlu.

2. Mengusap sepatu

Definisi mengusap khuf (sepatu)


Al-Mashu secara bahasa adalah mengerakan tangan terhadap sesuatu.
Adapun secara Syar'I adalah mengusap dengan tangan dengan menggunakan air pada sepatu yang khusus,
tempat yang khusus dan waktu yang khusus pula.
Al-khuf secara syar'I adalah sesuatu yang menutupi dua mata kaki baik yang terbuat dari kulit
ataupun yang lainya pada tempat yang khusus yaitu di luar sepatu bukan didalamnya dan dipakai pada
waktu yang khusus pula.35
Definisi Khuf adalah semacam sadal yang terbuat dari kulit yang menutupi dua mata kaki.
‫( المسح‬mengusap) menurut bahasa berasal dari kata ‫سـح‬ َ ‫ َمــ‬yaitu meratakan tangan pada sesuatu dengan
telapak tangan secara terbuka.
Sementara ‫ المسح عـلي الخـفين‬adalah mengusap dan membasahi khuf, pada tempat tertentu, dan
waktu tertentu sebagai ganti dari mencuci kaki saat berwudhu'.36

Pensyare'atan mengusap sepatu.

‫وس ُك ْم َوأَرْ ُجلِ ُك ْم إِلَى ْال َك ْعبَي ِْن َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا‬
ِ ‫ق َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُء‬ ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوأَ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬
‫طيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم‬َ ‫ص ِعيدًا‬ َ ‫ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬ َ ْ‫فَاطَّهَّرُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
َّ ٍ ‫َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر‬
َ‫ج َولَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعل ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
35
Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/317.
36
Shahih fiqh sunah, Abu Malik Kamal bin Sayid Salim, maktabah At-Taufiqiyah, jilid 1 hal 149.
7
kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu,
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al- Maidah:6).
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mengomentari ayat diatas dari kalimat (‫)وأَرْ ُجلِ ُك ْم‬
َ menunjukan
37
kebolehan syariat mengusap sepatu.

َ ‫س ُخفَ ْي ِه فَ ْلي‬
‫ ثُ َّم الَ يَ ْخلَ ْعهُ َما إِ ْن شا َ َء‬، ‫ َوليَ ْم َسحْ َعلَ ْيهَا‬، ‫ُصلِّ فِ ْي ِه َما‬ َ ِ‫ضأ َ أَ َح ُد ُك ْم َولَب‬
َ ‫ « إِ َذا ت ََو‬: ‫ال‬
َ َ‫ ق‬، ‫صل َى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬ ّ ْ ، ْ‫ع َْن أَنَس‬
َ ِ‫أن َرسُوْ َل هللا‬
)‫إِاَّل ِم ْن َجنَابَ ِة » (رواه الحا كم‬
Dari Anas, Bahwa Nabi Saw bersabda, " Jika salah seorang di antara kalian berwudhu' lalu
memakai sepatunya, maka shalatlah dengan mamakainya, hendaklah ia mengusapnya, kemudian tidak
perlu melepasnya selama yang engkau kehendaki kecuali dalam keadaan junub." (HR Hakim).
Ulama sepakat bahwa orang yang telah sempurna wudhu'nya lalu ia memakai sepatu, kemudian
ia berhadast, maka ia boleh mengusap sepatuya.
Ibnu Mubarok berkata, "Tidak ada perselisihan di kalangan ahli ilmi bahwa mengusap sepatu
adalah sesuatu yang di perbolehkan.38

Hukum mengusap sepatu.


Menurut jumhur Ulama' mengusap khuf di perbolehkan, walaupun membasuh kaki lebih baik.
Menurut madzhab Hambali bahwa yang lebih utama adalah mengusap karena mengambil rukshoh.39
Menurut Syikhul Islam Ibnu Taimiyah yang benar adalah bahwa yang lebih utama pada setiap
orang sesuai dengan keadaan kakinya, bagi orang yang mengenakan khuf dianjurkan mengusapnya, dan
tidak perlu melepasnya karena mengikuti Nabi Saw dan para sahabat, dan bagi orang yang kedua kakinya
terbuka hendaknya dia membasuhnya, dan hendaknya dia tidak bersi keras mengenakan khuf agar dapat
mengusapnya atau memaksakan diri melepasnya hanya karena ingin membasuh kakinya.40
Dr Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, "Bahwasanya mengusap sepatu merupakan rukhsoh menurut
imam yang empat baik dalam safar maupun muqim laki – laki ataupun perempuan sebagai bentuk
kemudahan bagi kaum muslimin, khususnya waktu – waktu musim panas dan musim dingin ketika safar
atau para pegawai yang di tuntut untuk selalu siaga setiap saat seperti tentara, polisi dan para murid yang
bekerja untuk kampusnya.41

Batasan waktu mengusap sepatu.


Menurut Jumhur Ulama' diantaranya Madzhab Hanafi, Hambali dan Imam Asy-Syafi'I dalam qaul
jadidnya bahwa batas waktu mengusap khuf bagi musafir selama 3 hari 3 malam dan sehari seamalam
bagi orang yang mukim.
Mereka mengambil dalil – dalil dari :
- Hadist Ali, bahwa Nabi Saw menjadikan 3 hari 3 malam bagi musafir dan sehari semalam bagi
orang yang mukim. (HR Muslim 276 )
- Hadist Auf bin Malik Al Asyjai, bahwa Nabi Saw memerintahkan mengusap khuf pada waktu
perang tabuk 3 hari 3 malam bagi musafir dan sehari semalam untuk yang mukim.(HR Ahmad
dan Ibnu Majah 556).
- Hadist Shofwan bin Asal, dia berkata, " Rasulullah Saw memerintahkan kami apabila sedang
berpergian agar tidak melapaskan khuf kami selama 3 hari 3 malam, kecuali ketika junub, namun
tidak untuk buang air besar, kencing dan tidur.
Menurut pendapat Imam Malik, Al-Laits dan Imam Asy-Syafi'I dalam qoul qodimnya (pendapat
lamanya) tidak adanya batasan waktu, boleh mengusap sepatu selama belum dilepas atau terkena najis.
37
Minhajul Muslim Hal 161.
38
shahih fiqh sunah 149.
39
Al- Majmu' 1/305.
40
Al-Ikhtiyaraat 13.
41
Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/317.

8
Mereka berdalil dengan :
- Diriwayatkan oleh Ubay bin 'Amarah, dia brekata, "Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku
boleh mengusap sepatu?" Beliau menjawab, "Ya." Aku berkata, " Sehari?" Dijawab, "Sehari."
Aku berkata, Dua hari?" aku berkata lagi, "Tiga hari?" beliau menjawab, "Sesuka hatimu (HR
Abu Daud 158).
- Diriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata, "Rasulullah menjadikan untuk kami 3 hari,
jika kami meminta tambahan niscaya akan di tambah. (HR Abu Daud 157) Yaitu mengenai
mengusap khuf bagi musafir, meskipun benar tidak dapat dijadikan hujjah, karena hal itu
merupakan perkiraan sahabat dan tidak dapat dijadikan dalih denganya.
- Dari Anas bin Malik Nabi Saw berkata," jika salah seorang diantara kalian berwudhu' lalu
memakai sepatunya, maka shalatlah dengan memakainya, hendaklah ia mengusapnya, kemudian
tidak perlu melepasnya selama kau kehendaki, kecuali ketika junub.(HR Baihaqi).
Perlu diketahui bahwa hadist – hadist ini lamah.42

Permulaan batas waktu mengusap.


 Sufyan At-Tsauri, Imam Asy- Syafi'I dan Imam Abu Hanifah berpendapat di mulai ketika
permulaaan hadast setelah memakainya. Mereka mengatakan demikian karena setelah berhadast
adalah waktu yang di perbolehkan untuk mengusap, ini adalah waktu setelah mengusap.(Al-
Mughni 1/291).
 Hasan Al Bahsri berpendapat bahwa ia terhitung di mulai pada waktu memakai.(Al- Iklil Syarh
Manar As-sabil, Syekh Wahid Abdusslam 1/136).
 Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Auza'I, Imam An-Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Ibnu
Utsaimin di mulai ketika permulaan pengusapan setelah berhadast, dan inilah pendapat yang
paling kuat, berdasarkan sabda Nabi Saw, "Musafir mengusap" dan "Yang mukim mengusap".
Tidak mungkin seseorang di katakan sebagai orang yang mengusap, kecuali setelah melakukan
perbuatan mengusap itu sendiri dan tidak boleh berpaling dari kenyataan ini tanpa memiliki
kejelasan.43

Syarat – syarat mengusap sepatu.


1. Seorang muslim mengenakan sepatu dan sejenisnya dalam kedaaan suci, kerena Rasulullah Saw
bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu'bah Radliyallahu anhu ingin melepas kedua sepatu beliau
untuk ia basuh dalam wudhu', "Biarkanlah kedua sepatumu, karena aku memasukan keduanya
dalam keadaan suci"(HR Mutafaq alaih).
2. Hendaknya sepatu menutup telapak kaki.
3. Sepatu harus tebal sehingga kulit tidak terlihat.
4. Masa mengusap tidak lebih dari sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tidak lebih dari tiga
hari tiga malam bagi musafir, karena Ali bin Abi Tholib Radliyallahu Anhu berkata, " Rasulullah
Saw menentukan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi orang yang mukim.
(HR Muslim).
5. Seorang muslim tidak melepas sepatunya setelah mengusapnya. Jika ia melepasnya, ia wajib
membasuh kedua kakinya. Jika tidak melakukan seperti itu maka wudhu'nya batal.44
6. Hendaknya menutupi tempat-tempat kaki yang wajib dibasuh ketika wudhu
7. Sepatu tersebut hendaknya memungkinkan kuat untuk berjalan.45
8. Syarat – syarat ini merupakan syarat yang telah di sepakati diantara Fuqoha'.
Adapun syarat – syarat yang masih di perselisihkan di kalangan fuqoha' adalah :
1. Hendaknya sepatu dalam keadaan tidak cacat seperti terbakar.
2. Hendaknya sepatu terbuat dari kulit.
3. Hendaknya memakai sepatu yang terbuat dari sesuatu yang mubah seperti halnya tidak terbuat
dari kain sutra dan sepatu tersebut bukan dari hasil ghosob.

42
Shohih Fiqh Sunnah 150 – 151.
43
Idem
44
Minhajul Muslim hal 178.
45
Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/326.
9
4. Tidak memakai sepatu yang terbuat dari kaca karena tidak menutupi tempat – tempat wajib
untuk di tutup.46

Yang membatalkan mengusap sepatu.


Menurut pendapat Sayyid Sabiq hal – hal yang membatalkan usapa sepatu adalah:
1. Selesainya masa pemakaian.
2. Karena junub.
3. Melepas khuf (tanpa ada sebab).47
Menurut pendapat Dr Wahbah Az-Zuhaili :
1. Yang membatalkan usapan sepatu sebagaimana halnya pembatal – pembatal wudhu' lainya.
2. Jika dalam keadaan junub sedang ia memakai khuf atau jika ia berhadast yang mewajibkan
baginya mandi seperti haid ketika masa pemakaian.
3. Melepas salah satu khuf atau keduanya.
4. Nampak sebagian anggota kaki seperti terbakarnya sepatu.
5. Menuangkan banyak air ke salah satu kaki pada sepatunya.
6. Habisnya masa pemakaian sepatu.48

Tempat dan tata cara mengusap.


Yang disyare'atkan ketika mengusap khuf adalah bagian atasnya bukan bagian bawah, satu kali
usapan, berdasarkan hadist Ali bin Abi Tholib, dia berkata, " Seandainya agama ini dengan akal niscaya
bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya, sungguh aku telah melihat
Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatu".(HR Abu Dawud 162, Daruqutni 73, dan Baihaqi 111).
Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Al-Auzai, Ahmad, Abu Hanifah dan sahabatnya yang merupakan
madzhab yang benar.
 Imam Malik dan Imam Asy- Syafi'I berpendapat mengusap bagian atas dan bawahnya, namun jika
mengusap bagian atasnya saja, maka sudah mencukupi, berdasarkan hadist Al-Mughirah bin
Syu'bah bahwa Rasulullah SAW berwudhu' lalu mengusap bagian bawah dan bagian atas
sepatunya. Hadist ini lemah, melainkan yang benar dari Al-Mughirah melalui perkataanya, "Aku
melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatunya" (HR Abu Dawud 165, At-Tirmidzi
98). Maka tidak ada keterangan yang mengusap sepatu pada bagian bawah. Jika hanya mengusap
pada bagian bawah tanpa bagian atas maka tidak mencukup (tidak sah).49
 Menurut Al- Hanafiyah : dengan memakai tiga jari dari jari- jari tangan yang paling kecil, serta
mengusapkan pada bagian kaki yang atas, cukup hanya sekali saja tidak boleh didalam sepatu, di
belakangnya dan sampingnya serta tidak di sunnahkan untuk mengulanginya dan mengusap
dibawah sepatu karena itu semua sudah terdapat didalam nash syar’I.
 Menurut Malikiyah: hendaknya mengusap diatas sepatu secara keseluruhan dan di cintai
mengusap bagian bawahnya.
 Menurut pendapat Asy-Syafi’iyyah : Cukupklah dinamakan mengusap sepatu seperti halnya
mengusap kepala pada tempat – tempat yang wajib di basuh dan inilah dhohir mengusap sepatu,
bukan pada bagian bawahnya, sampingnya atau belakangnya karena dalam masalah mengusap
sudah terdapat didalam nash secara mutlaq, dan tidak sah mengira- ngira pada sesuatu yang telah
di tentukan, maka tentukanlah sesuai penyebutan nama mengusap secara umum seperti meratakan
dengan tangan.
 Menurut pendapat Al-Hanabalah : Yang sah dalam mengusap adalah hendaknya lebih banyak
mengusap bagian atas sepatu dengan jari –jari dan tidak di sunnahkan mengusap dibawah atau di
belakang sepatu.

Kesimpulan :Menurut Dr Wahbah Az-Zuhaili : Bahwasanya yang wajib adalah mengusap


seluruh yang nampak pada sepatu hal ini sesuai dengan pandapat Al- Malikiyah sebagaimana membasuh
anggota tubuh ketika berwudhu' kemudian menggunakan tiga jari – jari tangan sesuai dengan pendapat
46
Idem hal 327
47
Fiqh Sunnah 1/60.
48
.Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/338.
49
Shohih fiqh Sunnah 232 terj.
10
Al-Hanafiyah sebagaimana membasuh kepala ketika berwudhu' dan kebanyakan mengusap diatas
sepatunya sesuai pendapat Al-Hanabalah hal didasar kan hadist Mughirah bin Syu'bah beliau berkata,
"Aku melihat Rasulullah Saw mengusap di atas sepatunya.50
Menurut Sayyid Sabiq : Hendaknya khuf menutup segala yang terkena air wudhu' dan tempat
yang di syare'atkan untuk mengusap adalah di atas sepatu sebagaimana hadist Mughirah, "Aku melihat
Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatunya" (HR Abu Dawud). Dan perkataan Ali bin Abi Tholib,
" Seandainya agama ini dengan akal niscaya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada
bagian atasnya, sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas sepatu"51

Hukum mengusap sepatu yang terkoyak.


Kebanyakan Ahlul fiqh memberikan syarat bagi khuf yang boleh untuk diusap yaitu yang
menutupi bagian anggota wudhu' (kaki) yang harus dibasuh, mereka melarang sepatu yang robek kerena
terlihat bagian anggota wudhu'nya yang wajib di basuh, karena tidak boleh di gabingkan antara
membasuh dan mengusap, maka yang lebih di perhatikan adalah membasuhnya , inilah madzhab Imam
Syafi'I dan Imam Ahmad.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat boleh mengusap sepatu yang terkoyak selagi
masih dapat dipakai berjalan dan masih di sebut namanya sepatu, menurut pendapat Tsauri, Ishaq, Abu
Tsaur, Ibnu Hazm, dan dipilih juga oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Taimiyah inilah yang benar, karena "di
perbolehkanya mengusap" lafadznya umum, maka termasuk yang di dalamnya semua yang dinamakan
sepatu dan tidak dapat di kecualikan antara yang satu dengan yang lainya kecuali dengan dalil. Jika sepatu
yang robek tidak tidak boleh di usap, niscaya Nabi SAW akan menjelaskanya, terlebih lagi orang miskin
di kalngan sahabat sangat banyak, dan yang jelas bahwa sepatu mereka banyak juga yang robek.52

3.Mengusap jabiroh/gib atau yang sejenisnya.

4.Tayamum
.

Pengertian tayamum
a. Secara bahasa : " Al-Qosdu " Artinya menyengaja
b. Secara syar'I . Para Fuqoha' mendefinisikannya dengan pengertian yang hampir sama. Berikut
definisi tayamum menurut imam empat:
1. Imam Abu Hanafiah mendefinisikan tayamum yaitu mengusap muka dan kedua tangan dengan
menggunakan debu yang suci
2. Menurut Malikiyah tayamum adalah bersuci dengan debu atau tanah yang suci meliputi wajah dan
kedua tangan di sertai niat
3. Menurut Syafi'iayyah tayamum adalah meratakan tanah ke wajah dan 2 tangan sebagai pengganti
wudhu' atau mandi dengan syarat-syarat tertentu.
4. menurut Hanabilah tayamum adalah mengusap muka dengan dua tangan dengan tanah yang suci
dengan cara tertentu 53

Masyru’iyah tayamum.
Tayamum telah di tetapkan Berdasarkan dalil Al-qur'an maupun Al-hadist juga Ijma'
a. Dalil dari Al-qur'an yaitu surat al maidah ayat 6.
b. Dalil dari As-sunnah
c. Dalil ijma' 54

Hal-hal yang menyebabkan dibolehkannya tayamum.


1. Tidak di dapati air atau di dapati tapi tidak cukup di gunakan untuk bersuci
50
Fiqhul Islam wa adilatuhu 1/321.
51
Fiqhu Sunnah 1/60.
52
Shohih Fiqh Sunnah 1/231 terj.)
53
Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu. Juz 1 hal 406
54
Fiqih sunnah juz 1 hal 66
11
2. Terdapat luka di anggota badan atau sedang sakit di takutkan jika terkena air akan bertambah
parah
3. Jika air sangat dingin dan apabila di gunakan akan membahayakan
4. Takut di seran musuh / tidak aman tempat yang di gunakan berwudhu'
5. Apabila air itu sedikit dan sangat di butuhkan untuk keperluan yang lain ( minum, masak )
6. Jika di takutkan waktu sholatnya akan habis, kalau harus mencari air wudlu. 55
Rukun-rukun tayamum.
1. Niat
2. Debu / tanah yang suci.
3. Mengusap muka.
4. Mengusap dua tangan sampai siku-siku. Ia harus melepas sesuatu yang menutupi anggota yang di
usap seperti cincin 56

Sunnah-sunnah tayamum.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal-hal yang disunahkan dalam tayamum.
1. Hanafiyah
- membaca basmalah, memukul denagn telapak tangan, mengusap kemuka dan tangan, menyela-
nyela jari dan berurutan
2. Malikiyah
- urut ( wajah baru ke 2 tangan ), pukulan kedua untuk dua tangan dan membasuh sampai siku
3. Syafi'iyyah
- membaca basmalah, di mulai dari mengusap wajah, mendahulukan kanan baru kiri dan menyeka-
nyela jari
4. Hanabilah
- membaca basmalah, tertib dan berurutan 57

Hal-hal yang membatalkan tayamum.


Yang membatalkan tayamum adalah segala apa saja yang membatalkan wudhu'

Tata cara tayamum


Memulai dengan do'a basmalah, meniatkan diri agar bisa mengerjakan ibadah yang sebelumnya
tidak boleh, meletakkan kedua tangan di ats permukaan tanah atau pasir, atau batu, boleh juga baginya
meniup tanah tersebeut kemudian di usapkan ke muka sekali lalu meletakkannya ke tanah lagi setelah itu
kemudian mengusapkanke kedua tangan hingga siku atau jika hanya pada telapaktangan saja tidak
mengapa.

5. Mandi janabah

Pengertian mandi
Secara bahasa mandi adalah mengalirkan air pada sesuatu secara mutlak. Adapun alghuslu artinya
adalah sesuatu yang digunakan untuk mencuci seperti pasta, sabun, sampo dan lain sebagainya.
Secara istilah adalah mengguyurkan atau menyiramkan air yang bersih keseluruh sisi badan dengan
cara yang khusus.58
Dalam masalah mandi timbul permasalahan antar ulama, apakah yang dimaksud mandi hanya
sekedar menguyurkan air kebadan atau harus dibasuhkan sebagai mana dalam wudlu. Sebab perselisihan
mereka karena adanya dua hadist yang bertentangan, yaitu hadist mandi yang menyebutkan dengan
menggosok dan hadist Aisyah dan Mimunah, yang tidak disebutkan menggosokkan. Maka timbul
perselisihan tersebut, antara yang memegang dhohir hadis dan yang mengambil qiyas.59

55
Idem 67-69
56
Al-Fiqh 'Ala Mazdahibil Arba'ah. Juz 1 Hal 146
57
Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu. Juz 1 hal 445-447
58
Dr. Wahbah Az-Zuhaily Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy, Darul Fikr, Beirut, Cet IV, 1418 H / 1997 M, Juz 1 hal
512
12
Yang mewajibkan mandi

1. Keluarnya mani dengan syahwat, baik dalam keadaaan tidur maupun sadar.
Jika seseorang merasakan adanya mani karena syahwat, lalu diperiksa kemaluannya dan tidak ada
mani maka tidak mandi. Karena Nabi mengatakan wajibnya mandi dengan melihat mani.

2. Bertemunya dua kemaluan walau tidak kelaur mani.


Yaitu jima' dengan memasukkan dzakar atau memperkirakannya pada lubang yang di tuju, entah
lubang senggama, lubang kencing atau anus. Baik laki-laki atau perempuan, sengaja atau terpaksa, tidur
atau sadar.60
Berkata Syafi'i, "Perkataan orang Arab, yang dimaksud janabah itu jima', walau tidak keluar mani."
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Jika duduk dibawah
empat bagian lalu beraktifitas (senggama) maka wajib mandi, keluar atau tidak (mani)." HR. Ahmad dan
Muslim. Dan dari Sa'id bin Musayyab bahwa Abu Musa Al 'Asy'ari berkata kepada A'isyah, "Saya mau
bertanya kepadamu sesuatu hal tetapi aku malu?" dia menjawab, "Tanyalah dan jangan malu, karena
aku adalah ibumu." Lalu ia bertanya tentang laki-laki yang menindihi (istrinya) tetapi tidak keluar mani.
Jawabnya, "Jika kedua kemaluan bertemu, maka wajib mandi." HR. Ahmad dan Muslim dan lafadz yang
muhtalifah.
Tetapi harus disertai melihat, aktifitas (jima') apa yang baru dilaksanakan. Karena kalau hanya
meyentuh atau meraba tanpa memasukkan dari salah satu subjek (istri atau suami) tidak wajib mandi.61
Jumhur berkata, "Wajib mandi bagi yang jima' dengan mayit dan hewan, karena masuk keumuman
hadits.".
Dan yang dimaksudkan dengan 'bertemu' adalah tidak sekedar orangnya bersandingan atau
menempel saja tapi harus masuknya penis kelobang kencing perempuan.62
.
3. Haid dan nifas
Seorang perempuan yang telah berhenti dari haid dan nifas, maka wajib baginya untuk mandi.
Berdasarkan firman Allah,"janganlah kamu dekati mereka,seuingga mereka suci…." Demikian juga
sabda Rosul pada Fatimah Binti Abi Hubais RA," Tinggalkanlah Sholat beberapa hari yang kamu haid
didalamnya, kemudian setelah selesai mandilah dan sholatlah!" (muttafaqun alaihi).
Terkhusus nifas hukumnya sama dengan haid. Dan jika wanita melahirkan dan tidak keluar darah,
maka tetap wajib mandi..63
Adapun wanita yang mengalami istihadoh tidak wajib mandi, tapi disunahkan pada saat
terputusnya.64

4. Meninggal dunia bukan sebagai syahid.


Seorang muslim yang meninggal dunia wajib dimandikan. Dalilnya adalah bahwa ada seseorang
yang meninggal dari kendaraanya, maka Rosul berkata," Cucilah dengan daun bidara dan air dan
kafanilah dengan dua lapis." ( mutafaq alaihi dari Ibnu Abbas).
.
5. Masuk islam.
Hal ini berdasarkan hadist qois bin ashim, bahwa ketika dia masuk islam maka Rosulullah
menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara."HR lima kecuali Ibnu Majah dalam nailul autor 1/224).
Juga hadist Tsumamah al Hanafi yang tertawan lalu masuk islam, maka Rosulullah menyuruhnya
mandi dan sholat dua rokaat. HR Ahmad dan lafadnya dari Bukhori dan Muslim.

Rukun mandi

59
Imam Abu Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Rusd Al Qurtuby,Darul Ma'rifah,Beirut,Cet 1
1418/1997,Tahqiq Abdul Majid To'mah,Juz 1,hal 77-79
60
Doktor Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy Wa Adillatuhu,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 517
61
ibid
62
ibid hal 153
63
Sayyid Sabiq,Fiqhu Sunah,Darl Fikr,Cet 4-1403/1983,Juz 1,hal57
64
Dr Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 520
13
1.Niat,
Ini penting karena untuk membedakan dengan mandi biasa dan tempatnya adalah dihati, bukan
harus dilafatkan.65 Apakah niat hukumnya wajib ataukah tidak?. Dalam hal ini terjadi silang pendapat
diantara para ulama. Sebagian ulama mewajibkannya seperti imam Maliki, Syafi'i, Ahmad, dan Daud
beserta teman-temannya. Sementara Imam Abu Hanifah dan Sufyan At Tsauri tidak mewajibkan.66

2.Mencuci semua anggota badan


Hal ini sangat penting karena hakekat mandi adalah mencuci anggota badan67

Fardlu mandi
 Meratakan kesemua badan denga air, hingga membasahi rambut rambutnya dan seluruh permukaan
kulit. Apabila rambut itu diikat, maka cukup disiram ikatan tersebut selama air bisa masuk kedalam
ikatan tersebut, tetapi apabila dengan membasahi rambut membahayakan dirinya, maka boleh
ditinggalkanan.68
Berkata Malikiyah," Hendaknya ikatan rambut tidak terlalu kencang sehingga air bisa masuk
kedalamnya dan jika tidak bisa membasahi hingga pangkal rambutnya, maka harus dilepas".
Adapun bulu halus dimata dan dihidung, maka tidak harus membasahinya.,69
.
 Berkumur dan isytinsak (memasukkan air kedalam hidung).
Menurut Hanafiyah dan Hanabilah hukumnya wajib.

Menggosok anggota badan dan berurutan.


Yang dimaksud menggosok disini adalah menggosokkan salah satu anggota tubuh ke tubuh
lainnya, baik kaki ataupun tangan, maka tidak mengapa menggosok kaki dengan kaki. 70 Para fuqoha
sepakat bahwa berurutan dan tertib hukumnya tidaklah wajib. Adapun menggosok, menurut Malikiyah
hukumnya wajib, walaupun dengan pelindung.

Apakah perempuan harus membersihkan 'bagian' dalam kemaluaanya?


Menurut Syaihul islam seorang perempuan yang mandi besar tidak harus membersihkan bagian
dalam kemaluannya.71.

Cara mandi Rosul

Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari Aisyah dan Maimunah (Muttafaqu alaihi) tentang
sifat mandi rosul adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dengan mencuci kedua tangannya.
2. Menggosokkan sebelah kanan lalu sebelah kirinya.
3. Mencuci kemaluannya.
4. Berwudlu. Uama ijma' bahwa wudlu sebelum mandi adalah sunah karena meniru rosulullah.
demikian dalamkitab al mughni.72.

Sunah-sunah ketika mandi besar


Rosulullah saw telah menjelaskan tatacara mandi sesuai yang sesuai dengan syari'at dan itu
menjadi dalil bagaimana kita haarus melakukan mandi baik mandi wajib maupun mandi sunah,yang
menurut mazhab hanabillah ada 10 macam,yaitu: Niat, membaca basmalah, mencucci kedua tangannya

65
Sayyid Sabiq,Fiqhu Sunah,Darl Fikr,Cet 4-1403/1983,Juz 1,hal 63
66
Ibnu Rusd Al Qurtuby,Darul Ma'rifah,Beirut,Cet 1 1418/1997,Tahqiq Abdul Majid To'mah,Juz 1,hal 179
67
Sayyid Sabiq,Fiqhu Sunah,Darl Fikr,Cet 4-1403/1983,Juz 1,hal 63
68
Dr Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 523
69
ibid hal 525
70
Dr Wahbah Az Zuhaily,Al Fiqh Al Islamy,Darul Fikr,Beirut,Cet Iv,1418 H/1997 M,Juz 1 hal 527
71
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Majmu' Fatawa,Darul Wafa',Cet 2,1998-1419,Juz 21 hal 170
72
Fiqih Islam Hal 522
14
tiga kali, mencuci yang ada kotorannya, berwudlu, menuangkan air pada kepala tiga kali dan
membasahkan pada pangkal-pangkal rambut, mengalirkan air keseluruh badan dimulai dengan bagian
kanan dan menekan seluruh badannya dengan tangan dengan berpindah ketempat lainnnya hingga sampai
pada kakinya. Dan disunahkan hendaknya menyela-nyela pada pangkal rambutnya dan juga pada
jenggotnya sebelum mengguyurnya.

Adapun urutan secara detailnya,maka ada persselisihan diantara madzhab-madzhab yang ada:
1. Dimulai dengan mencuci kedua tangan dan kemaluannya, kemudian menghilangkan najis-najis
pada badannya.
2. berwudlu sebagaimana wudlu dalam sholat,tanpa mencuci kaki dulu jika airnya tergenang lalu
mencucinya setelah menyingkir atau bila dia berdiri diatas kayu atau batu atau yang
lainnya,menurut mdzhab hanafiyah,wudlunya dengan berkumur dan istinsak ysng diwajibkan
menurut madzhad hanafi dan madzhab ahmad.
dengan mengusap kedua telinganya menurut madzhad imam malik.
3. lalu menyuci dengan cermat semua anggota badannya,menurut mdzhab syafiiyyah dengan
menggambil lalu memasukkanaya pada tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh air,seperti dua
telinga,sekitar perut sampai kelubang pusarnya dan juga diulangi pada bagian telinganya lalu
dimasukkan juga kedalam daun telinganya sampai kebagian bawahnya juga, lalu memeriksa juga
bagian lengan dan ketiaknya,juga kedua buah payudaranya sampai pada pusarnya.
4. lalu mengguyurkan air pada kepalanya dan menyilang-nyilang rambut,lalu keseluruh badannya
tiga kali dari bagian kanannya lalu bagian kirinya,sebagaimana dalam hadist
:‫وره‬tt‫تيمن في طه‬tt‫ه ال‬tt‫ان يعجب‬tt‫" " ك‬yaitu mendahulukan yang kanan daripada yang kiri- juga dengan
memeriksa pangkal-pangkal rambutnya karena dalam hadist disebutkan;
‫تحت كل شعرة جنا بة‬
yang artinya adalah ”disetiap rambut adalah harus dicuci dalam janabat"dan disunahkan untuk
menekan dan memijit seluruh anggota badannya karena bisa lebih bersih dan harus yakin bahwa
air sudah merata keselurah anggota badannya.
Menurut madzhab hanafi:"jika dia mandi pada tempat yang mengalir atau yang sepertinya dan
berhenti disitu maka sudah melengkapi sunnah"
Menurut madzhab maliki bahwa mandi tersebut sudah mencakup wudlu walaupun tidak
meniatkannya selama tidak melakukan hal-hal yang dapat mearusak wudlunya seperti memegang
kemaluannya dan menurut madzhab syafiiy walaupun tidak meniatkannya dan setelah barniat menurut
madzhab Hanbali.
Para madzhab sepakat bahwa tidak diwajibkan untuk barurutan karena pada hakekatnya badan itu
adalah satu beda dengan wudlu.Adapun mengurai rambut adalah wajib menurut syafiiyyah jika air
tersebut tidak sampai pada pangkal rambutnya.dan secara umum adalah sunah sebagaimana hadis dari
Aisyah bahwasannya Rosulullah berkata kepadanya ketka dia dalam keadan haid:
‫انقضي شعرك واغتسلي‬
"uraikannlah rambutmu dan mandilah!"73
Disunahkan menurut madzhab hanabilah dengan menngunakan daun bidara,atau sabun bagi yang
mandi kareana baru masuk islam,dengan dalil hadist dari Ashim, ketika dia baru masuk
islam,"bahwasannya dia baru saja masuk islam,maka Rosulullah menyuruh agar mandi dengan daun
bidara(sabun kalau jaman sekarang)"74.juga pada mandi haid dan mandi nifas dengan dalil hadist A'isyah
dari Imam Bukhori Dan Hadis dari Asma' yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Dan disunahkan menurut madzhab syafiiy dan hambali,agar disertai dengan memasukkan pada
kemaluannya dengan kapas atau kain dan diberi wewangian agar hilang bau bekas darah haid dan nifas
tersebut dan makruh meninggalkannya tanpa udzur karena hadist
:
‫ا‬tt‫ري به‬tt‫فطه‬, ‫ك‬tt‫ة من مس‬tt‫ذي فرص‬tt‫خ‬: ‫ا ل‬tt‫ل عن الحيض ) فق‬tt‫ (( أن امرأة جا ءت إلى النبي تسأ له عن الغس‬: ‫عن عا ئشة رضي هللا عنها‬
‫دم )) رواه‬tt‫ا أثرال‬tt‫ع به‬tt‫ا تتب‬tt‫ا أنه‬tt‫فعرفته‬, ‫ة‬tt‫ا ئش‬tt‫ا ع‬tt‫ذب ته‬tt‫ فاجت‬, ‫ا‬tt‫ري به‬tt‫ تطه‬,‫ وا ستتر بثوبه‬, ‫ سبحا ن هللا‬:‫ كيف أتطهر بها؟ فقال‬: ‫فقالت‬,
‫الشيخان‬

73
HR Ibnu Majah Dengan Sanad Yang Shohih
74
Hr Ahmad,Abu Daud,Dan Tirmidzi Dan Ia Menghasankannya
15
Dari aisyah "bahwasannya ada seorang wanita yang datang kepada nabi saw menanyakan tentang
mandi karena haid,maka berkata:ambilah sedikit minyak wangi lalu bersihkanlah padanya,dia bertanya
lagi :bagaimana caranya?jawab rosul:maha suci allah!lalu dia bersembunyi dibalik pakaiannya,kamu
cuci dengannaya lalu …………aisyah,dan dia mengetahuinya bahwasannya dusapkan pada bekas darah
tersebut"
Dan tidak disunahkan memperbaharui mandi untuk melaksanakan sholat karena mengandung
keberatan,berbeda dengan wudlu.75

Takaran air untuk mandi besar

Disunahkan menurut Madzhab Syafi'i Dan Hanbali agar tidak kurang dari sekitar satu sho',yaitu 4
mud atau setara dengan 2175 ghom ,karena hadist dari muslim dari Sufainah,"adalah rosulullah mandi
dengan satu sho' dan berwudlu dengan satu mud"76
Dan tidak ada batasan minimal dalam air wudlu dan mandi,walaupun kurang dari itu asalkan
cukup.karena peritahnya adalah mencucinya(ghusl)dan apabila lebih dalam penggunaannya maka hal itu
tidak mengapa.dengan dalil"saya(Aisyah) pernah mandi bersama rosulullah dalam satu bejana yang
disebut dengan faroq(1 faroq = 16 rotl menurut ukuran iraq)”
Menurut madzhab hanafi dan maliki"tidak ada pembatasan dalam ketentuan air mandi dan air
wudlu karena berbedanya keadaan manusia,dan hendaknya oranag yang mandi tidak berlebih-lebihan dan
juga terlalu hemat"
Tentang pengunaann air,jika terlalu banyak,apakah makruh? menurut Ibnu Taimiyah,ya dan salah
satu tanda dari kefakihan seseorang adalah tidak boros dalam mengunakan air.77.

Hal-hal yang makruh ketika mandi besar


Menurut madzhab hanafi, sama pada hal-hal yang dibenci pada wudlu,yaitu ada 6 hal:boros air,
taqtir, memukul wajahnya, berbicara , dengan bantuan orang lain tanpa udzur, dan do'a di kamar mandi.
Menurut madzhab maliki ada 5 yaitu; boros, taknis fiamalihi, mengulanginya jika merasa kurang
sempurna, mandi ditempat yang ada Wcnya berbicara selain dzikir."
Menurut madzhab syafi'I" boros, dalam air yang tergenang, lebih dari 3 kali, tanpa kumur dan
istinsak. Selain itu makruh bagi orang yang junub, haid dan nifas untuk makan, minum, tidur dan jima'
sebelum mencuci kemaluannya dahulu dan berwudlu"
Menurut madzhab hambali" boros walaupun dalam air yang mengalir karena hadist "bahwasannya
nabi melewati Saad dan dia berwudlu, maka beliau" kamu boros Saad?"jawabnya" apakah dalam wudlu
ada boros?"sabdanya" ya, walaupun kamu dalam air yang mengalir"78
Dan dimakruhkan mengulangi wudlunya setelah sebelumnya sudah,kecuali dia memegang
kemaluanya atau hal lain yang membatalkann wudlu seperti memegang perempuan dengan
syahwatl,dengan dalil "nabi tidak berwudlu setelah mandi"

REFERENSI
 Al Jami' Fil Fikhi An Nisa, Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Edisi Indonesia Fikih Wanita,
Cet: I tahun 1998, Pustaka Al Kautsar
 Manhajus Salikin Wa Taudhihu Al Fikh Fie Addin, Syaikh Al Alamah Abdurrahman Bin Nashir
Ash Sa'di, Edisi Indonesia Pedoman Praktis Fikih Setiap Muslim, Cet I, tahun 2002 M Pustaka
Dar El Hujjah Jakarta
 Al Fikhu Al Islamiyah Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az Zuhaily Cet IV tahun 1997 M, Dar Al Fikr
 Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, Cet: Ke IV tahun 2002 M, Pustaka Darul
Falah.
 Dr. Shaleh Fauzan bin Abdullah Fauzan, Al Mulakhas Fiqhi, Dar 'Ashimah Riyadh, Cet I, th
1423 H, juz 1.
75
Fiqih Islam ,Hal 532
76
nailul author ,1/250 dan setelahnya.
77
Majmu' Fatawa ,juz 21,hal 270-271
78
Hr Ibnu Hibban
16
 Dr. Musthafa Al Khin ,Dr. Musthafa Al Bugha Dan Aly As Syaryahi, Al Fiqhul Manhaji Al
Madzhabil Imam As Syafii, Darul Qalam Damsyiq, Cet 2 th 1998.
 Ibnu Qudamah, Al mughni, Hajr kairo, cet I th 1986.
 Ta'liqat Ar Radhiyah Ala Raudhtun Nadiyah, Lilalamah Shiddiq Hasan Khan Biqalam Syaikh
Nashirudin Albani, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cet 1 th 1999
 Fikhu Sunnah Al Ibadat, Said Qutub, Jilid I-V, Cet Ke IV tahun 1403 H/1983 M, Pustaka Dar Al
Fikr
 Al Umdah Fi Al Ahkam Fi Ma'alim Al Hilal Wa Al Hiram, Al Hafidh Abdul Ghani Bin Abdil
Wahid Al Maddisy Al Jama'ily, Cet I, Pustaka Dar Al Kutub Al 'Ilmiyah Bairut Libanan
 Fatawa Lillajnah Ar Raimah Lilbuhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta', Jamu Wa At Tartib Syaikh Ahmad
Bin Abdir Raziq Ad Duwaisy, Cet ke III tahun 1421 H/2000 M, Dar Balnisiyah
 Bidayah Al Mujtahid Wa Nihayatu Al Muqtashid, Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin
Ahmad Bin Rusd Al Qurthuby, cet I tahun 1418 H/1997 M, Pustaka Dar Al Ma'rifah
 Majmu' Al Fatawa, Taqiyuddin Ahmad Bin Taimiyah Al Hirany, Cet II tahun 1419 H/1998 M,
Pustaka Dar Ibnu Hazm
 Al Wajiz Fi Fkhi As Sunnah Wa Al Kitab Al 'Aziz, Abdul Adhim Bin Badawy, Cet ke II tahun
1421 H/2001 M, Dar Ibnu Rajab
 Ar Raudhatu An Nadiyah Syarhu Ad Duraru Al Bahiyah, cet tahun 1398 H/1978 M, Pustaka Dar
Al Ma'rifah
 Tamamul Minnah Fie At Taqliq 'Ala Fikhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nassirudin Al Albani
Edisi Indonwsia Tamamul Minnah koreksi dan komentar secara ilmiyah terhadap kitab fikhu
sunnah karya Sayid Kutub, cet I tahun 1422 H/2001 M, Pustaka Maktabah Salafy Press
 Asysyarhu Al Kabir Liibni Qudamah Al Maqdisy, Syaikh Al Imam Syamsudin Abi Al Farj
Abdirrahman Bin Abi Umar Bin Ahmad Bin Qudamah Al Maqdisy, Dar Kulliyah Asy Syariyah

17

Anda mungkin juga menyukai