Anda di halaman 1dari 5

THAHARAH

Sahril, S.Pd.
(Pembina Asrama_Sekolah Islam Athirah Bone)

A. Thaharah dan Alat Thaharah

1. Pengertian Thaharah

Secara bahasa, thaharah berarti bersih dan terbebas dari kotoran atau noda,

baik yang bersifat hissi (terlihat), seperti najis (air seni atau lainnya), atau yang

bersifat maknawi, seperti aib atau maksiat.1

Adapun yang dimaksud dengan tath-hir (menyucikan) adalah menetapkan

kondisi bersih pada satu tempat (tertentu).

Sedangkan secara istilah, thaharah adalah menghilangkan hadas dan najis

yang menghalangi pelaksanaan salat dengan menggunakan air (atau lainnya), atau

menghilangkan hukumnya (hadas dan najis tersebut) dengan debu.2

2. Macam-macam Thaharah

Para ulama telah mengklasifikasikan thaharah menjadi dua macam:

a. Thaharahhaqiqiyyah, yaitu bersuci dari najis, yang meliputi badan, pakaian

dan tempat.

Yang dimaksud dengan najis adalah sesuatu yang kotor (menjijikkan)

menurut pandangan syariat, dan wajib bagi seorang muslim untuk bersuci dan

membersihkannnyajika terkena najis tersebut.

1
Abu Malik. Kamal,Fikih Thaharah (Cet. I; Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. 18.
2
Abu Malik. Kamal,Fikih Thaharah, h. 18.

ii
b. iyyah, yaitu bersuci dari hadas.

Thaharah jenis ini hanya berkenaan dengan badan, yang terbagi menjadi 3 bagian:

1) Thaharahkubra yaitu mandi.

2) Thaharahshughra yang berupa wudu.

3) Pengganti keduanya dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan

keduanya (mandi dan wudu), yakni tayammum.3

3. Macam-macam Alat Bersuci

Hanya airkah yang dapat digunakan thaharah? Bagaimanakah jika di suatu tempat sulit

ditemukan air ? Dalam hal ini, Islam tetap memberi kemudahan. Alat atau benda yang dapat

digunakan untuk bersuci menurut Islam ada dua macam, yakni benda padat dan benda cair.

Benda padat yang dimaksud adalah debu, dan semua jenis tanah, seperti pasir, batu, atau

kapur dan kayu. Semua benda tersebut harus dalam keadaan bersih dan tidak terpakai. Islam

melarang pemakaian benda-benda tersebut apabila masih dipakai.

 Benda cair yang boleh digunakan untuk bersuci adalah air, berikut pembagiannya.

a. Air Mutlak

Hukum air mutlak adalah thahur, yakni suci dan menyucikan. Ada beberapa macam air

yang masuk ke dalam kategori air mutlak, yaitu sebagai berikut.4

1) Air hujan, air es, dan air embun.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

“Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum

kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (Q.S. Al-

Furqan/25: 48.)

3
Abu Malik. Kamal, Fikih Thaharah (Cet. I; Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. 21.
4
Sayyid. Sabiq, Fiqih Sunnah (Cet. II; Jakarta: Darul Fath, 2013), h. 15.

3
2) Air laut

Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa ada seseorang bertanya kepada

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami sedang melaut dan membawa

sedikit air. Jika kami menggunakannya untuk berwudu, kami akan kekurangan jatah air minum

dan kami akan kehausan, Bolehkah kami berwudu dengan menggunakan air laut?” Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ُ‫ ْال ِحلُّ َم ْيتَتُه‬,ُ‫هُ َوالطَّهُوْ ُر َما ُءه‬

“Air laut itu suci dan menyucikan. Segala bangkai (air laut) itu halal.”

Menurut Tirmidzi, “Hadits ini adalah hadits hasan-shahih.

3) Air Zamzam

Ali radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah meminta sebuah timba

yang dipenuhi dengan air zamzam. Kemudian beliau minum dari timba itu, lalu beliau berwudu

dari air itu.

Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan-shahih.

4) Air yang berubah warna karna tidak bergerak, atau karena tempat penampungannya, atau

karena bercampur dengan sesuatu yang sulit dipisahkan, seperti lumut dan dedaunan.

Menurut ulama, jenis air seperti ini masih dikategorikan air mutlak.

b. Air Musta’mal

1) Ulama Al-Hanafiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk

mengangkat hadas (wudu untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (wudu sunnah dan

mandi sunnah). Yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air

yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari

4
tubuh sebagai sisa wudu atau mandi. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi

musta’mal.

Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci

tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudu atau mandi.

(lihat kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-

186, juga Fathul Qadir 58/1,61).

c. Air yang Telah Bercampur dengan Sesuatu yang Suci

Sesuatu yang suci itu seperti sabun, minyak za’faran, tepung, dan hal-hal lain yang

biasanya terpisah dari air.

Air jenis ini hukumnya suci dan menyucikan, selama ia masih dianggap sebagai air

mutlak.5

d. Air yang Dapat Berubah Menjadi Najis dan yang Tidak

1) Air Mengalir

Apabila di dalam air yang mengalir itu terdapat sesuatu yang diharamkan; seperti

bangkai, darah, atau sejenisnya dan berhenti pada suatu muara, maka air yang tergenang itu

menadi najis bila kadar air lebih sedikit dari jumlah bangkai, yaitu kurang lebih lima geriba.

Akan tetapi bila airnya lebih dari lima geriba, maka ia tidak dikategorikan najis, kecuali apabila

rasa, warna dan baunya telah berubah karena najis, sebab air yang mengalir akan menghanyutkan

semua kotoran.

2) Air tergenang

Air yang tergenam terdiri dari dua macam:

Pertama, air yang tidak najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, kecuali

apabila warna, bau dan rasanya telah berubah. Apabila sesuatu yang haram terdapat dalam air itu
5
Sayyid, Sabiq. Fiqih Sunnah (Cet. II; Jakarta: Darul Fath, 2013), h. 18.

5
dan merubah salah satu sifat yang disebutkan; baik warna, bau dan rasanya, maka air itu menjadi

najis baik sedikit maupun banyak.

Kedua, air yang najis apabila bercampur dengan sesuatu yang haram, walaupun yang

haram itu tidak terdapat padanya. Apabila sesorang bertanya, “Apa alasan dalam membedakan

antara air yang najis dan air yang tidak najis, padahal tidak ada perubahan apapun pada salah

satunya?” Maka jawabannya adalah, hujjah dalam hal ini adalah Sunnah (hadits). Telah

diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dari bapaknya, bahwa Nabi bersabda,

“Apabila air ada dua qullah, maka ia tidak membawa najis.” (HR. Tirmidzi)

29 November 2020

Sahril

Anda mungkin juga menyukai