Anda di halaman 1dari 5

Air dan Hukum-hukumnya

Oleh:
Feri Eko Wahyudi, S.Ud., M.H.

Dasar tentang kewajiban bersuci menggunakan air adalah Firman Allah dalam QS.
Al-Anfal: 11 dan QS. Al-Maidah: 6.

      

Dan Allah menurunkan air dari langit agar air itu dapat menyucikanmu. (QS. Al-
Anfal: 11)

     

Lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik.
(QS. Al-Maidah: 6)

Menurut Ibnu Rusyd, para ulama sepakat bahwa substansi air itu suci dan dapat
menyucikan benda-benda yang lain, kecuali air laut. Tetapi terdapat riwayat yang bersumber
dari imam Malik dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaiman, al-Hakim, dan al-Daruquthni
yang menyatakan bahwa air laut adalah suci dan memiliki fungsi menyucikan sebagaimana
air pada umumnya, bahkan bangkai (ikan, udang, dsb) yang ada di dalamnya pun halal untuk
di makan (‫)هو الطهور ماءه واحلل ميتته‬. Meskipun riwayat ini diperdebatkan keshahihannya, namun
syariat menguatkannya. Apa lagi para ulama juga sepakat bahwa segala sesuatu yang dapat
berubah dan tidak dapat terlepas dari faktor/pengaruh eksternalnya, maka pengaruh tersebut
tidak dapat merubah status kesucian benda tersebut. Contohnya seperti air laut yang tidak
dapat terpisah dari garam saat berada di lautan, demikian pula air sungai atau sumur yang
berwarna kuning disebabkan oleh senyawa zat besi, meskipun merubah warna air dan rasanya
tetapi ia tergolong air yang suci.

Para ulama ahli fikih juga sepakat jika air berubah warna, bau dan rasaya disebabkan
oleh benda najis, maka tidak air tersebut dihukumi najis dan tidak dapat digunakan untuk
bersuci. Hal ini didasarka pada hadis riwayat Ibnu Majah, dari Abu Umamah, ia berkata:
Rasulullah saw.,bersabda, Sesungguhnya air itu tidak satu pun yang dapat menjadikannya
najis kecuali yang mempengaruhi atau merubah, bau, rasa dan warnanya ( ‫اال ما غلب يلع ريحه‬

‫)وطعمه ولونه‬.

Ada tiga macam air, yaitu air mutlaq yang suci lagi menyucikan, air yang suci tapi
tidak menyucikan, dan air mutanajjis.
1. Air mutlaq, yang termasuk jenis air ini adalah semua air yang turun dari langit dan
bersumber dari bumi, berdasarkan keumuman QS. al-Furqan: 48 dan QS. Al-Anfal:
11.
2. Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air yang boleh diminum dan
dipergunakan untuk memasak tetapi tidak sah digunakan untuk menghilangkan hadas
dan najis. Menurut mazhab Hanifi, air tersebut boleh digunakan untuk
menghilangkan najis. Termasuk jenis air ini adalah air yang bercampur teh, susu,
lumut yang terlalu banyak.
Termasuk juga dalam jenis air ini adalah air musta’mal, yaitu air yang sudah dipakai
menghilangkan hadas. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat al-Nasa’i, bahwa
Nabi saw., melarang wanita mandi dengan air bekas mandi laki-laki, dan juga
melarang sebaliknya, tetapi hendaklah keduanya menciduk air tersebut secara
bersamaan. Hal ini berlaku apabila air tersebut sedikit, adapun jika airnya banyak
maka tidak dianggap musta’mal.
Menurut pendapat ulama Malikiah, air musta’mal adalah air yang suci lagi
menyucikan, baik airnya dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Pendapat ini
didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad tentang tata cara wudhu
Rasulullah, beliau menyapu/mengusap kepalanya dengan air sisa wudhu yang ada di
tangannya.
Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa ada 5 pendapat terkait hukum menggunakan air
sisa bersuci/thaharah. 1) air bekas thaharah adalah suci secara mutlak, inilah
pendapat mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanafi. 2) laki-laki tidak boleh bersuci dengan
air bekas seorang wanita, tetapi boleh sebaliknya. 3) laki-laki boleh bersuci dengan air
sisa wanita apabila ia tidak sedang janabat. 4) laki-laki dan perempuan tidak boleh
bersuci dari air sisa masing-masing, kecuali jika bersamaan. 5) laki-laki dan
perempuan tidak boleh menggunakan air sisa masing-masing meskipun memulai
menggunakan air secara bersamaan.
3. Air mutanajjis, yaitu air yang terkena najis dan air tersebut sedikit (tidak sampai dua
kullah), atau airnya banyak tetapi merubah salah satu sifat air (bau, rasa atau
warnanya).
Menurut mazhab Hanafi, air banyak ialah air yang mencapai ukuran panjang dan
lebarnya sepuluh hasta. Sementara itu ulama Maliki berpendapat bahwa air sedikit
atau banyak tidak dapat menjadi najis kecuali bila berubah sifat-sifatnya disebabkan
adanya najis. (Abdul Qadir al-Rahbawi) Ulama Madinah dan juga mazhab Zahiri juga
sependapat dengan Imam Malik (Ibnu Rusyd).

Di dalam kitab Matan Abu Suja’ al-Ashfahani sebagai salah satu kitab pedoman
mazhab Syafi’i di Indonesia disebutkan ada 4 macam air. Yang pertama adalah air yang
mutlaq, yaitu air yang suci lagi menyucikan (dapat digunakan untuk bersuci). Yang kedua
adalah air yang suci dan menyucikan tetapi makruh digunakan, yaitu air di dalam wadah
logam yang dipanaskan dengan matahari (musyammas). Ketiga air musta’mal yaitu air yang
telah digunakan menghilangkan najis, air jenis ini dihukumi suci tetapi tidak menyucikan.
Termasuk juga jenis ini adalah air yang berubah karena bercampur benda-benda suci lainnya.
Keempat, air najis yaitu air yang bercampur dengan najis dan volumenya tidak mencapai dua
qullah. Ukuran dua qullah beragam menurut para ulama, ada yang memahaminya setara
dengan 190 liter atau air yang ada dalam wadah berukuran 58 cm panjang, lebar dan
dalamnya. Ada juga yang memahaminya setara dengan 216 liter atau penampung berukuran
60 cm panjang, lebar dan dalamnya. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaily dua qullah sama
dengan 270 liter.

Di dalam kitab Safinatun Najah disebutkan bahwa air terbagi menjadi dua macam,
yaitu air sedikit dan air banyak. Air sedikit adalah air yang tidak mencapai ukuran dua qullah,
sedangkan yang dimaksud dengan air banyak adalah air yang mencapai ukuran dua qullah.
Air yang sedikit apabila terkena najis berubah hukumnya menjadi air mutanajjis, meskipun
najis tersebut tidak memengaruhi bau, warna dan rasa air. Sedangkan air banyak (dua qullah)
jika terkena najis yang tidak merubah bau, rasa dan warnanya tetap dianggap suci, dan bila
najis memengaruhi bau, rasa dan warnanya maka ia berubah menjadi air mutanajjis. Jika
dirinci –menurut pensyarah kitab tersebut-, macam-macam air tersebut dapat dikelompokkan
menjadi 4 macam, yaitu:

1. Air yang suci dan mensucikan, yang tergolong dalam kategori air ini ialah air
hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah mencair, air embun dan air yang
keluar dari sumber (mata air).
Perubahan air yang tetap menjadikannya air yang suci dan menyucikan adalah:
a. Air yang berubah salah satu sifatnya karena sebab tempatnya, seperti air yang
mengalir di batu belerang.
b. Air yang berubah warna atau baunya karena lama tersimpan/tergenang dan
tidak mengalir, seperti air kolam.
c. Berubah karena sesuatu terjadi pada air, seperti berubah salah satu sifatnya
karena disebabkan oleh adanya ikan pada air tersebut.
d. Berubah karena tanah yang suci, misalnya berubah warnanya karena terkena
air gunung yang berwarna merah. Bagitu juga perubahan pada air yang
memang sulit untuk dihindari, seperti berubahnya warna dan aroma air sumur
karena dijatuhi dedaunan pohon yang hidup di sekitar sumur.
2. Air suci tetapi tidak menyucikan
Air jenis ini hukum asalnya adalah air suci, tetapi tidak sah digunakan untuk
menyucikan sesuatu, yang tergolong air jenis ini ada tiga macam, yaitu:
a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan benda
suci, selain dari perubahan yang telah disebutkan di atas. Yaitu, air kopi, air
teh dan lainsebagainya.
b. Air sedikit, yaitu air yang volumenya tidak sampai dua kullah, dan air tersebut
telah digunakan untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan najis, sifat-
sifat air tersebut tidak berubah dan tidak pula bertambah volumenya setelah
digunakan untuk menghilangkan najis atau hadas.
c. Air pepohonan atau air buah-buahan.
3. Air yang terkena najis
Air yang terkena najis ini terbagi dua, yaitu:
a. Air yang sudah berubah salah satunya sifatnya disebabkan adanya najis, maka
air ini tidak dapat digunakan lagi, baik volume airnya sedikit ataupun banyak.
b. Air yang terkena najis tetapi tidak merubah salah satu sifatnya. Jika air
tersebut dalam jumlah banyak (dua kullah) maka airnya dihukumi suci.
Sebaliknya, jika airnya tidak mencapai ukuran dua kullah maka dihukumi
tidak suci.
Landasan dari pendapat ini adalah hadis Nabi saw., jika air telah mencapai
ukuran dua kullah, maka tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu apa pun (HR.
Lima Imam).
4. Air yang makruh.
Yaitu air yang sah jika digunakan untuk bersuci, tetapi dihukumi makruh. Air
tersebut adalah air dalam wadah (bejana) yang terbuat dari logam yang dijemur,
selain bejana emas dan perak. Air ini makruh digunakan untuk badan tetapi boleh
digunakan untuk menyucikan pakaian. Karena itu, tidak termasuk dalam jenis air
ini air yang dipanaskan di kolam, sawah dan tempat-tempat plastik.

Hukum Air Sumur

Menurut ulama Hanafi, apabila najis jatuh ke dalam sumur atau terdapat bangkai
hawan jenis berdarah mengalir di dalam sumur maka air sumur tersebut menjadi najis. Bila
bangkai telah busuk dan bulunya rontok maka air sumur harus dikuras seluruhnya, atau bila
tidak mungkin dikuras sampai habis maka harus dikuras sebanyak 200 timba dengan timba
yang biasa dipakai. Hukum yang sama berlaku jika bangkai tersebut besar, seperti sapi,
kambing atau manusia. Bila bangkainya kecil seperti kucing atau ayam, maka cukup
mengurasnya sebanyak 40 timba, ini berlaku apabila bangkai belum hancur. Demikian pula
bila bangkainya lebih kecil seperti tikus, maka sumur dapat dikuras dengan 20 timba saja.

Bila seekor binatang najis ‘ain seperti babi jatuh ke dalam sumur dan masih hidup,
maka juga harus dikuras sampai habis, atau jika tidak memungkinkan cukup dikuras
sebanyak 200 timba. Jika sumur kemasukan binatang biasa seperti ayam, burung dan
sebagainya, maka airnya tetap suci dan tidak perlu dikuras, dengan catatan tidak ada najis
pada tubuh hewan tersebut.

Air Sisa Minum

1. Sisa manusia, air sisa minum manusia hukumnya suci, kecuali bila dimulutnya ada
najis, seperti telah minum minuman keras dan lain sejenisnya. Adapun sisa minum
orang kafir atau musyrik, maka ada dua pendapat, ada yang menyatakannya suci dan
ada pula yang menajiskannya. Perbedaan ini terjadi karena ada perselisihan dalam
memahami lahiriah ayat 28 QS. Al-Taubah (Ibnu Rusyd).
2. Sisa binatang dan burung buas. Air sisa minumnya suci berdasarkan riwayat dari al-
Syafi’i dan al-Baihaqi, diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi saw., pernah
ditanya, “Bolehkah berwudhu dengan air sisa minum keledai?” Nabi saw., menjawab,
Boleh, bahkan boleh juga berwudhu dengan sisa minum semua binatang buas. Selain
itu juga ada hadis yang bersumber dari Imam Malik, bahwa Umar pernah berkata, kita
boleh minum di tempat minum binatang buas, dan bunatang buaspun boleh minum di
tempat kita biasa minum.
Ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa air sisa minum binatang yang tidak halal
dimakan dagingnya adalah najis, sebab air tersebut bercampur dengan liurnya yang
najis. Selain itu, air sisa minum ayam dan burung buas adalah makruh.
3. Sisa binatang yang dimakan dagingnya. Airnya suci dan dapat digunakan untuk
wudhu, ini berdasarkan kesepakatan ahli ilmu. Air sisa minum kucing juga tidak najis,
berdasarkan hadis riwayat al-Tirmizi: kucing itu tidak najis, ia termasuk binatang
yang berkeliling di sekitarmu. Hal ini dengan catatan bahwa mulut kucing tersebut
tidak ada najisnya, atau tidak setelah makan najis.
4. Sisa anjing dan babi. Airnya najis menurut satu pendapat (Abdul Qadir al-Rahbawi).
Ulama lain menghukumi air sisa anjing sebagai suci, mereka berpegang pada hadis:
Rasulullah saw., ditanya tentang telaga yang terletak di antra Mekah dan Madinah
yang biasa didatangi anjing dan binatang buas, beliau bersabda: baginya hewan-
hewan itu sesuatu yang ada diperutnya, dan bagimu sesuatu yang tertinggal (sisa
minum hewan tersebut) berupa minuman dan kesucian.
Imam Malik berpendapat bahwa air sisa minum anjing tidaklah najis. Alasannya
karena jika substansi seekor anjing adalah najis, maka secara qiyas bertentangan
dengan lahiriah ayat 4 QS. Al-Maidah: makanlah binatang yang ditangkap (oleh
anjing tersebut) untukmu. Jika substansi anjing tersebut najis, maka seharusnya najis
pula semua binatang yang ditangkapnya, karena ada persentuhan antara mulut anjing
dengan hewan buruan tersebut (Ibnu Rusyd).

Anda mungkin juga menyukai