Anda di halaman 1dari 7

Wudhu

Wudhu menurut kamus bahasa artinya bersih, elok, indah, sinar (Al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia, hal.1564).

Kata ‘Wudhu’ menunjukkan perbuatan wudhu tersebut. Sedangkan wadhu’ berarti air
untuk berwudhu. (Subulus salam, Tjm. Jld.1. hal.). Orang yang berwudhu disebut
Mutawadhi. Sedang menurut syara,’ wudhu artinya membersihkan anggota wudhu untuk
menghilangkan hadats kecil.

Hadats menurut bahasa artinya baru. (Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, hal.241).
sebelum manusia dilahirkan yakni ketika masih di dalam rahim, ia masih dalam keadaan
suci atau fitrah. Ia tidak pernah buang air besar, kecil dan buang angin, juga tidak pernah
junub. Keadaan itu baru ada setelah ia lahir, maka keadaan-keadaan tersebut secara
bahasa disebut hadats, Jika seorang mukallaf hendak melaksanakan ibadah shalat, maka
ia wajib dalam keadaan suci dari hadats. Agar kembali kepada kesuciannya tersebut,
seorang mukallaf disyari’atkan untuk berwudhu. Dalam shahih Bukhari dan Muslim, dari
Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “ Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat
seseorang dari kalian jika ia berhadats, sehingga ia berwudhu.” ( HR. Bukhari, Muslim ).

Air adalah media untuk berwudhu agar dapat menghilangkan hadats, yakni kembali
dalam keadaan suci, karena itu air yang digunakan wajib suci lagi mensucikan atau yang
dikenal dengan air mutlak. Air memiliki tiga sifat yakni warna, bau dan rasa.

Menurut kesuciannya, air dibedakan menjadi empat bagian

1. Air suci lagi mensucikan :

- Air Mutlak yaitu air yang tidak terikat oleh sesuatu. Inilah air yang dapat
digunakan untuk bersuci. Air ini suci bagi dirinya sendiri dan juga dapat dipakai
mensucikan yang lain, seperti air hujan, air mata air, air sungai, air sumur, dan
sejenisnya.
- Air Mutaghayyir bil Mujawir : yaitu air yang berubah sifatnya oleh benda yang
dapat dipisah. Apabila benda yang merubah air tersebut tidak bersifat mengikat
atau dapat dipisah dari dalam air yakni bendanya dapat dipisah (mujawir),
seumpama kayu, batu atau sejenisnya, maka air tersebut masih dapat dipakai
berwudhu. Dalam hal ini Imam Syafi’i berkata :

“ Apabila jatuh dalam air sesuatu yang halal, lalu merubah bau atau rasa
dan tidaklah (kemutlakkan) air itu lenyap padanya, maka tidak mengapa untuk
berwudhu dengan air tersebut. Yang demikian itu, bahwa jatuh ke dalamnya kayu
yang berbau atau kayu gaharu, lalu lahirlah baunya. Atau yang serupa dengan
kayu yang tersebut tadi.” ( Al-Umm, Tjm. jld.1 hal. 43, )

- Air Mutaghayyir bith-thulil-muktsi. Yaitu air yang berubah sifat-sifatnya


sebab terlalu lama diam. Seperti air kolam yang tidak pernah digunakan oleh
seseorang sehingga berubah sifatnya, atau terlalu lama dalam wadah
penampungan karena lama tidak digunakan. Dalam hal ini al-Baijury Ibnu al-
Qasim al-Ghazi berkata “ Tidak berbahaya ( untuk bersuci ) air yang
disebabkan diam lama, sekalipun terjadi perubahan yang mencolok..” (
Menjawab Problema Fiqh Kesaharian, hal. 9)

2. Air suci tetapi tidak dapat mensucikan ;

- Air Musta’mal adalah air yang telah terpakai untuk menghilangkan hadats. Dalam
I’anatuth Thalibin jld.1 hal. 38, disebutkan empat syarat air menjadi musta’mal
adalah :
 Sudah terpakai untuk menghilangkan hadats yang hukumnya wajib.
 Air tersebut terpisah dari anggota yang dibasuh.
 Air itu sedikit, yakni kurang dari dua kulah.
 Tidak ada niat mengambil atau menciduk air (ightiraf) saat menciduk air
dengan tangan ke dalam wadah air sedikit.

Menurut syarat tersebut, bahwa yang dinamakan air musta’mal adalah air yang
telah terpisah atau yang jatuh dari anggota yang dibasuh pada wudhu wajib. Jumlah
air ini tentu sedikit.
Jika seseorang mencelupkan tangannya yang tidak bernajis ke dalam air sedikit
dalam wadah yang kecil seumpama mangkuk, dan saat mencelupkan tangan tersebut
ia tidak berniat menghilangkan hadats dalam wadah mangkuk tersebut, melainkan
berniat hanya mengambil air (ightiraf), maka air dalam wadah mangkuk tersebut
tidak musta’mal, dan ia dapat berwudhu padanya. Tetapi jika saat ia mencelupkan
tangan tersebut ia berniat menghilangkan hadats padanya, atau tidak berniat
mengambil air (ightiraf). maka air itu menjadi musta’mal. Hal seperti ini tergantung
kepada niat orang yang berwudhu, karena itu perlu kehati-hatian dalam
pelaksanaannya. Dan pelaksanaan seperti ini lebih baik apabila dilakukan hanya
karena darurat.

Jika seseorang mencelupkan tangan ke dalam wadah air yang sedikit untuk
berwudhu, berniat ightiraf atau tidak, tetapi sebelumnya ia telah berwudhu dan wudhu
tersebut belum batal. Ia hanya sekedar berwudhu untuk kedua kali karena mengambil
sunah. Maka air tersebut tidak dinamakan musta’mal, karena wudhu tersebut bukan
wudhu wajib.

- Air Mutaghayyir Muqayyad adalah air yang berubah salah satu sifatnya karena
bercampur sesuatu yang suci yang mengikat ( Muqayyad ) dari barang yang tidak
dapat dipisah dari dalam air (mukhalit) yang merubah sifat kemutlakan air, yakni tidak
lagi dapat disebut air mutlak, melainkan sudah disebut seumpama air susu, teh, kopi
dan sejenisnya. Tetapi jika tidak sampai merubah kemutlakan air maka boleh dipakai
bersuci. Dalam hal ini Imam Syafi’i berkata :
“ Jikalau diambil air, lalu dicampurkan susu padanya atau tepung atau air madu,
lalu air itu lenyap( kemutlakan ) padanya, niscaya tidak dapat lagi berwudhu dengan
air itu, karena air itu telah lenyap (kemutlakan) padanya. Dan dikatakan air itu air
tepung, air susu dan air madu yang bercampur. Kalau dicampakkan (dicampurkan)
barang sedikit dari barang-barang tadi ke dalam air, yakni dimasukkan ke dalamnya
itu dari tepung, susu dan air madu menjadi lenyap di dalam air dan adalah warna air
itu terang dan tiada rasa bagi sesuatu dari yang tersebut itu di dalam air, niscaya
berwudhulah dengan air itu.” (Al-Umm, Tjm. jld.1 hal. 43 )

- Air Mudhaf yakni perahan dari air pepohonan atau air buah-buahan.

3. Air Mutanajis : air yang bernajis;


- Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis, tidak boleh dipakai bersuci,
apabila jelas diketahui bahwa air itu bernajis.
- Tidak berubah salah satu sifatnya, apabila sedikit ( kurang dari dua kulah )
berarti tidak boleh dipakai bersuci. Apabila banyak (lebih dua kulah ) boleh
dipakai bersuci. Hal ini mengikuti Fiqh Imam As-Syafi’i dan inilah yang
dianjurkan pertama untuk diikuti. Adapun jika ada penghalang berupa kesulitan
maka ada kemudahan, para pengikut Imam Syafi’i yang disebut Syafi’iyyah
membolehkan dalam keadaan mendesak menggunakan air yang kurang dari
dua kulah yang tercampur najis dengan syarat sifat air tersebut masih tidak
berubah.

“ Menurut Imam Malik, air tidak menjadi najis sekalipun air itu sedikit kecuali
sebab berubah. Pendapat tersebut juga dipilih oleh mayoritas dari ashabuna
( Syafi’iyyah ), yang mana di dalamnya terdapat kemurahan. (Hasyiyah al-Bajury
Juz 1 hal. 34 ).

Imam al-Ghazali juga berpendapat demikian, “ Saya suka mazhab itu menjadi
mazhab Malik mengenai air itu, meskipun sedikit, tidak menjadi najis kecuali apabila
berubah karena kebutuhan kepadanya itu mendesak.” ( Ihya Ulumiddin, Tjm,
Jld.1 hal. 422 )

4. Air Makruh, yaitu air yang berada dalam wadah yang berkarat terjemur panas
matahari. Air ini hanya makruh untuk bersuci tetapi tidak untuk pakaian.

Syarat-syarat wudhu bagi mukalaf


:
1.Tidak berhadats besar.
2. Dengan air suci lagi menyucikan.
3.Tidak ada sesuatu yang menghalangi air sampai ke anggota wudhu, misalnya getah, cat
dan sebagainya.
Apabila syarat-syarat ini ditinggalkan maka wudhu tersebut tidak sah.
Rukun Wudhu atau Fardhu Wudhu

Rukun wudhu adalah urutan perbuatan wajib, yang wajib dilakukan dalam wudhu,
apabila tertinggal maka wudhu tersebut tidak sah.

1. Niat
Hendaknya berniat (menyengaja) menghilangkan hadats atau menyengaja berwudhu
ketika membasuh muka.
Lafal niat wudhu:
“Nawaitul-wudhuu’a liraf’il-hadatsil-asghari fardhal-lillahi Ta’aalaa.”
“Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardhu karena Allah
Ta’ala”.

2. Membasuh wajah
Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut kepala bagian atas hingga
bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga telinga kiri).
3. Membasuh kedua tangan sampai siku-siku.
4. Mengusap kepala.
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
6. Tertib (berurutan), artinya mendahukan rukun yang harus dahulu,dan mengakhirkan
rukun yang harus diakhirkan.

Sunah-Sunah wudhu

Sunah wudhu adalah perbuatan yang lebih baik dilakukan dalam wudhu yang
mengiringi rukun wudhu, tetapi apabila sunah wudhu tersebut tertinggal, wudhu tersebut
tetap sah. Sunah wudhu di antaranya:
1. Bersiwak.
2. Membaca Basmalah (Bismillaahir-rahmaanir-rahiim) ketika hendak berwudhu.
3. Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan.
4. Berkumur-kumur.
5. Membasuh lubang hidung sebelum berniat .
6. Menyapu seluruh kepala dengan air.
7. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan ( Tayamun )
8. Menyapu kedua telinga luar dan dalam.
9. Menigakalikan membasuh.
10.Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki.
11.Membaca doa sesudah wudhu.

Yang Membatalkan Wudhu


1. Keluar sesuatu dari jalan buang air besar dan buang air kecil.
Misalnya buang air kecil maupun besar , atau keluar angin dan madzi, dan sebagainya.
2. Bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan yang sama-sama dewasa, keduanya
bukan mahrom nasab dengan tidak ada penghalang antara kedua kulit tersebut.
3. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan.
4. Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk dan tidur nyenyak.

Hikmah Wudhu

Wudhu merupakan kunci masuk ke dalam shalat. Shalat diibaratkan sebuah ruangan
pertemuan yang terkunci, tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam ruangan
tersebut, maka untuk dapat masuk ke dalam seseorang harus menggunakan kunci untuk
membuka ruangan tersebut, jika tidak, maka ia hanya berada di luar ruangan dan tidak
dapat mengikuti pertemuan tersebut.

Shalat adalah sarana pertemuan dengan Allah dan di dalamnya seseorang


bermunajat kepada Allah, untuk memasukinya maka seseorang harus membuka kuncinya
dengan kesucian lahir dan bathin, sarana kesucian tersebut adalah dengan air yang suci
lagi mensucikan dengan cara berwudhu.

Wudhu yang benar bukan hanya menggurkan hadats, tetapi juga menggugurkan
dosa sehingga kembali fitrah ( dalam kesucian).

‫ َأ ْو َم َع‬- ‫ فَغ ََس َل َوهْج َ ُه خ ََر َج ِم ْن َوهْج ِ ِه لُك ُّ خ َِطيَئ ٍة ن ََظ َر لَهْي َا ِب َع ْين َ ْي ِه َم َع الْ َما ِء‬- ‫ َأ ِو الْ ُمْؤ ِم ُن‬- ُ ‫َذا ت ََوضَّ َأ الْ َع ْبدُ الْ ُم ْسمِل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
،- ‫ فَ َذا غَ َس َل يَدَ يْ ِه خ ََر َج ِم ْن يَدَ يْ ِه لُك ُّ خ َِطيَئ ٍة اَك َن ب َ َط َشهْت َا يَدَ ا ُه َم َع الْ َما ِء َأ ْو َم َع آ ِخ ِر قَ ْط ِر الْ َما ِء‬،- ‫آ ِخ ِر قَ ْط ِر الْ َما ِء‬
‫ِإ‬
ِ ‫ َحىَّت خَي ْ ُر َج ن َ ِقيًّا ِم َن ُّاذلن‬- ‫ َأ ْو َم َع آ ِخ ِر قَ ْط ِر الْ َما ِء‬- ‫فَ َذا غَ َس َل ِر ْجلَ ْي ِه خ ََر َج ْت لُك ُّ خ َِطيَئ ٍة َم َشهْت َا ِر ْجاَل ُه َم َع الْ َما ِء‬
‫ُوب‬
‫ِإ‬
“Bila seorang Muslim berwudhu, ketika membasuh muka, maka keluar dari wajahnya
dosa-dosa yang pernah dilakukan matanya bersama tetesan air yang terakhir. Ketika
membasuh kedua tangannya, maka keluarlah setiap dosa yang pernah dilakukan
tangannya bersama tetesan air yang terakhir. Ketika membasuh kakinya, maka keluarlah
dosa yang dijalani oleh kakinya bersama tetesan air yang terakhir, sampai ia bersih dari
semua dosa.” (HR Muslim).

Untuk mengeluarkan dosa-doa tersebut saat berwudhu, tentu harus dilakukan


dengan menyesali semua dosa-dosa yang telah dilakukan dan kembali kepada Allah
sebagai orang yang tawwabin dengan meyakini akan ampunan Allah dan penyucian dari
Allah sebagaimana air yang suci menyucikan anggota wudhu. Tidak dilakukan dengan hati
lalai.

“Barangsiapa mengingat Allah ketika wudhu, niscaya Allah sucikan tubuhnya secara
keseluruhan. Dan barangsiapa tidak mengingat Allah, niscaya tidak disucikan Allah dari
tubuhnya selain yang terkena air saja.” (HR Abdul Razaq).

Kesucian lahir dan bathin dalam wudhu adalah ibarat dua gerigi anak kunci yang
akan dimasukkan ke pintu shalat. Jika hanya satu gerigi mungkin kunci itu dapat masuk,
tetapi tidak dapat membuka pintu shalat. Hal ini menjadi salah satu penyebab tidak bisa
masuk shalat dengan khusyu’, yakni karena tidak ada kekhusyu’an dalam wudhu.

Hikmah disucikannya anggota yang wajib dalam wudhu disebutkan dalam kitab Bughyatul
Mustarsyidin,

Hikmah dikhususkannya anggota wudhu sebagaimana diakatakan, bahwasannya Nabi


Adam ‘alaihis-salam, memandang dengan wajahnya terhadap pohon (larangan), kemudia
ia mengambil dari pohon itu dengan tangannya, dan ia telah mengangkat tangannya di
atas kepalanya dan menuju kepada pohon itu dengan kakinya. Maka diperintahkan
mensucikan angota tersebut. (Bughyatul Mustarsyidin, hal. 29).

Alangkah baiknya apabila seseorang berwudhu saat ia membasuh wajahnya ia


bermaksud membersihkan dirinya dari ‘mencari muka’, ingin dilihat kelebihannya untuk
mendapat pujian dan terkenal di kalangan manusia. Padahal yang dipuji hanyalah Allah
dan apa yang dimiliki hanayalah karunia Allah, milik Allah. Saat membasuh kedua
tangannya ia bermaksud menyucikan dirinya dari merasa berkuasa terhadap sesuatu
yang diperbuatnya, padahal hanya Allah yang Maha kuasa. Saat ia mengusap kepalanya
ia bermaksud membersihkan dirinya dari merasa ‘besar kepala,’ atau takabur, sombong
dan bangga diri, padahal Allah tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga yang
pada dirinya ada rasa kesombongan meskipun ‘sekecil biji sawi.’ Saat membasuh kaki ia
bermaksud membersihkan diri dari perbuatan yang hanya bertujuan untuk duniawi,
padahal setiap perbuatan hendaknya bertujuan untuk menuju ridha Allah subhanahu wa
ta’ala.

Adapun hikmah disucikan anggota-anggota yang sunah dalam wudhu dijelaskan


dalam kitab I’anatuth-Thalibin,

Hikmah dalam melakukan kesunahan membasuh kedua telapak tangan, berkumur-kumur


dan menghirup air ke dalam hidung dalah untuk mengetahui sifat-sifat air, mulai dari
warna, rasa dan aroma air, apakah sifat-sifat air itu berubah atau tidak. Sebagian ulama
berkata, ‘disyari’atkan membasuh kedua telapak tangan adalah *semoga) untuk dapat
memakan hidangan-hidangan surga. Dan berkumur-kumur adalah (semoga) dapat untuk
berbicara dengan Tuhan Pencipta alam semesta. Istinsyak (menghirup air ke dlam hidung
untuk membersihkan hidung) adalah (semoga) dapat untuk mencium aroma wangi surga.
Membasuh wajah ialah (semoga) dapat untuk melihat Allah yang Maha Mulia. Membasuh
kedua telapak tangan adalah (semoga) dapat untuk memakai gelang dalam surga.
Mengusap kepala (semoga) dapat untuk memakai mahkota dalam surga. Mengusap dua
telinga (semoga) dapat untuk mendengar kalam (perkataan) Tuhan Pencipta alam
semesta. Dan membasuh dua kaki (semoga) dapat untuk berjalan-jalan di surga.(I’anah
Ath Thalibin, jld.1, hal. 20)

Cara Berwudhu

Seseorang yang sudah memenuhi syarat berwudhu dan dengan melakukan rukun
wudhu, sudah dianggap sah berwudhu. Tetapi menjadi lebih baik jika dalam wudhu
tersebut dilakukan juga sunah-sunah wudhu disertai dengan dzikir.
1. Membaca “BISMILLAAHIR-RAHMAANIR-RAHIIM” sambil mencuci kedua belah
tangan sampai pergelangan tangan.
2. Berkumur-kumur
3. Mencuci lobang hidung.
4. Mencuci muka tiga kali, mulai tempat tumbuhnya rambut kepala hingga bawah
dagu, dan dari telinga kanan ke telinga kiri, sambil berniat wudhu;
NAWAITUL-WUDHU’A LIRAF’IL-HADATSIL-ASGHARI FARDHAL-LILLAHI
TA’ALA”
“Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardhu kerena Allah
Ta’ala”
5. Membasuh kedua tangan sampai siku tiga kali. ( membasuh dari telapak
tangan, naik ke bagian siku ).
6. Mengusap kepala tiga kali, (dari bagian depan ke belakang dan dikembalikan ke
bagian depan).
7. Mengusap kedua belah telinga tiga kali. ( jari telunjuk mengusap bagian daun
telinga dan jari jempol mengusap bagian luar daun telinga.)
8. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki tiga kali. (membasuh dari jari kaki, naik ke
bagian mata kaki )

Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan dengan dzikir kepada Allah atau Tubu ilallah
(kembali kepada Allah) subahanahu wa ta’ala. Dilakukan secara berurutan sampai selesai.
Setelah selesai berwudhu kemudian berdo’a :

Asyhadu alla ilaaha illallaah wahdahuu laa syariikalah wa asyhadu anna Muhammadan
‘abduhuu warasuuluh. Allaahummaj’alnii minat-tawwaabiina waj’alnii minal-mutathahhiriin.

“ Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-
Nya, Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya
Allah jadikanlah aku golongan orang yang bertaubat dan jadikanlah aku golongan orang
yang mensucikan diri.”

“ Al-Wudhu’ syathrul iman, wudhu adalah bagian dari iman,” (HR. Muslim).

Anda mungkin juga menyukai