Anda di halaman 1dari 13

Air yang Digunakan untuk Berwudhu

Kategori Fiqh dan Muamalah | 19-01-2010 | 40 Komentar

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu. Untuk berwudhu tentu saja memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat. Ada Dua Macam Air Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis. Pertama: Air Muthlaq Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit. Sebagaimana Allah Taala berfirman,

Dan Kami turunkan dari langit air yang suci. (QS. Al Furqon: 48) Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq. Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,

Air laut tersebut thohur (suci lagi mensucikan), bahkan bangkainya pun halal. [1] Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama. Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci? Di sini ada dua rincian, yaitu:

1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu. 2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada embel-embel (seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi). Kedua: Air Najis Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa atau baunya. Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya. Tambahan selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya adalah tambahan yang dhoif. Namun, An Nawawi mengatakan, Para ulama telah sepakat untuk berhukum dengan tambahan ini. Ibnul Mundzir mengatakan, Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang najis. Ibnul Mulaqqin mengatakan, Tiga pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang dhoif (lemah). Yang menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma (kesepakatan kaum muslimin) sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafii, Al Baihaqi, dll. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada nashnya.[2] Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk berwudhu.[3] Bolehkah Air Mustamal Digunakan untuk Bersuci? Yang dimaksud air mustamal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air mustamal dengan air bekas wudhu. Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak. Namun pendapat yang lebih kuat, air mustamal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau

tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh Ali bin Abi Tholib, Ibnu Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafii dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[4] Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air mustamal masih termasuk air yang suci: Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.[5] Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air mustamal adalah air yang suci.[6] Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,

Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.[7] Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air mustamal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air mustamal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?[8] Ketiga: Dari Ar Rubayyi, ia mengatakan, .

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.[9] Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.[10] Kelima: Dari Abdullah bin Umar, beliau mengatakan,

Dulu di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.[11] Keenam: Dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, .

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.[12] Ibnul Mundzir mengatakan, Berdasarkan ijma (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air mustamal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.[13] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Begitu pula air mustamal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.[14] Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafii dalam salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auzai dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air mustamal.[15] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu alam. Catatan: Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin Amr. Beliau berkata, .

Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari air bekar bersucinya wanita.[16] Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah atau hadits, Dulu di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain, maka kita bisa melalui jalan kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu alam.[17]

Apakah Air Kurang dari Dua Qullah Jika Kemasukan Najis Menjadi Najis? Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho, dua qullah sama dengan 93,75 sho[18]. Sedangkan 1 sho seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m. Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau tidak, maka air tersebut menjadi najis. Alangkah bagusnya jika kita dapat melihat pembahasan berikut ini. [Hadits Air Dua Qullah] Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.

Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis). (HR. Ad Daruquthni) Dalam riwayat lain disebutkan,

Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. (HR. Ibnu Majah dan Ad Darimi)[19] [Jika Air Lebih Dari Dua Qullah] Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia menjadi najis berdasarkan ijma (kesepakatan para ulama). Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter berarti lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau baunya, maka pada saat ini air tersebut najis. Inilah mantuq (makna tekstual) dari hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya. [Jika Air Kurang Dari Dua Qullah]

Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad dan pengikut mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa, warna atau baunya. Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit) kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka adalah berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah, jadilah najis. Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya. Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,

Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.[20] Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah, Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum. Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama. Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat illah (sebab). Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu alam bish showab.[21] Kesimpulannya: Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua qullah ataukah belum). Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana asalnya yaitu suci. Bolehkah Menggunakan Air Musyammas (Air yang Terkena Terik Matahari)? Komisi Fatwa di Saudi Arabia, yaitu Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta pernah ditanyakan mengenai hal ini, lalu para ulama yang duduk dalam komisi tersebut menjawab:

. Kami tidak mengetahui satu dalil shahih yang melarang menggunakan air musyammas (air yang terkena terik matahari). Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh Abdullah bin Quud dan Syaikh Abdullah bin Ghodyan selaku anggota, Syaikh Abdur Rozaq Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz selaku ketua. (Soal keenam dari Fatwa no. 7757)[22] Intinya, air musyammas masih boleh digunakan untuk berwudhu. Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Diselesaikan berkat nikmat Allah di saat turun berkah hujan di Pangukan-Sleman, 3 Shofar 1431 H Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasai. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwaul Gholil no. 9.

[2] Dinukil dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar [3] Lihat penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/103104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian seperti ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi. [4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/104. [5] HR. Bukhari no. 187. [6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Marifah, Beirut. [7] HR. Bukhari no. 189. [8] Fathul Bari, 1/296. [9] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[10] HR. Bukhari no. 194. [11] HR. Bukhari no. 193. [12] HR. Muslim no. 323. [13] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi Jaami Al Hadits. [14] Majmu Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa. [15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/106. [16] HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. [17] Cara kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Abu Malik-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah. [18] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H. [19] Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam golongan hadits dhoif/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits). Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini. (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116) [20] HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasai, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478 [21] Pembahasan ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/118 dan Syarhul Mumthi, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 1/33-34, Dar Ibnil Haitsam. [22] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, 7/54, Darul Ifta.

Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikel

Daftar RSS komentar 40 komentar


1. Muslim.Or.Id says: 24 January 2010 at 8:08 pm

@ Heriyawan. Untuk bahasan pertama, kami belum tahu. Untuk bahasan kedua, silakan lihat di link berikut: http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2766-salah-paham-dengan-ayat-kamilebih-dekat-dari-urat-leher.html. Semoga Allah beri kepahaman.
2. Muslim.Or.Id says: 24 January 2010 at 8:10 pm

@ Sufyan Hafid Waalaikumus salam. Menggunakan air yg sedikit pun sah asalkan tetap memenuhi rukun wudhu. Tidak masalah menggunakan air dari gayung.
3. murti says: 25 January 2010 at 1:26 pm

good.guru fiqih ya mbak.


4. Tisman Sirat says: 26 January 2010 at 2:54 pm

iya klo aku binggung ahhhhh.yang pnting air yang buat aku wudu bersih..iya kan lah..kan suci amin
5. Aris Gunandari says: 15 February 2010 at 12:05 pm

Assalamu`alaikum, Apakah pembahasan mengenai boleh tidaknya air musta`mal yang digunakan untuk bersuci termasuk air musta`mal yang kurang dari dua qullah dan apakah yang dimaksud dengan bersuci disini termasuk juga untuk mandi junub ? Mohon penjelasannya Ustadz.
6. Muslim.Or.Id says: 16 February 2010 at 9:36 am

@ Aris Gunandari Waalaikumus salam. Semoga Allah senantiasa menjaga antum. Air yang dimaksudkan di sini juga termasuk dalam pembahasan mandi besar.
7. Fathanullah Salafi says: 11 March 2010 at 7:23 am

Tidak ada iman bagi yang tidak sholat dan tidak ada sholat bagi yang tidak berwudhu. bener gak redaksinya ustadz. selama ini banyak kekeliruan ana dalam menggunakan air untuk berwudhu, artikel ini Alhamdulillah menjawab semua. yang jadi pertanyaan ana, 1. boleh gak berwudhu didalam kamar mandi yang bersatu dengan WC. 2. jika tidak ada air didaerah tersebut dan yang ada hanya air di tempat Nasrani, gmana tuh. 3. jika ana dalam keadaan junub, ana wudhu, trus mandi besar terus wudhu lagi, apakah ini benar atau bisa digolongkan bidah. syukron atas jawabannya, untuk M. Abduh Tuasikal semoga Allah selalu menjaga antum dan tetap semangat menyebarkan dakwah para Salafussholih
8. Muslim.Or.Id says: 24 March 2010 at 11:12 am

@ Fathanullah 1. Boleh berwudhu di kamar mandi, tidak ada larangan. Baca basmallah diperbolehkan ketika itu karena keadaan butuh. 2. Itu dibolehkan. 3. Yang benar tidak perlu wudhu lagi setelah mandi.
9. revy says: 30 March 2010 at 7:25 pm

Assalamualaikum Ustadz Saya mao tanya Ustadz.Saya sekarang berada diJepang.jika sedang musim dingin,suhu

bisa mencapai minus derajat celcius.Air pu seperti air kulkas dinginnya.Karena saking dinginnya,teman saya berwudhu dengan menggunakan air hangat yang dipanaskan oleh listrik,dengan alasan terpaksa dari pada sakit.Tapi saya tidak bisa menerima alasan tersebut,karena saya belum tahu ada keterangan yang membolehkan wudhu atau bersuci dengan air yang dipanaskan.Apakah bersuci dengan air yang dipanaskan baik dengan api atau listrik itu syah Ustadz? Terimakasih atas jawabannya Wassalamualaikum
10. Muslim.Or.Id says: 31 March 2010 at 10:06 am

Waalaikumus salam. @ Revy Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa selama air tersebut masih berada dalam ranah air mutlak, artinya tidak berubah karena kemasukan benda suci shingga mengubah dari air mutlak atau tidak berubah karena kemasukan najis, maka boleh digunakan untuk bersuci. Kami belum mengetahui adanya larangan menggunakan air semacam itu. Kita kembalikan ke hukum asal air itu suci dan mensucikan. Semoga Allah beri kepahaman.
11. Fahmi says: 27 August 2010 at 7:46 pm

Assalamu alaikum warohmatullah, Air di lokasi tempat saya tinggal saat ini bersifat asam yang berwarna keruh kemerahan. Air tersebut berasal dari sungai keruh yang sudah disterilisasi melalui sistem water treatment menggunakan soda ash (kimia). Namun kadangkala proses sterilisasi tersebut kurang sempurna sehingga air masih berwarna keruh dan asam. Bagaimana sifat air tersebut ya Ustadz apabila digunakan untuk berwudlu karena hanya air tersebut yang ada .? Wassalamu alaikum warohmatullah
12. Ahmad eka suryadi says: 12 September 2010 at 11:11 am

As.wa.wb saya sering selesai wudhu bersalaman dgn wanita bkn muhrim..batal atau nga yaa..trimakasih was
13. Abduh Tuasikal says:

12 September 2010 at 4:07 pm

@ Ahmad Jk menyentuh wanita non mahrom dg sengaja mk saudara berdosa, namun wudhunya tidak batal. Silakan simak artikel berikut: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/apakahmenyentuh-wanita-membatalkan-wudhu.html
14. Yulian Purnama says: 18 September 2010 at 7:03 pm

#Fahmi Waalaikumussalam Warahmatullah. Rasulullah bersabda: Air itu suci dan tidak dapat dinajiskan oleh apapun (HR. Tirmidzi) dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa selama masih dapat disebut air, maka suci dan sah untuk berwudhu. Jadi air anda sah untuk berwudhu. Wallahualam.
15. aan surya says: 10 October 2010 at 11:53 am

alhamduulilah saya sedikit memahami ,bagaimana hukumnya air yang kurang dari 2 kollah dapatkah di pakai berwudhu dan bagaimana bolehkah air kurang dr 2kollah di alirkan dan di pakai untuk berwudhu ?
16. Yulian Purnama says: 10 October 2010 at 10:57 pm

#aan surya Boleh dipakai berwudhu baik dialirkan atau tidak.


17. Hasrullah says: 29 January 2011 at 7:19 pm

Asslam. Saya pernah dengar ustad ceramah ustad..dan mudah2han saya yang salah pahamkatanya air minum seperti aqua atau galon itu dak bisa untuk digunakan berwudhu..wslm
18. Yulian Purnama says: 5 March 2011 at 6:01 am

#Hasrullah Mudah-mudahan anda yang salah paham. Karena air tersebut suci dan mensucikan.
19. farida says: 26 March 2011 at 8:00 pm

ustadz, kalo mandi junub air dipanaskan dengan api, kadang bau sedikit berubah, masih suci ngga?
20. Abduh Tuasikal says: 28 March 2011 at 1:10 pm

@ Farida Selama itu masih dikatakan air, bukan air abu, maka boleh digunakan.

Anda mungkin juga menyukai