Anda di halaman 1dari 15

URGENSI

THAHARAH

Hampir dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu menyimpan


pembahasan thaharah sebagai sesuatu yang dibahas di awal BAB. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam.
Selain dapat menjaga ummatnya dari berbagai penyakit, thaharah dalam
Islam juga berperan sebagai syarat dari sahnya sebuah peribadahan.
Seseorang tidak dapat beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun tidak
dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya
peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam menegakkan tiangtiang diin ini, Rasulullah saw. bersabda tentang thaharah, Ath-Thahuur
(suci) itu sebagian daripada Iman. Dalam al-Quran, Allah swt.
menegaskan betapa pentingnya thaharah dalam Islam. Allah swt.
berfirman.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah, 2: 222)
Dan
pakaianmu
bersihkanlah.
(QS.
Al-Muddatstsir,
74:
4)
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams, 91:
9-10)
Allah juga berfirman tentang kewajiban berwudhu untuk membersihkan
hadats kecil serta mandi untuk membersihkan hadats besar. Hai orangorang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu
junub
maka
bersucilah.
(QS.
Al-Maaidah,
5:
6)
Artinya, tidak akan diterima setiap ibadah yang kita lakukan jika tidak
dilakukan dalam kondisi badan yang suci dan bersih. Begitulah Islam
mengajarkan sebuah sikap yang sangat menjaga kebersihan dan
kesucian. Rasulullah, dalam sabdanya yang lain memberikan gambaran
bahwa Allah swt. hanya menyukai yang baik-baik. Sesungguhnya Allah
itu thayyib dan tidak menerima sesuatu kecuali yang thayyib.
Sebagaimana sabdanya juga Sesungguhnya Allah itu indah dan
menyukai
keindahan.
Kebersihan dan kesucian adalah hal yang thayyib yang akan menjadi
syarat diterimanya segala sesuatu. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi
setiap mumin untuk tidak menjaga kebersihan dan kesucian diri dan
lingkungannya. Jika seorang mumin tidak peduli terhadap kondisi
lingkungannya, maka tentulah imannya belum sempurna sebagaimana
seorang yang sedang shalat yang kemudian melupakan salah satu dari
rukun shalat. Sudah tentu shalatnya tidak diterima. Jangan sampai,
keimanan kita tidak diterima oleh Allah swt. dikarenakan kita lalai dalam
menjaga kebersihan dan kesucian, baik diri maupun lingkungan kita.
AIR
Air merupakan alat penyuci yang utama dalam thaharah. Syariat telah
menetapkan bahwa selama masih ada air, maka hendaklah kita tidak

menggunakan alat yang lain. Karenanya, kita perlu mengetahui jenis air
apa
saja
yang
boleh
digunakan
sebagai
penyuci.
Macam-Macam
Air
H. Sulaiman Rasjid menyebutkan dalam Fiqh Islam bahwa air, dalam
pandangan
syariat
terdiri
atas
beberapa
jenis,
yaitu.
1.
Air
yang
suci
dan
menyucikan
Air jenis ini halal untuk diminum serta dapat digunakan untuk bersuci
membersihkan hadats dan najis. Air jenis ini adalah seluruh air yang turun
dari langit atau keluar dari bumi yang masih tetap keadaannya, seperti air
hujan, air laut, air sumur, air es yang mencari (salju yang mencari), air
embun, air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan air yang keluar
dari
mata
air.
Firman
Allah
swt.
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu air dari
langit untuk menyucikan kamu dengannya dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaithan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (QS. Al-Anfaal, 8: 11)
Sabda Rasulullah saw. Dari Abu Hurayrah. Ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah saw. tentang laut. Air laut itu suci dan menyucikan.
Bangkainya halal dimakan. (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasa`i, Ibn Majah,
dan Ibn Abi Syaybah, di Shahih-kan oleh Ibn Khuzaymah dan Turmudzi).
Dengan demikian, kita bisa menggunakan jenis air yang sebagaimana
disebutkan sebagai penyuci ataupun air minum. Namun, khusus untuk air
yang akan dikonsumsi, hendaknya dilakukan uji coba terlebih dahulu
untuk mengukur kadar thayyiban-nya. Yaitu ujicoba persentase
kandungan mikroba serta mineral dan logam di dalamnya.
2.
Air
suci,
tapi
tidak
menyucikan
Air dapat berubah hukumnya menjadi tidak menyucikan. Perubahan itu
meliputi perubahan sifatnya yang meliputi warna, rasa, dan bau. Jika salah
satunya berubah, maka dapat dipastikan bahwa air tersebut tidak dapat
digunakan untuk bersuci, walaupun bisa saja kandungan secara dzati
masih suci dan halal dikonsumsi. Termasuk jenis air seperti ini adalah.
a) Air yang telah berubah salah satu sifatnya dengan sebab bercampur
dengan suatu benda suci seperti air kopi, teh, dan sejenisnya.
b) Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari
tekukan
pohon
kayu,
air
kelapa,
dan
sejenisnya.
c) Air yang kurang dari dua qullah. Walaupun demikian, jika
kemutlakannya masih terpelihara, yaitu terjaga warna, rasa, dan baunya,
maka menurut Ust. Sayyid Sabiq masih tetap menyucikan. Begitu pun
untuk jenis air yang ketiga. Ulama yang mengategorikan air dua qullah
sebagai air suci yang tidak menyucikan berpegang pada riwayat Abdullah
ibn Umar. Beliau berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,
Apabila air itu dua qullah, maka ia tidak akan mengandung kotoran.
Dalam riwayat yang lain disebutkan tidak akan menjadi najis. (HR. Abu
Dawud, Turmudzi, Nasa`i, Ibn Majah, dan Ibn Abi Syaybah, di shahih-kan
oleh
Ibn
Khuzaymah
dan
Turmudzi).
Mereka menafsirkan bahwa air yang kurang dari dua qullah tidak

memenuhi syarat yang disebut dalam hadits tersebut, sehingga tidak bisa
digunakan untuk bersuci. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan
air dua qullah..? Menurut madzhab Syafii, yang dimaksudkan air dua
qullah adalah air yang memenuhi satu tempat yang lebar, panjang, dan
dalamnya masing-masing satu seperempat hasta (+/- 60 cm).
Sedangkan fuqaha yang lain berpegang pada pendapat bahwa selama air
tersebut belum berubah warna, rasa, atau baunya, maka ia masih boleh
digunakan sebagai penyuci. Hal ini dikarenakan bahwa tidak ada satu
hadits pun yang menetapkan ukuran dua qullah dengan satu seperempat
hasta atau lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ibn Hajjar alAtsqalani serta beberapa ulama lainnya. Hal ini sesuai dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Bayhaqi dari Abi Umamah al-Bahili.
Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, Air itu tidak bisa dinajiskan
oleh apapun, kecuali oleh sesuatu yang mengubah bau, rasa, dan
warnanya Bahkan, menurut Ibn Hajjar al-Atsqalani dalam Bulughul
Maram, hadits dua qullah di atas ternyata dilemahkan oleh banyak Imam.
Namun, jikapun kita berpegang pada hadits ini, maka yang paling kuat
adalah menetapkan makna dua qullah sebagai jumlah air tidak mengalir
yang masih belum berubah warna, rasa, dan baunya. Apabila air tersebut
telah berubah warna, rasa, dan baunya, maka hendaklah kita tidak
menggunakannya sebagai penyuci walaupun jumlahnya lebih dari ukuran
satu seperempat hasta. Sebaliknya, jika air tersebut masih belum
berubah, baik warna, rasa, serta baunya, dapat kita gunakan sebagai
penyuci walaupun jumlahnya tidak memenuhi satu seperempat hasta.
Karena, sebagai penegas, bahwa tidak ada satu hadits pun yang
menetapkan
ukuran
dua
qullah.
Lalu bagaimana pendapat sebagian ulama tentang tidak bolehnya kita
menggunakan air telah terpakai atau digunakan untuk bersuci. Mereka
berpendapat bahwa air tersebut adalah air mustamal yang tidak dapat
digunakan lagi untuk bersuci. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah
sebagaimana penjelasan air dua qullah di atas. Selama masih belum
berubah warna, rasa, dan baunya, maka dapat digunakan untuk bersuci.
Artinya,
air
mustamal
tetap
suci
lagi
menyucikan.
Hal ini juga ditegaskan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah saw. pernah mandi dengan (air)
sisa (mandi) Maymunah. Dalam riwayat yang lain juga disebutkan bahwa
Rasulullah saw. biasa berwudhu dalam sebuah bejana dengan
mencelupkan tangannya ke dalam bejana, sedangkan bejana tersebut
juga dipakai wudhu oleh keluarganya dengan cara yang sama dengan
yang
beliau
saw.
lakukan.
Wallahu
alam.
3.
Air
yang
bernajis
Air bernajis yaitu air yang telah berubah, baik warna, rasa, dan baunya
disebabkan oleh adanya najis yang mengenainya. Hukum air ini tidak bisa
digunakan, baik sebagai penyuci ataupun untuk dikonsumsi. Baik
jumlahnya sedikit ataupun banyak, berdasarkan kesepakatan kita pada
pembahasan dua qullah di atas. Namun, jika perubahannya bukan karena
sesuatu yang najis, maka hukum air tersebut adalah tetap suci tapi tidak

menyucikan.
Perubahan warna, rasa, dan bau yang disebabkan oleh benda najis tidak
akan membuat air itu menjadi najis, apabila air tersebut adalah air
mengalir. Hal ini berdasar atas hadits, Air laut itu suci lagi menyucikan.
Wallahu
alam.
4.
Air
Sisa
Minum
(asy-syuar)
Air sisa minuman yaitu air yang masih terdapat dalam wadah/ bejana
setelah diminum. Hukum dari sisa air tersebut akan sangat bergantung
kepada siapa yang meminumnya. Air sisa minum manusia, baik mumin
maupun kafir, dalam keadaan junub, haid, atau nifas, maka hukumnya
tetap suci dan menyucikan selama kemutlakannya terjaga. Begitu pun
dengan sisa binatang yang halal dagingnya. Abu Bakr Ibn Mundzir
mengatakan, Para ulama berijma bahwa sisa minuman binatang yang
halal dagingnya boleh diminum dan dipakai untuk berwudhu.
Sisa minuman bagal, keledai, dan binatang buas juga suci dan
menyucikan, berdasarkan hadits dari Jabir ra. bahwa Nabi saw. pernah
ditanya tentang bolehkah berwudhu dengan sisa minuman keledai, beliau
saw. menjawab, Boleh..!. Demikian pula dengan sisa minuman semua
binatang buas. (HR. Syafii, Daruquthni, dan Bayhaqi). Hal yang sama
berlaku bagi minuman sisa kucing. Rasulullah saw. pernah bersabda,
Kucing itu tidak najis. Ia termasuk binatang yang berkeliling dalam
lingkunganmu. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai).
Adapun sisa minuman Anjing, maka hal tersebut adalah najis yang harus
dijauhi. Dari Abu Hurayrah ra., Rasulullah saw. bersabda, Bila anjing
minum pada bejana salah seorang di antara kamu, hendaklah tempat
bekas minumnya dicuci sebanyak tujuh kali. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam riwayat Ahmad ditambah, dan cucian yang pertama mestilah
dengan tanah. Begitu pun dengan Babi, air sisa minumnya adalah najis
karena kotor, menjijikan, dan berdasarkan nash-nash al-Quran yang sudah
jelas.
DEBU
Dari Jabir ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda, Aku diberi lima perkara
yang tidak diberikan kepada orang sebelumku: Aku diberi kemenangan
dari perjalanan sebulan, dan dijadikan bumi itu sebagai tempat shalat dan
penyuci; (Muttafaq Alayh). Diriwayatkan oleh Muslim dari Hudzayfah,
dan dijadikan tanah itu penyuci bagi kita apabila kita tidak
mendapatkan air. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ali ibn Abi Thalib,
dan dijadikan tanah bagiku sebagai penyuci. Tanah atau debu
merupakan alat penyuci selain air. Saat air tidak ditemukan, maka debu
bisa digunakan. Proses penyucian hadats dengan menggunakan debu
disebut
tayammum.
Tayammum berlaku untuk membersihkan hadats kecil atau besar dan
hanya digunakan untuk melaksanakan ibadah saja. Artinya, setelah
ibadah tersebut selesai dilaksanakan, maka secara hakiki hadatsnya
belum dibersihkan sepenuhnya hingga ditemukannya air. Jika air belum
ditemukan hingga akan melaksanakan ibadah lagi, maka tayammum
kembali dilakukan untuk memenuhi syarat pelaksanaan ibadah tersebut.

Walaupun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa penyucian


hadats dengan debu sama derajatnya dengan penyucian hadats yang
menggunakan air. Artinya, hadats tersebut secara hakiki benar-benar
telah bersih sehingga dapat beribadah tanpa harus mengulang
tayammum untuk setiap ibadah. Golongan ini berbeda pendapat saat
telah menemukan air. Pendapat pertama mengemukakan bahwa
seseorang yang telah bertayammum harus mengulang penyuciannya
dengan air saat telah menemukan air, sedangkan pendapat kedua tidak
apa untuk tidak mengulangnya, karena dirinya telah suci, kecuali jika
dirinya kembali berhadats, maka harus menggunakan air. Wallahu alam.
Dalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa debu pun bisa
membersihkan najis. Bahkan untuk menghilangkan najis yang berat,
sesuatu harus dicuci tujuh kali dengan satu kali penyucian menggunakan
debu. Rasulullah saw. bersabda, Bersihnya bejana seorang di antara
kalian yang airnya telah dijilat anjing adalah setelah ia dicuci tujuh kali,
yang
pertamanya
dicampur
dengan
tanah.
(HR.
Muslim).
Dalam riwayat yang lain, dari Ibn Umar, beliau berkata : Rasulullah saw
bersabda: Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah), Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat. Ummu Salamah bertanya : Apa yang
harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?,
Rasulullah menjawab: Mereka menurunkannya (di bawah mata kaki)
hingga sejengkal. Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka, jelas
Ummu Salamah. Rasulullah saw. berkata (lagi): Mereka turunkan hingga
sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut. Ummu Salamah berkata
lagi: Bagaimana jika terkena najis? Rasulullah saw. menjawab: Sapuan
yang kedua adalah penyucinya. Maksudnya adalah pada saat kain yang
menjulur itu mengenai najis yang ada di tanah, maka sesungguhnya najis
itu telah dibersihkan oleh debu-debu yang juga menyapu kain tersebut.
Kita lihat bagaimana Rasulullah saw. memberikan rukhshah bagi para
wanita untuk mengenakan pakaian hingga satu hasta di bawah mata kaki,
karena memang demikianlah yang diperintahkan oleh Allah swt., yaitu
menutup aurat dengan sempurna. Sedangkan lebih dari satu hasta
merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan dan tidak ada faedahnya
sama
sekali.
Sama halnya dengan pria, tidak ada faedahnya untuk menjulurkan
pakaiannya hingga menyentuh tanah. Walaupun sapuan kedua
merupakan penyucinya, namun hal ini tidak berlaku bagi pria. Sabda
Rasulullah saw., Dan janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil
apapun. Engkau berbicara dengan saudaramu sambil bermuka manis juga
merupakan kebaikan. Angkatlah sarungmu hingga tengah betis. Jika
engkau enggan maka hingga kedua mata kaki. Waspadalah engkau dari
isbal karena sesungguhnya hal itu (isbal) termasuk kesombongan. Dan
Allah tidak menyukai kesombongan. (HR. Ahmad (V/64) no 20655, Abu
Dawud (IV/56) no 4084, dan dari jalannya al-Bayhaqi dalam as-Sunan alKubra (X/236) no 20882, dan di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani) Dalam
kehidupan makhluk bernyawa kebersihan merupakan salah pokok dalam memelihara kelangsungan
eksistensinya, sehingga tidak ada satupun makhluk kecuali berusaha untuk membersihkan dirinya,
walaupun makhluk tersebut dinilai kotor. Pembersihan diri tersebut, secara fisik misalnya, ada yang

menggunakan air, tanah, air dan tanah. Bagi manusia membersihkan diri tersebut dengan tanah dan air
tidak cukup, tetapi ditambah dengan menggunakan dedaunan pewangi, malahan pada zaman modern
sekarang menggunakan sabun mandi, bahkan untuk pembersih wajah ada sabun khusus dan lain
sebagainya. Pada manusia konsep kebersihan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikhis, sehingga
dikenal istilah kebersihan jiwa, kebersihan hati, kebersihan spiritual dan lain sebagaianya.
Agama dan ajaran Islam menaruh perhatian amat tinggi pada kebersihan, baik lahiriah fisik
maupun batiniyah psikis. Kebersihan lahiriyah itu tidak dapat dipisahkan dengan kebersihan batiniyah.
Oleh karena itu, ketika seorang Muslim melaksanakan ibadah tertentu harus membersihkan terlebih
dahulu aspek lahiriyahnya. Ajaran Islam yang memiliki aspek akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak
ada kaitan dengan seluruh kebersihan ini. Hal ini terdapat dalam tata cara ibadah secara keseluruhan.
Orang yang mau shalat misalnya, diwajibkan bersih fisik dan psikhisnya. Secara fisik badan, pakaian,
dan tempat salat harus bersih, bahkan suci. Secara psikhis atau akidah harus suci juga dari perbuatan
syirik. Manusia harus suci dari fahsya dan munkarat.
Dalam membangun konsep kebersihan, Islam menetapkan berbagai macam peristilahan tentang
kebersihan. Umpamanya, tazkiyah, thaharah, nazhafah, dan fitrah, seperti dalam hadis yang
memerintahkan khitan, sementara dalam membangun perilaku bersih ada istilah ikhlas, thib al-nafs,
ketulusan kalbu, bersih dari dosa, tobat, dan lain-lain sehingga makna bersih amat holistik karena
menyangkut berbagai persoalan kehidupan, baik dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, persoalannya ialah bagimana kebersihan dalam Islam dan apa konsep Islam
mengkonsepsi kebersihan. Persoalan ini diajukan karena ketika Islam memiliki ajaran kebersihan yang
amat lengkap, ternyata dalam aspek perilaku masyarakat Muslim belum sebagaimana yang
dikehendaki ajaran Islam itu sendiri. Maka tidak heran bila orang sering bicara tentang kebersihan di
negara-negara maju yang kebetulan non-Muslim amat mengagumkan. Diharapkan dengan tulisan ini
dapat memberikan pencerahan terhadap masyarakat yang selama ini terkesan kurang memperhatikan
aspek kebersihan dan belum sadar kebersihan yang menjadi bagian ajaran keimanan ini.
Aspek Kebersihan
Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan al-Sunnah. Dalam sumber ajaran tersebut, diterangkan
bukan hanya aspek peristilahan yang digunakan tetapi juga ditemukan bagaimana sesungguhnya
ajaran Islam menyoroti kebersihan.Untuk itu, maka perlu kajian tematik, sehingga ditemukan prinsipprisnsipnya dan bagaimana sesungguhnya konsep kebersihan tersebut.
Memang, sebagai ajaran yang lengkap yang memiliki unsur-unsur akidah, syariah dan muamalah
sudah semestinya konsep tersebut ada, lebih-lebih bila dilihat dari aspek maqashid al-Syariah yang
termasuk aspek tahsini dan berkaitan dengan akhlak karimah.
1. Istilah yang digunakan
Sebagaimana disinggung al-Quran dan Sunnah banyak menggunakan istilah-istilah yang berkaitan
dengan kebersihan atau kesucian. Dalam al-Quran ada istilah thaharah sebanyak 31 kata dan
tazkiyah 59 kata. Dalam al-Quran istilah nazhafah, sementara dalam hadis kata nazhafah dapat
kita lihat dalam riwayat bukan hadis, al-Nazhafatu min al-Iman,, walaupun hadis tersebut
dipertanyakan keabsahannya.
2. Dalam implementasinya, maka istilah thaharah dan nazhafah ternyata kebersihan yang bersifat
lahiriyah dan maknawiyah, sementara nazhafah atau fikih, istilah thaharah digunakan. Pada kitabkitab klasik dikhusukan Bab al-Thaharah yang bisasanya disandingkan dengan Bab al-Najasah
yang selanjutnya juga dibahas masalah air dan tanah, wudu, mandi, mandi janabat, tayamum, dan
lain-lain. Namun demikian, ketika Allah menerangkan tentang penggunaan air untuk thaharah
disandingkan pula dengan kesucian secara maknawiyah, Dimaksud dengan maknawiyah ialah
kesucian dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil, sehingga dapat melaksanakan
ibadah, seperti salat dan thawaf.
3. Makna kebersihan yang digunakan dalam Islam ternyata ada yang dilihat dari aspek kebersihan harta
dan jiwa dengan menggunakan istilah tazkiyah. Umpamanya, ungkapan Allah dalam al-Quran
ketika menyebutkan bahwa zakat yang seakar dengan tazkiyah, memang maksudnya untuk
membersihkan harta, sehingga harta yang dizakati adalah bersih dan yang yang tidak dizakati
dinilai kotor. Kebersihan dan kotor harta sebenarnya ada korelasinya dengan jiwa. Suatu fitrah
adalah kebudayaan itu sendiri, sekaligus peradaban dan keyakinan.

Dengan demikian, maka konsep kebersihan dan kesucian yang berdasarkan keyakinan dan
kebudayaan masing-masing ada nuansa, perbedaan, lidahnya; gajah, kerbau, dan babi yang
kesohor makhluk menjijikan mandi di kubangan, dan demikian seterusnya. Dalam bahasa
Indonesia terdapat kosa-kata kotor dan jijik serta kebalikannya, bersih dan suci. Namun, semua itu
baru pada tingkat lahiriyah. Lalu, bagimana Islam memberi makna kebersihan tersebut. Justeru
yang menarik lagi dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar, bahkan melakukannya
sendiri, bukan hanya membersihkan badan kita, tetapi pakaian, rumah, halaman, kendaraan
dengan menggunakan istilah mencuci pakaian, kendaraan dan lain-lain. Mencuci diambil dari kata
mensucikan, membikin suci yang diidentikkan dengan bersih. Ini artinya, apapun yang ada harus
dibersihkan atau disucikan.
Kebersihan dalam Islam
Hissiyah dan jasmaniah
Bersih secara konkrit adalah kebersihan dari kotoran atau sesuatu yang dinilai kotor. Kotoran yang
melekat pada badan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya yang mengakibatkan seseorang tak
nyaman dengan kotoran tersebut. Umpamanya, badan yang terkena tanah atau kotoran tertentu, maka
dinilai kotor secara jasmaniah, tidak selamanya tidak suci. Jadi, ada perbedaan antara bersih dan suci.
Mungkin ada orang yang tampak bersih, tetapi tak suci.
Hissiyah dan maknawiyah
Al-Quran dan hadis banyak menggunakan lafal atau kosa-kata thaharah yang mengindikasikan
pada kesucian badan dari kotoran atau najis atau sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan
jasmaniah seseorang. Dalam Surat al-Maidah: 6 dan surat al-Nisa: 43, ayat yang mewajibkan wudlu
dan atau mandi sebelum shalat, misalnya tampak mengandung dua makna sekaligus, yaitu thaharah
secara hissiyah -jasmaniah (konkrit-nyata) karena dibersihkan dengan air dan thaharah maknawiah
(abstrak) karena dibersihkan dengan air atau tanah ketika air itu tidak ada. Dikatakan mengandung dua
makna sekaligus karena pada ayat itu disebutkan juga makna, Sesungguhnya Allah adalah
pengampun dan penyayang pada akhir surat al-Nisa: 43 karena wudu dan mandi juga shalat adalah
jalan membersihkan dosa. Kesucian secara rohani karena dia sudah dengan ketaatan, istigfar dan
taubat kepada Allah. Pada ibadah-ibadah tersebut. Memang dalam kehidupan keseharian makna suci
ini, sering diungkapkan kepada seseorang yang sedang haid atau dalam keadaan junub, misalnya.
Orang yang sudah bersih atau suci dari haid, disebut, Hatta yath-hurna (al-Baqarah: 222) bila sudah
mandi junub, bukan hanya dicuci.
Sebagimana disebutkan terdahulu bahwa kebalikan dari thaharah adalah najasah atau najis.
Dalam ungkapan lain ada juga istilah danas, kotor Dalam Islam istilah najis terkonsep dalam fuqaha.
Mereka menetapkan bab tertentu tentang thaharah dan najis tersebut. Dahulu di kalangan fuqaha, najis
itu sendiri ditetapkan sebagai berikut: Najis mughallzhah dan mukhaffafah. Dikatakan mughallazhah
karena dalam membersihkannya di samping mengunakan air sebanyak tujuh kali juga najis yang
dengan sekali atau dua kali cucian sudah cukup tidak lagi memerlukan tanah sebagai tambahannya.
Ketika Islam berbicara kesucian lahirah dan jasmaniah yang pada Mukhtasar al-Shahih al-Bukhari
Tajrid al-Sharih sebagai berikut: a. Dalam Kitab al-Wudu ada 89 hadis, b. Kitab al-Ghusli ada 20
hadis, c. Membicarakan air dan tanah sebagai alat bersuci. Bersuci dari kotoran dan najis, sehingga
seseorang dapat melakukan salat, utamanya, dengan nyaman dan baik. Namun, di situ pun dibicarakan
bahwa berwudu itu dapat mensucikan seseorang dari perbuatan dosa. Ketika seseorang wudu
berkumur dan memasukkan air akan ke hidung, dan lain-lain yang semuanya bersifat jasmani. Namun
demikian, diterangkan pula bahwa orang berwudu dapat menghilangkan dosa (kecil). Dengan demikian,
maka bersih dalam Islam dilihat dari aspek hissiyah dan jasmaniah adalah tidak bisa dipisahkan dengan
kesucian rohaniyah. Bersih belum tentu suci, tetapi suci bisa sudah sekaligus juga bersih, walaupun
tidak selamanya begitu. Dalam Islam kebersihan adalah kesucian itu sendiri dan kesucian adalah
kebersihan, walaupun istilah ini tidak sama sekali merupakan garis lurus. Mungkin secara jasmaniyah
bersih, tetapi belum tentu suci sekaligus karena dia orang yang tak pernah berwudu atau sedang dalam
keadaan hadast. Namun, seringkali kebersihan dan kesucian tak berimbang. Ada yang asal bersih di
rumah, tapi tak bertanggung jawab atas kebersihan jalan, sungai, halaman orang, dan lain-lain.
Maknawiyah
Agaknya perlu dielaborasi di sini tentang kesucian secara maknawi yang banyakmenggunakan
kata tazkiyah yang makna asalnya berarti berkembang dan berkah. Pada dasarnya kebersihan

maknawiyah sudah disinggung di atas, tetapi dalam Islam juga menggunakan istilah tazkiyah dalam arti
tazkiyat al-nafsi sama dengan thaharat al-nafs dan tazkiyat al-mali.
a. Tazkiyah wa thaharah al-Nafs
Kesucian jiwa adalah kesucian karena ia sebagai orang beriman Al-Quran dan Sunnah atau ajaran
Islam itu berfungsi sebagai tazkiyah, penyucian dari kesesatan diri. Maka muwahhid (orang yang
bertauhid) adalah orang yang suci juga. Untuk itu, maka kebalikannya adalah najis, sebagai mana
disebut al-Quran bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana diterangkan dalam dlam surat al-Taubah:
28, Innama al-musyrikunan najasun fala yaqraub al-masjidal haram bada amihim hadza sebaliknya
orang beriman adalah suci jiwanya dengan akidah yang benar. Tanah Mekah dan Madinah bgi umat
Islam adalah Tanah suci karena tidak boleh diinjak oleh orang kafir. Kesucian jiwa berkaitan juga
dengan akhlak mulia dan taubat. Ketika seseorang bertaubat berarti mensucikan dirinya dari segala
dosa yang dilakukannya. Penyucian dosa dengan istigfar dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bagi
dosa yang memerlukan hokum pidana Islam, maka dengan melalui proses eksekusi pidana itu.
b. Tazkiyat wa thaharat al-mal
Kesucian harta adalah dimensi lain dari dimensi kesucian dalam Islam, tetapi juga di sini tidak
selamanya bahwa menggunakan kata tazkiyah karena thuhratan atau thaharah. Namun, sebagaimana
dimaklumi zakat disebut zakat karena mensucikan harta. Memang, dalam hal ini belum berimbang
antara mensucikan badan atau masalah yang bersifat badaniyah dengan penyucian harta, padahal
banyak cara penyucian harta ini, utamanya dengan zakat. Ongkos penyucian badan dan
pemeliharaannya bila dihitung perbulan amat mahal. Mulai dari sikat gigi dan odolnya, pakaian,
malahan dari kalangan tertentu ada yang sengaja mandi SPA dan Sauna, belum lagi dari kalangan
perempuan tingkat tertentu, setiap bulan mengeluarkan dana tertentu untuk merawat wajah dan
penataan rambutnya.
Untuk penyucian harta adalah dengan mengeluarkan zakat karena zakat itu sendiri artinya suci.
Belum lagi dengan melalui sadaqah, infaq, wakaf, misalnya. Saat ini lembaga zakat membantu orangorang kaya menegluarkan zakatnya, sehingga harta yang dimiliki mereka adalah harta yang suci. Allah
dalam al-Quran surat al-Tubah: 103 menyatakan, yang artinya, Ambillah dari harta mereka sadaqah
(zakat), kau sucikan dan bersihkan mereka dengannya.).
Harta tak pernah dizakati adalah harta yang kotor, bahkan termasuk yaknizun al-zahab wa alfidhdhah (al-Tubah: 34) sehingga akan membakar dirinya di neraka.
Kesimpulan
Kebersihan merupakan suatu yang amat fitri bagimakhluk hidum, utamanya makhluk bernyawa.
Dalam ajaran Islam kebersihan saja belum cukup, tetapi harus disertai kesucian, Dalam kebrsihan yang
ada kalanya menggunakan istilah thaharah atau tazkiyah semuanya berkaitan dengan kebersihan dan
kecusian, baik hissiyah maupun manawwiyah, bahkan digunakan lafal fitrah.
Konsep kebersihan yang amat jami (konprehensif) dalam Islam, belum dimaknasi secara
kontekstual dalam rangkan membangun kebersihan dalam raga dan jiwanya. Maka dalam upaya
membangun keseimbangan ini agaknya konseptualisasikebersihan dan kesucian harus digalakkan.
Adalah naf jika hanya sebelah antara kebersihan dan kesucian. Ini barangkali yang mengakibatkan
mengaapa orang Islam sering bersuci tetapi tidak bersih atau yang lain non-Muslim mereka tak suci
tetapi bersih. Yang jelas Rasul adalah Tokoh Kebersihan, Kesucian, dan Pelestarian Lingkungan

dikutip dari http://persis.or.id


A. Pengertian Thaharah
Thaharah atau bersuci menduduki masalah penting dalam Islam.
Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada
Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama
mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah
tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah.
Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-

siaan.
B. Pembagian Jenis Thaharah
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam
pembagian yang besar.
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait
dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis.
Boleh dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya
seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda
darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak
terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis
yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk
melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung
level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan
air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat,
harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila
najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan
air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau
najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita
dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi
janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara
pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri
kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita,
belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum
adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu-nya, boleh jadi secara pisik
tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah
ulang dengan cara berwudhu bila ingin melakukan ibadah ritual
tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah
mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan
yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga
selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual,
dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel,
namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu atau mandi
janabah.

Pengertian Thaharah
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis
dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222


Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.
Macam macam Thaharah
Thahharah terbagi dalam 2 bagian :
1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau
tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan
menghilangkan najis dengan air.

Read more: http://mujibrx.blogspot.com/2010/11/thaharahkebersihan.html#ixzz1PxAqvcRp


Kata paling tepat adalah SUCI sebagian dari Iman. Pengertian ini sebenarnya merujuk pada
sebuah Hadist Muslim yaitu Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asyari radhiyallaahu
anhu, Dia berkata:
Rasulullah sholallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, Bersuci adalah separuh dari
keimanan, ucapan Alhamdulillah akan memenuhi timbangan, subhanalloh
walhamdulillah akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya, dan
sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan Al Quran itu merupakan
hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk
menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya (dari siksa Alloh) dan
sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya). (HR Muslim)
Bersuci Adalah Separuh Iman
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat
yang paling masyhur adalah:
1. Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin
maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan,
maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
2. Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu
bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari
hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi
bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan
pokok amalan iman.
Dalam Islam, kebersihan adalah bersifat global atau luas. Ertinya kebersihan itu meliputi
semua aspek dalam Islam. Barangsiapa benar-benar dapat mengamalkan kebersihan yang
global secara Islam ini maka oleh Allah mereka dijanjikan kemenangan baik di dunia
terlebih lagi di akhirat.
Kebersihan menurut Islam paling tidak ada 8 peringkat, yaitu :
1.Kebersihan Itiqad atau Akidah.
Kebersihan dalam aspek ini adalah yang paling utama, yaitu kebersihan aqidah dari syirik
atau kekufuran. Jangan sampai aqidah kita tidak bersih, baik kepada Zat Allah, Sifat

Allah, maupun perbuatan-Nya. Seringkali kita terjebak secara tidak sadar dalam hal-hal
kecil, dimana jika tidak kita pahami secara itiqad maka hal-hal kecil itu dapat
menjerumuskan kita kepada syirik khafi ( halus ). Misalnya kita sering mengatakan,
secara tidak sedar : Ijazah inilah yang akan mengubah nasibmu, Ubat ini yang telah
menyembuhkan sakitku selama ini, Doktor telah confirm bahawa hidupnya tinggal 6
bulan lagi, Air minum ini dapat menghilangkan hausmu, Andaikan semalam mereka
tidak lewat sampai, pasti mereka tidak akan mengalami kemalangan maut itu
Atau kita sering bimbang dengan rezeki kita, padahal selama kita masih hidup Allah telah
menjamin rezeki kita. Atau kita tidak yakin dengan ketentuan Allah, kita tidak redha
dengan apa yang Allah telah tentukan kepada kita.
2.Bersih dari sifat Mazmumah ( sifat jahat dalam hati )
Mazmumah ada 2 jenis yaitu mazmumah atau sifat tercela terhadap Allah dan mazmumah
terhadap sesama manusia, yaitu
Antara penyakit hati (mazmumah ) terhadap Allah adalah :
Tidak khusyuk beribadah, Lalai dari mengingat Allah,Tidak yakin dengan Allah,Tidak
ikhlas dengan Allah,Tidak takut pada ancaman Allah,Tidak harap pada rahmat
Allah,Tidak redha akan takdir Allah,Tidak puas dengan pemberian Allah,Tidak sabar atas
ujian Allah, Tidak bersyukur atas nikmat Allah,Tidak terasa diawasi Allah,Tidak terasa
kehebatan Allah,Tidak rindu dan cinta dengan Allah,Tidak tawakal pada Allah,Tidak
rindu pada syurga dan tidak takut neraka,Gila dunia, membuang waktu dengan siasia,Penakut (takut pada selain Allah),Ujub,Riya,Gila pujian dan kemasyhuran
Sedangkan mazmumah terhadap sesama manusia diantaranya, adalah :
Benci membenci,Rasa gembira kalau dia mendapat celaka dan rasa sedih kalau dia
berhasil,Medoakan kejatuhannya,Tidak mahu minta maaf dan tidak memaafkan
kesalahannya,Hasad dengki,Dendam,Bakhil,Buruk sangka,Tidak berlapang dada,Tiada
ketenangan diri,Tidak tolong-menolong,Tamak,Degil dan keras hati,Mementingkan diri
sendiri,Sombong,Tidak sabar dengan manusia,Memandang hina kepada
seseorang,Riya,Ujub,Rasa diri bersih
3.Bersih dari hawa Nafsu yang jahat.
Kita mesti bersih dari nafsu yang jahat, sebab nafsu itu kalau kita ikuti, maka Allah akan
menganggap kita bertuhankan nafsu. Tuhan berfirman, Tidakkah engkau melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan?. di firman yang lain Allah
menyebutkan sejahat-jahat manusia adalah yang menuruti kehendak hawa
nafsunya .Nafsu adalah kehendak dalam diri manusia yang Allah ciptakan berupa fitrah,
baik itu kehendak yang sesuai dengan syariat atau yang bertentangan dengan syariat.
Kewajiban kita adalah membersihkan dan mendidik nafsu dari hal-hal yang melanggar
syariat dengan cara melawan nafsu ( mujahadatun nafsi ) yang jahat diiringi dengan
menyuburkan kehendak-kehendak yang sesuai dengan kehendak yang Allah redhai
4. Perkara yang lahiriah juga mesti terbebas atau bersih dari hal-hal yang makruh
terlebih lagi yang haram.Iaitu kebersihan makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian,
rumah, tempat mandi/tandas, dsb

5. Kebersihan pergaulan dari terlibat pergaulan yang makruh atapun haram, bergaul
bebas tanpa ada batasan syariat dsb.
6. Bersih di sudut ibadah,
misalnya bersih dari 3 jenis najis,bersih dari najis aini dan najis hukmi. Wajib bersih juga
dari hadas besar dan hadas kecil, dari hal-hal yang menjijikan seperti kotoran hidung,
kotoran mata, kotoran telinga. Hidarkan sholat dengan pakaian yang tidak kemas dan
rapi atau pakaian yang ala kadarnya, walaupun tidak najis tapi kita depan Tuhan. Bila
mau bertemu raja saja, kita bersih, wangi, pakai make up sedangkan dengan Allah kita
ala kadar sahaja. Secara tidak sedar kita sudah mengecilkan Tuhan atau tidak beradab
dengan Tuhan.
7. Kebersihan akal dari ideologi
Zaman solafussoleh dahulu umat Islam tidak ada ideologi-ideologi atau isme seperti saat
ini. Ideologi adalah cara atau sistem hidup yang direka oleh manusia yang tidak ada
kaitannya dengan wahyu. Bersih dari Ideologi ertinya jangan kita jadikan ideologi sebagai
pegangan, sebagai agama,sebagai cara hidup.Tanpa terkecuali, seperti komunis,
nasionalis, kapitalis, sosialis, demokrasi dsb. Sebagai ilmu tidak mengapa belajar ideologi,
tapi jangan kita jadikan sebagai pegangan hidup. Karena hanya Islam saja merupakan
sistem hidup yang diredhai Allah. Begitu juga ekonomi kita, pendidikan kita, hendaklah
bersih dari sekulerisme, dari riba, penindasan, terutama pendidikan mesti bersih sebab
pendidikan sangat mencorak jiwa peribadi dan pendirian kita. Jangan sampai pendidikan
kita bercorak sekular.
Diantara yang berbahaya dalam pendidikan sekular yaitu mengesampingkan Tuhan,
Allah tidak dimasukkan dalam setiap program pendidikan atau pendidikan tidak dikaitkan
dengan Yang Maha Pencipta. Walaupun yang dipelajari perkara yang halal, akan tetapi
akan jadi hasilnya menjadi haram bila Allah ditinggalkan atau dikesampingkan. Kita
mungkin bertanya, apa salahnya saya belajar matematik, sastera,
sejarah,ekonomi,sains? Jawabannya, Tidak salah. Jadi salahnya dimana? Salahnya iaitu
jika itu semua tidak dikaitkan dengan Allah atau mengesampingkan Allah. Jadi
dikarenakan tidak dikaitkan dengan Allah, ilmu-ilmu yang tidak salah tadi menjadi
salah.Kenapa? Sebab jika mengesampingkan Allah maka sains jadi Tuhan, matematik
jadi Tuhan, walaupun tidak menyebut itu Tuhan. Side effect-nya juga ialah semakin maju
peradaban, semakin canggih teknologi, semakin gagah pembangunan material maka
semakin rosak akhlak dan moral manusia, semakin banyak terjadi kejahatan dan
peperangan, dsb
Wahyu Allah yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad adalah : iqra bismi
rabbikal ladzi khalaq( bacalah dengan nama Tuhanmu..)
8.Bersih dari adat.
Sekedar belajar adat tidak mengapa, tapi jangan dijadikan sebagai pegangan. Sebab Islam
itu sudah syumul / lengkap / sempurna. Misalnya pembagian harta waris. Di beberapa
darah, perempuan mendapat harta lebih banyak dari lelaki bahkan ada yang semua
diberikan pada perempuan. Boleh jadi orang yang kawin dengan perempuan dari daerah
itu secara tidak sadar dia makan harta haram. Masih banyaklagi contoh adat yang tidak

sesuai dengan syariat. Jangan sebut adat bersendi syariat, sebut saja syariat, karena itu
adalah dua hal yang berbeda, adat merupakan ciptaan manusia sedangkan Islam adalah
dari Allah.
Jadi kebersihan menurut Islam, menurut kehendak Allah itu bersifat global. Marilah kita
mengukur diri kita. Mungkin kita sudah menjaga kebersihan akidah dan ibadah, tapi
pendidikan, ekonomi, akal dan pergaulan belum bersih. Atau misalnya walaupun tidak
ikut ideologi, tapi kalau kita membesarkan dan memuja akal, pergaulan kita masih bebas,
ekonomi masih terlibat riba dan kapitalis artinya kita belum bersih juga.
Agama Islam hendaklah bersih dalam semua aspek. Kita dapat melihat diri kita hanya
bersih dalam beberapa aspek saja. Yang lain belum tentu. Itupun misalnya di sudut
ibadah, setelah diperiksa rumah-rumah kita, belum bersih. Tempat Solatnya, bilik
mandinya, tandasnya, bilik tidurnya dsb
Yang disebut tadi yang besar-besar. Sebenarnya luas sekali ISO Allah tentang kebersihan
ini. Tentang kebersihan ini pun kita masih gagal, sedangkan dalam ajaran Islam
kebersihan sangat penting. Marilah kita berusaha sungguh-sungguh menjaga kebersihan
dalam semua aspek untuk mendapat kemenangan di dunia dan Akhirat. Semoga Allah
menilai usaha kita nanti.Amin[/box2]
Logged
Timbangan yang paling berat diakhirat ialah Akhlak.

HafizahUmairoh

Posts: 439

o
o

Kebersihan Dalam Islam

Jawab #1 on: 15 July, 2010, 03:48:15 PM


[box title=Makna Kebersihan dalam Islam]Islam sebagai Ad-Dien merupakan pedoman
hidup yang mengatur dan membimbing manusia yang berakal untuk kebahagiaan mereka

di dunia dan akhirat. Sisi-sisi kehidupan manusia sekecil apapun telah menjadi perhatian
Islam, termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan kesehatan. Ia merupakan nikmat
dari Allah yang luar biasa nilainya, karena itu ia merupakan amanah yang menjadi
kewajiban bagi setiap pribadi untuk menjaganya dengan memelihara kesehatan secara
sungguh-sungguh.
Kesehatan adalah sesuatu yang sangat vital sekali bagi kehidupan manusia, disamping
kebutuhan sandang, pangan dan papan, karena kesehatan merupakan sarana dalam
mencapai kehidupan yang bahagia. Kebutuhan hidup yang tersedia tidak akan berguna
dan menjadi hambar apabila tidak diiringi dengan kesehatan badan. Bahkan Islam
meenganjurkan kepada setiap muslim yang sakit untuk berobat kepada ahlinya dan
perbuatan tersebut juga bernilai ibadah sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi
saw. "Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidaklah
menurunkan suatu penyakit, kecuali telah diturunkan pula obatnya, selain penyakit yang
satu, yaitu penyakit tua (pikun)." (HR.Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Islam mengajarkan prinsip-prinsip kesehatan, kebersihan dan kesucian lahir dan batin.
Antara kesehatan jasmani dengan kesehatan rohani merupakan kesatuan sistem yang
terpadu, sebab kesehatan jasmani dan rohani menjadi syarat bagi tercapainya suatu
kehidupan yang sejahtera di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Sistem kesehatan dalam Islam tercermin dalam ajaran syariat yang mewajibkan
perbuatan membersihkan diri dari kotoran (najis), dari hadats dan dari kotoran hati
semua itu berada dalam satu paket ibadah seperti wudhu', mandi, shalat dan lain
sebagainya. Kesehatan baik jasmani atau rohani merupakan nikmat dan rahmat Allah
yang setinggi-tingginya, harta benda dan jabatan tidak ada gunanya apabila jasmani dan
rohani sakit. Jasmani dan rohani yang sehat merupakan pangkal kebahagiaan dan
kesenangan.
Kesehatan sangat berkaitan erat dengan kebersihan. Seseorang akan sehat, jika selalu
hidup bersih. Islam adalah agama yang mengajarkan kita untuk selalu menjaga
kebersihan. Unsur kebersihan sangat terlihat ketika kita sedang mendirikan ibadah shalat
mulai dari jasad kita (badan), pakaian, dan tempatnya pun harus suci (bersih) dari najis.
Oleh karena itu tidak akan diterima shalatnya seorang muslim sehingga badannya bersih,
pakaiannya bersih dan tempat yang dipakai pun dalam keadaan bersih. Ini belum
termasuk kebersihan yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau pada anggota badan.
Kebersihan yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan mandi dan wudhu'.
Nabi Muhammad SAW sangat menekankan tentang masalah kebersihan pakaian, badan,
rumah, jalan-jalan, kebersihan gigi, tangan dan kepala. Pernah ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi, rambut dan jenggotnya morat-marit tidak terurus, kemudian Nabi
mengisyaratkan, seolah-olah memerintah supaya rambutnya itu diperbaiki, maka orang
tersebut kemudian memperbaikinya, dan setelah itu dia kembali lagi menghadap Nabi.
Nabi bersabda: "Bukankah ini lebih baik daripada dia datang sedang rambut kepalanya
morat-marit seperti syaitan?" (HR. Imam Malik) Dan pernah juga Nabi melihat seorang
laki-laki yang kepalanya kotor sekali. Nabi bersabda: "Apakah orang ini tidak
mendapatkan sesuatu yang dengan itu dia dapat meluruskan rambutnya?" Pernah juga
Nabi melihat seorang yang pakaiannya kotor sekali, maka apa kata Nabi: "Apakah orang
ini tidak mendapatkan sesuatu yang dapat dipakai mencuci pakaiannya?" (HR. Abu
Daud)

Dan pernah ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, pakaiannya sangat menjijikkan,
maka tanya Nabi kepadanya: "Apakah kamu mempunyai uang?" Orang tersebut
menjawab: "Ya! saya punya" Nabi bertanya lagi. "Dari mana uang itu?" Orang itupun
kemudian menjawab: "Dari setiap harta yang Allah berikan kepadaku." Maka kata Nabi:
"Kalau Allah memberimu harta, maka sungguh Dia (lebih senang) menyaksikan bekas
nikmatNya yang diberikan kepadamu dan bekas kedermawananNya itu." (HR. An-Nasa'i)
Masalah kebersihan ini lebih ditekankan lagi pada hari-hari berkumpul, misalnya : pada
hari Jum'at dan hari Raya. Dalam hal ini Nabi pun bersabda : "Sebaiknya salah seorang
di antara kamu --jika ada rezeki-- memakai dua pakaian untuk hari Jum'at, selain
pakaian kerja." (HR. Abu Daud). Mudah-mudahan kita bisa selalu menjaga kebersihan
lahir dan batin. Amin.[/box]

Anda mungkin juga menyukai