Anda di halaman 1dari 22

Teori Belajar Behavioristik

(Connectionisme, Classical Conditionisme, Operant Conditioning)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Pada Mata kuliah Psikologi Belajar PAI

Dosen Pengampun:
Ria Susanti M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Rahmaniah 19.04.06829

Rahmi Maulida 19.04.06832

Rezky Ulmia 19.04.06836

Rifa’atul Hikmah 19.04.06837

Rina Yanti 19.04.06838

Syahidah 19.04.06863

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RASYIDIYAH KHALIDIYAH

AMUNTAI

2022

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.


Dengan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa maka dapatlah kami
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dan juga kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Ria Susanti M.Pd yang telah membimbing kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan keharibaan junjungan kita


nabi besar Muhammad SAW, dan seluruh keluarganya dan juga para sahabatnya
serta kepada kita semua sebagai umatnya.

Alhamdulillah berkat kerja keras dan kerja sama kelompok 2 makalah ini
dapat terselesaikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun, guna untuk perbaikan dalam penyusunan
makalah ini untuk bisa lebih baik lagi. Dan semoga dengan makalah ini kita dapat
memahami tentang Teori Belajar Behavioristik (Connectionisme, Classical
Conditionisme, Operant Conditioning), dan dapat memanfaatkan serta
mengajarkannnya kepada orang lain yang belum memahami atau mengetahuinya.

Amuntai, 5 Maret 2022

Penyusun

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………...…….…...ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………….………......………… 1
B. Rumusan Masalah……….……………………………………….……… 2
C. Tujuan Penulisan…………….………………………………..…… .….. 2

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Proses Belajar Menurut Teori Connectionism………………..……...… 3
2.2 Proses Belajar Menurut Teori Connectionism…….…………………… 7
2.3 Proses Belajar Menurut Teori Operant Conditioning ….….………… 11

BAB III : PENUTUP


A. Simpulan …………………………………………………………..…… 18
B. Saran……………………………………………….………………..….. 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori belajar merupakan gabungan prinsip yang saling berhubungan dan
penjelasan atas sejumlah fakta serta penemuan yang berkaitan dengan peristiwa
belajar. Penggunaan teori belajar dengan langkah-langkah pengembangan yang
benar dan pilihan materi pelajaran serta penggunaan unsur desain pesan yang baik
dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam memahami sesuatu yang
dipelajari. Selain itu, suasana belajar akan terasa lebih santai dan menyenangkan.
Proses belajar pada hakikatnya adalah kegiatan mental yang tidak tampak.
Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar
tidak dapat disaksikan dengan jelas, tetapi dapat dilihat dari gejala-gejala
perubahan perilaku.
Teori belajar yang menekankan terhadap perubahan perilaku siswa adalah
teori belajar behavioristik. Di lihat dari pengertiannya teori belajar behavioristik
merupakan suatu teori psikologi yang berfokus pada prilaku nyata dan tidak
terkait dengan hubungan kesadaran atau konstruksi mental. Ciri utama teori
belajar behavioristik adalah guru bersikap otoriter dan sebagai agen induktrinasi
dan propaganda dan sebagai pengendali masukan prilaku.Hal ini karena teori
belajar behavioristik menganggap manusia itu bersifat pasif dan segala sesuatunya
tergantung pada stimulus yang didapatkan.
Sasaran yang dituju dari pembelajaran ini adalah agar terjadi perubahan
perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Selain dalam pemberian point terhadap
pelanggaran aturan sekolah, teori belajar behavioristik juga diterapkan dalam
pembelajaran. Berdasarkan komponennya, teori ini relevan digunakan dalam
pembelajaran sekarang ini. Penerapan teori belajar behavioristik mudah sekali
ditemukan disekolah. Hal ini dikarenakan mudahnya penerapan teori ini untuk
meningkatkan kualitas peserta didik.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses belajar menurut teori connectionism ?
2. Bagaimana proses belajar menurut teori classical conditioning ?
3. Bagaimana proses belajar menurut teori operant conditioning ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses belajar menurut teori connectionism ?
2. Untuk mengetahui belajar menurut teori classical conditioning ?
3. Untuk mengetahui belajar menurut teori operant conditioning ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Belajar Menurut Teori Connectionism


A. Pengertian Teori Koneksionisme
Koneksionisme, merupakan teori yang paling awal dari rumpun
Behavioristik. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain daru suatu
hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya ialah
orang pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus respon
dilakukan melalui ulangan-ulangan. Tokoh yang sangat terkenal dari teori ini
adalah Thorndike.1
Edward Lee Thorndike lahir pada 31 Agustus 1874 di Williamsburg,
Massachusetts. Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik danpsikologis
yang berkebangsaan Amerika. Thorndike mengemukan sebuah teori belajar
disebut teori koneksionisme. Teori ini mengemukakan bahwa respon-respon
tingkah laku terhadapa stimulus-stimulus tertentu terbentuk melalui proses uji
coba yang mempengaruhi koneksi-koneksi saraf antara stimulus-stimulus dan
respons-respons yang sangat memuaskan.2
Menurut Thorndike belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar, seperti: pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang adapat ditangkap melalui
alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Belajar
adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dengan
artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbul respon yang maksimal.
Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan eror, dalam teori ini orang yang
bisa menguasai hubungan stimulus sebanyak-banyaknya, maka dapat dikatakan
orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Dalam teori trial dan eror

1
N.S Sukmadinata, Landasan Psikologis Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), hlm. 168-169.

2
Yustinus Semiun, Behavioristik Teori-Teori Kepribadian (Yogyakarta: PT Kanisius, 2020), hlm. 51.

3
ini berlaku bagi semua organisme, dan apabila organisme ini dihadapkan dengan
keadaan atau situasi yang baru, makan secara otomatis organisme ini
memeberikan respon atau tindakan yang bersifat coba-coba atau bisa juga
berdasarkan naluri karena pada dasarnya di setiap stimulus itu pasti ditemui
respon. Apabila dalam tindakan yang dilakukan itu menimbulkan perbuatan atau
tindakan yang cocok atau memuaskan, maka tindakan ini akan disimpan dalam
benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa diantara tindakan-tindakan
yang paling cocok adalah tindakan itu , selama yang telah dilakukan dalam
menanggapi stimulus adalah situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-
pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau stimulus baru
itu sangat penting, sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan
tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus-menerus agar lebih tajam dan tidak
terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap stimulus.
Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike, antara lain:
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap sesuatu
3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

B. Hukum-Hukum Belajar Menurut Thorndike


Thorndike meyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia
berlangsung berdasarkan tiga macam hokum pokok belajar, yaitu:
1. Hukum Kesiapan
Dalam belajar sesorang harus dalam keadaan siap, dalam artian seseorang
yang belajar harus dalam keadaan baik dan siap, jadi sesorang yang hendak
belajar agar dalam belajarnya menuai kesiapan baik fisik dan psikis. Siap fisik
seperti seseorang tidaka dalam keaddan sakit, yang mana bisa mengganggu
kualitas konsentrasi. Adapun contoh siap psikis seseorang yang jiwanya tidak
terganggu, seperti sakit jiwa dan lainnya. Diasamping sesorang harus siap fisik
dan psikis seseorang juga harus siap dalam penguasaan pengetahuan serta
kecakapan yang mendasari.

4
2. Hukum Latihan (law of exercise)
Untuk menghasilakan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk
merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan
latihan yang berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan perilaku yang
cocok yang telah ditemukan dalam belajar, maka inimerupakan bentuk
peningkatan existensi dan perilaku yagcocok tersebut semakin kuat (law of use).
Dalam suatu teknik agar seseorang dapaat mentransfer pesan yang telah ia dapat
dari sort time memory ke long time memory ini dibutuhkan pengulangan
sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah didapat tidak mudah hilang
dari benaknya.
3. Hukum Akibat
Hukum akibat Thorndike mengemukakan jika suatu tindakan diikuti oleh
suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemugkinana tindakan itu
diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku
diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan di lingkungan, kemungkinan
perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada
suatu waktu memegang peranan penting dalam menemukan perilaku orang itu
selanjutnya. Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanisme
yang hanya bertindak jika ada perangsang atau situasi yang mempengaruhinya.
Dalam dunia pendidikan law of effect ini terjadi pada tindakan seseorang
dalam memberikan punishment atau reward. Akan tetapi dalam dunia pendidikan
menurut thorndike yang lebih memegang peranan adalah reward dan inilah yang
lebih dianjurkan. Thorndike ini biasanya juga disebut teori koneksionisme karena
dalam hokum belajarnya ada “law of effect” yang mana disini terjadi hubungan
antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan
tingkah laku tersebut mendatangkan haasil (effect).

C. Prinsip Belajar Menurut Thorndike


1. Pada saat berhadapan dengan situasi baru berbagai respon ia lakukan.
Adapun respon tiap individu berbeda tidak sama walaupun menghadapi

5
situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau
tidakan yang cocok dan memuaskan.
2. Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk
mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting ,
hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam
masa perkembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam
diri orang tersebut sudah mengetahui unsur penting yang harus dilakukan
demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan keinginaan.
3. Apa yang ada pada diri sesorang, baik itu berupa pengalama, kepercayaan,
sikapdan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan
tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
4. Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap situasi yang sama.
5. Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi
tetentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut
mempunyai hubungan.
6. Manakala suatu respon cocok dengan situasinya maka relative lebih mudah
untuk dipelajari.

D. Aplikasi Teori Thorndike Dalam Pembelajaran


Aplikasi teori koneksionisme dalam pembelajaran sangat tergantung pada
pendidik. Pendidik (guru atau dosen) harus merancang pembelajaran sedemikian
rupa agar proses transfer stimulus danrespon bisa optimal. Thorndike berpendapat
bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharap siswa tahu apa yang telah
diajarkan. Guru harus mengerti materi apa yang hendak diajarkan, respon apa
yang diharapkan dan kapan harus memberikan hadiah atau membetulkan respon
yang salah.
Maka tujuan pembelajaran harus dirumuskan dengan jelas. Tujuan
pembelajaran harus masih dalam batas kemampuan belajar siswa dan harus dibagi
dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut
bermacam-macam situasi. Siswa akan lebih optimal mencapai tujuan
pembelajaran jika beban belajarnya disesuaikan dengan usianya.

6
Proses pembelajaran harus bertahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks. Motivasi tidak begitu penting dalam belajar karena perilaku siswa
terutama ditentukan oleh eksternal awards dan bukan intrinsic motivation. Yang
lebih penting dari ini ialah adanya respon yangbenar terhadap stimulus. Bila siswa
melakukan respon yang salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-
ulang.
Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap
kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hokum kesiapan.
Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila
belum baik harus segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan
dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin. Sehingga
dapat terjadi transfer ilmu dari dalam kelas ke lingkungan di luar kelas. Materi
yang diberikan kepada siswa harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak
setelah keluar dari sekolah.
Pelajaran yang sulit melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan
kemampuan penalarannya. Apabila materi yang diberikan terlalu sulit jauh dari
kemampuan siswa, maka hasil belajranya tidak akan optimal.3

2.2 Proses Belajar Menurut Teori Classical Conditioning


1. Latar Belakang Teori Classical Conditioning
Teori Classical Conditioning berawal dari usaha Ivan Pavlov dalam
mempelajari bagaimana suatu makhluk hidup. Secara umum, dalam psikologi,
teori belajar makhluk hidup selalu dihubungkan dengan stimulus-respons. Selain
itu, teori tingkah laku turut menjelaskan respons makhluk hidup dengan cara
menghubungkan apa yang dialami atau menjadi stimulus respond tertentu yang
didapat dari lingkungan tertentu. Proses hubungan yang terus-menerus antara
respons yang muncul dan rangsangan yang diberikan inilah yang kemudian
didefinisikan sebagai suatu proses belajar.4
Teori Pavlov didasarkan pada reaksi system tak terkondisi dalam diri
seseorang, reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom, serta

3
Feida Noorlaila Isti’adah, Teori-Teori Belajar dalam Pendidikan (Jawa Barat: Anggota IKAPI,
2020), hlm. 57-67.
4
Ibid,hlm.41.

7
gerak reflex setelah menerima stimulus dari luar. Ada tiga parameter yang
diperkenalkan Pavlov, melalui teori Classical Conditioning, yaitu reinforcement,
extincation and spontaneous recovery (penguatan, penghilangan dan
pengembalian spontan). Di samping itu, dalam teori Classical Cinditioning
dikenal juga perampatan stimulus, yaitu kecenderungan untuk memberikan
respond terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan demikian terkondisi,
meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan
stimulus tak terkondisi. Makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus
terkondisi yang pertama, makin besar pula perampatan yang dapat terjadi. Selain
perampatan stimulus, teori Classical Conditioning juga mengenal konsep
diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons
terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama sekali
terhadap stimulus yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memberikan
suatu stimulus tak terkondisi yang lain sehingga seseorang akan melakukan
selective association atau asosiasi terseleksi terhadap stimulus untuk
memunculkan respons.5
2. Konsep Teori Classical Conditioning
Pada dasarnya, teori ini menjelaskan bahwa betuk paling sederhana dalam
suatu proses belajar adalah pengondisian. Pavlov menemukan hal ini ketika dia
sedang mempelajari fungsi perut dan mengukur cairan yang dikeluarkan dari
perut, ketika anjing yang dia gunakan sebagai subjek eksperimen sedang makan.
Ketika Pavlov mengukur sekresi perut saat anjing merespons bubuk makanan
yang ia berikan, Pavlov melihat bahwa hanya dengan melihat makanan telah
menyebabkan anjingnya mengeluarkan air liur. Air liur juga dikeluarkan oleh
anjing ketika mendengar suara langkah kaki peneliti. Pada awalnya Pavlov
menggangap respons tersebut sebagai refleks “psikis”.
Pada tahap berikutnya ia berusaha untuk mengembangkan dan
mengeksplorasi penemuannya dengan mengembangkan sebuah studi perilaku
yang dikondisikan dan kemudian dikenal dengan nama Classical Conditioning.
Yang dimaksud dengan Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang
memungkinkan munculnya respons tertentu dari suatu organisme terhadap suatu
5
Dr. Tuti Supatminingsih, M.Si. DKk, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung : Media Sains Indonesia,
2020), hlm.191.

8
rangsangan yang sebelumnya tidak menimbulkan respons tersebut. Atau dengan
kata lain merupakan suatu proses untuk membuat berbagai refleks perilaku
tertentu, menjadi sebuah tingkah laku yang dimiliki oleh makhluk hidup tertentu.
Dengan kata lain, mekanisme Classical Conditioning merupakan suatu proses
pembentukan perilaku yang dapat diterapkan pada makhluk hidup agar mereka
memiliki bentuk perilaku tertentu.6
3. Prinsip-prinsip Teori Classical Conditioning
a. Penerapan Prinsip-Prinsip Teori Belajar Classical Conditioning dalam
pengajaran
Pengaruh keadaan blasik membantu menjelaskan banyak pelajaran di
mana satu stimulus diganti/digantikan untuk yang lain. Satu contoh yang
penting tentang proses ini adalah pelajaran atraksi emosional dan ketakutan.
Bahwa bentakkan seorang guru seringkali membuat takut murid-muridnya,
hal yang sama seorang polisi mempermainkan penjahat dengan acungan
tangannya, atau seorang perawat hendak memberi suntikan kepada pasiennya.
Semua perilaku ini menciptakan tanggapan perhatian dan ketakutan di hati
orang-orang tersebut dibawah kesadaran mereka.
Beberapa psikologi menyebutkan belajar berlanjut atau asosiatif
learning hanya memerlukan dua stimuli yang tidak bertalian terjadi bersama-
sama pada suatu tanggapan atau keduanya dari stimulus yang ada. Jika
seorang anak telah mempelajari bagaiaman cara menggunakan unit balok
kecil, kemudian stimuli ini dapat dipasangkan dengan hal yang lebih abstrak ,
mereka akan dapat menulis padanan menulis padanan yang menghasilkan apa
yang diinginkan dengan baik.
Dalam praktek pendidikan mungkin bias kita temukan seperti lonceng
bebunyi mengisyaratkan belajar dimulai dan atau pelajaran berakhir.
Pertanyaan guru diikuti oleh angkatan tangan siswa, suatu pertanda siswa
dapat menjawabnya. Kondisi-kondisi tersebut diciptakan untuk memanggil
suatu respons atau tanggapan ahli pendidikan lain juga menyarankan bahwa
panduan belajar dengan mengkombinasikan gambar dan kata-kata dalam
mempelajari bahasa, akan sangat berguna dalam mengajar perbendaharaan
6
Feida Noorlaila Isti’adah, M.Pd, Teori-Teori Belajar Dalam Pendidikan, (Jawa Barat, Edu
Publisher, 2020),hlm.42.

9
kata-kata. Memasangkan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan kata-kata
bahasa lainnya akan membantu para siswa dalam membuat perbendaharaan
kata dalam bahasa asing.
b. Penerapan Prinsip-prinsip Teori Belajar Classical Cinditioning di Kelas
1) Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas
tugas belajar
a. Menekankan pada kerjasama dan kompetisi antarkelompok daripada
individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara
negatif terhadap kompetensi secara individual, yang mungkin akan
digeneraliasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain.
b. Membuat kegiatan membaca menjadi meyenangkan dengan
menciptakan ruang membaca yang nyaman dan enak serta menarik,
dan lain sebagainya.
2) Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang
mencemaskan atau menekan, misalnya;
a. Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara
memahami materi pelajaran.
b. Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang,
misalnya dengan memberikna tes harian, mingguan agar siswa dapat
menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
c. Jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk
membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di
tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa,
kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid
kelas.
3) Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap
situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan
menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, dengan:
a. Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah
sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tinggi, bahwa
testersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah
mereka lakukan.

10
b. Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan
dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman dan dapat
menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orangtua ada.
4) Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-
tugas belajar, contoh : menekankan pada kerja sama dan kompetisi antar
kelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons
emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang
mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain,
contoh lainnya adalah membuat kegiatan membaca menjadi
menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca yang nyaman dan
enak serta menarik.

2.3 Proses Belajar Menurut Teori Operant Conditioning


1. Teori Belajar Operant Conditioning B. F. Skinner
Teori Operant Conditioning merupakan salah satu teori belajar mengenai
tingkah laku manusia. Teori ini dikemukakan oleh Burhus Fredrik Skinner yang
lahir pada tahun 1904. Beliau mendapatkan gelar Bachelor di Inggris kemudian
pindah ke Greenwich Village di New York. Skinner melanjutkan sekolahnya di
Harvard University dan memperoleh gelar dokter di bidang psikologi. Karirnya
adalah menjadi dekan fakultas psikologi di Indiana University kemudian pindah
menjadi pengajar di Harvard. Operant Conditioning Skinner muncul pada tahun
1930an yang dilatar belakangi oleh ketidakpuasannya atas teori kondisioning
klasik dari Pavlov. Pavlov mengatakan bahwa stimulus yang diberikan secara
terus-menerus memiliki sifat penguatan yang tidak mengendur. Jadi menurut
Skinner respon yang dihasilkan oleh stimulus haruslah dibarengi dengan adanya
penguatan atau reinforcement.
Skinner melakukan penelitian dengan menjadikan seekor tikus sebagai
subyek penelitiannya. Seekor tikus ditaruh dalam sebuah kurungan. Kurungan
khusus ini dilengkapi dengan sebuah palang kecil di salah satu dindingnya.
Palang tersebut akan melontarkan biji makanan terlontar ke dalam kotak. Ketika
seekor tikus tersebut tidak sengaja menyentuh palang tadi, biji makanan masuk
ke dalam kotak. Dengan demikian tikus tersebut akan mengulangi tingkahnya
dan berharap ada biji makanan yang akan keluar. Dari hasil penelitian Skinner

11
dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penguatan tingkah laku seseorang
akan cenderung untuk diulang-ulang. Penguatan tersebut akan menghasilkan
respon berulang, dan tanpa adanya penguatan perilaku tersebut akan dihentikan
dan sulit membentuk kebiasaan.
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkah laku operan
adalah tingkah laku yang menjadi ciri organisme yang aktif di lingkungan
sekitar untuk menghasilkan dan memperoleh penguat dan diganjar dengan
penguatan.7
Dengan demikian menurut teori operant conditioning perubahan
perilaku dari hasil belajar yang dilakukan melalui pemberian penguatan
untuk menghasilkan respon yang lebih kuat. Respon tersebut merupakan
suatu tindakan yang disengaja dan stimulus yang diberi penguatan akan
menghasilkan respon yang cenderung untuk diulang.
2. Konsep Teori Operant Conditioning
Operant conditioning merupakan salah satu dari dua jenis pengondisian
dalam pembelajaran asosiasi (associative learning). Pembelajaran asosiatif
adalah pembelajaran yang muncul ketika sebuah hubungan dibuat untuk
menghubungkan dua peristiwa. Dalam operant conditioning, individu belajar
mengenai hubungan antara sebuah perilaku dan konsekuensinya. Sebagai hasil
dari hubungan asosiasi ini, setiap individu belajar untuk meningkatkan perilaku
yang diikuti dengan pemberian ganjaran dan mengurangi perilaku yang diikuti
dengan hukuman. Dengan demikian dapat disimpulkan, operant conditioning
adalah sebuah bentuk dari pembelajaran asosiatif di mana konsekuensi dari
sebuah perilaku mengubah kemungkinan berulangnya perilaku.
Tingkah laku adalah hubungan antara perangsang dan respon. Tingkah
laku terjadi apabila ada stimulus khusus. Skinner berpendapat, pribadi
seseorang terbentuk dari akibat respon terhadap lingkungannya, untuk itu hal
yang paling penting untuk membentuk sebuah kepribadian adalah adanya
penghargaan dan hukuman. Penghargaan akan diberikan untuk respon yang
diharapkan sedangkan hukuman untuk respon yang salah. Skinner membedakan
adanya dua macam respon, yaitu:

7
Haslinda, Classical Conditioning, Jurnal Network Media Vol: 2, No. 1, Februari 2019, hlm. 91.

12
a. Respondent response (reflexive response), yaitu respon yang ditimbulkan
oleh suatu perangsang-perangsang tertentu, yang menimbulkan respon-respon
relatif tetap.
b. Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu, sehingga
memperkuat respon yang telah dilakukan. Jadi, perangsang yang demikian itu
mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang
telah dilakukan.8
3. Prinsip-Prinsip Operant Conditioning
a.Penguatan (reinforcement)
Prinsip penguatan dibagi menjadi dua, yaitu penguatan positif dan
penguatan negatif. Penguatan positif (positive reinforcement) adalah suatu
rangsangan yang diberikan untuk memperkuat kemungkinan munculnya suatu
perilaku yang baik sehingga respons menjadi meningkat karena diikuti dengan
stimulus yang mendukung. Sebagai contoh, seorang anak yang pada dasarnya
memiliki sifat pemalu diminta oleh guru maju ke depan kelas untuk
menceritakan sebuah gambar yang dibuat oleh anak itu sendiri. Setelah anak
tersebut membacakan cerita, guru memberikan pujian kepada anak tersebut dan
teman-teman sekelasnya bertepuk tangan. Ketika hal tersebut berlangsung
berulang-ulang, maka pada akhirnya anak tersebut menjadi lebih berani untuk
maju ke depan kelas, bahkan kemungkinan sifat pemalunya akan hilang.
Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado,
makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui,
bertepuk tangan, mangacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1,
dsb).
Penguatan Negatif adalah peningkatan frekuensi suatu perilaku positif
karena hilangnya rangsangan yang merugikan (tidak menyenangkan). Sebagai
contoh, seorang ibu yang memarahi anaknya setiap pagi karena tidak
membersihkan tempat tidur, tetapi suatu pagi si anak tersebut membersihkan
tempat tidurnya tanpa di suruh dan si ibu tidak memarahinya, pada akhirnya si
anak akan semakin rajin membersihkan tempat tidurnya diringi dengan
8
Feida Noorlaila Isti’adah, Teori-Teori Belajar dalam Pendidikan, (Jawa Barat: EDU PUBLISHER,
2020), hlm. 75-79.

13
berkurangnya frekuensi sikap kemarahan dari ibunya. Bentuk-bentuk penguatan
negatif adalah menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening
berkerut, muka kecewa, dll).
Hukuman (punishment) adalah sebuah konsekuensi untuk mengurangi
atau menghilangkan kemungkinan sebuah perilaku akan muncul. Dalam
hukuman juga terdapat pembagian antara positif dan negatif. Hukuman positif
(positive punishment) dimana sebuah perilaku berkurang ketika diikuti dengan
rangsangan yang tidak menyenangkan, misalnya ketika seseorang anak
mendapat nilai buruk di sekolah maka orangtuanya akan memarahinya hasilnya
anak tersebut akan belajar lebih giat untuk menghindari omelan orangtuanya
(akan kecil kemungkinannya anak tersebut akan mendapatkan nilai jelek).
Hukuman negatif (negative punishment), sebuah perilaku akan berkurang
ketika sebuah rangsangan positif atau menyenangkan diambil. Sebagai contoh,
seorang anak mendapat nilai jelek akibat terlalu sering bermain-main dengan
temannya dan malas belajar, kemudian anak tersebut dihukum oleh orangtuanya
untuk tidak boleh bermain dengan teman-temannya selama sebulan, akhirnya
anak tersebut tidak akan terlalu sering bermain-main dengan temannya atau
lebih mengutamakan pelajarannya.9
4. Stimulus Operant Conditioning
a.Generalization (Generalisasi)
Generalization pada operant conditioning adalah memberikan respon
yang sama terhadap stimulus yang sama atau mirip. Fokus perhatiannya adalah
tingkat dimana perilaku disamaratakan dari satu situasi ke situasi yang lain.
Sebagai contoh, seorang guru memuji siswanya apabila siswa itu mengajukan
pertanyaan yang bagus yang berhubungan dengan PAI, hal ini disamaratakan
dengan kerja keras dalam sejarah, matematika maupun dalam mata pelajaran
yang lain.
b.Discrimination (diskriminasi)
Diskriminasi dalam operant conditioning berarti melibatkan perbedaan
antara stimulus-stimulus dan kejadian-kejadian lingkungan, atau dapat diartikan

9
Ibid, hlm.92-94.

14
merespon stimulus yang menunjukkan bahwa sebuah perilaku akan atau tidak
akan dikuatkan.
Sebagai contoh, seorang siswa tahu bahwa wadah di meja guru yang
bertulisan “Matematika” adalah tempat ia harus meletakkan tugas matematika
hari ini, sementara wadah lainnya yang bertulisan “Bahasa Inggris“ adalah
tempat tugas bahasa Inggris hari ini harus diletakkan.
c.Extinction (Pelenyapan)
Extinction merupakan suatu penghentian penguatan. Jika dalam suatu
kasus dimana pada perilaku sebelumnya individu mendapat penguatan
kemudian tidak lagi dikuatkan sehingga akan ada kecenderungan penurunan
perilaku, maka hal inilah yang dinamakan munculnya suatu pelenyapan
(extinction).
Seorang siswa mendapatkan beasiswa setiap kali berhasil menjadi juara kelas.
Namun, suatu ketika beasiswa dihentikan karena adanya kekurangan dana dari
pihak si pemberi beasiswa sehingga tidak sanggup lagi memberi bantuan.
Ketika pihak pemberi beasiswa tersebut tidak memberi lagi beasiswa, semangat
belajar siswa tersebut menjadi menurun.
Pelenyapan juga merupakan suatu strategi menghentikan penguatan dimana
pelenyapan ini menarik penguatan positif terhadap perilaku tidak tepat atau
tidak pantas. Hal ini dikarenakan banyaknya perilaku yang tidak tepat
dipertahankan akibat adanya penguatan positif terhadap perilaku tersebut.
Sebagai contoh, orangtua yang kurang peka terkadang cenderung lebih
memperhatikan perilaku yang tidak baik dari anaknya, seperti menegur,
memarahi, membentak, dan sebagainya tanpa sedikitpun memperhatikan hal-hal
baik yang dilakukan oleh anaknya, seperti memuji prestasi-prestasi dan
kelakuan baik anak-anaknya. Dalam hal ini, sangat diperlukan adanya suatu
pelenyapan terhadap penguatan pada hal-hal negatif yang dilakukan anaknya
dan lebih memperhatikan dan memunculkan penguatan pada hal-hal positif
yang dilakukan si anak.10

10
Ibid, hlm.94-95.

15
5. Penerapan Teori Belajar Operant Conditioning
Pembelajaran merupakan suatu proses belajar mengajar yaitu
terjadinya interaksi antara guru dengan subjek didik. Proses belajar siswa
adalah untuk membentuk perubahan tingkah laku sedangkan tugas mengajar
guru adalah menjadi arsitek agar tujuan proses dari belajar tercapai. Supaya
proses belajar dapat terlaksana dengan baik, seorang guru harus mampu
menciptakan pembelajaran yang baik agar dalam proses belajar dapat tercipta
perubahan tingkah laku yang diinginkan. Dengan demikian seorang guru
harus memberikan metode yang tepat supaya pembelajaran sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai.
Seorang guru yang profesional hendaknya memiliki kesediaan yang
tinggi untuk mengajar. Seorang guru harus mampu membangkitkan minat
murid, menumbuhkan sikap dan bakat yang baik, serta mampu mengatur
proses belajar mengajar dengan baik. Teori operant conditioning skinner
dapat diterapkan oleh guru sebagai metode dalam proses pembelajaran.
Teori tersebut dijadikan sebagai landasan agar dalam proses pembelajaran
mampu menghasilkan tujuan seperti yang diharapkan. Pembentukan perubahan
perilaku tentunya harus dilakukan secara berulang-ulang agar benar-benar
membentuk suatu kebiasaan.
Penerapan teori operant conditioning dalam pembelajaran dapat
berupa pemberian reinforcement positif atau reward. Reward atau
penghargaan akan berdampak positif bagi anak. Diantara manfaat pemberian
reward adalah menimbulkan respon positif, menciptakan kebiasaan untuk
terus melakukan pekerjaan, serta menimbulkan perasaan senang karena
mendapat imbalan ketika melakukan pekerjaan. Pemberian reward terhadap
subjek didik dalam pembelajaran tidak selalu harus berupa materi, hadiah yang
diberikan dapat berupa pujian, perhatian yang lebih, keramahan dan
sebagainya. Pemberian hukuman atau sanksi kepada subjek didik bertujuan
untuk mencegah tingkah laku yang tidak diinginkan. Hukuman yang
diberikan haruslah untuk meluruskan tingkah laku peserta didik, bersifat
edukatif, dan proporsional.

16
Pada penerapan teori operant conditioning dalam pembelajaran,
seperti yang diharapkan Skinner adalah mengutamakan pemberian
reinforcement positif atau penghargaan. Tentu menurut teori ini keberhasilan
dalam belajar sangat dipengaruhi oleh pemberian penguatan yang positif.
Pemberian hukuman setidaknya dijadikan sebagai opsi terakhir apabila
perilaku subjek didik sudah terlampau jauh menyimpang dari norma-norma.11

11
Ibid, hlm.107.

17
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun Behavioristik.
Respon-respon tingkah laku terhadapa stimulus-stimulus tertentu terbentuk
melalui proses uji coba yang mempengaruhi koneksi-koneksi saraf antara
stimulus-stimulus dan respons-respons yang sangat memuaskan.
2. Classical Conditioning merupakan suatu proses pembentukan perilaku yang
dapat diterapkan pada makhluk hidup agar mereka memiliki bentuk perilaku
tertentu.
3. Operant conditioning adalah perubahan perilaku dari hasil belajar yang
dilakukan melalui pemberian penguatan untuk menghasilkan respon yang
lebih kuat. Respon tersebut merupakan suatu tindakan yang disengaja
dan stimulus yang diberi penguatan akan menghasilkan respon yang
cenderung untuk diulang.

B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan sedikit
pengetahuan kepada teman-teman dan penulis secara pribadi. Sehingga menjadi
suatu amal kebaikan yang akan diterima oleh Allah SWT.

18
DAFTAR PUSTAKA

Noorlaila, Feida Isti’adah. 2020. Teori-Teori Belajar dalam Pendidikan.


Jawa Barat: Anggota IKAPI

Sukmadinata, N.S. 2005. Landasan Psikologis Proses Pendidikan.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Semiun, Yustinus. 2020. Behavioristik Teori-Teori Kepribadian.


Yogyakarta: PT Kanisius

Supatminingsih, Tuti. DKk. 202. Belajar dan Pembelajaran, Bandung :


Media Sains Indonesia

Haslinda. 2019. Classical Conditioning, Jurnal Network Media Vol: 2,


No. 1, Februari

19

Anda mungkin juga menyukai