Anda di halaman 1dari 6

QAT’I DAN ZANNI

A. Pendahuluan
Alquran  merupakan sumber utama dalam prosedur untuk melakukan istinbat (penetapan) hukum.
Tanpa Alquran, tidak mungkin dipahami ajaran Islam secara keseluruhan dan hukum Islam secara
partikular. Pembahasan tentang Alquran sebagai sumber utama hukum Islam adalah sesuatu yang
seragam di dalam kitab-kitab usul fikih. Namun keseragaman ini menjadi sirna manakala
pembahasan mulai memasuki persoalan-persoalan yang lebih detail, misalnya mengenai kedilalahan
ayat-ayat Alquran sebagai hujjah di dalam kerangka istinbat hukum. Salah satu persoalan yang
cukup rumit dan variatif  adalah terkait dengan permasalahan pengkategorian ayat-ayat Alquran ke
dalam qat’i dan zanni.
Secara umum pengkategorian ini menjadi sangat penting di dalam menjadikan satu ayat sebagai
dalil hukum. Hal ini terkait dengan persoalan penggunaan rasionalitas di dalam hukum. Apabila satu
ayat dikategorikan qat’i, maka tingkat rasionalitasnya menjadi rendah. Sedangkan bila
dikategorikan zanni, maka tingkat spekulatifnya menjadi tinggi.

Apabila diteliti dengan seksama, maka terlihat bahwa persoalan qat’i dan zanni ini merupakan
persoalan pelik yang memerlukan pembahasan yang cukup panjang dan rumit. Ada kesan seolah-
olah pengkategorian ini telah baku dan tidak berubah.
Makalah ini akan mencoba menguraikan pembahasan tentang qat’i dan zanni, dan beberapa
pembahasan terkait dengan keduanya.

B. Pengertian Qat’i al-Dalalah dan Zanni al-Dalalah


Pada masa-masa awal pembentukan hukum Islam hingga  munculnya imam-imam mazhab tidak
terdapat istilah qat’i dan zanni di dalam Alquran, sunnah, qaul sahabat dan qaul tabi’in. Istilah
yang mungkin sepadan dengan itu ada dalam konteks ilmu tafsir, yakni ayat-ayat muhkam dan ayat-
ayat mutasyabih. Kategorisasi ayat kepada qat’i dan zanni merupakan teori para ulama usul fikih.
Belum jelas siapa yang pertama kali memperkenalkan kategorisasi ini. Namun karena teori ini tidak
pernah digugat, dugaannya adalah karena kemiripannya dengan kategori muhkam dan mutasyabih
yang termaktub di dalam Alquran.
Cukup menarik bahwa pada era para imam mazhab tidak ditemukan istilah qat’i dan zanni di dalam
literatur yang dapat dirujuk sebagai teori yang mereka kembangkan. Kenyataan ini seolah-olah
menunjukkan bahwa kategorisasi ini muncul jauh setelah era imam mazhab dan semakin
menguatkan dugaan sebagai hasil pemikiran ulama usul fiqih belakangan.
Sekilas, ketika diucapkan kata qat’i maka pemahaman yang muncul di benak pendengarnya adalah
”mutlak”. Sebaliknya kata zanni sekilas dapat dipahami sebagai relatif atau mengandung dugaan.
Demikian katan qat’i dan zanni dipahami secara sekilas atau secara zahir. Dalam pemakaiannya
sendiri, kedua lafaz ini pada umumnya berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu. Ketika tersiar
sebuah kabar, maka kabar tersebut dipertanyakan kebenarannya apakah mutlak atau pasti (qat’i)
atau hanya merupakan prasangka saja (zanni).
Dalam bahasa Arab sendiri kata qat’i berasal dari kata kerja qata’a yang berarti jazza (membagi
dan memotong), abana (menjadikannya jelas), abtala (batal).  Qat’i sendiri merupakan sifat yang
diambil dari kata qata’a tersebut. Unsur terpenting dari arti kata qata’a adalah terpisahnya sesuatu
dari sesuatu, seperti sebuah bagian kayu terpisah dari bagian lainnya (terpotong), ibadah shalat
terpisah dari rukun dan syarat (batal) dan kebenaran terpisah dari kebohongan (jelas). Karena itu,
qat’i dapat dipahami sebagai sifat yang menunjukkan sesuatu yang jelas.
Sedangkan kata zanni merupakan kata turunan dari kata zanna yang berarti alima wa istayqana
(mengetahui dan meyakininya).  Kata zanna dalam bahasa Arab tidak mengandung arti sebuah
sangkaan yang diyakini akan sesuatu karena adanya bukti-bukti yang lebih kuat. Tingkat kadar
keyakinan yang lebih rendah darizanni dalam bahasa Arab adalah wahm. Kata zanni merupakan kata
sifat yang diambil dari kata kerja zanna. Karena itu dapat dikatakan bahwa secara bahasa zanni
berarti kata sifat yang menunjukkan keyakinan yang lebih kuat dari wahm.
Sedangkan pengertian qat’i dan zanni secara syar’i atau sebagai istilah dalam kajian ini diteliti dari
berbagai literatur usul fikih klasik dan kontemporer. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap literatur
usul fikih membicarakan konsep qat’i dan zanni. Oleh karena itulah agaknya upaya pendefinisian
qat’i dan zanni mudah dilakukan. Paparan berikut akan mengemukakan definisi tersebut.
Definisi qat’i yang populer di kalangan ahli usul adalah apa yang dirumuskan oleh Abdul Wahhab al-
Khallaf. Menurutnya qat’i al-dalalah ialah:
‫مادل علىمعنىمتعين فهم منه واليحتمل تأويالوالمجال لفهم معنى غيره منه‬.
Artinya: “suatu (nash) yang menunjukkan kepada makna tertentu yang dipahami dari nas itu dan
tidak mengandung kemungkinan ta’wil (interpretasi) serta tidak ada tempat peluang untuk
memahami makna selain makna tersebut dari kata itu”.
Sementara itu Syekh Abu al-‘Ainin mendefinisikan qat’i al-dalalah sebagai berikut:
‫فطعى الداللةهوالذى يدل على الحكم واليحتمل غيره‬.
Artinya: “qat’i al-dalalah ialah suatu (nash) yang menunjukkan atas suatu hukum dan tidak
mengandung kemungkinan makna yang lain”.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa qat’i al-dalalah ialah suatu nash yang
menunjukkan kepada suatu makna tertentu dan tidak mengandung makna yang lain, selain makna
yang tertentu itu. Oleh karena itu, tidak ada peluang untuk menginterpretasikannya kepada
pengertian lain.
Nash yang zanni dalalahnya yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat ditakwil atau
nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik kerena lafazhnya musytarak ataupun karena
susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dalalah isyarat-nya, iqtidha-
nya dan sebagainya.  Misalnya adalah firman Allah swt.:
‫حرمت عليكم الميتة والدم‬.
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah ….”. (Q.S. al-Maidah: 3).
    Lafaz “maytah” (bangkai) itu umum. Nash ini mempunyai kemungkinan pengertian:
mengharamkan setiap bangkai dan ada kemungkiann untuk mentakhshiskan pengharaman itu
dengan sesuatu selain bangkai lautan. Maka nash yang di dalamnya terdapat nash yang musytarak
atau lafazh yang umum atau lafazh yang mutlak ataupun semisal ini, maka nash itu adalah zanni
dalalahnya, karena ia menunjukkan kepada suatu makna dan mengandung kemungkinan pengertian
lainnya.
    Sedangkan Zanni bermakna suatu ayat-ayat mengandung makna yang tidak pasti dan dapat
menerima takwil. Demikianlah pendapat populer di kalangan mayoritas ulama.
    Apabila definisi-definisi qat’i dicermati secara mendalam, tampaknya masih terdapat
kekurangjelasan tentang konsep qat’i dan zanni. Maksudnya, para ulama tidak begitu jelas
merumuskan konsep-konsep tersebut. Ketidakjelasan itu karena adanya tiga kemungkinan konsep
yang melekat pada definisi tersebut.
Pertama: yang qat’i itu sebuah lafaz nash dalam bentuk tunggal (lafaz tunggal).
Misalnya lafaz al-Nisf pada ayat: ‫ ولكم نصف ماترك ازواجكم‬atau lafaz Mi’ah pada ayat: ‫ ما ئة‬5‫فاجلدواكل واحد منهما‬
‫جلدة‬. Jika dipegangi rumusan qat’i seperti ini, maka tak syak lagi bahwa suatu lafaz yang
mengandung satu makna tertentu dan tidak mengandung makna selainnya dipandang sebagai qat’i.
Kedua : yang qat’i itu suatu ayat yang terdiri dari susunan beberapa lafaz (dalam bentuk kalimat).
Misalnya makna ayat:
‫السارق والسارقة فاقطعواأيديهما‬
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya ....”.
Makna ayat di atas secara pasti menunjukkan bahwa seorang pencuri dihukum potong tangan.
Kepastian makna itu diperoleh dari ayat yang berbentuk kalimat, bukan lafaz tunggal.
    Jika diamati definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul, tampaknya yang qat’i itu
bisa makna lafaz tunggal dan bisa pula makna ayat dalam bentuk kalimat yang mempunyai makna
tertentu dan tidak mengandung interpretasi lain selain makna yang telah tertentu (pasti) tadi.
Ketiga : yang qat’i itu bukan makna lafaz tunggal atau makna kalimat, tetapi adalah makna
menyeluruh dari sekian banyak ayat yang mengacu kepada satu makna yang saling mendukung,
sehingga makna-makna yang terdapat dalam berbagai nash tersebut berakumulasi secara utuh pada
satu gagasan tertentu.
    Jika rumusan definisi mengacu kepada wacana pertama, yakni bahwa yang qat’i itu adalah lafaz
tunggal, maka wacana kedua dan ketiga menjadi terabaikan. Jika definisi qat’i hanya berpegang
kepada wacana kedua, maka definisi qat’i menurut wacana ketiga terabaikan.
    Menurut pengertian yang ketiga ini, bahwa qat’i itu tidak dilihat dari sebuah lafaz tunggal saja
atau sebuah ayat dalam bentuk kalimat saja, tetapi harus dilihat dari keseluruhan ayat-ayat
alquran. Maksudnya keqat’ian hanya bisa dicapai melalui perpaduan ayat-ayat alquran yang
memiliki makna yang sama atau saling mendukung. Pengertian qat’i sepeti wacana ketiga inilah
yang dikedepankan oleh asy-Syatibi dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat.
    Sebagai seorang pembaharu pemikiran ushul al-fiqh, Imam asy-Syatibi banyak mencurahkan
perhatian terhadap konsep qat’i dan zanni. Kesadaran asy-Syatibi ini agaknya  muncul disebabkan
karena formulasi ulama sebelumnya begitu jelas kaku dalam merumuskan dan memahami konsep
qat’i dan zanni. Karena itu perlu diperjelas dan dipertegas dengan menggunakan kerangka
pemikiran yang rasional.
    Menurut pendapat yang berkembang dan menjadi keyakinan para ulama ushul al-fiqh ketika itu,
bahwa sebuah ayat yang berdiri sendiri dapat menjadi qat’i dengan sendirinya, sehingga tidak boleh
menjadi sasaran ijtihad dan tidak boleh mengalami perkembangan interpretasi.
    Dengan adanya paradigma klasik seperti itu, gerak ijtihad terjerat oleh paradigma yang mereka
rumuskan sendiri. Padahal perubahan sosial di masa asy-Syatibi demikian cepat. asy-Syatibi sendiri
menghadapi perubahan-perubahan sosial yang demikian akseleratif. Dalam konteks seperti itulah
muncul kesadaran keilmuan asy-Syatibi untuk merumuskan konsep qat’i dan zanni dalam wacana
pemikiran ushul al-fiqh.
Di dalam hadis-hadis Nabi, terdapat qat’i al-dalalah. Misalnya:
‫الضرروالضرار‬
Artinya: “Tidak memudaratkan diri dan tidak memudaratkan orang lain”. (H.R. Ahmad dan
Tarmizi).
Jika suatu hadis berstatus mutawatir, maka ia kadang menjadi qat’i al-dalalah, sebab dasarnya
adalah qat’i ats-tsubut. Keqat’ian al-dalalah itu terjadi apabila maknanya pasti dan tertentu serta 
tidak mungkin punya makna yang lain. Sedangkan hadis masyhur dan hadis ahad masih
diperselisihkan oleh ulama tentang kemungkinan keqat’ian atau kezannian dalalahnya.
    Namun demikian, kata al-Khallaf, dugaan (zhann) terhadap hadis masyhur dan ahad itu adalah
dugaan yang kuat, karena kesempurnaan yang ada pada rawi, misalnya sifat adil dan dhabit, tsiqah,
dll. Maka nilai kezannian ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hal mengamalkan ajaran yang
dibawa , tapi khusus dalam bidang hukum, bukan aqidah.  Jadi dari segi pengamalan (implementasi)
maknanya, hadis ahad bisa dipakai dalam bidang ibadah dan mu’amalah, asalkan saja ia hadis
shahih.
Nash-nash yang zanni al-dalalah adalah nass yang menunjukkan makna yang mungkin menerima
ta’wil (interpretasi) atau dipalingkan dari makna asal kepada makna yang lain.
Abdul wahhab al-Khallaf merumuskan bahwa zanni al-dalalah ialah suatu nass yang menunjukkan
kepada makna yang mengandung kemungkinan ta’wil atau dipalingkan dari makna asal kepada
makna yang lain.
Kajian ats-tsubut adalah menyangkut validitas riwayat suatu nass. Oleh karena itu, semua nass
Alquran semuanya qat’i ats-tsubut. 

C. Latar Belakang Timbulnya Konsep Qa’ti dan Zanni


Belum penulis temukan asal-usul timbulnya konsep qat’i dan zanni dan bagaimana ia berkembang.
Akan tetapi penulis dapat memahami bahwa munculnya konsep qat’i zanni berhubungan dengan
pembatasan terhadap keleluasaan menafsirkan Alquran dalam merumuskan mazhab hukum dan
teologi. Konsep ini dibutuhkan agar dasar-dasar ajaran Islam tidak berbeda antara satu mazhab
dengan mazhab lainnya. Akibat bila tidak dilembagakannya konsep qat’i dan zanni, adalah
munculnya kesimpangsiuran dan keragaman dasar-dasar agama.

D. Klasifikasi Qat’i dan Zanni dan Diskursusnya


1. Qat’i
Qat’i terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut dalalahnya. Semua ayat
Alquran itu merupakan qat’i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti
dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat’i al-dilalah.
Qat’i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan
penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat’i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan
penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama.
Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat’i, yaitu
"aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab
sepakat akan kewajiban shalat.
Jadi, lebih ringkas, klasifikasinya adalah sebagai berikut:
•    Qat’i al-tsubut atau qat’i al-wurud: semua ayat Alquran dan Hadis mutawatir
•    Qat’i al-dilalah: tidak semua ayat Alquran dan tidak semua hadis mutawatir 
2. Zanni
Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut dalalahnya. Ayat Qur'an mengandung
sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal
menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa" dalam Alquran
terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru" (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang
dinamakan zanni al-dilalah. Dari segi wurudnya, semua ayat Alquran qat’i, bukan zanni.

E. Kemungkinan Pergeseran dalam Kategorisasi dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Alquran


Dalam pandangan Syatibi, jarang sekali dalil-dalil syara’-bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad)-
yang  qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu ia
tidak qat’i, melainkan bersifat  zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-lughah dan
pendapat-pendapat ahli nahwu . Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat  qat’i dalam
Alquran, tetapi ia sesungguhnya ingin menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qat’i
dalalah sebagai istilah yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang
diangkat dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut  qat’i dalalah. Menurutnya, kepastian makna
(qat’i dalalah) suatu nash berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung
kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan
tersendiri.
Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat  zanni lagi. Ia menjadi semacam
mutawatir maknawi. Inilah yang kemudian dinamakan  dalil-dalilqat’i dalalah .Sehubungan dengan
itu, Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah sholat. Apabila perintah sholat dipahami
hanya dari firman Allah yang potongannya berbunyi aqimu al-sholah, maka ia akan bersifat  dalil-
dalil zanni.
Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah bagi
orang yang melakukan sholat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada
mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau
perang serta dalil-dalil lain tentang sholat. Kumpulan nash yang semakna dengan ini secara
keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qat’i) tentang wajib
sholat.
Dari penjelasan qat’i dalalah di atas, dapat diamati dari dua sisi, yaitu pertama, suatu lafal yang
menunjukkan suatu makna yang jelas. Qat’i dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai
berikut dalil-dalil suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti. Al-
Ghazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda.
Menurutnya,  qat’i dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan
pendapat semenjak asalnya .
Dalam ide yang sama al-Ghazali pun menyatakan bahwa qat’i merupakan suatu lafal yang tidak
mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat karen didukung oleh dalil-dalil lain.  Dengan
berpegang kepada pengertian qat’i bentuk kedua ini, cukup banyak ayat-ayat qat’i terdapat dalam
Alquran. Pengertian qat’i ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Misalnya,
Wahbah Zuhaily menyatakan bahwa  dalil-dalil qat’i dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam
Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal.  Dengan maksud yang
sama Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan qat’i dalalah adalah suatu lafal yang dipahami darinya
satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehjadian takwil serta tidak mengandung
kemungkinan untuk dipahami makna lain selain yang ditunjukkan lafal tersebut. 
Beberapa definisi  qat’i dalalah di atas, menggambarkan bahwa suatu ayat disebut qat’i manakala
dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami
darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku. Di antara
ayat-ayat Alquran yang termasuk dalam kategori qat’i dalalah ialah ayat-ayat yang menyangkut
ushul al-syariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu ibadah seperti sholat,
zakat dan haji, perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menegakkan
keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas.
Di samping itu termasuk dalam kelompok ayat qat’i adalah ayat yang berbicara tentang akidah,
akhlak dan sebagian masalah muamalat.  Penempatan ayat-ayat itu dalam kategori qat’i dalalah
dilatar belakangi pertimbangan bahwa ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-
pokok agama (essensial) yang bersifat tetap dan tidak bersifat berubah, karena perubahan zaman
dalam kehidupan manusia. Andai kata ayat-ayat itu termasuk dalam kategori zanni yang menjadi
objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami
perubahan-perubahan.
Beberapa contoh ayat-ayat qat’i dalam Alquran diantaranya mengenai sholat, zakat, puasa, haji,
waris, hudud dan kaffarat. Mengenai sholat Allah berfirman “Dirikanlah sholat dan bayarkanlah
zakat”. Dalam memerintahkan haji kepada muslim Allah berfirman “merupakan kewajiban manusia
kepada Allah untuk melakukan ibadah haji bagi yang memiliki kemampuan”. Mengenai perintah
puasa Allah berfirman “Diwajibkan atasmu berpuasa”.
Ketiga contoh ayat  qat’i di atas, tidak dapat sekaligus dipahami dari redaksi ayatnya, melainkan
didukung oleh penjelasan ayat lain dan penjelasan dari Nabi sendiri baik melalui perkataan,
perbuatan maupun sekaligus gabungan antara perkataan dan perbuatan Nabi sehingga tidak
mungkin terdapat kebolehjadian makna lain. 
Contoh lain tentang ayat qat’i dapat diamati dalam firman Allah tentang warisan berikut “Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak”. Begitu pula ayat qat’i ditemukan pula dalam kasus hukuman zina dalam firman
Allah berikut “Perempuan yang berzina dan lakilaki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera”.
Ayat qat’i lain yang dapat diangkat sebagai contoh adalah kaffarat sumpah seperti dalam firman
Allah berikut “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari”.
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, bagian waris setengah bagi suami yang meninggal
istrinya dan tidak punya anak, seratus kali dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa tiga hari
untuk kaffarat sumpah mengandung hukum yang  qat’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian
lain dari apa yang tertulis dalam ayat tersebut.
Dilatar belakangi ayat-ayat qat’i dalalah dari sisi lafaznya sehingga tidak mengandung
kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung oleh lafal ayat itu, maka jelas peluang ijtihad
tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qat’i dalalah. Mempertegas ketentuan ini para ulama
merumuskan suatu kaedah fikih yang berbunyi “Tidak diperkenankan melakukan ijtihad ketika
sudah ada ketetapan nash”.  Nash yang dimaksud dalam kaidah tersebut adalah nash yang qat’i
dalalah. Dengan kata lain, ayat-ayat yang qat’i  dalalah tidak menjadi ruang lingkup ijtihad bagi
para mujtahid.
Pengembangan makna yang terdapat pada ayat qat’i dapat dilakukan pada larangan mengucapkan
kata kasar kepada orang tua karena dapat menyakiti hati dan perasaan mereka. Dalam kaitan ini,
Allah berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa ayat qat’i dikembalikan kepada zat lafaz
ayat Alquran itu, bukan karena ketidakmampuan manusia dalam memahaminya. Bila qat’i
didasarkan atas pertimbangan ketidakmampuan manusia, menempatkan Alquran sebagai kitab
petunjuk yang tidak relevan dengan kemampuan manusia. Ini merupakan suatu kemustahilan
karena Alquran diturunkan Allah untuk dipahami dan dilaksanakan isi petunjuknya.
Pada dasarnya, qat’i merupakan akumulasi dari pemahaman dalil-dalil yang zanni. Artinya bahwa
kumpulan ayat-ayat zanni yang mempunyai tunjukan yang sama menghasilkan sebuah pemahaman
yang qat’i. alat yang biasa digunakan dalam melihat ayat zanni adalah kaidah bahasa, maqasid
syariah dan hadis. Kesamaan dalil pada semua alat yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat
zanni menghasilkan pemahaman terhadap ayat hingga disebut qat’i.
Zanni sendiri bisa berubah dari waktu ke waktu selaras dengan konteks bahasa dan maqasid syariah.
Di sinilah peluang terjadinya pergesarn makna qat’i. meskipun secara tidak langsung, berubahnya
dalil-dalil zanni dapat mengakibatkan berubahnya dalil-dalil qat’i.
Selain itu, sumber utama dan dasar yang digunakan dalam menafsirkan Alquran adalah akal, artinya
perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat zanni dapat mengakibatkan perbedaan dalam
kategorisasi zanni atau qat’i.
Adanya peluang terhadap berubahnya pemahaman terhadap ayat-ayat zanni dapat berakibat
kepada berubahnya penafsiran Alquran. Seperti ayat yang menggunakan lafal-lafal majaz, bisa saja
oleh penafsir lain tidak dianggap sebagai majaz.

F. Penutup
Qat’i dan Zanni pada dasarnya merupakan term ilmu usul fikih. Karena itu, konsep qat’i dan zanni
pada dasarnya disediakan oleh ilmu tersebut. Qat’i berarti sebuah tunjukan pemahaman yang tidak
boleh/mungkin ada arti atau makna lain yang berbeda dari sebuah nash. Sedangkan zanni adalah
sebuah tunjukan yang mungkin ada beberapa pemahaman terhadap sebuah nash.
Karena itu, ayat-ayat qat’i dalam Alquran bisa didifenisikan sebagai ayat yang mempunyai tunjukan
yang jelas, hingga tidak mungkin ada pemahaman lain yang berbeda terhadap ayat tersebut.
Sedangkan ayat zanni adalah ayat yang mempunyai tunjukan yang mungkin atau bisa menghasilkan
pemahaman berbeda.
Qat’i sendiri merupakan akumulasi dari zanni. Artinya bahwa berbagai penjelasan dari ayat-ayat
zanni menghasilkan sebuah pemahaman terhadap sebuah ayat menjadi qat’i. Karena itu,
kemungkinan perubahan pada ayat zanni sangat berpengaruh pada ayat-ayat qat’i dalam
menafsirkan Alquran.
Belum penulis temukan asal-usul lahirnya konsep qat’i dan zanni, baik tentang latar-belakang dan
perumusnya dengan lengkap. Akan tetapi dapat penulis simpulkan bahwa konsep ini lahir pada masa
bervariasinya paham hukum Islam yakni pada abad 2 Hijriyah, hingga dibutuhkan sebuah
pembatasan di mana tidak semua ayat dapat ditafsirkan dengan berbeda. Konsep tersebut
dipergunakan untuk menjaga kejelasan dan keseragaman dasar-dasar agama.

Daftar Pustaka

Abu al-‘Ainin, Abu al-‘Ainin Badran. Ushul Fiqh al-Islamy. tp., t.t.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Kairo : Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Gazali, Muhammad. Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar Al-Arqom bin Abi Al-Arqom, t.t.
Ibn al-Atsir. an-Nihayah, Juz. II. Mesir: Dar al-Hayah al-Kutub al-‘Araby, t.t.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam 1978.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam. Beirut: Dar Masyriq, 1987.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Syatibi, Abu Ishak. al-Muwafaqat. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1994.
Tawilah, Abd al-Wahhab ‘Abd al-Salām. Mengungkap Berita Besar Dalam Kitab Suci, terj. Medan:
Tiga Serangkai, 2005.
Thowil, Taufiq. Ususu al-Falsafah. Kairo: Daru al-Nahdhah Al-‘Arabiah, 1979.
Zarqa. Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Jil. 1. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1968.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: DV Mas Agung, 1987.

Anda mungkin juga menyukai