Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Al-Qur’an adalah kitab sumber dasar hukum Islam, bukanlah kitab hukum islam. Oleh
karena itu, untuk menemukan hukum yang terkandung di dalamnya, diperlukan adanya suatu
penafsiran. Dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa kaidah penafsiran, agar isi atau
kandungan serta pesan-pesan al-Qur’an dapat ditangkap dan dipahami secara baik sesuai
dengan tingkat kemampuan manusia.
Dalam diskursus ‘ulum al-Qur’an ini, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai ada
atau tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa kemampuan menafsirkan al-Qur’an bukan
berdasarkan kepada kaidah-kaidah tertentu, tetapi harus digali langsung dari al-Qur’an atas
petunjuk Nabi dan para sahabatnya. Sedangkan pendapat lain mangatakan bahwa dalam
menafsirkan al-Qur’an diperlukan kaidah-kaidah tertentu, terutama kaidah bahasa.1
Dari dua pendapat diatas, mayoritas ulama cenderung mendukung pendapat kedua.
Alasannya, dengan menguasai kaidah-kaidah penafsiran dapat memudahkan seseorang dalam
menafsirkan al-Qur’an. Sebaliknya, pendapat pertama cenderung mempersulit seseorang
yang ingin memperdalam al-Qur’an.2
Kaidah-kaidah penafsiran itu ada tiga macam yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i dan
kaidah kebahasaan. Kaidah dasar ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan
hadits nabi, pendapat sahabat, dan dengan pandapat tabi’in. Sedangkan kaidah syar’i ialah
menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, diantaranya ialah: mantuq dan mafhum, mutlaq dan
muqayyad, mujmal dan mufhassal dan lain-lain.
Sedangkan kaidah kebahasan ialah kaidah yang menjadi alternatif dalam menafsirkan al-
Qur’an. Kaidah kebahasaan ini mencakup kaidah isim dan fi’il, amr dan nahy, istifham,
dlamir, mufrad dan jamak, muzakkar dan muannats, taqdim dan ta’khir dan lain-lain. Namun
yang akan penulis ungkapkan dalam tulisan ini hanya kaidah isim dan fi’il.

1 Usman,Ilmu tafsir,( Yogyakarta: TERAS, 2009 ), hal. 240.

2 Usman, Ilmu Tafsir, hal. 240.

1
B. Rumusan masalah
Dalam membahas kaidah isim dan fi’il, penulis menentukan beberapa rumusan tentang
permasalah tersebut yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan isim dan fi’il dalam al-Qur’an?
2. Apa fungsi dari kaidah isim dan fi’il terhadap penafsiran al-Qur’an?
3. Apa contoh atau bentuk isim dan fi’il dalam al-Qur’an?

C. Tujuan penulisan
Dalam menanggapi rumusan masalah yang telah ditentukan diatas, penulis memiliki
beberapa tujuan agar rumusan masalah tersebut tersebut dapat terpecahkan. Diantara tujuan
tulisan ini ialah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari kaidah isim dan fi’il dalam kaidah kebahasaan;
2. Untuk mengetahui tujuan dari kaidah isim dan fi’il dalam kaidah kebahasaan; dan
3. Dapat menyebutkan beberapa contoh dari isim dan fi’il dalam beberapa ayat al-Qur’an.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il.
Sering kita jumpai kalimat-kalimat dalam al-Qur,an yang diungkapkan dalam bentuk kalimat
isim (nominal) dan kalimat fi’il (verbal).3 Berkenaan dengan isim dan jumlah ismiyah
penulis mengutip dari beberapa kitab diantaranya kitab idhohi masaili al-‘Arobiyyati fi matnil
ajuruumiyyah karangan kholid bin sa’ud:

-‫االسم ومعناه في اللغة ما دل على مسمى أيا كان إنسانا أو حيوانا أو جمادا ذكرا أو أنثى مشتقا أو جامدا‬

Isim dalam arti bahasa adalah sesuatu yang menunjukan perkara yang bernama baik
itu berupa manusia, hewan ,benda mati, laki-laki atau perempuan baik itu musytaq maupun
jamid. Sedangkan dalam arti istilah
‫اﻹسﻡ ﻫوﮐلمﻪ دلﺕ على معنى في نفسها ولﻡ تﻗتﺭن ﺒﺯمان‬
“Isim adalah sebuah kata yang menunjukan pada suatu makna dengan sendirinya dan
tidak disertai waktu.”
Adapun pengertian fi’il sebagaimana berikut :
‫الفعل ومعناه في اللغة ما دل على وﻗوع الحدث أيا كان‬
Fi’il dari segi bahasa adalah perkara yang menunjukan peristiwa kapanpun peristiwa itu
terjadi. Sedangkan menurut istilah
‫كلمة دلت على معنى في نفسها مقترنة بزمان‬
“fi’il adalah sebuah kata yang menunjukan pada suatu makna dengan sendirinya yang
mengandung waktu.”
Sedangkan jumlah ismiyyah adalah jumlah yang didahului dengan isim.
‫ﺠملة إسمية ﻫي ماﻜانﺕ مسﺒوﻗة ﺒاسﻡ‬
Sementara dalam kitab “ Al-Nahwu Al-Wadih Fi Qawa’id Al-Lughah Al-‘Arabiyah”4
dijelaskan bahwa setiap jumlah yang tersusun dari mubtada dan khabar dinamakan jumlah
ismiyah.

3 Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,( yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998 ),
hal. 157

4 Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, alih bahasa : Mudzakir AS “ Mabahits
Fi Ulum al-Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2009, cet. Ke-12), hlm. 278.

3
Adapun contoh jumlah ismiyyah dalam Al-Qur’an diantaranya :
‫اللﻪ محيﻁ ﺒالﻜفﺭين‬,‫ انماالﺼد ﻗﺕ للفﻗﺭﺁﺀ‬,‫ اللﻪ سميﻊ‬,‫الحمدللﻪ‬
‫ﺠملة إسمية ﻫي ماﻜانﺕ مسﺒوﻗة ﺒاسﻡ‬
‘Ali Al-Jarim dan Mustafa Amin menyebutkan bahwa yang dinamakan jumlah fi’liyyah
itu adalah setiap jumlah yang tersusun dari fi’il dan fa’il. Adapun mengenai contoh jumlah
fi’liyah dalam Al-Qur’an dapat dilihat pada beberapa jumlah berikut ini :
‫ يﻜاد الﺒﺭﻕ يﺨﻁﻑ اﺒﺼاﺭﻫﻡ‬-
‫ تﺭميهﻡ ﺒحﺠاﺭﺓ‬-
‫ ﺨتﻡ اللﻪ على ﻗلو ﺒهﻡ‬-
‫ تﺒﺕ يدﺁاﺒي لهﺏ‬-
Adapun isim dan fi’il yang akan dibahas dalam makalah ini adalah isim dan fi’il yang
mutashorrif dalam artian isim yang bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan keadaannya.
B. Tujuan penggunaan isim dan fi’il dalam Al-Qur’an
Semua kata yang disebutkan dalam al-Qur’an memiliki makna dan tujuan masing-masing
(kecuali fawatihus suwar yang maknanya tidak diketahui oleh manusia). Dalam Alquran
banyak dijumpai kalimat yang diungkapkan dalam bentuk kalimat nomina (jumlah ismiyyah)
dan kalimat verba (jumlah fi’liyyah). Penggunaan kedua model tersebut mengandung maksud
yang berbeda.
Isim sebagaimana dikemukakan al-Suyuthiy adalah kata yang menunjukan tetapnya
keadaan dan kelangsungannya (al-tsubut wa al-istimrar). Sedangkan fi’il menunjukan
timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan (al-tajaddud wa al-
huduts). Masing-masing kata tersebut mempunyai tempat tersendiri dan tidak dapat
ditukarkan satu dengan yang lain untuk tetap menghadirkan makna yang sama.5 Hakikat
makna yang dikandung ayatnya pun berbeda-beda. Hal ini disebabkan isim tidak terikat
waktu sedangkan fi’il sebalikya. Bahkan fi’il ada yang menunjukan bentuk lampau (madhi),
sekarang (mudhari’/hadir) dan akan datang (mustaqbal).

Misalnya firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 15 :

َّ ‫َّللاِ ۚ أُو َٰلَئِكَ ُﻫ ُم ال‬


َ‫ﺼا ِدﻗُون‬ َ ‫سو ِل ِﻪ ث ُ َّم لَ ْم يَ ْرتَابُوا َو َجا َﻫد ُوا بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأَنفُ ِس ِه ْم فِي‬
َّ ‫سﺒِي ِل‬ َّ ِ‫إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ الَّذِينَ ﺁ َمنُوا ب‬
ُ ‫اَّللِ َو َﺭ‬

“ Orang-orang mukmin adalah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak pernah
ragu; kemudian berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Mereka itu termasuk
orang-orang yang tulus hati.”

Iman itu besifat kontemporer, dalam arti harus senantiasa ada selama keadaan yang
menghendaki, seperti halnya takwa, sabar dan bersikap syukur. Dalam ayat di atas

5 Jalal al-Din al-Suyuthiy, al-liqan fi ‘ulum Alquran, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm 199. Lihat Manna
Khalil, Mabahits fi Ulum Alquran (Cet. Ke-25, Muassasah al-Risalah. 1994), hlm. 206

4
penggunaan isim dengan kata mukminun menggambarkan pelakunya yang terus
berkesinambungan (mempertahankan) iman itu, tidak bersifat temporer (sementara).

Adapun contoh penggunaan fi’il dapat dilihat dalam Q.S al-Baqarah ayat 274.

ٌ ‫اﺭ ِس ًّرا َو َع ََلنِيَةً فَلَ ُه ْم أ َجْ ُر ُﻫ ْم ِعندَ َﺭ ِب ِه ْم َو َال خ َْو‬


َ‫ﻑ َعلَ ْي ِه ْم َو َال ُﻫ ْم يَحْ زَ نُون‬ ِ ‫الَّذِينَ يُن ِفقُونَ أَ ْم َوالَ ُهم ِباللَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬

“Mereka yang menafkahkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau terang-
terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan tak perlu sedih.”

Kata yunfiquun pada ayat di atas menunjukan keberadaannya sebagai tindakan yang
bisa ada dan bisa juga tidak ada, sebagai sesuatu yang temporal. Manakala orang melakukan
pekerjaan itu ia memperoleh pahala, dan jika tidak melakukannya maka pahala tidak akan
ada.

Contoh lainnya dapat dilihat dalam QS. As-Syu’ara ayat 78-82 ;


ْ َ‫ َوالَّذِي أ‬. ‫ين‬
‫ﻁ َم ُﻊ أَن‬ ِ ِ‫ َوالَّذِي ي ُِميتُنِي ث ُ َّم يُحْ ي‬. ‫ين‬ ْ ‫ َوإِذَا َم ِر‬. ‫ين‬
ِ ‫ضتُ فَ ُه َو يَ ْش ِف‬ ْ ‫ َوالَّذِي ﻫ َُو ي‬. ‫ِين‬
ِ ‫ُط ِع ُمنِي َويَ ْس ِق‬ ِ ‫الَّذِي َخلَقَنِي فَ ُه َو يَ ْهد‬
ِ ‫يَ ْغ ِف َر ِلي خ‬
ِ ‫َطيئَتِي يَ ْو َﻡ الد‬
‫ِين‬

“ Yang menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku;Yang memberi aku


makan dan minum. Dan bila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, Yang akan
membuatku mati, dan kemudian menghidupkanku (kembali). Dan kuharapkan mengampuni
dosa-dosaku pada hari Perhitungan.”

Kata kerja (fi’il) khalaqa pada ayat diatas menunjukan telah terjadi dan selesainya
perbuatan di waktu yang lampau (madhi’). Sedangkan kata yahdiy (fi’il mudhari’) dan lain-
lainnya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukan terus berlangsungnya perbuatan itu waktu
demi waktu secara terus menerus hingga sekarang.
Fi’il mudhari’ tidak selalu menunjukkan kepada peristiwa yang sedang atau akan terjadi.
Terkadang peristiwa yang lalu diungkap kembali dengan fi’il mudhari’. Demikian halnya
dengan fi’il madhi tidak selalu menunjukkan pada peristiwa yang telah terjadi. Berikut ini
merupakan kaidah-kaidah lainnya yang berhubungan dengan fi’il :
a. Ayat-ayat yang menggunakan fi’il mudhari’, tetapi yang ditunjukkannya itu sudah lampau,
maka pengertiannya untuk menunjukkan keindahan atau kejelekan hal itu. Misalnya :
 Menunjukkan amal yang baik :

‫س ِﻜينَةَ َعلَ ْي ِه ْم َوأَثَا َب ُه ْم فَتْ ًحا ﻗَ ِريﺒًا‬ َّ ‫َّللاُ َع ِن ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِإذْ يُ َﺒايِعُو َنكَ تَحْ تَ ال‬
َّ ‫ش َﺠ َرﺓِ فَعَ ِل َم َما فِي ﻗُلُوبِ ِه ْم فَأ َ ْنزَ َل ال‬ َّ ‫ي‬ ِ ‫لَقَدْ َﺭ‬
َ ‫ض‬
“Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka

5
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).” (Q.S. Al-Fathu : 18)
 Menunjukkan amal yang jelek :
Contoh penggunaan kaidah ini dapat dilihat dalam ayat 21 surat Ali ‘Imran tentang Kufr.

‫ﺏ أَ ِل ٍّيم‬
ٍّ ‫اِس فَ َﺒش ِْرﻫُم ِب َعذَا‬ ِ ‫ق َو َي ْقتُلُونَ الَّذِينَ َيأ ْ ُم ُرونَ ِب ْال ِقس‬
ِ َّ‫ِْط ِمنَ الن‬ ٍّ ‫َّللاِ َو َي ْقتُلُونَ النَّ ِﺒ ِيينَ ِب َغي ِْر َح‬
َّ ‫ﺕ‬ ِ ‫ِإ َّن الَّذِينَ َي ْﻜفُ ُرونَ ِبآ َيا‬

“sesungguhnya orang-orang yang mengkafiri ayat-ayat Allah dan yang membunuh para
Nabi mereka tanpa alasan yang benar (haq), dan membunuh orang-orang yang menyuruh
manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih.”

Dalam ayat tersebut, perbuatan kufr. (yakfuruun) dan perbuatan membunuh para Nabi
yaqtulun al nabiyyin pada masa lampau, diungkap dalam bentuk fi’il mudhari, dengan tujuan
untuk menggambarkan betapa buruk dan sadisnya perbuatan tersebut.

b. Jika Fi’il madhi digunakan untuk peristiwa yang belum terjadi, maka hal itu dipastikan akan
terjadi. Misalnya : QS.Yasin ayat 51

ِ ‫وﺭ فَإِذَا ُﻫ ْم ِمنَ ْاْل َ ْجدَا‬


َ‫ث ِإلَى َﺭ ِب ِه ْم َي ْن ِسلُون‬ ِ ‫ﺼ‬ُّ ‫َونُ ِف َخ فِي ال‬
“Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya
(menuju) kepada Tuhan mereka.”
c. Fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il
yang dinyatakan secara jelas. Misalnya pada surat adz-dzariyat ayat 25 :
َ‫س ََل ٌﻡ ﻗَ ْو ٌﻡ ُم ْنﻜ َُرون‬ َ ‫ِإ ْذ دَ َخلُوا َع َل ْي ِﻪ فَقَالُوا‬
َ ‫س ََل ًما ۖﻗَا َل‬
“(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim
menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."(Q.S.Adz-dzariyat :
25)
Kata salaman di-nasab-kan karena ia masdar yang menggantikan fi’il . Asal katanya
nusalimu ’alaika salaman ungkapan ini menunjukan bahwa pemberian salam dari mereka
baru terjadi saat itu. Berbeda dengan jawabannya qala salamun lafadz salamun di-rafa’-kan
karena menjadi mubtada yang khabar-nya tidak disebutkan. Kalimat itu lengkapnya adalah
‘alaikum salamun yang menunjukan tetapnya salam. Disini nampaknya Ibrahim bermaksud
membalas salam mereka dengan cara yang lebih baik dari yang mereka sampaikan
kepadanya, demi melaksanakan etika yang diajarkan Allah, disamping juga merupakan
penghormatan Ibrahim kepada mereka.
Para ulama berpendapat, salam yang disampaikan oleh Ibrahim a.s. lebih berbobot
(ablag) daripada yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim dengan alasan tersebut.

6
C. Contoh penerapan kaidah isim dan fi’il
1. QS an-Nisa ayat 95 :

َ‫َّللاُ ْال ُم َﺠا ِﻫدِين‬ َّ ‫َّللاِ ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأَنفُ ِس ِه ْم ۚ َف‬


َّ ‫ض َل‬ َ ‫َّال يَ ْستَ ِوي ْالقَا ِعد ُونَ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِينَ َغي ُْر أُو ِلي الض ََّر ِﺭ َو ْال ُم َﺠا ِﻫد ُونَ فِي‬
َّ ‫س ِﺒي ِل‬
‫علَى ْالقَا ِعدِينَ أَجْ ًرا َع ِظي ًما‬ َ َ‫َّللاُ ْال ُم َﺠا ِﻫدِين‬ َّ َ‫َّللاُ ْال ُح ْسن ََٰى ۚ َوف‬
َّ ‫ض َل‬ َّ َ‫ِبأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأَنفُسِ ِه ْم َعلَى ْالقَا ِعدِينَ د َ َﺭ َجةً ۚ َو ُك ًَّل َو َعد‬

“Tidaklah sama orang-orang mukmin yang duduk di rumah (tidak karena cacat), dengan
yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan nyawa mereka. Allah mengangkat derajat
mereka yang berjuang dengan harta dan nyawanya lebih tinggi ketimbang orang yang
tinggal di rumah. Allah menjanjikan bagi masing-masing mereka segala kebaikan. Tetapi,
Allah lebih mengutamakan mereka yang berjuang ketimbang orang yang tinggal di rumah
dengan pahala yang besar.”

Dalam ayat tersebut digunakan kata qoo’iduna yang dihadapkan kepada kata
mujaahidun. Jika kedua isim tersebut diganti dengan fi’il, niscaya pengertiannya akan
berbeda.
2. QS. Al Baqarah:177
ِ ‫اَّللِ َو ْال َي ْو ِﻡ ْاْل ِخ ِر َو ْال َم ََل ِئ َﻜ ِة َو ْال ِﻜت َا‬
‫ﺏ‬ َّ ‫ﺏ َو َل ِﻜ َّن ْال ِﺒ َّر َم ْن ﺁ َمنَ ِب‬
ِ ‫ﻕ َو ْال َم ْغ ِر‬
ِ ‫ْس ْال ِﺒ َّر أ َ ْن ت ُ َولُّوا ُو ُجو َﻫ ُﻜ ْم ِﻗ َﺒ َل ْال َم ْش ِر‬
َ ‫لَي‬
ِ ‫الرﻗَا‬
‫ﺏ‬ ِ ‫سﺒِي ِل َوالسَّائِ ِلينَ َوفِي‬ َّ ‫ساكِينَ َوا ْبنَ ال‬ َ ‫َوالنَّﺒِيِينَ َوﺁت َى ْال َما َل َعلَى ُحﺒِ ِﻪ ذَ ِوي ْالقُ ْربَى َو ْاليَت َا َمى َو ْال َم‬
‫اء َوالض ََّّرا ِء َو ِحينَ ْالﺒَأ ْ ِِس‬
ِ ‫س‬َ ْ ‫ﺼابِ ِرينَ فِي ْالﺒَأ‬
َّ ‫الزكَاﺓ َ َو ْال ُموفُونَ بِعَ ْه ِد ِﻫ ْم إِذَا َعا َﻫد ُوا َوال‬َّ ‫ﺼ ََلﺓ َ َوﺁت َى‬ َ َ‫َوأَﻗ‬
َّ ‫اﻡ ال‬
َ‫صدَﻗُوا َوأُولَئِكَ ُﻫ ُم ْال ُمتَّقُون‬
َ َ‫أُولَئِكَ الَّذِين‬

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
Di dalam ayat di atas, pemenuhan janji, sabar, dan takwa diungkapkan dalam bentuk
isim yang menunjukkan kelangsungan sifat tersebut pada pelakunya.

Sedangkan beberapa contoh redaksi ayat yang menggunakan fi’il ialah sebagai berikut:
3. Q.S An-Nisa : 10

7
‫إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا‬
Kata ya’kuluuna pada ayat di atas menunjukkan keberadaannya sebagai suatu
tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal.

4. QS. Fatir: 3

َ‫ض َال ِإلَﻪَ ِإ َّال ﻫ َُو فَأَنَّى تُؤْ فَ ُﻜون‬


ِ ‫اء َو ْاْل َ ْﺭ‬ َّ ‫َّللاِ َي ْر ُﺯﻗُ ُﻜ ْم ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬ ٍّ ‫َّللاِ َع َل ْي ُﻜ ْم ﻫ َْل ِم ْن خَا ِل‬
َّ ‫ق َغي ُْر‬ ُ َّ‫َيا أَيُّ َها الن‬
َّ َ‫اِس اذْ ُك ُروا نِ ْع َمت‬

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah
yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan
selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
Isim khaliq dalam ayat tersebut menunjukkan sifat yang melekat secara permanen
pada pelakunya. Sedangkan yarzuqukum menunjukkan pemberian rizki itu secara bertahap.
5. Q.S. Al-Anbiya : 1
َ‫سابُ ُه ْم َو ُﻫ ْم فِي َغ ْفلَ ٍّة ُم ْع ِرضُون‬ َ ‫ا ْﻗت ََر‬
ِ َّ‫ﺏ ِللن‬
َ ‫اِس ِح‬

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka
berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”

8
BAB III
KESIMPULAN

Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il.
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar (terus-
menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti tajadud (timbulnya
sesuatu) dan huduts (temporal). Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang
tidak bisa ditempati oleh yang lain. Kegunaan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah dalam al-
Qur’an mempunyai fungsi yang berbeda-beda seperti yang telah dijelaskan secara spesifik
dalam pembahasan di atas.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattaan, Manna’ Khalil.Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor: 2009.
Baidan, Nashirudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2011.
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. PT Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta:
1998.
Usman. Ilmu Tafsir. Teras. Yogyakarta: 2009.
http://riki-harpana.blogspot.co.id/2012/06/kaidah-jumlah-filiyah.html diakses pada tgl 18 Sept
2015

10

Anda mungkin juga menyukai